cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota tangerang selatan,
Banten
INDONESIA
'ADALAH
ISSN : -     EISSN : -     DOI : -
Core Subject : Social,
ADALAH is “one of the ten most influential law journals in the world, based on research influence and impact factors,” in the Journal Citation Reports. ADALAH also publishes student-written work.Adalah publishes pieces on recent developments in law and reviews of new books in the field. Past student work has been awarded the International Law Students Association’s Francis Deak Prize for the top student-written article published in a student-edited international law journal.
Arjuna Subject : -
Articles 430 Documents
Sistem Pemerintahan Presidensial Negara Federasi Rusia Nur Rohim Yunus
ADALAH Vol 1, No 8 (2017)
Publisher : UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (746.886 KB) | DOI: 10.15408/adalah.v1i8.9122

Abstract

Rusia dengan nama resmi Rossiyskaya  Federatsiya (Russian Federation) adalah negara terluas di dunia yang wilayahnya terbentang dari Eropa Timur hingga Asia bagian Utara. Luas wilayahnya hampir sama dengan luas planet Pluto yang mencapai 17.075.200 km (tujuh belas juta tujuh puluh lima ribu dua ratus) kilometer persegi. Sebelum menjadi negara independen dari Uni Soviet, rezim Soviet menguasai Rusia dan Eropa Timur dengan sistem Sosialis. Pemimpin pertama Uni Soviet pada saat itu yaitu Vladimir Lenin membentuk negara Soviet berpaham sosialis komunis yang artinya tidak ada kepemilikan pribadi, dan segala kegiatan ekonomi masyarakat diatur dan diawasi oleh pemerintah pusat. Namun setelah runtuhnya Uni Soviet di tahun 1991, pemimpin Rusia saat itu lebih condong ke arah paham demokrasi, sehingga berubahlah haluan Rusia menjadi negara Federal berpaham Demokrasi Republik dan terbentuklah sistem pemerintahan Presidensial. Didalamnya Rusia menerapkan pembagian kekuasan yang terpisah antara kekuasaan Yudikatif, eksekutif, dan legislatif dengan tugas pokok pada masing-masing yang berbeda.
Sejarah Politik Identitas dan Nasionalisme di Indonesia Zahrotunnimah Zahrotunnimah
ADALAH Vol 2, No 10 (2018)
Publisher : UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (576.853 KB) | DOI: 10.15408/adalah.v2i10.9437

Abstract

Salah satu artikel menarik terkait Politik identitas dan nasionalisme, memberikan pencerahan terkait sejarah politik identitas dan nasionalisme di Indonesia. Apalagi politik identitas dan nasionalisme mendapat ruang yang sangat istimewa beberapa tahun belakangan ini, baik dalam praktek maupun studi keilmuan di bidang politik dan sosiologi. Salah satu pelajaran yang dapat dipahami adalah bahwa dalam studi pasca-kolonial, sebenarnya politik identitas dan sosiologi sudah lama digeluti. Bisa dikatakan bahwa para Pemikir seperti Ania Loomba, Homi K. Bhabha dan Gayatri C Spivak adalah nama-nama yang mendalami hal tersebut.
Pola Operasionalisasi Politik Identitas di Indonesia Zahrotunnimah Zahrotunnimah
ADALAH Vol 2, No 11 (2018)
Publisher : UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (621.976 KB) | DOI: 10.15408/adalah.v2i11.9438

