cover
Contact Name
Dominikus Sukristiono
Contact Email
seminarfilsafat.teo@usd.ac.id
Phone
+62274-880957
Journal Mail Official
seminarfilsafat.teo@usd.ac.id
Editorial Address
Fakultas Teologi, Universitas Sanata Dharma Jl. Kaliurang Km. 7, Yogyakarta, Indonesia Kotak Pos : 1194, Yogyakarta 55011 Telp : 0274-880957
Location
Kab. sleman,
Daerah istimewa yogyakarta
INDONESIA
Proceedings of The National Conference on Indonesian Philosophy and Theology
ISSN : 30471451     EISSN : 30470714     DOI : https://doi.org/10.24071/snf
Proceedings of the National Conference on Indonesian Philosophy and Theology is an academic journal organized and operated by Faculty of Theology, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, Indonesia. The Theological Faculty has been acknowledged as the Pontifical Faculty of Theology “Wedhabakti” by the Holy See. These proceedings aim to disseminate reflections on Philosophy and Theology, especially those conducted in or related to the Indonesian context. The proceedings conduct interdisciplinary and monodisciplinary reflections and are scientific publications with a peer review process. The themes in these proceedings include (but are not limited to): Methods of Philosophy and Theology, Philosophy of Religion, Metaphysics, Epistemology, Philosophy of Education, Empirical Research in Philosophy and Theology, Public Philosophy and Theology, Eastern Thought, Socio-Political Philosophy, Interreligious Dialogue, Ecological Theology, Ethno-religiosity, and Socio-Biblical Studies. The Proceedings conduct a rigorous process of paper submission. We welcome only selected (and invited) papers, both in Bahasa Indonesia and in English, that has been accepted and presented at the Annual Seminar on Indonesian Philosophy and Theology (Seminar Nasional Filsafat dan Teologi Indonesia), and those that are suggested by the Chief Editor of the Annual Seminar. The suggested papers will be peer reviewed by our editors and independent reviewers.
Articles 61 Documents
Perspektif Teologi Moral terhadap Aborsi Langsung dan Tidak Langsung Deo, Firminus
Proceedings of The National Conference on Indonesian Philosophy and Theology Vol 1, No 1 (2023): Proceedings of The National Conference on Indonesian Philosophy and Theology
Publisher : Fakultas Teologi, Universitas Sanata Dharma

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24071/snf.v1i1.8367

Abstract

Abortion is a highly controversial and complex topic, involving various aspects such as law, morality, health, and religion. This essay delves deeply into the Catholic Church's perspective on abortion, which unequivocally rejects direct abortion as an act that violates Christian moral and ethical principles. The Church, through the Encyclical Evangelium Vitae, views abortion as a serious sin that goes against the human right to life, which begins at conception. However, the Church allows for indirect abortion in situations where the mother's life is at risk, using the principle of double effect to evaluate actions that have both good and bad consequences. This essay seeks to explore how the Catholic Church views abortion from an absolutist standpoint, considering it as the murder of innocent human life and contrary to the fundamental values of Christianity.ABSTRAKAborsi merupakan topik yang sangat kontroversial dan kompleks, melibatkan berbagai aspek seperti hukum, moralitas, kesehatan, dan agama. Tulisan ini secara mendalam membahas pandangan Gereja Katolik terhadap aborsi, yang secara tegas menolak aborsi langsung sebagai tindakan yang melanggar prinsip-prinsip moral dan etika Kristen. Gereja, melalui Ensiklik Evangelium Vitae, menganggap aborsi sebagai dosa serius yang melawan hak asasi manusia untuk hidup, yang dimulai sejak pembuahan. Meskipun demikian, Gereja memperbolehkan aborsi tidak langsung dalam situasi di mana nyawa ibu terancam, dengan menggunakan prinsip efek ganda untuk menilai tindakan yang memiliki konsekuensi baik dan buruk. Tulisan ini berusaha mengeksplorasi bagaimana Gereja Katolik memandang aborsi dari sudut pandang absolutistik, menganggapnya sebagai pembunuhan terhadap kehidupan manusia yang tidak bersalah dan bertentangan dengan nilai-nilai dasar Kristianitas.
Plural(Is)Me: Mungkinkah Kita Bersaudara? Merangkai Gerakan Persaudaraan Sebagai Arena Bersama, Belajar dari Jaringan Gusdurian Wibisono, Christian Fritz; Lelono, Martinus Joko
Proceedings of The National Conference on Indonesian Philosophy and Theology Vol 2, No 1 (2024): Proceedings of The National Conference on Indonesian Philosophy and Theology
Publisher : Fakultas Teologi, Universitas Sanata Dharma

