Claim Missing Document
Check
Articles

Found 25 Documents
Search

INTEGRASI FIQH DAN USUL FIQH DALAM KASUS BATAS UMUR PERNIKAHAN Rohman, Holilur
The Indonesian Journal of Islamic Family Law Vol 5 No 1 (2015): Juni 2015
Publisher : Program Studi Hukum Keluarga Islam Fakultas Syariah dan Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Abstract: The universal and integral understanding of the Islamic law need an integrative effort between jurisprudence (fiqh) and legal maxim (usul fiqh) in an applicable form. Both have a close relationship in building the foundation and overall material of jurisprudence. Theoretically, legal maxim is an Islamic legal reasoning method that would later raise the jurisprudential material. Therefore, to understand and respond the social problem of Islamic law, the integration between jurisprudence and legal maxim is absolutely needed. The only partial understanding of Islamic law by simply studying its product as written in some classical books of fiqh will certainly make it uprooted from its own historical aspect. While implementing Islamic law merely rooted from its methodology cannot comprehensively catch the chain of Islamic legal thought. It is, therefore, a necessary to integrate between fiqh and usul fiqh to have an integral understanding of Islamic law. This study focuses to realize such effort with a specific discussion on the case of marriage age limit under the maslahah mursalah perspective. The result of the integration of fiqh and usul fiqh is that the minimum age of conducting marital contract based on Islamic law in Indonesia is sixteen years old for woman and nineteen years old for man.Abstrak: Memahami hukum Islam secara universal integral memerlukan upaya integrasi antara fiqh dan ushul fiqh dalam bentuk aplikatif. Keduanya memiliki korelasi erat dalam membangun aturan formil dan materil hukum Islam. Secara teoritis, ushul fiqh merupakan metode penalaran hukum Islam yang kemudian akan melahirkan fiqh. Oleh karena itu, untuk memahami dan menanggapi masalah sosial hukum Islam, integrasi antara ushul fiqh dan fiqh mutlak diperlukan. Mempelajari hukum Islam dengan hanya bermodal pemahaman fiqh seperti yang ditulis dalam beberapa buku klasik fiqh tentu akan membuatnya tercerabut dari aspek historis sendiri. Sementara menerapkan hukum Islam hanya berakar dari metodologinya tidak dapat secara komprehensif menangkap rantai pemikiran hukum Islam. Oleh karena itu, diperlukan upaya mengintegrasikan antara fiqh dan ushul fiqh agar memiliki pemahaman integral dari hukum Islam. Penelitian ini berfokus untuk mewujudkan upaya tersebut dengan pembahasan khusus pada kasus batas usia perkawinan di bawah perspektif maslahah mursalah. Hasil integrasi fiqh dan ushul fiqh yang dilakukan menghasilakan kesimpulan bahwa usia minimal melakukan perkawinan berdasarkan hukum Islam di Indonesia adalah enam belas tahun untuk perempuan dan Sembilan belas tahun laki-laki.
Batas Usia Ideal Pernikahan Perspektif Maqasid Shariah Rohman, Holilur
Journal of Islamic Studies and Humanities Vol 1, No 1 (2016)
Publisher : UIN Walisongo Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1701.933 KB) | DOI: 10.21580/jish.11.1374