Abstract

Politik Identitas merupakan pemanfaatan manusia secara politis yang mengutamakan kepentingan sebuah kelompok karena persamaan identitas yang mencakup ras, etnis, dan gender, atau agama tertentu. Politik ini kerap digunakan di masa lampau. Sebagai Contoh Adolf Hitler yang meyakinkan orang-orang Jerman bahwa sumber krisis ekonomi dan kekalahan perang dunia adalah karena pengaruh orang-orang Yahudi. Dengan janji-janji manis untuk membesarkan Jerman pada saat itu, Hitler bersama partainya berhasil memenangkan pemilu di tahun 1932. Solusi yang ia tawarkan adalah melenyapkan orang Yahudi dan janji itulah yang dijual dan dibeli sebagian besar Rakyat Jerman. Sehingga mengakibatkan tragedi yang terjadi di Jerman pada saat Nazi berkuasa. Enam juta orang Yahudi menjadi korban kekejaman politik identitas dan itu menjadi salah satu peristiwa genosida terburuk yang tercatat dalam sejarah dunia.Di Indonesia politik Identitas lebih terkait dengan etnisitas, agama, ideologi dan kepentingan-kepentingan lokal yang diwakili umumnya oleh para elit politik dengan artikulasinya masing-masing (Ma’arif, 2012: 55-100). Gerakan pemekaran daerah atau pergantian kekuasaan pemerintahan diantaranya menjadikan politik identitas sebagai salah satu alat politiknya. Isu-isu tentang keadilan dan pembangunan daerah menjadi sangat sentral dalam wacana politik mereka, sehingga lebih banyak dipengaruhi oleh ambisi para elit lokal untuk tampil sebagai pemimpin, yang hal ini merupakan masalah yang tidak selalu mudah dijelaskan.Lalu bagaimana pola-pola operasionalisasi politik identitas ini terjadi? Hal tersebut dapat terlihat pada realitas yang terjadi di masyarakat Indonesia saat ini, selain karenanya banyaknya benturan berbagai kepentingan dan fenomena ego sektoral masyarakat.Penulis mengurasi pola-pola operasionalisasi politik identitas ini ke dalam tiga komponen yaitu: Pertama, operasionalisasi politik identitas dimainkan peranannya secara optimal melalui roda pemerintahan. Hal ini sejalan dengan bergesernya pola sentralisasi menjadi desentralisasi, dimana pemerintah daerah diberi kewenangan untuk mengatur rumah tangganya sendiri dan pengakuan politik dalam pemilihan kepala daerah oleh konstituen di daerah masing-masing. Disisi lain tentu memiliki nilai positif dalam hal ini bagaimana pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk mengatur dan memaksimalkan potensi daerah yang dimilikinya, akan tetapi di lain pihak tentu bisa menimbulkan keresahan apabila identitas politik kedaerahannya diangkat dalam panggung politik.Kedua, dimana wilayah agama sebagai lahan beroperasinya politik identitas. Wilayah kedua inipun banyak dilakukan di berbagai belahan dunia manapun. Akan tetapi dalam konteks Indonesia, politik identitas terkadang dilakukan oleh kelompok mainstream, yaitu kelompok agama mayoritas dengan kaum minoritas. Hal ini bisa saja sama terjadi dimanapun. Kemudian disusul dengan munculnya gerakan-gerakan radikal atau semi radikal yang mengatasnamakan agama tersebut. Ketiga, politik identitas pada ranah wilayah hukum. Dalam Wilayah ini ibarat pisau bermata dua. Karena yang dimaksud dengan wilayah hukum disini adalah wilayah paduan antara wilayah negara dan agama, karena masing-masing memiliki aturannya sendiri. Disisi lain, politik identitas beroperasi dengan cara pembagian kekuasaan, di mana identitas kelompok akan memasukkan kepentingan identitasnya secara partikular. Akan tetapi hal ini, kemungkinan tidak akan terjadi, jika kepentingan dari politik identitas etnis yang bersifat minoritas tidak terjembatani melalui pengakuan hak-haknya untuk berpartisipasi di wilayah pembuatan keputusan hukum secara bersama.Tentu tidak dapat dibayangkan betapa nilai keragaman di Indonesia akan sangat dipertaruhkan, dan benturan-benturan akan terus berkembang di kalangan masyarakat. Kecenderungan politik identitas telah mendistorsi wawasan kebangsaan yang secara perlahan dibangun oleh bangsa Indonesia. Dengan demikian Multikulturalisme dalam ikatan persatuan dan kesatuan sebagai modal dasar tumbuhnya nasionalisme tidak pernah tuntas dalam proses pendefinisian tentang identitas ke-Indonesiaan.Semoga Tulisan ini memunculkan kesadaran bagi kita semua betapa mahal artinya sebuah perjuangan dalam menegakan pilar persatuan dan kesatuan Indonesia yang termaktub dalam sebuah ideologi Nasionalisme. Semoga cita-cita mulia para pemuda indonesia diawal perjuangannya dalam mendirikan bangsa ini tetap terpelihara dengan baik. Semoga tulisan ini bisa membawa kesadaran dan kedewasaan khususnya bagi penulis dan juga pembacanya. Wallahu’alamu bisshowaab. Kazan, 6 Oktober 2018.
Faktor Pendorong Terjadinya Insurgensi Di Suatu Wilayah Sekar Hapsari
ADALAH Vol 2, No 9 (2018)
Publisher : UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (532.09 KB) | DOI: 10.15408/adalah.v2i9.9435

