cover
Contact Name
Dominikus Sukristiono
Contact Email
seminarfilsafat.teo@usd.ac.id
Phone
+62274-880957
Journal Mail Official
seminarfilsafat.teo@usd.ac.id
Editorial Address
Fakultas Teologi, Universitas Sanata Dharma Jl. Kaliurang Km. 7, Yogyakarta, Indonesia Kotak Pos : 1194, Yogyakarta 55011 Telp : 0274-880957
Location
Kab. sleman,
Daerah istimewa yogyakarta
INDONESIA
Proceedings of The National Conference on Indonesian Philosophy and Theology
ISSN : 30471451     EISSN : 30470714     DOI : https://doi.org/10.24071/snf
Proceedings of the National Conference on Indonesian Philosophy and Theology is an academic journal organized and operated by Faculty of Theology, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, Indonesia. The Theological Faculty has been acknowledged as the Pontifical Faculty of Theology “Wedhabakti” by the Holy See. These proceedings aim to disseminate reflections on Philosophy and Theology, especially those conducted in or related to the Indonesian context. The proceedings conduct interdisciplinary and monodisciplinary reflections and are scientific publications with a peer review process. The themes in these proceedings include (but are not limited to): Methods of Philosophy and Theology, Philosophy of Religion, Metaphysics, Epistemology, Philosophy of Education, Empirical Research in Philosophy and Theology, Public Philosophy and Theology, Eastern Thought, Socio-Political Philosophy, Interreligious Dialogue, Ecological Theology, Ethno-religiosity, and Socio-Biblical Studies. The Proceedings conduct a rigorous process of paper submission. We welcome only selected (and invited) papers, both in Bahasa Indonesia and in English, that has been accepted and presented at the Annual Seminar on Indonesian Philosophy and Theology (Seminar Nasional Filsafat dan Teologi Indonesia), and those that are suggested by the Chief Editor of the Annual Seminar. The suggested papers will be peer reviewed by our editors and independent reviewers.
Articles 61 Documents
Pentingnya Pertimbangan Pastoral dalam Pelayanan Pastor Paroki: Pendekatan Tanggung Jawab Menurut Bernard Haring Anita Anastasya Br Sembiring; Paulus Bambang Irawan
Proceedings of The National Conference on Indonesian Philosophy and Theology Vol 2, No 2 (2024): Proceedings of The National Conference on Indonesian Philosophy and Theology
Publisher : Fakultas Teologi, Universitas Sanata Dharma

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24071/snf.v2i2.8505

Abstract

Pastoral discernment is an important process in accompanying people, which enables the parish priest to provide appropriate moral guidance in appropriate situations. Bernard Haring emphasized objective moral principles and objective moral principles and religious teachings as the basis for appropriate pastoral discernment. This article explores this concept in more depth and provides concrete examples of how Haring's approach can be applied in pastoral life. Haring's approach can be applied in everyday pastoral life. In addition, the article highlights the importance of integrating pastoral wisdom with the parish priest's responsibility to embrace and accompany people in complex situations. complex situations. By looking at the relevance and practical application of these concepts, this article provides valuable insights on how the ministry of parish priests can be more effective and meaningful in accompanying parishioners in terms of moral especially family moral and spiritual.Abstrak Pertimbangan pastoral merupakan proses penting dalam mendampingi umat, yang memungkinkan pastor paroki untuk memberikan bimbingan moral yang tepat dalam berbagai situasi yang tepat dalam berbagai situasi. Bernard Haring menekankan prinsip-prinsip moral yang objektif dan prinsip-prinsip moral yang objektif dan ajaran-ajaran agama sebagai dasar bagi kearifan pastoral yang tepat. Artikel ini mengeksplorasi konsep ini secara lebih mendalam dan memberikan contoh-contoh konkret tentang bagaimana pendekatan Haring dapat diterapkan dalam kehidupan pastoral. Pendekatan Haring dapat diterapkan dalam kehidupan pastoral sehari-hari. Selain itu, artikel ini menyoroti pentingnya mengintegrasikan kearifan pastoral dengan tanggung jawab pastor paroki untuk merangkul dan mendampingi umat yang berada dalam situasi yang kompleks. Dengan melihat relevansi dan aplikasi praktis dari konsep-konsep ini, artikel ini memberikan wawasan yang berharga tentang bagaimana pelayanan pastor paroki dapat lebih efektif dan bermakna dalam dapat lebih efektif dan bermakna dalam mendampingi umat dalam hal moral terutama moral keluarga dan spiritual.
Moral Ateisme-Humanisme Paul Kurtz vs Divine Commandments Vinsensius Coba Ceme
Proceedings of The National Conference on Indonesian Philosophy and Theology Vol 1, No 1 (2023): Proceedings of The National Conference on Indonesian Philosophy and Theology
Publisher : Fakultas Teologi, Universitas Sanata Dharma

