cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota adm. jakarta pusat,
Dki jakarta
INDONESIA
Sari Pediatri
ISSN : 08547823     EISSN : 23385030     DOI : -
Core Subject : Health,
Arjuna Subject : -
Articles 1,509 Documents
Karakteristik Bayi Prematur yang Mengalami Anemia dan Tranfusi PRC Sebelum Usia Kronologis 4 Minggu Made Satria Murti; Lily Rundjan; Aman Bhakti Pulungan
Sari Pediatri Vol 17, No 2 (2015)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (86.919 KB) | DOI: 10.14238/sp17.2.2015.81-8

Abstract

Latar belakang. Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dengan angka kelahiran prematur terbanyak. Salah satu morbiditasyang umum dijumpai adalah anemia. Akibatnya, pasien sering mendapatkan transfusi PRC di minggu pertama kehidupannya.Mencegah anemia akan mengurangi kemungkinan tranfusi dan risiko komplikasinya.Tujuan. Mengetahui karakteristik bayi prematur yang mengalami anemia dan transfusi PRC sebelum usia kronologis 4 mingguMetode. Studi potong lintang terhadap rekam medis semua bayi baru lahir prematur yang menjalani perawatan di Unit PerinatologiRSCM periode 1 Januari 2012 sampai dengan 31 Desember 2013. Penilaian karakteristik bayi prematur meliputi kadar Hb, beratlahir, usia gestasi, riwayat tranfusi PRC, status sepsis, lama rawat, dan status keluar.Hasil. Didapatkan 393 subjek memenuhi kriteria penelitian, 94 (23,9%) anemia dan 123 (31,3%) minimal satu kali mendapatkantransfusi PRC. Frekuensi tersering anemia dan mendapatkan transfusi PRC berturut-turut adalah 4 dan 7 kali. Usia pertama kalimengalami anemia dan transfusi PRC adalah usia 􀁤7 hari Variabel dengan perbedaan proporsi karakteristik yang sama menunjukkanhasil bermakna secara statistik adalah variabel usia gestasi, berat lahir, transfusi PRC, status sepsis, lama rawat, dan status keluar.Kesimpulan. Insiden bayi prematur yang mengalami anemia 23,9%, sedangkan insiden transfusi PRC 31,3%. Kejadian anemia dantransfusi PRC paling banyak dialami pada satu minggu pertama kehidupan. Perbedaan proporsi antar variabel untuk kejadian anemiadan kejadian transfusi PRC secara statistik bermakna ditemukan pada variabel yang sama, yaitu usia gestasi, berat lahir, status sepsis,lama rawat, dan status keluar.
Infeksi Neonatal Akibat Air Ketuban Keruh M. Sholeh Kosim
Sari Pediatri Vol 11, No 3 (2009)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp11.3.2009.212-8

Abstract

Infeksi neonatal masih merupakan masalah di bidang pelayanan Perinatologi dengan angka morbiditas dan mortalitas yang cukup tinggi dengan berbagai latar belakang penyebab. Air ketuban keruh bercampur mekonium (selanjutnya disebut AKK) dapat menyebabkan sindrom aspirasi mekonium (SAM) yang mengakibatkan asfiksia neonatorum yang selanjutnya dapat berkembang menjadi infeksi neonatal. Diagnosis berdasarkan atas penemuan pemeriksaan radiologis. Penyebab SAM belum jelas mungkin terjadi intra uterin atau segera sesudah lahir akibat hipoksia janin kronik dan asidosis serta kejadian kronik intra uterin. Faktor risiko SAM adalah skor Apgar <5 pada menit ke lima, mekonium kental, denyut jantung yang tidak teratur atau tidak jelas, dan berat lahir. Diagnosis infeksi neonatal sulit, didasarkan atas anamnesis, pemeriksaan klinis, dan pemeriksaan penunjang. Banyak panduan atau sistem skor untuk menegakkan diagnosis infeksi neonatal. Salah satu panduan yang dapat digunakan untuk mendiagnosis infeksi neonatal adalah panduan WHO yang sudah diadaptasi di Indonesia. Diagnosis pasti ditegakkan dengan biakan darah, cairan serebrospinal, urin, dan infeksi lokal. Petanda diagnostik sangat berguna sebagai indikator sepsis neonatal karena dapat meningkatkan sensitivitas dan ketelitian diagnosis serta berguna untuk memberikan menghentikan secara dini terapi antibiotik. Namun tidak ada satupun uji diagnostik terbaru tunggal yang cukup sensitif dan spesifik. (
Karsinoma Nasofaring pada Anak: Karakteristik, Tata Laksana dan Prognosis Novie Amelia C; Gitta Cempako; Endang Windiastuti
Sari Pediatri Vol 13, No 1 (2011)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (73.296 KB) | DOI: 10.14238/sp13.1.2011.79-84