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24071/snf.v2i1.8493

Abstract

In the midst of inter-religious segregation, there are several inter-faith movements. Apparently, the movement developed over time. One of the interfaith movements currently present in implementing the values of fraternity is Jaringan Gusdurian. The presence of Jaringan Gusdurian gives a new color to the interfaith movement, because of this group move actively in fighting for justice, defending minority groups and carrying out peace campaigns. In its implementation, this group also prioritizes human values wrapped in interfaith movements.This article will specifically discuss the brotherhood movement as a common arena, learning from Jaringan Gudurian, using the perspective of Strategic Action Fields theory, where this theory explains the fields or arenas that gives a new possibility through the role of social actors. Through this theory, a guide will be founded to find out models of fraternal movements in Jaringan Gusdurian which are models of fraternal movements in living together.Abstrak Di tengah arus segregasi antar agama, terdapat beberapa gerakan lintas iman. Ternyata, gerakan tersebut berkembang seiring berjalannya waktu. Salah satu gerakan lintas iman yang hadir pada masa kini dalam mengimplementasi nilai persaudaraan adalah Jaringan Gusdurian. Hadirnya Jaringan Gusdurian memberikan warna baru bagi gerakan lintas iman, karena kelompok ini bergerak secara aktif dalam memperjuangkan keadilan, membela kelompok minoritas serta melakukan aksi kampanye perdamaian. Dalam pelaksanaannya, kelompok ini juga mengutamakan nilai-nilai kemanusiaan yang dibalut dalam gerakan lintas iman. Tulisan ini akan secara khusus membahas mengenai gerakan persaudaraan sebagai arena bersama, belajar dari Jaringan Gusdurian dengan menggunakan perspektif teori Strategic Action Fields yang mana teori ini menjelaskan mengenai fields ataupun arena yang membentuk sebuah kemungkinan baru melalui peran aktor sosial. Melalui teori tersebut, ditemukan panduan untuk mengetahui model-model gerakan persaudaraan dalam Jaringan Gusdurian yang menjadi model gerakan persaudaraan dalam hidup bersama.
Pembentukan Karakter Individu sebagai Agen Moral Kristiani menurut Wiliam C. Spohn Simare Mare, Erni Dameria
Proceedings of The National Conference on Indonesian Philosophy and Theology Vol 2, No 2 (2024): Proceedings of The National Conference on Indonesian Philosophy and Theology
Publisher : Fakultas Teologi, Universitas Sanata Dharma

