cover
Contact Name
Dominikus Sukristiono
Contact Email
seminarfilsafat.teo@usd.ac.id
Phone
+62274-880957
Journal Mail Official
seminarfilsafat.teo@usd.ac.id
Editorial Address
Fakultas Teologi, Universitas Sanata Dharma Jl. Kaliurang Km. 7, Yogyakarta, Indonesia Kotak Pos : 1194, Yogyakarta 55011 Telp : 0274-880957
Location
Kab. sleman,
Daerah istimewa yogyakarta
INDONESIA
Proceedings of The National Conference on Indonesian Philosophy and Theology
ISSN : 30471451     EISSN : 30470714     DOI : https://doi.org/10.24071/snf
Proceedings of the National Conference on Indonesian Philosophy and Theology is an academic journal organized and operated by Faculty of Theology, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, Indonesia. The Theological Faculty has been acknowledged as the Pontifical Faculty of Theology “Wedhabakti” by the Holy See. These proceedings aim to disseminate reflections on Philosophy and Theology, especially those conducted in or related to the Indonesian context. The proceedings conduct interdisciplinary and monodisciplinary reflections and are scientific publications with a peer review process. The themes in these proceedings include (but are not limited to): Methods of Philosophy and Theology, Philosophy of Religion, Metaphysics, Epistemology, Philosophy of Education, Empirical Research in Philosophy and Theology, Public Philosophy and Theology, Eastern Thought, Socio-Political Philosophy, Interreligious Dialogue, Ecological Theology, Ethno-religiosity, and Socio-Biblical Studies. The Proceedings conduct a rigorous process of paper submission. We welcome only selected (and invited) papers, both in Bahasa Indonesia and in English, that has been accepted and presented at the Annual Seminar on Indonesian Philosophy and Theology (Seminar Nasional Filsafat dan Teologi Indonesia), and those that are suggested by the Chief Editor of the Annual Seminar. The suggested papers will be peer reviewed by our editors and independent reviewers.
Articles 61 Documents
Nilai Dialog Antaragama dalam Dialogue With Trypho Karya Yustinus Martir Sihombing, Kaisar Octavianus
Proceedings of The National Conference on Indonesian Philosophy and Theology Vol 2, No 1 (2024): Proceedings of The National Conference on Indonesian Philosophy and Theology
Publisher : Fakultas Teologi, Universitas Sanata Dharma

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24071/snf.v2i1.8498

Abstract

Going back to the time of the Church Fathers to find a comparative perspective in interpreting interreligious dialogue is an option that cannot be ignored. Contextually, we need more historical-academic approaches to building interreligious dialogues, both internally among Christians, among adherents of Abrahamic religions, as well as more broadly among people who have interests in religion. One of the important figures in the prototype of interreligious dialogue is Justin Martyr. He was a philosopher and theologian of the second century who had intellectual and actual experience in encounters with other religions. In his Dialogue with Trypho in its Sitz im Leben, Justin Martyr emphasized the importance of philosophy in the joint search for truth and eliminating groundless stories in religion. Dialogue does not ignore orthodoxy in the faith of each believer. Dialogue invites people to be able to affirm the authenticity of the teachings of their faith and confirm them. The affirmation of the teachings of faith is conveyed with scientific background and arguments so that it can avoid ad hominem discussions. This is how Justin Martyr's writing is interpreted so that theology for dialogue and theology of dialogue are simultaneously interpreted in value.AbstrakKembali ke masa Bapa-bapa Gereja untuk menemukan perspektif pembanding dalam memaknai dialog antarumat beragama adalah sebuah opsi yang tidak bisa diabaikan. Secara kontekstual, kita membutuhkan lebih banyak pendekatan historik-akademik untuk membangun dialog-dialog interreligius, baik secara internal di antara orang Kristen, di antara penganut agama-agama abrahamik, juga secara lebih luas di antara orang-orang yang memiliki interese mengenai agama. Salah satu tokoh penting dalam prototype dialog antaragama adalah Yustinus Martir. Dia adalah seorang filsuf dan teolog dari abad kedua yang memiliki pengalaman intelektual dan aktual dalam pertemuan dengan agama lain. Dalam Dialogue with Trypho dengan Sitz im Leben-nya, Yustinus Martir menekankan pentingnya filsafat dalam pencarian bersama menuju kebenaran dan mengeliminasi groundless stories dalam agama. Dialog tidak mengabaikan ortodoksi dalam beriman oleh setiap penganutnya. Dialog mengajak orang untuk mampu menegaskan keaslian ajaran imannya dan menegaskannya. Penegasan ajaran iman itu disampaikan dengan latar belakang dan argumentasi ilmiah sehingga dapat terhindar dari perbincangan ad hominem. Demikian tulisan Yustinus Martir ini dimaknai sehingga teologi untuk dialog dan teologi dialog serentak dimaknai nilainya.
Kesenian Gamat Di dalam Masyarakat Bengkulu Leo Agung Tyas Prasaja; Paolo Rigo Wilhelmus Simbolon; Fransiskus Frendy Styawan
Proceedings of The National Conference on Indonesian Philosophy and Theology Vol 2, No 2 (2024): Proceedings of The National Conference on Indonesian Philosophy and Theology
Publisher : Fakultas Teologi, Universitas Sanata Dharma