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24071/snf.v1i1.8362

Abstract

This article examines Paul Kurtz's thoughts on morality in the context of atheistic humanism, which asserts that humans can uphold goodness and moral values without reference to God. Kurtz argues that morality can stem from human rationality and experience. This article aims to critique this view by showing that without God, the motivation to act morally becomes less convincing for many people. Furthermore, this article will compare Kurtz's views with Divine Command Theory, which states that the existence of God provides an objective and stable foundation for morality. Therefore, while some individuals may live morally without belief in God, this article argues that the existence of God is a stronger and epistemologically secure foundation for moral values. Through this analysis, the author directs the purpose of the article towards exploring the depth and limitations of atheistic humanism morality compared to the theistic perspective on the source of morality.  ABSTRAKTulisan ini mengkaji pemikiran Paul Kurtz tentang moralitas dalam konteks ateisme-humanisme, yang menegaskan bahwa manusia dapat mempertahankan kebaikan dan nilai-nilai moral tanpa perlu mengacu pada Allah. Kurtz berpendapat bahwa moralitas dapat bersumber dari rasionalitas dan pengalaman manusia itu sendiri. Tulisan ini ingin memberikan kritik akan pandangan tersebut dengan menunjukkan bahwa tanpa Allah, motivasi untuk berbuat moral menjadi kurang meyakinkan bagi banyak orang. Lebih lanjut, tulisan ini juga akan membandingkan pandangan Kurtz dengan Divine Command Theory, yang menyatakan bahwa keberadaan Allah menyediakan dasar yang objektif dan stabil untuk moralitas. Oleh karena itu, kendati beberapa individu mungkin hidup secara moral tanpa kepercayaan kepada Allah, tulisan ini berpendapat bahwa keberadaan Allah merupakan fondasi yang lebih kuat dan epistemologis terjamin untuk nilai-nilai moral. Melalui analisis ini, penulis lebih mengarahkan tujuan tulisannya pada eksplorasi kedalaman dan batasan moralitas ateisme-humanisme dibandingkan dengan pandangan teistik tentang sumber moralitas.Keyword Ateisme, Paul Kurtz,Divine Commandments, Moral
Kajian Filsafat Agama dalam Tradisi Barong Wae di Manggarai Solosumantro, Heribertus; Hadut, Aventinus Darmawan
Proceedings of The National Conference on Indonesian Philosophy and Theology Vol 2, No 1 (2024): Proceedings of The National Conference on Indonesian Philosophy and Theology
Publisher : Fakultas Teologi, Universitas Sanata Dharma