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24071/snf.v2i2.8504

Abstract

The character building of Christian moral agents has an impact on the life of the faithful. Nowadays, there are various practices or behaviours that deviate from the proper teachings, such as bullying and ignoring the wrong social reality. Therefore, a character building is needed to reshape individuals to become moral agents by basing it on the formation of a distinctive character. The distinctive character can be exemplified through the figure of Jesus Christ as the prototype of Christian moral agent. This paper aims to present an approach from Wiliam Spohn as an offer for the formation of individual character as a Christian moral agent.  The method used in this paper is a literature review of Wiliam Spohn's thoughts on virtue ethics and the life story of Jesus Christ in the New Testament as an approach that shapes the character of Christian moral agents. The result of this paper is that the contribution of Wiliam Spohn's thoughts can be one of the approaches that can be used to shape the character of Christian moral agents. By using the approach of virtue ethics and the life story of Jesus Christ in the New Testament from Wiliam Spohn can form a distinctive character for Christian moral agents.Abstrak Pembentukkan karakter agen moral kristiani memiliki daya dampak dalam tatanan kehidupan umat beriman. Di masa kini telah terjadi berbagai praktik ataupun perilaku yang menyimpang dari ajaran-ajaran yang semestinya, seperti tindakan bullying dan pembiaran pada realitas sosial yang salah. maka diperlukan sebuah pembentukan karakter untuk membentuk kembali pribadi-pribadi untuk menjadi agen moral dengan mendasarkannya pada pembentukan karakter yang khas. Karakter yang khas dapat diteladani lewat figur Yesus Kristus sebagai prototype agen moral kristiani. Tulisan ini hendak menyajikan sebuah pendekatan dari Wiliam Spohn sebagai sebuah tawaran untuk pembentukan karakter individu sebagai agen moral kristiani.  Metode yang digunakan dalam tulisan ini adalah literatur review atas pemikiran Wiliam Spohn tentang etika keutamaan dan kisah hidup Yesus Kristus dalam Perjanjian Baru sebagai pendekatan yang membentuk karakter dari agen moral kristiani. Hasil dari tulisan ini adalah sumbangan pemikiran dari Wiliam Spohn dapat menjadi salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk membentuk karakter agen moral kristiani. Dengan menggunakan pendekatan etika keutamaan dan Kisah hidup Yesus Kristus dalam Perjanjian Baru dari Wiliam Spohn dapat membentuk karakter yang khas bagi agen-agen moral kristiani.
Membangun Budaya Dialog, Menjadi Semakin Manusiawi Belajar dari Perspektif Personalisme Karol Wojtyla Widyawan Louis, Aloysius
Proceedings of The National Conference on Indonesian Philosophy and Theology Vol 2, No 1 (2024): Proceedings of The National Conference on Indonesian Philosophy and Theology
Publisher : Fakultas Teologi, Universitas Sanata Dharma

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24071/snf.v2i1.8488

Abstract

Diversity is convinced as one of the essential elements of the community, especially in Indonesia. The Indonesian had chosen Bhinneka Tunggal Ika as a slogan to build their unity for realizing their common good. Nevertheless, it is not easy to make a harmony in a multidiversity of Indonesia. The threat of segregation is increasingly strengthening along with the advances of information and communication technology which have a strong influence of capitalistic culture which tends to be pragmatic and individualistic. The rise in political contestation ahead of PEMILU 2024 also shows the strengthening of differentiation and separation of political identities and choices in Indonesian society from the grassroots to the government elites. Politics as a means for human beings to achieve a bonum commune which covers all aspects of human life in living together, is increasingly interpreted narrowly as a mere technique for seizing power. Living together, in society, as a nation and as a state is very likely to be further away from the ideals of Bhinneka Tunggal Ika, gotong royong, tepa selira, and other noble values that characterize our Indonesianness. Starting from this major threat Bhinneka Tunggal Ika, various efforts must be optimized to build new cultures of living together. It is very possible that these new cultures are a confirmation or strengthening of the Indonesian noble values which are believed to be deeply rooted in our national identity. One of the cultures that needs to be built is dialogue. In this paper, dialogue is generally understood as the interpersonal en-counters from different backgrounds who together want to be involved in some concrete efforts to achieve the common good. Karol Wojtyla's personalist perspective is used to un-derstand dialogue from its personalistic roots and how can probably be actualized to build a culture of dialogue in the context of Indonesia's diversity. In particular, it is a proof that Wojtyla's thoughts on dialogue were concretely real-ized throughout his pontificate as Pope John Paul II.AbstrakKeberagaman merupakan esensi hidup bersama, terlebih di Indonesia. Bhinneka Tunggal Ika dipilih sebagai semangat persatuan untuk mewujudkan cita-cita bersama. Meskipun demikian, tidak mudah membangun harmoni dalam kebe-ragaman. Ancaman segregasi semakin menguat bersamaan dengan kemajuan teknologi komunikasi dan informasi yang membawa pengaruh kuat budaya kapitalistik yang cenderung pragmatis dan individualistik. Maraknya kon-testasi politik menjelang PEMILU 2024 juga menampilkan menguatnya pembedaan dan pemisahan identitas dan pi-lihan politik mulai dari akar rumput sampai kalangan elit pemerintahan. Politik sebagai sarana manusia mencapai bonum commune yang mencakup seluruh aspek kehidu-pan manusia di dalam hidup bersama, semakin dimaknai secara sempit sebagai teknik merebut kekuasaan. Hidup bersama, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sangat mungkin semakin jauh dari cita-cita Bhinneka Tunggal Ika, gotong royong, tepa selira, dan nilai-nilai luhur lain yang menjadi ciri ke-Indonesia-an kita. Bertitik tolak dari anca-man besar pada ke-bhinneka-tunggal-ika-an ini, berbagai upaya harus dimaksimalkan untuk membangun budaya-budaya baru dalam hidup bersama. Sangat mungkin sekali,budaya-budaya baru ini adalah peneguhan atau penguatan nilai-nilai luhur yang diyakini telah mengakar kuat dalam jati diri bangsa kita. Salah satu budaya yang perlu diban-gun adalah dialog. Dalam paper ini, dialog secara umum dimengerti sebagai perjumpaan interpersonal berlatarbe-lakang berbeda yang bersama-sama ingin terlibat dalam upaya mencapai kebaikan bersama. Perspektif personalis-me Karol Wojtyla digunakan untuk memahami dialog sampai akar-akar personalistiknya dan bagaimana mem-bangun budaya dialog itu dalam konteks keberagaman In-donesia. Secara istimewa, pemikiran Wojtyla tentang dialog diwujudnyatakannya secara konkret sepanjang masa ponti-fikalnya sebagai Paus Yohanes Paulus II.
Gereja Memperjuangkan Keadilan dalam Kajian “Theory of Justice” John Rawls Mite, Arkadius
Proceedings of The National Conference on Indonesian Philosophy and Theology Vol 2, No 1 (2024): Proceedings of The National Conference on Indonesian Philosophy and Theology
Publisher : Fakultas Teologi, Universitas Sanata Dharma