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24071/snf.v2i2.8516

Abstract

This research is motivated by the habit of Bengkulu people who use Gamat art on several important events such as marriage and other traditional ritual events. The purpose of this research is to describe Gamat art in Bengkulu society. The methods used in collecting data for this research are literature study and questionnaires. There are 3 important questions that become the instrument of this research, namely: What is Gamat art? How is Gamat art present and recognized in the lives of Bengkulu people? What is the function and meaning of Gamat art for the people in Bengkulu? The results of the study show that Gamat art is a performing art that combines a combination of vocal and instrumental music typical of Melayu, which is known, present and united in traditional ceremonies and annual rituals of the Bengkulu community. In addition, it was found that Gamat art has functions and meanings for the people of Bengkulu, including: means of entertainment, communication and integration or unification.AbstrakPenelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya kebiasaan masyarakat Bengkulu yang menggunakan kesenian Gamat pada beberapa peristiwa penting misalnya perkawinan dan acara ritual tradisional lainnya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan kesenian Gamat dalam masyarakat Bengkulu. Metode yang digunakan dalam mengumpulkan data-data penelitian ini adalah studi pustaka dan kuesioner. Adapun 3 pertanyaan penting yang menjadi instrumen penelitian ini, yaitu: Apa itu kesenian Gamat? Bagaimana kesenian Gamat hadir dan dikenal dalam kehidupan masyarakat Bengkulu? Apa fungsi dan makna kesenian Gamat bagi masyarakat Bengkulu? Hasil penelitian menunjukkan bahwa kesenian Gamat merupakan seni pertunjukkan yang memadukan seni musik gabungan dari seni vokal dan instrumental khas Melayu, yang dikenal, hadir dan menyatukan dalam upacara adat dan ritual tahunan masyarakat Bengkulu. Selain itu, ditemukan bahwa kesenian Gamat memiliki fungsi dan makna bagi masyarakat Bengkulu, antara lain sebagai: sarana hiburan, komunikasi dan integrasi atau pemersatu.
Moral dan Agama Menurut Henry Bergson Tandiayu, Leonardo Kelvin
Proceedings of The National Conference on Indonesian Philosophy and Theology Vol 1, No 2 (2023): Proceedings of The National Conference on Indonesian Philosophy and Theology
Publisher : Fakultas Teologi, Universitas Sanata Dharma