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24071/snf.v2i1.8489

Abstract

This article aimed to study the Barong Wae rite, a ceremony honoring the guardian spirit of water in Manggarai, Flores, according to religious philosophy. The traditional Manggarai society believes that water is a blessing given by water’s guardian spirit to support human life. The writers assume that this rite is an indication of confessing the existence of a supreme being. Therefore, the writers elaborate on this rite through religious philosophy study. In this study, the writers want to point Barong Wae rite out towards God’s existence. To analyze this case, the writers use qualitative-descriptive methods through document study. The result of this study is that, from a religious philosophy perspective, the tradition of Barong Wae can be used as a datum to prove the existence of God ontologically, cosmologically, teleologically, morally, and ethnologically.AbstrakArtikel ini bertujuan untuk membuat kajian filsafat agama di balik ritus barong wae yakni upacara penghormatan kepada roh penjaga air di wilayah Manggarai-Flores. Masyarakat tradisional Manggarai meyakini bahwa air merupakan berkat yang diberikan oleh roh penjaga air untuk menunjang kehidupan manusia. Dalam pandangan penulis, barong wae ini merupakan satu indikasi adanya kepercayaan akan adanya wujud tertinggi. Atas dasar itu, penulis mengelaborasi tradisi Barong Wae dengan kajian filsafat agama. Melalui kajian filsafat agama penulis ingin menunjukkan bahwa dalam ritus Barong Wae terdapat pengakuan akan eksistensi Allah. Untuk menganalisis masalah ini penulis menggunakan metode kualitatif-deskriptif melalui studi dokumen. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa, dari perspektif filsafat agama, tradisi Barong Wae dapat dipakai sebagai pintu masuk untuk membuktikan eksistensi Allah baik secara ontologis, kosmologis, teleologis, moral, maupun etnologis.
Stigmatisasi dan Diskriminasi Terhadap Odha di Maumere dalam Terang Teologi Pemerdekaan Mangunwijaya Selai, Yohanes Pranata; Nahak, Servinus H.
Proceedings of The National Conference on Indonesian Philosophy and Theology Vol 2, No 1 (2024): Proceedings of The National Conference on Indonesian Philosophy and Theology
Publisher : Fakultas Teologi, Universitas Sanata Dharma

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24071/snf.v2i1.8479

Abstract

This article aims to analyze the experiences of stigma and discrimination experienced by People Living with HIV-AIDS (PLWHA) in Maumere-Flores. The authors conducted qualitative research using in-depth interviews and participatory observation at the Flores Plus Support-Maumere Peer Support Group (KDS) from December 2022 to March 2023. Using the concept of Mangunwijaya’s theology of independence, this article analyzes the experiences of the suffering of PLHIV. According to Mangunwijaya, humans must be free from various forms of injustice that degrade their dignity. Two indicators for assessing the struggles of PLWHA are awareness of experiences of oppression and aspirations for self-determination. The results of this study indicate that situations of slavery as opposed to true freedom are still often experienced by PLHIV in Maumere. They are labeled as disgrace person, shunned by their families, or even thrown out of their homes. However, on the other hand, they are also aware of their suffering and try to find a way out of these various traumatic experiences.Abstrak Artikel ini bertujuan untuk menganalisis pengalaman stigma dan diskriminasi yang dialami Orang dengan HIV dan AIDS (ODHA) di Maumere-Flores. Untuk membahas masalah ini penulis melakukan penelitian kualitatif dengan wawancara mendalam dan observasi partisipatoris di Kelompok Dukungan Sebaya (KDS) Flores Plus Support-Maumere dari Desember 2022 s/d Maret 2023. Dengan menggunakan konsep Teologi Pemerdekaan Mangunwijaya artikel ini menganalisis pengalaman penderitaan para ODHA. Menurut Mangunwijaya, manusia harus merdeka dari aneka bentuk ketidakadilan yang merendahkan martabatnya. Dua indikator untuk menilai perjuangan pembebasan para ODHA yakni kesadaran akan pengalaman ketertindasan dan aspirasi untuk menentukan nasib sendiri. Hasil  penelitian ini menunjukkan bahwa situasi perbudakan sebagai lawan dari kemerdekaan sejati masih sering dialami para ODHA di Maumere. Mereka dicap sebagai pembawa aib, dijauhkan keluarga, atau bahkan diusir dari rumah. Namun, di sisi lain, mereka juga sadar akan situasi penderitaan mereka dan berusaha mencari jalan keluar dari berbagai pengalaman traumatis tersebut.
Nilai - Nilai dalam Upacara Penti di Manggarai Ditinjau dari Perspektif Filsafat Moral Kant Laurentius Florido Atu; Yohanes Gekeng Koten
Proceedings of The National Conference on Indonesian Philosophy and Theology Vol 2, No 2 (2024): Proceedings of The National Conference on Indonesian Philosophy and Theology
Publisher : Fakultas Teologi, Universitas Sanata Dharma