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24071/snf.v2i1.8500

Abstract

This article talks about the political and ethical duties of the Church in fighting for justice and the contribution of Rawls' Thought to the Church's struggle. The issue of justice is the responsibility of all social institutions. The church as a social institution is involved in it. The presence of the Church in social society has raised questions about whether it is appropriate for the Church to be actively involved in fighting for justice. The Church's struggle in overcoming social problems is not due to social demands themselves but rather the Church's initiative to embrace them as brothers. The value that the Church strives for is justice. Justice as an integral part of the mission of the Kingdom of God. Justice is the main problem in national and state life. The priority of justice is poverty. Poverty is caused by structures that ignore human equality and human dignity. Human dignity is the Church's mission in fighting for justice through the values of the kingdom of God. These values of the Kingdom of God are actualized by the Church in its mission.AbstrakArtikel ini berbicara tentang tugas politis dan etis Gereja dalam memperjuangkan keadilan dan sumbangan Pemikiran Rawls bagi perjuangan Gereja tersebut. Persoalan keadilan merupakan tanggung jawab semua institusi sosial. Gereja sebagai institusi sosial terlibat di dalamnya. Kehadiran Gereja dalam sosial kemasyarakatan menuai tanya, pantaskah Gereja terlibat aktif dalam memperjuangkan keadilan. Perjuangan Gereja dalam mengatasi permasalahan sosial bukan karena tuntutan sosial itu sendiri melainkan inisiatif Gereja yang merangkul sebagai saudara. Nilai yang diperjuangkan Gereja adalah keadilan. Keadilan sebagai bagian integral dari misi Kerajaan Allah. Keadilan merupakan permasalahan utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Prioritas keadilan adalah kemiskinan. Kemiskinan disebabkan oleh struktur yang mengabaikan kesetaraan manusia dan martabat manusia. Martabat manusia adalah misi Gereja dalam memperjuangkan keadilan melalui nilai-nilai kerajaan Allah. Nilai-nilai Kerajaan Allah ini diaktualisasikan oleh Gereja dalam perutusannya.
Manusia dan Kehancurannya: Sebuah Tinjauan Reflektif atas Filsafat Jean Paul Sartre Mamput, Yulianus Gunawan
Proceedings of The National Conference on Indonesian Philosophy and Theology Vol 2, No 2 (2024): Proceedings of The National Conference on Indonesian Philosophy and Theology
Publisher : Fakultas Teologi, Universitas Sanata Dharma