Abstract

Insurgensi merupakan salah satu wujud peperangan asimetris. Fenomena gerakan insurgensi pada prinsipnya adalah perjuangan politik yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat dalam suatu wilayah negara terhadap pemerintah yang memiliki suatu otoritas yang berdaulat. Insurjensi merupakan pergerakan politik sebagai hasil dari ketidakpuasan dan penolakan dari kebijakan-kebijakan yang ditetapkan oleh suatu pemerintah atau negara. Gerakan insurjensi juga memiliki akar permasalahan yang kompleks dan berbeda-beda serta dilakukan dalam berbagai bentuk.
Hati-Hati Intelijen Pemilu Andrian Habibi
ADALAH Vol 3, No 1 (2019): Keadilan Hukum & Pemerintahan
Publisher : UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (999.045 KB) | DOI: 10.15408/adalah.v3i1.10908

Abstract

Abstract:The Ministry of Home Affairs Through the Director General of Politics and Public Administration conducts a series of activities to counteract any potential threats, obstacles, and disruptions to the implementation of General Elections in Indonesia. The expert team identified three electoral vulnerabilities in an area, namely: vulnerability to suffrage, the existence of disputes in the form of election objections adjudication, minority representation, public participation, candidate participation, election supervision, gender rights, campaigns, voter participation and voting. Therefore, Kominda is a form of prevention of the indication of vulnerability.Keywords: Kominda, Election, Ministry of Home Affairs Abstrak:Kementerian Dalam Negeri Melalui Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum melakukan serangkaian kegiatan guna menangkal segala potensi ancaman, hambatan, dan gangguan terhadap terselenggaranya Pemilihan Umum di Indonesia. Tim ahli mengidentifikasi ada tiga kerawanan pemilu pada suatu daerah, yaitu: kerawanan hak pilih, adanya sengketa berupa ajudikasi keberatan pemilu, representasi minoritas, partisipasi publik, partisipasi kandidat, pengawasan pemilu, hak gender, kampanye, partisipasi pemilih dan pelaksanaan pemungutan suara. Oleh karena itu dilakukan Kominda sebagai bentuk pencegahan indikasi kerawanan tersebut.Kata Kunci: Kominda, Pemilu, Kemendagri 
Implementasi Green Constitution Demi Mewujudkan Kehidupan Sehat dan Sejahtera Latipah Nasution
ADALAH Vol 3, No 1 (2019): Keadilan Hukum & Pemerintahan
Publisher : UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1137.164 KB) | DOI: 10.15408/adalah.v3i1.10929

Abstract

Abstract:The obligation of every human being is to keep the environment green. Healthy humans are people who value their environment. The Constitution of the Republic of Indonesia has stipulated in Article 28h paragraph (1) that "Every person has the right to live in an inner and outer prosperity, to live and get a good and healthy environment and the right to receive health services."This means that there is a legal guarantee for everyone who lives in the territory of Indonesia to get a healthy and green environment. Therefore this paper analyzes the extent of the role and contribution of various groups in the creation of the green environment.Keywords: Green Environment, Green Constitution, Healthy Environment Abstrak:Menjaga lingkungan hidup tetap hijau merupakan kewajiban dari setiap manusia. Manusia yang sehat adalah manusia yang menghargai lingkungannya. Konstitusi Republik Indonesia telah mengatur dalam pasal 28h ayat (1) bahwa “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” Artinya ada jaminan hukum bagi setiap orang yang hidup di wilayah Indonesia untuk mendapatkan lingkungan yang sehat dan hijau. Oleh karenanya tulisan ini mengalisis sejauh mana peran dan kontribusi berbagai kalangan dalam penciptaan lingkungan hijau tersebut.Kata Kunci: Lingkungan Hijau, Green Konstitusi, Lingkungan Sehat 
Kebebasan Beragama Bagi kaum Muslimin Di Negeri Jerman Zahrotunnimah Zahrotunnimah
ADALAH Vol 3, No 1 (2019): Keadilan Hukum & Pemerintahan
Publisher : UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (892.076 KB) | DOI: 10.15408/adalah.v3i1.10947