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24071/snf.v2i2.8521

Abstract

Each culture has various traditional ceremonies. Traditional ceremonies become one of the entities that perpetuate a culture. Each traditional ceremony has values that want to be preserved and taught to the followers of that culture. The Penti Ceremony in the Manggarai Community, Flores, NTT is one of the pedagogical cultural activities. There are many values to be taught in the ceremony. Therefore, this paper aims to examine the important values contained in the Penti ceremony from the perspective of Immanuel Kant's moral philosophy. This research uses a qualitative approach with ethnographic methods. The results of this study show that the Penti ceremony contains philosophical values that can be interpreted from the perspective of Kant's moral philosophy, such as harmony with God and others. These positive things are important to be raised in order to become material that can be taught to the younger generation through formal and informal schools, such as local content programs.AbstrakSetiap budaya memiliki aneka upacara adat. Upacara adat menjadi salah satu entitas yang melanggengkan sebuah kebudayaan. Masing-masing upacara adat memiliki nilai-nilai yang hendak dilestarikan dan diajarkan kepada para penganut budaya tersebut. Upacara Penti dalam Masyarakat Manggarai, Flores, NTT adalah salah satu kegiatan kebudayaan yang berdaya pedagogis. Ada banyak nilai yang hendak diajarkan dalam upacara tersebut. Oleh karena itu, tulisan ini bertujuan untuk mengkaji nilai-nilai penting yang terkandung dalam upacara Penti ditinjau dari perspektif filsafat moral Immanuel Kant. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode etnografi. Hasil dari studi ini menunjukkan bahwa upacara Penti  mengandung nilai-nilai filosofis yang dapat dimaknai dari perspektif filsafat moral Kant, seperti  keharmonisan dengan Tuhan dan sesama. Hal-hal positif ini penting diangkat guna menjadi bahan yang bisa diajarkan kepada generasi muda melalui  sekolah-sekolah formal dan informal, misalnya program muatan lokal.
Dialog Antar Agama di Pondok Pesantren: Membangun Kesadaran Pluralisme dan Toleransi Beragama Wika Fitriana Putwaningtyas
Proceedings of The National Conference on Indonesian Philosophy and Theology Vol 1, No 1 (2023): Proceedings of The National Conference on Indonesian Philosophy and Theology
Publisher : Fakultas Teologi, Universitas Sanata Dharma