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24071/snf.v1i2.8370

Abstract

Henri Bergson, a prominent philosopher, developed important concepts regarding morality and religion through the lens of static and dynamic perspectives. In his work, he distinguished between static morality, which is conservative and resistant to change, and dynamic morality, which is more open and accepting of the evolution of values. Additionally, he also separated religion into two categories: static religion, which adheres strictly to dogma and tradition, and dynamic religion, which prioritizes rationality and critical thinking. Bergson argued that the relationship between morality and religion is intrinsic and that to achieve true social progress, society must move towards accepting a more dynamic morality and practicing a more open religion. Through this writing, the author seeks to discuss Bergson's insights on how morality and religion can adapt and evolve to meet the collective needs of modern society. This also emphasizes the importance of flexibility and renewal in advancing the common good. ABSTRAKHenri Bergson, seorang filsuf terkemuka, mengembangkan konsep-konsep penting mengenai moral dan agama melalui lensa statis dan dinamis. Dalam karyanya, ia membedakan antara moral statis, yang bersifat konservatif dan menentang perubahan, dan moral dinamis, yang lebih terbuka dan menerima terhadap evolusi nilai-nilai. Selain itu, ia juga memisahkan agama menjadi dua kategori yaitu agama statis, yang berpegang teguh pada dogma dan tradisi, dan agama dinamis, yang lebih mementingkan rasionalitas dan pemikiran kritis. Bergson berpendapat bahwa hubungan antara moral dan agama adalah intrinsik dan bahwa untuk mencapai kemajuan sosial yang sebenarnya, masyarakat harus bergerak menuju penerimaan moral yang lebih dinamis dan praktik agama yang lebih terbuka. Melalui tulisan ini, penulis berusaha membahas tawaran Bergson mengenai wawasannya tentang bagaimana moral dan agama dapat beradaptasi dan berkembang untuk memenuhi kebutuhan kolektif masyarakat modern. Hal ini juga menekankan pentingnya fleksibilitas dan pembaruan dalam memajukan kebaikan bersama.
Memperbaiki Hubungan Antara Manusia dan Alam Melalui Pemikiran Daisaku Ikeda Antonius Glendnaldy Hendrysusanto; Carolus Borromeus Mulyatno
Proceedings of The National Conference on Indonesian Philosophy and Theology Vol 2, No 2 (2024): Proceedings of The National Conference on Indonesian Philosophy and Theology
Publisher : Fakultas Teologi, Universitas Sanata Dharma

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24071/snf.v2i2.8507

Abstract

Man and nature are inseparable unity, both are organic unity that must be mutually maintained. Daisaku Ikeda asserted that the state of the world filled with the destruction of nature has diminished the interdependent relationship between humans and nature. The destruction of nature caused by human unconsciousness of nature preservation and hierarchical view which puts human beings as supreme beings among all that exists in nature is a significant warning that should re-awaken human beings of responsibility (guarding and nurturing) to nature. Pope Francis in Laudato Si' emphasizes the ecological repentance that should be imbued with ecological spirituality rooted in the faith of faith in Christ as proclaimed through  the Gospel. In this context, ecological conversion can be understood as the process of sharing all the fruits of human encounter with Christ with the surrounding environment. One result of this encounter should be manifested in relation to the universe, i.e. environmental justice.AbstrakManusia dan alam merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, keduanya merupakan kesatuan organik yang harus saling dijaga. Daisaku Ikeda menegaskan, keadaan dunia yang penuh dengan kerusakan alam telah merusak hubungan saling ketergantungan antara manusia dan alam. Rusaknya alam akibat ketidaksadaran manusia terhadap kelestarian alam dan pandangan hierarkis yang menempatkan manusia sebagai makhluk ciptaan yang tertinggi dan termulia di antara segala yang ada di alam merupakan sebuah peringatan penting yang patut menyadarkan kembali manusia akan tanggung jawab mereka untuk menjaga dan memelihara alam. Seperti yang dikatakan Paus Fransiskus dalam ensiklik Laudato Si’, ia menekankan pertobatan ekologis yang harus dijiwai dengan spiritualitas ekologis yang berakar pada iman kepada Kristus sebagaimana diwartakan melalui Injil. Dalam konteks ini, konversi ekologis dapat dipahami sebagai proses berbagi seluruh hasil perjumpaan manusia dengan Kristus dan dengan lingkungan sekitar. Salah satu hasil dari perjumpaan ini harus diwujudkan dalam kaitannya dengan alam semesta, yaitu keadilan lingkungan.
Fenomena Pasca-Kebenaran: Belajar dari Sejarah, Menyongsong Tahun Politik 2024 Mahardika, Amadea Prajna Putra
Proceedings of The National Conference on Indonesian Philosophy and Theology Vol 2, No 1 (2024): Proceedings of The National Conference on Indonesian Philosophy and Theology
Publisher : Fakultas Teologi, Universitas Sanata Dharma