Abstract

Abstract:Freedom of religion and worship is a basic right for every human being. So is the German Muslim community, which is the third largest religion in Germany after Catholicism and Protestantism. The German government has guaranteed the same freedom and equality for citizens and immigrants who are Muslim to carry out religious activities, even given the right to enter the Islamic curriculum in teaching in schools. Freedom which tends to be hard to find in the plains of Europe is now starting to open up. This paper wants to conduct elaborative research on the extent of religious freedom in Germany, especially for Muslims.Keywords: Freedom, Islam, Germany Abstrak:Kebebasan beragama dan menjalankan ibadah merupakan hak asasi bagi setiap manusia. Begitu pula dengan komunitas muslim Jerman yang merupakan agama terbesar ketiga di Jerman setelah Katolik dan Protestan, Pemerintah Jerman telah memberikan jaminan kebebasan dan kesetaraan yang sama bagi warga negara dan pendatang yang beragama Islam untuk melakukan kegiatan keagamaan, bahkan diberikan hak untuk memasukkan kurikulum agama Islam dalam pengajaran di sekolah-sekolah. Kebebasan yang cenderung susah didapatkan di dataran eropa saat ini sudah mulai terbuka. Tulisan ini ingin melakukan riset elaboratif sejauhmana kebebasan beragama di Jerman, khususnya bagi umat Islam.Kata Kunci: Kebebasan, Islam, Jerman   
Polemik Pengungsi dan Pencari Suaka di Indonesia Siti Nurhalimah
ADALAH Vol 1, No 9 (2017)
Publisher : UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (591.906 KB) | DOI: 10.15408/adalah.v1i9.11327

Abstract

Peperangan dan kejahatan kemanusiaan lainnya di berbagai belahan dunia tidak kunjung berhenti terjadi hingga saat ini. Hal ini tentu menimbulkan rasa takut dan ketidaknyamanan terhadap masyarakat pada negara-negara yang mengalami permasalahan tersebut. Akibat rasa takut serta ketidaknyamanan tersebutlah, mereka terpaksa mencari perlindungan (suaka) serta mengungsi ke negara-negara tertentu, untuk dapat bertahan hidup sampai konflik di negara asalnya berakhir. Keadaan tersebut telah menjadikan mereka layak untuk disebut sebagai pengungsi dan pencari suaka, serta layak berada di bawah naungan UNHCR.Para pengungsi dan pencari suaka tersebut, mencari perlindungan pada negara-negara yang telah meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol 1967 atau yang sering disebut sebagai negara ketiga, namun hal ini tentu tidaklah mudah. Sebelum para pengungsi dan pencari suaka ditempatkan oleh UNHCR di negara ketiga, tidak jarang para pengungsi dan pencari suaka harus singgah terlebih dahulu di negara transit, salah satunya Indonesia. Kesulitan lain yang dialami para pengungsi dan pencari suaka tersebut ialah bahwa mereka harus menunggu waktu yang cukup lama sampai mereka ditempatkan ke negara ketiga atau dipulangkan ke negara asalnya. Maka selama waktu mereka singgah di negara transit seperti Indonesia, Indonesialah yang harus melindungi para pengungsi dan pencari suaka tersebut. Hal ini sebagaimana yang diamanatkan oleh Konvensi 1951 dan Protokol 1967, bahwa semua pengungsi itu wajib dilindungi oleh setiap negara, baik negara tujuan maupun negara tempat transit para pengungsi international (Setiyono, 2017: 280).
Kewenangan Melakukan Pembebasan Narapidana Oleh Presiden Siti Romlah
ADALAH Vol 3, No 1 (2019): Keadilan Hukum & Pemerintahan
Publisher : UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1300.157 KB) | DOI: 10.15408/adalah.v3i1.11266

Abstract

Abstract:Conditional release of prisoners can be given when the convict has fulfilled the terms and conditions that apply in article 82 of Permenkumham Number 3 Year 2018. However, problems arise when the president takes the initiative to provide parole to prisoners, especially terrorism prisoners. Even though there are no provisions in the president's prerogative provisions that directly give authority to the president to be able to release prisoners, except the provisions that require prisoners to file clemency, amnesty, abolition and rehabilitation. Because of this, in this simple article the author conducted a discussion.Keywords: Conditional Release, President's Authority, Terrorism Abstrak:Pembebasan bersyarat terhadap narapidana dapat diberikan pada saat terpidana telah memenuhi syarat dan ketentuan yang berlaku pada pasal 82 Permenkumham Nomor 3 Tahun 2018. Namun, permasalahan muncul pada saat presiden berinisiatif untuk memberikan pembebasan bersyarat terhadap narapidana khususnya narapidana terorisme. Padahal dalam ketentuan mengenai hak prerogatif presiden tidak ada ketentuan yang secara langsung memberikan kewenangan kepada presiden untuk dapat membebaskan narapidana. Kecuali ketentuan yang mensyaratkan narapidana mengajukan grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi. Karena hal inilah, dalam artikel sederhana ini penulis melakukan pembahasan. Kata Kunci: Pembebasan Bersyarat, Kewenangan Presiden, Terorisme   
Frase ‘Antara Lain’ Sebagai Awal Alasan Yang Lain Dalam Pembatalan Putusan Arbitrase Siti Romlah
ADALAH Vol 1, No 9 (2017)
Publisher : UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (382.821 KB) | DOI: 10.15408/adalah.v1i9.11328