Abstract

An ideal marriage is a marriage that able to achieve the goal of becoming a family wedding sakinah, mawaddah warahmah. Al-Quran and Sunnah did not explain in detail about the limitations of marriageable age. There are three perspectives on the age limit to get married in Indonesia, first, the perspective of Islamic law, the second law No. 1 in 1974 allow a woman to get married at the age of 16 and men at age 19, the third, BKKBN which advocated age at marriage ideal namely the minimum age for women 21 years and for men 25 years old.But in different perspective, the ideal age of marriage maqasid shariah perspective for women 20 years and for men 25 years, because at this age considered to have been able to realize the goal wedding (maqasid shariah) such as: creating a family sakinah mawaddah wa rahmah, keeping the lineage, maintaining the pattern of family relationships, maintaining diversity and deemed ready in terms of economic, medical, psychological, social, religious.* * *Pernikahan yang ideal adalah pernikahan yang mampu mencapai tujuan pernikahan menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Al-Qur’an dan as-Sunnah menjelaskan secara rinci tentang batasan usia menikah. Ada tiga perspektif mengenai batas usia menikah di Indonesia, pertama, perspektif hukum Islam, kedua, undang-undang no 1 1974 mengijinkan seorang perempuan menikah pada usia 16 tahun dan laki-laki pada usia 19 tahun, ketiga, BKKBN yang menganjurkan usia kawin yang ideal yaitu usia minimal bagi perempuan 21 tahun dan bagi laki-laki 25 tahun.. Akan tetapi usia ideal perkawinan perspektif maqasid shari’ah adalah bagi perempuan 20 tahun dan dan bagi laki-laki 25 tahun, karena pada usia ini dianggap telah mampu merealisasikan tujuan-tujuan pensyariatan pernikahan (maqasid shari’ah) seperti: menciptakan keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah, menjaga garis keturunan, menjaga pola hubungan keluarga, menjaga keberagamaan dan dipandang siap dalam hal aspek ekonomi, medis, psikologis, sosial, agama. 
REINTERPRETASI KONSEP MAHRAM DALAM PERJALANAN PEREMPUAN PESPEKTIF HERMENEUTIKA FAZLUR RAHMAN Rohman, Holilur
The Indonesian Journal of Islamic Family Law Vol 7 No 2 (2017): Desember 2017
Publisher : Program Studi Hukum Keluarga Islam Fakultas Syariah dan Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (822.649 KB)

Abstract

Membahas persoalan perempuan seakan tidak ada habisnya. Setiap sudut perempuan mengundang diskusi yang harus dilakukan secara mendalam, termasuk persoalan hadis-hadis Nabi yang menjelaskan tentang keharusan adanya mahrom bagi perempuan ketika mau mengadakan perjalanan. Di satu sisi keharusan tersebut berdampak positif demi keamanan dan perlindungan perempuan, tapi di sisi lain mengundang problem karena dinamika kehidupan perempuan zaman sekarang yang mengharuskan melakukan aktifitas di luar rumah tanpa harus didampingi mahrom. Sungguh dilematis bagi perempuan. Di satu sisi ingin menjalani hidupnya sesuai perintah agama dengan cara mengikuti hadis Nabi, tapi di sisi lain, ketika mengikuti bunyi tekstual hadis akan menjadikannya semakit repot dalam beraktiftas di luar rumah. Oleh karena itu, tulisan ini akan membahas lebih mendalam persoalan perjalanan perempuan dengan cara reinterpretasi dan reaktualisasi konsep mahram perspektif hermeneutika Fazlurrahman, agar ditemukan solusi terbaik bagi perempuan muslimah pada khususnya, bagi umat Islam pada umumnya.
REAKTUALISASI KONSEP MAHRAM DALAM HADIS TENTANG PERJALANAN WANITA PERSPEKTIF MAQASID AL-SHARIAH Rohman, Holilur
The Indonesian Journal of Islamic Family Law Vol 8 No 2 (2018): Desember 2018
Publisher : Program Studi Hukum Keluarga Islam Fakultas Syariah dan Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (788.538 KB) | DOI: 10.15642/alhukama.2018.8.2.379-400