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24071/snf.v2i1.8361

Abstract

This writing aims to dissect several aspects of the Post-Truth phenomenon in general, including its definition, the reasons behind its emergence, its elements or characteristics, as well as its impacts. To make it easier to comprehend, real-life examples will be provided, both in the political and mass media spheres, which happened both internationally and within Indonesia. In this research, we use qualitative method through literature and internet review. Learning from history, the Post-Truth phenomenon is rampant during political campaigns leading up to elections. Therefore, as the year 2024 approaches, a significant political year in Indonesia, efforts need to be made to anticipate the negative impacts of Post-Truth. These negative consequences can foster distrust in society, provide opportunities for irresponsible individuals to take advantage, and potentially threaten the stability, security, and unity of the nation. To address this issue, all parties and authorities involved must collaborate and employ a multidimensional approach called the "Four-IS Solution," which includes efforts in philosophical, sociological, technological, and aesthetic education.AbstrakTulisan ini hendak menguraikan pelbagai aspek fenomena Pasca-Kebenaran secara umum, antara lain pengertian, penyebab kemunculannya, unsur atau ciri-cirinya, serta dampak-dampaknya. Agar lebih mudah dipahami, akan disediakan pula beberapa contoh nyatanya dalam bidang politik dan media massa, baik yang terjadi di dunia internasional maupun di Indonesia. Metode yang digunakan adalah kualitatif, melalui studi pustaka dan internet. Belajar dari sejarah, fenomena Pasca-Kebenaran marak terjadi dalam masa kampanye politik menjelang pemilihan umum. Maka, menjelang tahun 2024 yang merupakan tahun politik di Indonesia, perlu diupayakan bagaimana supaya dampak negatif Pasca-Kebenaran dapat diantisipasi. Pasalnya dampak negatif tersebut dapat menimbulkan rasa tidak percaya masyarakat kepada siapa saja, memberi peluang pada oknum-oknum tidak bertanggung jawab untuk mengambil keuntungan, hingga berpotensi mengancam stabilitas, keamanan, dan keutuhan bangsa. Untuk mengatasi persoalan ini, semua pihak dan otoritas yang berwenang harus bekerja sama melakukan pendekatan multidimensional bernama “Solusi Empat-IS” yang meliputi upaya-upaya edukasi-filosofis, sosiologis, teknologis, dan estetis.
“Srawung Persaudaraan Sejati Kaum Muda Lintas Agama” Gereja Keuskupan Agung Semarang dalam Kacamata Dokumen Fratelli Tutti Widiasena, Stefanus Albert Putra; Lelono, Martinus Joko
Proceedings of The National Conference on Indonesian Philosophy and Theology Vol 2, No 1 (2024): Proceedings of The National Conference on Indonesian Philosophy and Theology
Publisher : Fakultas Teologi, Universitas Sanata Dharma