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24071/snf.v1i1.8375

Abstract

This article will discuss the theories of Leonard Swidler and Diana Eck on interreligious dialogue, pluralism, and religious tolerance, and how these two theories can be applied in the context of an Islamic boarding school (Pondok Pesantren). Leonard Swidler's theory emphasizes the importance of interreligious dialogue as a communication process involving mutual respect, mutual learning, and mutual transformation in understanding religious beliefs. The collaborative method developed by Swidler can be used as a framework to facilitate dialogue among students in Pondok Pesantren, with the aim of expanding their understanding of other religions and building better religious tolerance. Eck's theory emphasizes the importance of religious pluralism and recognition of religious diversity. Religious pluralism involves respect for the values found in each religion and the development of an active attitude of religious tolerance. Eck's approach can help students in Pondok Pesantren see diversity as something positive, expand their insights into other religions, and strengthen interfaith relationships. In the context of Pondok Pesantren, interreligious dialogue based on Swidler and Eck's theories plays a crucial role in building awareness of pluralism and religious tolerance. Through interreligious dialogue, students can learn to appreciate religious differences, broaden their perspectives, reduce stereotypes and prejudices, and build harmony among different religious communities within the boarding school. By combining the theories of Swidler and Eck, Pondok Pesantren can become a place that promotes inclusive interreligious dialogue, builds awareness of pluralism, and encourages religious tolerance. Interreligious dialogue in Pondok Pesantren plays a significant role in shaping the younger generation to have a better understanding of other religions and to be able to practice the values of pluralism and religious tolerance in their lives.ABSTRAK Tulisan ini akan membahas teori Leonard Swidler dan Diana Eck tentang dialog antaragama, pluralisme, dan toleransi beragama, serta bagaimana kedua teori ini dapat diterapkan dalam konteks Pondok Pesantren. Teori Leonard Swidler menggarisbawahi pentingnya dialog antaragama sebagai proses komunikasi yang melibatkan saling menghormati, saling belajar, dan saling mengubah dalam memahami perbedaan keyakinan agama. Metode kolaboratif yang dikembangkan oleh Swidler dapat digunakan sebagai kerangka kerja dalam memfasilitasi dialog antar santri di Pondok Pesantren, dengan tujuan memperluas pemahaman mereka tentang agama-agama lain dan membangun toleransi beragama yang lebih baik. Teori Eck menekankan pentingnya pluralisme beragama dan pengakuan terhadap keberagaman agama. Pluralisme beragama melibatkan penghormatan terhadap nilai-nilai yang ada dalam masing-masing agama dan pembangunan sikap toleransi beragama yang aktif. Pendekatan Eck dapat membantu para santri di Pondok Pesantren melihat keberagaman sebagai sesuatu yang positif dan memperluas wawasan mereka tentang agama- agama lain, serta memperkuat hubungan antarumat beragama. Dalam konteks Pondok Pesantren, dialog antaragama berdasarkan teori Swidler dan Eck memiliki peran penting dalam membangun kesadaran pluralisme dan toleransi beragama. Melalui dialog antaragama, para santri dapat belajar untuk menghargai perbedaan keyakinan agama, memperluas wawasan mereka, mengurangi stereotip dan prasangka, serta membangun kerukunan antarumat beragama di dalam pesantren. Dengan menggabungkan teori Swidler dan Eck, Pondok Pesantren dapat menjadi tempat yang mempromosikan dialog antaragama yang inklusif, membangun kesadaran pluralisme, dan mendorong toleransi beragama. Dialog antaragama di Pondok Pesantren memainkan peran penting dalam membentuk generasi muda yang memiliki pemahaman yang lebih baik tentang agama-agama lain, serta mampu menjalankan nilai-nilai pluralisme dan toleransi beragama dalam kehidupan mereka.
Menyelami Filosofi Lonto Leok: Persatuan dan Konsensus dalam Budaya Manggarai Adrianus Musu Sili; Ferdinandus Iswandi; Oktavianus Nefrindo; Carolus Borromeus Mulyatno
Proceedings of The National Conference on Indonesian Philosophy and Theology Vol 2, No 2 (2024): Proceedings of The National Conference on Indonesian Philosophy and Theology
Publisher : Fakultas Teologi, Universitas Sanata Dharma

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24071/snf.v2i2.8514

Abstract

Lonto Léok, a tradition from Manggarai, Indonesia, reflects a significant transformation in the context of unity and communal decisions. Originating from inter-tribal conflicts, this tradition has evolved into a symbol of family unity. In Lonto Léok, formal interaction mechanisms are led by a leader known as "Tu'a Golo," who serves as a facilitator and guides the deliberation process. There are three main stages in Lonto Léok: "caca" (unpack), "cica" (discuss), and "congko" (finalize), reflecting an intensive deliberation process to reach collective agreements. This research aims to elucidate the history, meaning, and mechanisms of Lonto Leok in Manggarai culture while highlighting issues that still need to be addressed. The author adopts a qualitative method based on literature review, interviews, and the author's direct experiences as data sources. The research findings reveal that the shift in the meaning of Lonto Léok from battle to family unity demonstrates cultural adaptability in the face of social change. Lonto Léok represents how the Manggarai community manages conflicts and achieves consensus through deliberation and agreement.AbstrakLonto Léok, sebuah tradisi dari Manggarai, Indonesia, mencerminkan transformasi signifikan dalam konteks persatuan dan keputusan komunal. Tradisi ini, yang berasal dari masa konflik antarsuku, kini menjadi simbol persatuan keluarga. Dalam Lonto Léok, mekanisme interaksi formal dipimpin oleh seorang pemimpin yang dikenal sebagai "Tu'a Golo," yang bertugas sebagai fasilitator dan memandu proses musyawarah. Terdapat tiga tahapan utama dalam Lonto Léok: "caca" (bongkar), "cica" (bahas), dan "congko" (rampung), yang mencerminkan proses musyawarah intens untuk mencapai kesepakatan kolektif.  Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan sejarah, makna, dan mekanisme Lonto Leok dalam budaya Manggarai sambil menyoroti masalah yang masih perlu diatasi. Penulis mengadopsi metode kualitatif dengan berlandaskan pada studi pustaka, wawancara, dan pengalaman langsung penulis sebagai sumber data. Hasil penelitiannya adalah pergeseran makna Lonto Léok dari pertempuran menjadi persatuan keluarga menunjukkan adaptabilitas budaya dalam menghadapi perubahan sosial. Lonto Léok adalah cara masyarakat Manggarai mengelola konflik dan mencapai kesepakatan melalui musyawarah dan konsensus.
Jika Tuhan Tidak Ada, Segala Sesuatu Diperbolehkan? Tinjauan Kritis akan Moralitas Manusia Dihadapan Ateis Kristoforus Akri Deodatus
Proceedings of The National Conference on Indonesian Philosophy and Theology Vol 1, No 1 (2023): Proceedings of The National Conference on Indonesian Philosophy and Theology
Publisher : Fakultas Teologi, Universitas Sanata Dharma