Abstract

Penelitian ini membahas tentang reaktualisasi konsep mahram dalam hadis  tentang perjalanan wanita perspektif maqa<s{id al-shari<ah. Fokus penelitian ini adalah: Bagaimana redaksi hadis nabi tentang pelarangan perjalanan perempuan tanpa mahram? Bagaimana pendapat para ulama’ menyikapi perjalanan perempuan? Bagaimana reaktualisasi konsep mahram dalam perjalanan perempuan perspektif maqa>s}id al-shari>’ah? Penelitian ini adalah penelitian pustaka. Penelitian ini juga berjenis kualitatif yang bersifat deskriptif-analitis. Pendekatan penelitian ini menggunakan pendekatan filsafat. Kesimpulan penelitian ini, bahwa alasan di balik larangan perempuan tidak boleh bepergian seorang diri tanpa mahram adalah kekhawatiran terhadap keamanan perempuan saat bepergiaan seorang diri. Dalam pernyataan ini seperti ini, hukum kewajiban mahram bagi perempuan bepergian bersifat kontekstual, karena maqa>s}id al-syari>’ah dari kewajiban ini adalah untuk memberikan perlindungan dan keamanan kepada perempuan. Sedangkan perintah penyertaan mahram dalam perjalanan perempuan pada dasarnya adalah salah satu wasi>lah untuk melindungi perempuan dari kemungkinan-kemungkinan yang tidak dikehendaki. Sedangkan wasi>lah tersebut bisa diaganti dengan wasi>lah  lain berupa mekanisme perlindungan bagi masyarakat, baik secara individu maupun kolektif antara lain melalui aturan-aturan hukum, perundang-undangan, dan kebijakan-kebijakan publik yang bisa membujat perjalanan lebih aman dan terlindungi.
INTEGRASI FIQH DAN USUL FIQH DALAM KASUS BATAS UMUR PERNIKAHAN Holilur Rohman
AL-HUKAMA: The Indonesian Journal of Islamic Family Law Vol. 5 No. 1 (2015): Juni 2015
Publisher : State Islamic University (UIN) of Sunan Ampel

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15642/al-hukama.2015.5.1.50-80

Abstract

Abstract: The universal and integral understanding of the Islamic law need an integrative effort between jurisprudence (fiqh) and legal maxim (usul fiqh) in an applicable form. Both have a close relationship in building the foundation and overall material of jurisprudence. Theoretically, legal maxim is an Islamic legal reasoning method that would later raise the jurisprudential material. Therefore, to understand and respond the social problem of Islamic law, the integration between jurisprudence and legal maxim is absolutely needed. The only partial understanding of Islamic law by simply studying its product as written in some classical books of fiqh will certainly make it uprooted from its own historical aspect. While implementing Islamic law merely rooted from its methodology cannot comprehensively catch the chain of Islamic legal thought. It is, therefore, a necessary to integrate between fiqh and usul fiqh to have an integral understanding of Islamic law. This study focuses to realize such effort with a specific discussion on the case of marriage age limit under the maslahah mursalah perspective. The result of the integration of fiqh and usul fiqh is that the minimum age of conducting marital contract based on Islamic law in Indonesia is sixteen years old for woman and nineteen years old for man.Abstrak: Memahami hukum Islam secara universal integral memerlukan upaya integrasi antara fiqh dan ushul fiqh dalam bentuk aplikatif. Keduanya memiliki korelasi erat dalam membangun aturan formil dan materil hukum Islam. Secara teoritis, ushul fiqh merupakan metode penalaran hukum Islam yang kemudian akan melahirkan fiqh. Oleh karena itu, untuk memahami dan menanggapi masalah sosial hukum Islam, integrasi antara ushul fiqh dan fiqh mutlak diperlukan. Mempelajari hukum Islam dengan hanya bermodal pemahaman fiqh seperti yang ditulis dalam beberapa buku klasik fiqh tentu akan membuatnya tercerabut dari aspek historis sendiri. Sementara menerapkan hukum Islam hanya berakar dari metodologinya tidak dapat secara komprehensif menangkap rantai pemikiran hukum Islam. Oleh karena itu, diperlukan upaya mengintegrasikan antara fiqh dan ushul fiqh agar memiliki pemahaman integral dari hukum Islam. Penelitian ini berfokus untuk mewujudkan upaya tersebut dengan pembahasan khusus pada kasus batas usia perkawinan di bawah perspektif maslahah mursalah. Hasil integrasi fiqh dan ushul fiqh yang dilakukan menghasilakan kesimpulan bahwa usia minimal melakukan perkawinan berdasarkan hukum Islam di Indonesia adalah enam belas tahun untuk perempuan dan Sembilan belas tahun laki-laki.
REINTERPRETASI KONSEP MAHRAM DALAM PERJALANAN PEREMPUAN PESPEKTIF HERMENEUTIKA FAZLUR RAHMAN Holilur Rohman
AL-HUKAMA Vol. 7 No. 2 (2017): Desember 2017
Publisher : State Islamic University (UIN) of Sunan Ampel