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24071/snf.v2i1.8492

Abstract

Amid the current tension of interfaith life in Indonesia, the Semarang Archdiocese Church (KAS) is working to create a welcoming space for young people. Since 2014, KAS Church has organized an activity called “Kongres Persaudaraan Sejati”, which was later changed to “Srawung Persaudaraan Sejati Kaum Muda Lintas Agama” in 2018. This activity, which takes place every four years, aims to demonstrate the Catholic Church's involvement in upholding the value of pluralism, which is based on a culture of encounter or dialog. This idea of a culture of encounter was then enriched by the ideological model defended by Pope Francis in his encyclical Fratelli Tutti (2020). The document Fratelii Tutti (2020) contains a model for reflection on coexistence and the movement towards world peace. This article will explore the thought pattern of Pope Francis regarding the document Fratelli Tutti (2020) and find the contribution of this thought to the activity “Srawung Persaudaraan Sejati Kaum Muda Lintas Agama”.AbstrakDi tengah arus merenggangnya kehidupan lintas agama di Indonesia, Gereja Keuskupan Agung Semarang (KAS) berjuang menciptakan ruang kebersamaan untuk kaum muda. Sejak 2014, Gereja KAS memiliki kegiatan yang bernama “Kongres Persaudaraan Sejati” yang kemudian pada tahun 2018 dimodifikasi menjadi “Srawung Persaudaraan Sejati Kaum Muda Lintas Agama”. Kegiatan yang diselenggarakan setiap empat tahun sekali ini hendak menunjukkan keterlibatan Gereja Katolik untuk menjaga nilai pluralitas yang kemudian didukung oleh adanya budaya perjumpaan atau dialog. Gagasan mengenai budaya perjumpaan ini kemudian diperkaya dengan model pemikiran yang dimiliki oleh Paus Fransiskus dalam ensikliknya yang berjudul Fratelli Tutti (2020). Dokumen Fratelii Tutti (2020) berisikan sebuah model pemikiran mengenai kehidupan bersama dan gerakan menuju perdamaian dunia. Tulisan ini akan menggali model pemikiran yang dimiliki Paus Fransiskus mengenai Dokumen Fratelli Tutti (2020) dan menemukan kontribusi pemikiran terhadap kegiatan “Srawung Persaudaraan Sejati Kaum Muda Lintas Agama”.
Korelasi Filsafat dan Ilmu Pengetahuan pada Perkembangan Teknologi dan Kehidupan Peradaban Manusia Masa Kini Rudy Budiatmaja; Seno Lamsir; Stefanus Sugianto; Monalisla Ishakputro; Rikardo P Sianipar
Proceedings of The National Conference on Indonesian Philosophy and Theology Vol 2, No 2 (2024): Proceedings of The National Conference on Indonesian Philosophy and Theology
Publisher : Fakultas Teologi, Universitas Sanata Dharma

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24071/snf.v2i2.8481

Abstract

Rapid change technology always has  impact science to change following technological developments resulting in the emergence correlation between science and philosophy to know anything or something we do not understand,  know in the future.  Article was written with the aim seeing science and philosophy as  unity in human activities with efforts to solve problems human life to face the pattern human life era of the revolutionary movement in industry or society.  Writing articles is qualitative in nature with  variety literature including other journal articles in support analysis current article. Results current article show that there is a correlation between philosophy and science, including its relevance to the acceleration of technology for all societies as winners in minimizing the challenges of the current era of disruption. End current article concludes that humans are fully aware that the use of reason and reason is a solution to every problem that often occurs in line with the rapid introduction of technology into human life and daily activities in the progress of human civilization in the field of technology.Abstrak Cepatnya perubahan teknologi selalu berdampak terhadap ilmu pengetahuan untuk berubah mengikuti perkembangan teknologi berakibat timbulnya korelasi ilmu dan filsafat untuk ketahui apapun atau sesuatu apa belum kita paham dan mengerti di masa mendatang.  Artikel ditulis dengan tujuan melihat ilmu dan filsafat sebagai kesatuan kegiatan manusia dengan upaya pemecahan persoalan hidup manusia untuk hadapi pola hidup manusia era adanya gerakan revolusi dalam industri atau society. Penulisan artikel sifatnya kualitatif disertai bermacam literatur kepustakaan termasuk artikel jurnal lainnya dalam pendukungan analisis artikel saat ini. Hasil artikel yang diperoleh saat ini menunjukkan adanya korelasi filsafat dengan ilmu pengetahuan termasuk adanya relevansi percepatan teknologi bagi semua masyarakat  sebagai pemenang dalam minimalisir tantangan era disrupsi yang terjadi saat ini. Akhir dari artikel saat ini disimpulkan manusia sadar penuh pengunaan daya pikir,  akal budi merupakan solusi setiap permasalahan sering terjadi sejalan cepatnya teknologi yang masuk di kehidupan serta aktivitas keseharian dalam kemajuan peradaban manusia bidang teknologi.
Under the Veil of Tolerance: Critics on Tolerant City Index Attaftazani, Muhammad Ikhsan
Proceedings of The National Conference on Indonesian Philosophy and Theology Vol 1, No 2 (2023): Proceedings of The National Conference on Indonesian Philosophy and Theology
Publisher : Fakultas Teologi, Universitas Sanata Dharma