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24071/snf.v2i2.8520

Abstract

This paper explores the relationship between humanity and violence. Violence is often the result of a failure to promote empathy and solidarity. This is exemplified by the Holocaust and the New Order regime in Indonesia. The paper highlights the complex nature of human emancipation and emphasizes the importance of considering the well-being of others as well as one's own self. The concept of emancipation is evident in the philosophies of notable figures including Descartes, Kant, Marx, and Comte. Sartre, too, advocated for humanist freedom, but conceded that unlimited freedom can lead to egoism. This paper will center on the ideas of Jean-Paul Sartre, ultimately concluding that the destruction of humanity can be traced back to anthropological and social aspects of society.AbstrakTulisan ini mengeksplorasi hubungan antara kemanusiaan dan kekerasan. Kekerasan sering kali merupakan hasil dari kegagalan untuk mempromosikan empati dan solidaritas. Hal ini terepresentasi oleh peristiwa Holocaust dan rezim Orde Baru di Indonesia. Makalah ini menyoroti kompleksitas  emansipasi manusia dan menekankan pentingnya mempertimbangkan kesejahteraan orang lain dan juga diri sendiri. Dilema emansipasi terlihat jelas dalam para pemikir terkenal seperti Descartes, Kant, Marx, dan Comte. Sartre juga menganjurkan kebebasan humanis, tetapi mengakui bahwa kebebasan yang tidak terbatas dapat mengarah pada egoisme. Tulisan ini akan berpusat pada ide-ide Jean-Paul Sartre, yang pada akhirnya menyimpulkan bahwa kehancuran umat manusia dapat ditelusuri kembali ke aspek antropologis dan sosial masyarakat.
Kontroversi Tindakan Eutanasia dan Aborsi Perspektif Peter Singer: Sebuah Ulasan, Kritik dan Bagaimana Legalitasnya di Indonesia Leway, Fransiskus Raymundus
Proceedings of The National Conference on Indonesian Philosophy and Theology Vol 1, No 2 (2023): Proceedings of The National Conference on Indonesian Philosophy and Theology
Publisher : Fakultas Teologi, Universitas Sanata Dharma

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24071/snf.v1i2.8374

Abstract

This article explores Peter Singer's controversial views on euthanasia and abortion, which have sparked wide debate among academics and the general public. Singer supports the legality of voluntary euthanasia and abortion on the grounds that these actions can maximize the satisfaction of individual interests. He argues that a fetus is not considered a human with the same rights as individuals who possess human characteristics. This view has triggered criticism highlighting concerns about the protection of individuals and the potential negative impact on social change. The writing also discusses the legal and moral context in Indonesia, where euthanasia and abortion are prohibited but may be accepted in certain cases. Through this analysis, the author seeks to provide a deeper understanding of the controversy surrounding Singer's views and their implications for contemporary ethical discussions.ABSTRAKTulisan ini mengeksplorasi pandangan kontroversial Peter Singer mengenai eutanasia dan aborsi, yang telah menimbulkan perdebatan luas di kalangan akademisi dan masyarakat umum. Singer mendukung legalitas eutanasia sukarela dan aborsi dengan alasan bahwa tindakan tersebut dapat memaksimalkan kepuasan kepentingan individu. Ia berpendapat bahwa janin tidak dianggap sebagai manusia dengan hak yang sama seperti individu yang memiliki sifat-sifat kemanusiaan. Pandangan ini telah memicu kritik yang menyoroti kekhawatiran terhadap perlindungan individu dan potensi dampak negatif terhadap perubahan sosial. Tulisan ini juga membahas konteks hukum dan moral di Indonesia, di mana eutanasia dan aborsi dilarang, namun dalam kasus tertentu dapat diterima. Melalui analisis ini, penulis berusaha untuk memberikan pemahaman yang lebih dalam tentang kontroversi yang mengelilingi pandangan Singer dan implikasinya terhadap diskusi etika kontemporer.
Jalan Baru Memaknai Hubungan Filsafat dan Agama dalam Pemikiran Al-Kindidan Sutan Takdir Alisyahbana Pratama, Alexander Bayu Putra; Prasetya, Nirwan; Mulyatno, Carolus Borromeus
Proceedings of The National Conference on Indonesian Philosophy and Theology Vol 2, No 2 (2024): Proceedings of The National Conference on Indonesian Philosophy and Theology
Publisher : Fakultas Teologi, Universitas Sanata Dharma