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (508.438 KB) | DOI: 10.15642/al-hukama.2017.7.2.251-274

Abstract

Discuss the issue of women is no end. Every angle of women invites a discussion that must be done in depth, including the issue of hadith which describes the necessity of a mahrom for women when they want to travel. On the one side the necessity of mahram has a positive impact for the security and protection of women, but on the other side invites problems because the dynamics of women's lives today that require doing activities outside the home without having to be accompanied by mahrom. Really a dilemma for women. On the one side want to live his life according to the command of religion by following the hadith of the Prophet, but on the other side, when following hadith textualy will make her busy in activity outside the home. Therefore, this paper will discuss more deeply the problem of women's journey by reinterpretation mahram concept of Fazlurrahman hermeneutic perspective, in order to find the best solution for Muslim women in particular, for Muslims in general.
Reaktualisasi Konsep Mahram dalam Hadis Tentang Perjalanan Wanita Perspektif Maqasid al-Shari'ah Holilur Rohman
AL-HUKAMA Vol. 8 No. 2 (2018): Descember 2018
Publisher : State Islamic University (UIN) of Sunan Ampel

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (788.538 KB) | DOI: 10.15642/alhukama.2018.8.2.379-400

Abstract

This study discusses the actualization of the concept of mahram in the hadith about the maqasid al shari’ah. The focus of this study are: How is the editorial of the prophetic hadith about the prohibition of women’s travel without mahram? What do the scholars say about addressing women’s travel? How is the actualization of the concept of mahram in the course of women on maqasid al shari’ah? This research is a library research with a qualitative descriptive-analytical type and with a philosophical approach. The conclusion of this study, that the reason behind the prohibition of women not allowed to travel alone without mahram is a concern for women’s safety when they are alone. The statement like this, the law of the obligation of mahram for women traveling is contextual, because maqasid al shari’ah, within the context of this obligation, is to provide protection and security to women. Whereas the command to include mahram in the journey of women is basically one of the observations to protect women from unwanted possibilities. Whereas the trustee can be replaced with another guardian in the form of a protection mechanism for the community, both individually and collectively, among others through legal rules, legislation, and public policies that can lead to safer and protected trip.
Analisis Kritis Terhadap Fikih Perceraian Responsif Gender: Studi Penerapan Kaidah Maqasid al-Syari'ah Holilur Rohman
AL-HUKAMA Vol. 10 No. 1 (2020): June 2020
Publisher : State Islamic University (UIN) of Sunan Ampel

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (906.262 KB) | DOI: 10.15642/alhukama.2020.10.1.20-41

Abstract

This study discusses the application of maqasid al-shar'ah principles in the gender-responsive marriage Jurisprudence. The focus of this research is: how the principles of maqasid al-shar'ah could be used as a foundation and approach of Ijtihad? How is the application of maqasid al-shar'ah principles in the issue of gender-responsive marriage Jurisprudence? This research is a qualitative research, which is in the form of descriptive-analytical library research. The approach used is the philosophical approach. In this study it was found that there are four rules of maqasid al-shar'ah which are used as the basis for jihad. These norms was then applied in a gender-responsive divorce Jurisprudence. This research concludes, that the holder of divorce rights is male, but the divorce can be pronounced based on the court's decision so that the results are more objective. In addition, divorce must be done for certain reasons, such as the cause of a constant dispute that cannot be resolved. Therefore, divorce without cause and without dialogue with his wife, is prohibited because it gives the effect of harm especially to his wife and children.
Batas Usia Ideal Pernikahan Perspektif Maqasid Shariah Holilur Rohman
Journal of Islamic Studies and Humanities Vol 1, No 1 (2016)
Publisher : UIN Walisongo Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1701.933 KB) | DOI: 10.21580/jish.11.1374