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24071/snf.v1i1.8369

Abstract

This article examines Jean-Paul Sartre's materialistic atheism perspective on the rejection of God's existence and its implications on human freedom and morality. Sartre argues that the existence of God limits human freedom, hence humans must pursue their existence without the presence of God. However, the article also explores criticisms of Sartre's views, indicating that the absence of God in moral thought can lead to ethical dilemmas, especially in the context of law and justice. Additionally, the article discusses Sartre's failure to acknowledge the impact of God's absence on metaphysical authority and human sacred identity. Through its analysis, the author aims to highlight the complexity of the relationship between the existence of God, human freedom, and the foundation of morality. ABSTRAKTulisan ini mengkaji pandangan ateisme materialistik Jean Paul-Sartre terhadap penolakan eksistensi Tuhan dan implikasinya terhadap kebebasan dan moralitas manusia. Sartre berpendapat bahwa keberadaan Tuhan membatasi kebebasan manusia, sehingga manusia harus mengejar eksistensinya tanpa keberadaan Tuhan. Namun, tulisan ini juga mengeksplorasi kritik terhadap pandangan Sartre, menunjukkan bahwa ketiadaan Tuhan dalam pemikiran moral dapat mengarah pada dilema etis, terutama dalam konteks hukum dan keadilan. Selain itu, tulisan ini juga membahas kegagalan Sartre dalam mengakui dampak ketiadaan Tuhan terhadap otoritas metafisik dan identitas sakral manusia. Melalui analisisnya, penulis berusaha untuk menyoroti kompleksitas hubungan antara keberadaan Tuhan, kebebasan manusia, dan fondasi moralitas.
Model Dialog Agama George Lindbeck: Sumbangan bagi Dialog Agama-Agama di Indonesia Lesmana, Iknasius Bayu
Proceedings of The National Conference on Indonesian Philosophy and Theology Vol 2, No 1 (2024): Proceedings of The National Conference on Indonesian Philosophy and Theology
Publisher : Fakultas Teologi, Universitas Sanata Dharma

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24071/snf.v2i1.8495

Abstract

The main concerns of the postmodern Christian theological movement is to return to a special Christian identity and be clear in assessing the peculiarities of other religions. This study aims to describe George Lindbeck's theory about interreligious dialogue. The method used is literature study. Through this study, it can be understood that George Lindbeck was a Lutheran theologian who was sensitive to the development of postmodern Christian theology. His new approach is known as the cultural-linguistic approach. Cultural-linguistic theory invites everyone to be able to have a casual dialogue, according to their respective views, exchange of experience, learn, and cooperate. George Lindbeck's theological ideas and dialogues are relevant for Indonesians who have cultural and religious diversity. The main task of a Christian in dialogue is to explain himself as a Christian. In addition, a Christian must also be willing to give himself to learn the language game that his dialogue partner has. This way of dialogue can minimize the doctrinal debate that has been going on in Indonesia.AbstrakPerhatian utama gerakan teologi Kristen postmodern adalah kembali kepada identitas khusus Kristiani dan jernih dalam menilai kekhasan agama-agama lain. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan teori George Lindbeck mengenai dialog agama-agama. metode yang digunakan adalah studi pustaka. Melalui penelitian ini, dapat dipahami bahwa George Lindbeck adalah teolog Lutheran yang peka akan perkembangan teologi Kristen postmodern. Pendekatan barunya dikenal sebagai pendekatan kultural-linguistik. Teori kultural-linguistik mengundang semua orang untuk dapat melakukan dialog secara santai, sesuai dengan pandangan masing-masing, saling bertukar pengalaman, belajar, dan bekerja sama. Gagasan teologi dan dialog George Lindbeck ini relevan bagi bangsa Indonesia yang memiliki keanekaragaman kultural dan agama. Tugas utama seorang Kristiani yang sedang berdialog itu adalah menjelaskan dirinya sendiri sebagai umat Kristiani. Seorang Kristiani juga harus mau memberi diri untuk mempelajari language game yang dimiliki mitra dialognya. Cara dialog ini dapat meminimalisir perdebatan doktrin yang selama ini terjadi di Indonesia.
Green konsumerisme Sebagai Kritik Terhadap Peran Manusia Dalam Gerakan Lingkungan Nur Berlian
Proceedings of The National Conference on Indonesian Philosophy and Theology Vol 2, No 2 (2024): Proceedings of The National Conference on Indonesian Philosophy and Theology
Publisher : Fakultas Teologi, Universitas Sanata Dharma