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24071/snf.v2i2.8511

Abstract

This qualitative research aims to explore the ideas of Al-Kindi and Sutan Takdir Alisyahbana on the relationship between philosophy and religion. Philosophy and religion are often seen as opposites. For these two figures, philosophy and religion have a close relationship and cannot be separated from life. The method used to collect data in this research is literature study. The results of this research include three points. First, Al-Kindi's ideas about the relationship between philosophy and religion in the framework of Islamic thought. Second, Sutan Takdir Alisyahbana's ideas about the importance of philosophy in developing rationality and adapting to Western culture, while still maintaining religious values. Third, a new understanding of the relationship between philosophy and religion. They need to be opposed but can complement each other in the search for truth and a deep understanding of religious teachings.AbstrakPenelitian kualitatif ini bertujuan untuk mengeksplorasi gagasan Al-Kindi dan Sutan Takdir Alisyahbana tentang hubungan filsafat dan agama. Filsafat dan agama sering dianggap sebagai dua hal yang bertentangan. Bagi kedua tokoh ini, filsafat dan agama memiliki hubungan yang erat dan tidak bisa dipisahkan dari kehidupan. Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah studi pustaka. Hasil dari penelitian ini meliputi tiga pokok. Pertama, gagasan Al-Kindi tentang hubungan filsafat dan agama dalam kerangka pemikiran Islam. Kedua, gagasan Sutan Takdir Alisyahbana tentang pentingnya filsafat dalam mengembangkan rasionalitas dan beradaptasi dengan budaya Barat, sambil tetap mempertahankan nilai-nilai religius. Ketiga, pemahaman baru tentang hubungan filsafat dan agama, keduanya tidak harus dipertentangkan melainkan dapat saling melengkapi dalam pencarian kebenaran dan pemahaman mendalam terhadap ajaran-ajaran agama.
Kebahagiaan dalam Utilitarianism John Stuart Mill Renda, Fransiskus Xaverius
Proceedings of The National Conference on Indonesian Philosophy and Theology Vol 1, No 1 (2023): Proceedings of The National Conference on Indonesian Philosophy and Theology
Publisher : Fakultas Teologi, Universitas Sanata Dharma