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24071/snf.v1i2.8377

Abstract

Religious tolerance in Indonesia has become phenomenal in the last decades after Setara Institute was established alongside other NGOs such as Wahid Foundation. There is an annual index of tolerant and intolerant cities in Indonesia conducted by the Setara Institute. Other religious indexes are also mentioned, such as the index of Freedom of Religion and Belief (FORB) by Wahid Foundation and the Religious Harmony index by the Ministry of Religious Affairs. This index shows the interreligious relations within society and measures tolerance from the FORB index. To some extent, this index led to the competition of cities in Indonesia to be the most tolerant. This research examines the problem within the index from a philosophical perspective. Furthermore, the effect of the religious tolerance index on local government policies and everyday engagement in society will be addressed. This research uses a qualitative analysis method and collects data through library research. This research shows some problems in the index, such as binary opposition and generalized intolerant action with religious motives. In addition, the tolerance tends to move into pragmatic tolerance instead of mutual tolerance after the index emerges.ABSTRAK Toleransi beragama di Indonesia telah menjadi fenomena dalam beberapa dekade terakhir setelah Setara Institute didirikan bersama dengan LSM lain seperti Wahid Foundation. Setara Institute mengeluarkan indeks tahunan tentang kota-kota toleran dan intoleran di Indonesia. Ada juga indeks keagamaan lainnya, seperti indeks Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (Freedom of Religion and Belief – FORB) yang dikeluarkan oleh Wahid Foundation dan indeks Kerukunan Umat Beragama oleh Kementerian Agama. Indeks-indeks ini menampilkan tingkat hubungan antar agama dalam masyarakat dan mengukur toleransi dari kebebasan beragama dan berkeyakinan. Sampai batas tertentu, indeks ini menyebabkan persaingan antar kota-kota di Indonesia untuk menjadi yang paling toleran. Penelitian dalam makalah ini mengkaji masalah dalam indeks tersebut dari perspektif filosofis. Lebih lanjut, pengaruh indeks toleransi beragama terhadap kebijakan pemerintah daerah dan keterlibatan sehari-hari di masyarakat juga akan dibahas. Penelitian ini menggunakan metode analisis kualitatif dan mengumpulkan data melalui penelitian kepustakaan. Penelitian ini menunjukkan beberapa masalah dalam indeks tersebut, seperti pengandaian oposisi biner yang tidak tepat dan generalisasi atas tindakan intoleran yang dianggap bermotifkan keagamaan. Selain itu, toleransi yang ada cenderung bergeser menjadi toleransi pragmatis dan bukannya toleransi timbal balik setelah adanya indeks tersebut.
Menuju Komunitas Kolaboratif: Implikasi Teori Intersubjektivitas dalam Dilema Komunitas Religius Multikultur Apriano, Alvian
Proceedings of The National Conference on Indonesian Philosophy and Theology Vol 2, No 1 (2024): Proceedings of The National Conference on Indonesian Philosophy and Theology
Publisher : Fakultas Teologi, Universitas Sanata Dharma