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24071/snf.v2i2.8506

Abstract

As public awareness and government pressure increases, industries are undertaking "green marketing" efforts. Green marketing is a combination of activities, including product modifications, changes to the production process, packaging changes, and advertising modifications to promote environmentally friendly products (Mishra and Sharma, 2014). Green marketing seeks to tempt green consumers in an effort to expand the market and increase profits. Environmentally friendly production practices are no longer seen as an obligation, but rather as a strategic business tactic that is profitable. Thus, green consumerism is part of green capitalism that seeks to reduce environmental impacts by utilizing market forces and profit motives (Scales, 2014). Scales also adds that green consumerism refers to the formation of a new commodity fetishism, whose impact is greater than it seems. Because in trying to provide information about the "greenness" of a product, green consumerism simplifies what green is. Environmental impacts are simplified and abstract concepts such as "green" are reduced to labels, symbols and metrics. This can direct consumers' focus to one issue and forget about others. Departing from the facts above, this paper will provide an understanding of how biased the role of humans in environmental preservation is today. Using descriptive qualitative research methods by focusing on literature reviews and research data from journals and documentary videos related to invisible hand practices and the ecogreen industry.AbstrakSeiring dengan meningkatnya kesadaran publik dan tekanan oleh pemerintah, industri pun melakukan usaha “pemasaran  hijau”.  Pemasaran  hijau adalah gabungan berbagai kegiatan, termasuk modifikasi produk, perubahan pada proses produksi, perubahan kemasan, dan modifikasi iklan untuk mempromosikan produk yang ramah lingkungan (Mishra dan Sharma, 2014). Pemasaran hijau berusaha menggoda konsumen hijau dalam upaya perluasan pasar dan peningkatan profit. Praktik produksi yang ramah lingkungan tidak lagi dilihat sebagai kewajiban, tetapi justru sebagai taktik bisnis yang strategis yang menguntungkan. Dengan demikian, konsumerisme hijau merupakan bagian dari kapitalisme hijau yang berupaya mengurangi dampak lingkungan dengan memanfaatkan kekuatan pasar dan motif laba (Scales, 2014). Scales turut menambahkan bahwa konsumerisme hijau justru mengacu pada terbentuknya fetisisme komoditas baru, yang dampaknya lebih besar dari yang terlihat. Karena dalam usaha untuk memberikan informasi mengenai “kehijauan” suatu produk, konsumerisme hijau melakukan simplifikasi mengenai  apa  itu  hijau.  Dampak  terhadap lingkungan  dijadikan  sederhana dan konsep-konsep abstrak seperti“ramah lingkungan ”direduksi menjadi label, simbol,dan metrik. Hal ini dapat mengarahkan fokus konsumen ke satu isu dan melupakan yang lainnya. Berangkat dari fakta tersebut diatas maka Tulisan ini akan memberikan pemahaman terkait bagaimana bias peran manusia dalam pelestarian lingkungan saat ini. Menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif dengan berfokus pada tinjauan pustaka dan data penelitian  dari jurnal serta  video dokumenter terkait praktik invisible hand dan industri ecogreen.