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24071/snf.v1i1.8368

Abstract

This writing explores John Stuart Mill's view on happiness as the foundation of morality and the basic principle of moral actions within the framework of utilitarianism. Mill posits that general happiness, individual freedom, and the quality of happiness are key elements in his concept of happiness. However, this writing also critiques Mill's perspective by highlighting some dilemmas, such as the potential for hedonism in the quality of happiness, the need to deeply consider each action, and the applicability of this concept in a society with low moral consciousness. Additionally, through this writing, the author contrasts Mill's views with John Rawls' views on justice as fairness. Therefore, the author attempts to demonstrate their criticism of utilitarianism in achieving a concept of fair justice because of its focus on individual happiness rather than general happiness. Despite criticisms of utilitarianism and hedonism for lacking absolute moral commands, Mill establishes three major principles as guidelines for action, emphasizing the importance of individual freedom and justice in creating general happiness. This writing provides profound insights into the philosophical debate on morality, happiness, and justice, as well as their relevance to contemporary ethical dilemmas.ABSTRAKTulisan ini mengeksplorasi pandangan John Stuart Mill tentang kebahagiaan sebagai landasan moralitas dan prinsip dasar tindakan bermoral dalam kerangka utilitarianisme. Mill mengemukakan bahwa kebahagiaan umum, kebebasan individu, dan kualitas kebahagiaan merupakan elemen kunci dalam konsep kebahagiaannya. Namun, tulisan ini juga mengkritik pandangan Mill dengan menyoroti beberapa dilema, seperti potensi hedonisme dalam kualitas kebahagiaan, kebutuhan untuk mempertimbangkan setiap tindakan secara mendalam, dan aplikabilitas konsep ini dalam masyarakat dengan kesadaran moral yang rendah. Selain itu, melalui tulisannya ini penulis juga membandingkan pandangan Mill dengan John Rawls mengenai keadilan sebagai fairness. Karenanya, penulis berusaha menunjukkan kritiknya akan paham utilitaritas dalam mencapai konsep keadilan yang adil karena fokusnya pada kebahagiaan individu daripada kebahagiaan umum. Meskipun utilitarianisme dan hedonisme dikritik karena kurangnya perintah wajib mutlak, Mill menetapkan tiga prinsip besar sebagai pedoman bertindak, menekankan pentingnya kebebasan individu dan keadilan dalam menciptakan kebahagiaan umum. Tulisan ini memberikan wawasan mendalam tentang debat filosofis mengenai moralitas, kebahagiaan, dan keadilan, serta relevansinya dengan dilema etis kontemporer.
Pluralisme Agama Perspektif Raimundo Panikkar: Kontribusinya untuk Keberagaman Agama di Kota Kupang Taman, Heribertus Kurnia; Lelono, Martinus Joko
Proceedings of The National Conference on Indonesian Philosophy and Theology Vol 2, No 1 (2024): Proceedings of The National Conference on Indonesian Philosophy and Theology
Publisher : Fakultas Teologi, Universitas Sanata Dharma

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24071/snf.v2i1.8494

Abstract

The plurality of religions and cultures in Kupang City often creates challenges, such as the potential for conflict or misunderstanding between religious and cultural groups. This situation sometimes disrupts the tolerance of religious life in Kupang. In addition, this situation often leads to conflicts between small groups (Muslims) and large groups (Christians). In this context, the pluralist views of Raimundo Panikkar, a prominent theologian and philosopher of religion, provide a unique perspective on understanding religious diversity. Through an analysis of Panikkar’s key concepts, such as “Culture of Religious Encounter,” “Religious Dialogue,” and “Transcendental Unity,” this paper attempts to outline how Panikkar’s thinking can serve as a foundation for understanding interfaith dialogue in Kupang City. The study also presents findings using a literature review method to gain new insights into Panikkar’s contribution to religious diversity in the region. Through this study, it is hoped that an understanding of Panikkar’s view of religious pluralism can serve as a foundation for developing harmony within the rich and precious religious diversity.  Abstrak Pluralitas agama dan budaya di Kota Kupang, tidak jarang memunculkan tantangan, seperti potensi konflik atau ketidakpahaman antar kelompok agama dan budaya. Situasi ini terkadang mengganggu toleransi hidup beragama di kota Kupang. Di samping itu juga, situasi ini seringkali memunculkan konflik antara kelompok yang berjumlah sedikit (Muslim) dan kelompok yang berjumlah banyak (Kristen). Dalam konteks ini, pandangan Pluralisme Raimundo Panikkar, seorang teolog dan filsuf agama terkemuka, memberikan perspektif unik dalam memahami keberagaman agama. Melalui analisis konsep-konsep kunci Panikkar, seperti “Budaya Perjumpaan Religius,” “Dialog Agama,” dan “Kesatuan Transendental,” tulisan ini mencoba menguraikan bagaimana pemikiran Panikkar dapat menjadi landasan untuk memahami dialog antaragama di Kota Kupang. Studi ini juga menyajikan temuan dengan menggunakan metode kajian pustaka untuk mendapatkan pandangan yang baru tentang kontribusi Panikkar terhadap keberagaman agama di daerah ini. Melalui kajian ini, diharapkan pemahaman tentang pandangan pluralisme agama Panikkar dapat menjadi landasan untuk mengembangkan kerukunan dalam keragaman agama yang begitu kaya dan berharga