Abstract

An ideal marriage is a marriage that able to achieve the goal of becoming a family wedding sakinah, mawaddah warahmah. Al-Qur'an and Sunnah did not explain in detail about the limitations of marriageable age. There are three perspectives on the age limit to get married in Indonesia, first, the perspective of Islamic law, the second law No. 1 in 1974 allow a woman to get married at the age of 16 and men at age 19, the third, BKKBN which advocated age at marriage ideal namely the minimum age for women 21 years and for men 25 years old.But in different perspective, the ideal age of marriage maqasid shari'ah perspective for women 20 years and for men 25 years, because at this age considered to have been able to realize the goal wedding (maqasid shari'ah) such as: creating a family sakinah mawaddah wa rahmah, keeping the lineage, maintaining the pattern of family relationships, maintaining diversity and deemed ready in terms of economic, medical, psychological, social, religious.* * *Pernikahan yang ideal adalah pernikahan yang mampu mencapai tujuan pernikahan menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Al-Qur’an dan as-Sunnah menjelaskan secara rinci tentang batasan usia menikah. Ada tiga perspektif mengenai batas usia menikah di Indonesia, pertama, perspektif hukum Islam, kedua, undang-undang no 1 1974 mengijinkan seorang perempuan menikah pada usia 16 tahun dan laki-laki pada usia 19 tahun, ketiga, BKKBN yang menganjurkan usia kawin yang ideal yaitu usia minimal bagi perempuan 21 tahun dan bagi laki-laki 25 tahun.. Akan tetapi usia ideal perkawinan perspektif maqasid shari’ah adalah bagi perempuan 20 tahun dan dan bagi laki-laki 25 tahun, karena pada usia ini dianggap telah mampu merealisasikan tujuan-tujuan pensyariatan pernikahan (maqasid shari’ah) seperti: menciptakan keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah, menjaga garis keturunan, menjaga pola hubungan keluarga, menjaga keberagamaan dan dipandang siap dalam hal aspek ekonomi, medis, psikologis, sosial, agama. 
Tinjauan Hakim dalam Mengabulkan Dispensasi Nikah di Pengadilan Agama Kraksaan Lailatul Badriyah; Della Dwi Duriyanti; Nur Hidayati; Nurrohmah Kartika Devi; Holilur Rohman; Dede Andi
Ma’mal: Jurnal Laboratorium Syariah dan Hukum Vol. 1 No. 02 (2020): April
Publisher : Laboratorium Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (3860.855 KB) | DOI: 10.15642/mal.v1i02.8

Abstract

Abstract: Underage marriage is marriage done before the age of 19 for men and 16 years for women who are considered not ready to run a household life, so legalizing underage marriages must obtain permission from the Religious Court Judge. This study aims to analyze the decisions of religious court judges in marriage dispensation requests and describe the reasons for litigants. This study, using empirical juridical research methods. The source of this research data is secondary data sources directly related to the object of research. The technique of collecting data through library studies is an inventory of various primary and supporting library materials related to the focus of the problem. Data analysis techniques are processed and discussed using deductive methods. The study results indicate that: The Judge's decision is only fixed on the doctrine of positive law to obtain clear legal status. Keywords: judge's decision, marriage dispensation, Islamic Court in Kraksaan. Abstrak: Perkawinan di bawah umur adalah perkawinan yang dilakukan sebelum usia 19 untuk laki-laki dan 16 tahun untuk perempuan yang dianggap belum siap untuk menjalan kehidupan berumah tangga, sehingga dalam melegalkan hubungan pernikahan di bawah umur harus memperoleh ijin dari Hakim Pengadilan Agama. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa putusan hakim pengadilan agama dalam permohonan dispensasi nikah dan mendiskripsikan alasan bagi pihak-pihak yang berperkara. Dalam penelitian ini, menggunakan metode penelitian normatif empiris. Sumber data penelitian ini adalah sumber data sekunder yang berhubungan secara langsung dengan objek penelitian. Teknik pengumpulan data melalui studi kepustakaan, dengan cara menginventarisir berbagai bahan pustaka utama dan pendukung yang berkaitan dengan fokus permasalahan. Teknik analisa data diolah dan dibahas dengan menggunakan metode deduktif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: Putusan Majelis hakim hanya terpaku dengan doktrin hukum positif saja dengan tujuan memperoleh status hukum yang jelas. Kata Kunci: putusan hakim, dispensasi nikah, Pengadilan Agama Kraksaan.