Abstract

Manusia adalah makhluk sosial yang selalu membutuhkan manusia lainnya untuk bertahan hidup.Oleh sebab itulah Aristoteles menyebut manusia dengan “zoon politicon.” Memang menjadi sesuatu yang tidak dapat dipungkiri lagi, bahwa manusia memang tidak akan mampu untuk hidup sendiri, mereka akan mencari teman yang akan membantu diri mereka untuk memenuhi kebutuhan mereka. Namun, dalam dinamika sosial tersebut, manusia tak jarang untuk mengedepankan kebutuhan mereka dibanding dengan manusia lainnya, karena sifat egosentris yang mereka miliki.Karena itu juga Thomas Hobbes menyebut manusia dengan Homo Homini Lupus (manusia adalah serigala bagi manusia yang lainnya). Sifat egosentris merekalah yang terkadang menimbulkan perbedaan dan perselisihan antar sesama manusia, atau yang disebut dengan sengketa.Sengketa dalam KBBI edisi V diartikan dengan perbedaan pendapat, pertikaian, perselisihan. Terdapat dua macam cara untuk menyelesaikan suatu sengketa, yaitu penyelesaian sengketa melalui pengadilan (litigasi) dan penyelesaian sengketa diluar pengadilan (non-litigasi). Penyelesaian sengketa melalui pengadilan (litigasi) adalah suatu proses penyelesaian sengketa, dimana kedua pihak yang saling bersengketa dihadapkan atau penyelesaian sengketanya dilakukan di pengadilan (Winarta, 2012: 1-2). Sedangkan yang dimaksud dengan penyelesaian sengketa di luar pengadilan adalah proses penyelesaian sengketa yang dilakukan di luar pengadilan.  Penyelesaian sengketa di luar pengadilan menurut Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 dapat berbentuk konsultasi, negosiasi, konsiliasi, arbitrase, dan mediasi.Arbitrase merupakan salah satu bentuk penyelesaian di luar pengadilan. Dalam pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 menyebutkan bahwa arbitrase adalah suatu cara penyelesaian sengketa di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Kekuatan dari putusan arbitrase juga final dan binding, serta dilakukan secara tertutup, sehingga banyak pelaku-pelaku usaha yang lebih memilih untuk menyelesaikan sengketa mereka dengan menggunakan arbitrase. Hal tersebut terjadi karena banyak perusahaan-perusahaan yang ingin menjaga nama baik perusahaan mereka. Muhammad Ardyansah dalam tulisannya menyebutkan bahwa:“...tidak semua putusan yang dihasilkan melalui arbitrase akan memberikan kepuasan kepada para pihak. Ada kalanya putusan arbitrase tidak dilaksanakan secara sukarela oleh para pihak. Hal itu bisa disebabkan karena ada hal-hal dalam putusan sengketa diragukan keabsahannya atau ada alasan lain. Dalam hal ini, pengadilan memiliki peran yang besar dalam mengembangkan arbitrase (Andriansyah, 2014: 332).”Hal-hal yang dapat menjadi alasan untuk mengajukan pembatalan putusan arbitrase, telah diatur dalam pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, yaitu, pertama; adanya surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diketahui ternyata dokumen atau surat tersebut palsu atau dinyatakan palsu; kedua, setelah adanya putusan arbitrase, ternyata ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh salah satu  pihak; ketiga, setelah adanya putusan arbitrase, ternyata diketahui bahwa terdapat tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa. Namun, yang menjadi permasalahan adalah dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 menyebutkan unsur-unsur yang diperlukan untuk melakukan pembatalan putusan arbitrase, dengan frasa “antara lain.”Ilhami Ginang Pratidina menyebutkan dalam tulisannya “Frase ‘antara lain’ memiliki makna yang identik dengan terminologi ‘inter alia’ yang berarti ‘[a]mong other things’ atau menyebut sebagian saja dari beberapa yang lain” (Pratidina, 2014: 311). Hal ini memberikan implikasi bahwa selain dari pada yang disebut dalam pasal 70 tersebut, berarti ada hal-hal lain yang dapat menjadi alasan lain untuk membatalkan putusan arbitrase. Dalam kenyataan, hal tersebut sudah pernah terjadi dan menjadi pertimbangan hukum majelis hakim Mahkamah Agung dalam perkara No. 03/Arb.Btl/2005 tanggal 17 Mei 2006.Frasa ‘antara lain’ tersebut sebaiknya harus segera diubah, agar nantinya tidak sembarangan dipergunakan untuk memasukkan alasan-alasan lain yang dapat membatalkan putusan arbitrase. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 harus segera di revisi, bukan hanya permasalahan ini, namun juga dikarnakan banyak pasal-pasal yang sudah tidak sesuai lagi dengan perubahan zaman yang terjadi.