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24071/snf.v2i1.8499

Abstract

This article presents how philosophical thinking practically gives relational strength to multicultural religious communities. Maurice Merleau-Ponty talks about intersubjectivity, the benefits of which are so binding in inter-body relations. Steven McCormack talks about the importance of interpersonal communication as a strength of relationships within the community. David W. McMillan and David M. Chavis talk about the importance of "belonging" in the praxis of community. This article focuses on the question, "How can individuals in multicultural religious communities collaborate in the midst of dilemmas?" Indeed, the framework is built on Merleau-Ponty's theory of intersubjective philosophy. This will encourage collaboration in multicultural religious communities and leave behind primordial dilemmas that limit future community development steps. By analyzing the philosophy of intersubjectivity, we are offered the opportunity to transform past relationships and then make new meanings of them towards a collaborative community in the future.AbstrakArtikel ini menyajikan bagaimana pemikiran filsafat secara praktis memberi kekuatan terhadap relasi individu di dalam komunitas religius yang multikultur. Maurice Merleau-Ponty berbicara tentang intersubjektivitas yang manfaatnya begitu mengikat relasi antar-subjek. Steven McCormack berbicara tentang pentingnya komunikasi interpersonal sebagai penguat relasi individu dalam komunitas. David W. McMillan dan David M. Chavis berbicara tentang pentingnya “rasa memiliki” dari setiap individu di dalam praksis berkomunitas. Fokus artikel ini berangkat dari sebuah pertanyaan, “Bagaimana individu dalam komunitas religius yang multikultural dapat berkolaborasi di tengah dilema-dilema yang ada?” Tentunya, kerangka berpikirnya dibangun dari teori filsafat intersubjek Merleau-Ponty. Hal ini akan mendorong kolaborasi dalam komunitas religius yang multikultur dan meninggalkan dilema-dilema primordial yang membatasi gerak langkah pengembangan komunitas di masa depan. Dengan menganalisis filsafat intersubjektivitas, kita ditawari kesempatan untuk mengubah relasi di masa lalu dan kemudian memaknainya secara baru untuk menuju komunitas kolaboratif di masa depan.
Perempuan dan Hak Asasi Manusia dalam Lensa Filsafat: Dilema Etika dan Implementasi Kamilus Bato
Proceedings of The National Conference on Indonesian Philosophy and Theology Vol 2, No 2 (2024): Proceedings of The National Conference on Indonesian Philosophy and Theology
Publisher : Fakultas Teologi, Universitas Sanata Dharma

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24071/snf.v2i2.8517

Abstract

Human rights in the context of women through a philosophical lens brings us into deep reflection about the rights, dignity and role of women in society. In philosophy, women are considered as equal individuals to men, eliminating discrimination based on gender. The concepts of bodily autonomy, reproductive rights, and protection against violence are at the center of ethical and moral debates about women's human rights. Philosophical thinking also emphasizes that women have an active role in raising social and political awareness to achieve gender equality. This involves the moral responsibility and collective action of women in fighting for their rights. Through a philosophical lens, understanding women's human rights encourages us to see women not only as objects receiving rights, but also as subjects who are empowered to shape a more just future. Therefore, the philosophy provides a strong foundation for advocacy for gender equality and social change that is more inclusive and has equal rights to live with dignity and freedom.AbstrakHak asasi manusia dalam konteks perempuan melalui lensa filsafat membawa kita ke dalam refleksi mendalam tentang hak, martabat, dan peran perempuan dalam masyarakat. Dalam filsafat, perempuan dianggap sebagai individu yang setara dengan laki-laki, menghapuskan diskriminasi berdasarkan jenis kelamin. Konsep otonomi tubuh, hak reproduksi, dan perlindungan terhadap kekerasan menjadi pusat perdebatan etis dan moral tentang HAM perempuan. Pemikiran filsafat juga menekankan bahwa perempuan memiliki peran aktif dalam menggugah kesadaran sosial dan politik untuk mencapai kesetaraan gender. Ini melibatkan tanggung jawab moral dan aksi kolektif perempuan dalam memperjuangkan hak-hak mereka. Melalui lensa filsafat, pemahaman tentang HAM perempuan mendorong kita untuk melihat perempuan bukan hanya sebagai objek penerima hak, tetapi juga sebagai subjek yang berdaya untuk membentuk masa depan yang lebih adil. Oleh karena itu, filsafat memberikan fondasi yang kuat untuk advokasi kesetaraan gender dan perubahan sosial yang lebih inklusif dan memiliki hak yang sama untuk hidup dengan martabat dan kebebasan.