Page 9 of 43 | Total Record : 430


Filter by Year

2017 2025


Filter By Issues
All Issue Vol. 9 No. 6 (2025) Vol 9, No 6 (2025) Vol 8, No 6 (2024) Vol. 8 No. 6 (2024) Vol. 8 No. 5 (2024) Vol 8, No 5 (2024) Vol 8, No 4 (2024) Vol. 8 No. 4 (2024) Vol. 8 No. 3 (2024) Vol 8, No 3 (2024) Vol. 8 No. 2 (2024) Vol 8, No 1 (2024) Vol. 8 No. 1 (2024) Vol. 7 No. 6 (2023) Vol 7, No 6 (2023) Vol. 7 No. 5 (2023) Vol 7, No 5 (2023) Vol 7, No 4 (2023) Vol. 7 No. 4 (2023) Vol. 7 No. 3 (2023) Vol 7, No 3 (2023) Vol 7, No 2 (2023) Vol. 7 No. 2 (2023) Vol. 7 No. 1 (2023) Vol 7, No 1 (2023) Vol 6, No 6 (2022) Vol 6, No 5 (2022) Vol 6, No 4 (2022) Vol 6, No 3 (2022) Vol 6, No 2 (2022) Vol 6, No 1 (2022) Vol. 5 No. 6 (2021) Vol 5, No 6 (2021) Vol 5, No 5 (2021) Vol. 5 No. 5 (2021) Vol. 5 No. 4 (2021) Vol 5, No 4 (2021) Vol 5, No 3 (2021) Vol. 5 No. 3 (2021) Vol. 5 No. 2 (2021) Vol 5, No 2 (2021) Vol. 5 No. 1 (2021) Vol 5, No 1 (2021) Vol 4, No 1 (2020): Coronavirus Covid-19 Vol 4, No 1 (2020): Spesial Issue Covid-19 Vol 4, No 4 (2020): Keadilan Masyarakat Vol 4, No 3 (2020): Keadilan Hukum & Pemerintahan Vol 4, No 2 (2020): Keadilan Sosial & Politik Vol 3, No 6 (2019): Philosophy of State Vol. 3 No. 6 (2019): Philosophy of State Vol. 3 No. 5 (2019): Budaya Hukum Masyarakat Rusia Vol 3, No 5 (2019): Budaya Hukum Masyarakat Rusia Vol. 3 No. 4 (2019): Keadilan Sosial & Politik Vol 3, No 4 (2019): Keadilan Sosial & Politik Vol. 3 No. 3 (2019): Keadilan Budaya & Masyarakat Vol 3, No 3 (2019): Keadilan Budaya & Masyarakat Vol 3, No 2 (2019): Keadilan Negara & Konstitusi Vol. 3 No. 2 (2019): Keadilan Negara & Konstitusi Vol 3, No 1 (2019): Keadilan Hukum & Pemerintahan Vol. 3 No. 1 (2019): Keadilan Hukum & Pemerintahan Vol 2, No 11 (2018) Vol 2, No 10 (2018) Vol 2, No 9 (2018) Vol 2, No 8 (2018) Vol 2, No 7 (2018) Vol 2, No 6 (2018) Vol 2, No 5 (2018) Vol 2, No 4 (2018) Vol 2, No 3 (2018) Vol 2, No 2 (2018) Vol 2, No 1 (2018) Vol 1, No 12 (2017) Vol 1, No 11 (2017) Vol 1, No 10 (2017) Vol 1, No 9 (2017) Vol 1, No 8 (2017) Vol 1, No 7 (2017) Vol 1, No 6 (2017) Vol 1, No 5 (2017) Vol 1, No 4 (2017) Vol 1, No 3 (2017) Vol 1, No 2 (2017) Vol 1, No 1 (2017) More Issue