Abstract

Latar belakang. Angka kejadian karsinoma nasofaring (KNF) pada anak bervariasi antara 1-5% dari seluruhkeganasan pada anak, dengan gejala klinis tersering massa di leher yang tidak nyeri akibat keterlibatankelenjar getah bening regional.Tujuan. Mengkaji secara deskriptif karakteristik, tata laksana, dan prognosis pasien KNF pada anak.Metode. Studi ini merupakan kajian deskriptif pada pasien KNF anak yang berobat di Departemen IKARSCM sejak Januari 2004 hingga Desember 2009 dan telah dibuktikan dengan pemeriksaan histopatologi.Data perjalanan penyakit pasien berikut hasil pemeriksaan penunjang dan terapi diperoleh dari data registrasipasien onkologi IKA RSCM dan rekam medik.Hasil. Selama tahun 2005-2009 terdapat pasien baru KNF 24 orang, namun data lengkap hanya terdapatpada 13 pasien. Satu orang pasien meninggal sebelum dilakukan penentuan stadium. Dari 12 pasien, 10pasien adalah laki-laki dan 2 orang perempuan. Median usia pasien 12 tahun. Manifestasi klinis terseringadalah benjolan di leher yang tidak nyeri (8), epistaksis (4), dan nyeri kepala (1). Sepuluh dari 12 pasienmempunyai gambaran histopatologi karsinoma tidak berdiferensiasi (klasifikasi WHO tipe III), dan 2 oranglainnya karsinoma sel skuamosa (klasifikasi WHO tipe I). Dari 12 pasien, 3 orang stadium III, 4 orangstadium IVA, 4 orang stadium IVB dan 1 orang stadium IVC. Sepuluh dari 12 pasien mendapat pengobatankombinasi radioterapi dan kemoterapi, dua lainnya menjalani radioterapi. Dari 12 pasien yang mendapatpengobatan, 7 orang dinyatakan loss to follow up, dan 5 orang masih dalam pengobatan.Kesimpulan. Jumlah pasien KNF anak di Departemen IKA RSCM 2% (24 dari 1194 pasien) dari seluruhkeganasan anak tahun 2004-2009. Mayoritas pasien datang dalam kondisi lanjut, stadium III dan IV padawaktu diagnosis. Analisis free survival pada studi ini sulit dilakukan karena angka loss to follow up tinggi.
Karakteristik Keterlambatan Bicara di Klinik Khusus Tumbuh Kembang Rumah Sakit Anak dan Bunda Harapan Kita Tahun 2008 - 2009 Attila Dewanti; Joanne Angelica Widjaja; Anna Tjandrajani; Amril A Burhany
Sari Pediatri Vol 14, No 4 (2012)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp14.4.2012.230-4

Abstract

Latar belakang. Keterlambatan berbicara dan berbahasa adalah masalah yang cukup umum pada anakanakusia 2-5 tahun. Prevalensi dari keterlambatan berbicara dan berbahasa bervariasi antara 1%-32% padapopulasi normal, dipengaruhi berbagai faktor dan menurut metode yang digunakan untuk mendiagnosis.Keterlambatan dalam gangguan perkembangan berbicara dapat merupakan gejala dari berbagai penyakit,seperti keterbelakangan mental, gangguan pendengaran, gangguan bahasa ekspresif, autisme, selektifmutisme, afasia reseptif dan cerebral palsy, dan penyakit lainnya. Gangguan berbicara mungkin sekunderkarena keterlambatan perkembangan atau disebabkan bilingualisme.Tujuan. Mengetahui karakteristik keterlambatan bicara di Klinik Khusus Tumbuh Kembang (KKTB)RSAB Harapan Kita, Jakarta.Metode. Desain penelitian deskriptif retrospektif dari rekam medik pasien baru berusia 1-5 tahun yangdatang ke KKTK RSAB Harapan Kita pada Januari 2008 sampai dengan Desember 2009.Hasil. Terdapat 260 pasien baru dengan keterlambatan bicara di KKTK RSAB Harapan Kita, 116 (44,6%)anak dengan diagnosis developmental dysphasia. Dijumpai 69,6% kasus, diagnosis ditegakkan pada usiaantara 13-36 bulan, dan lebih banyak anak laki laki 185 (71,2%) anak. Latar belakang pendidikan ibupasien 65,8% berpendidikan tinggi.Kesimpulan. Keterlambatan bicara di KKTK sebagian besar adalah developmental dysphasia. Ibu pasienmembawa ke KKTK pada usia dini sehingga dapat ditindaklanjuti dan diterapi lebih cepat sehingga mendapatluaran yang lebih baik.
Insidens dan Karakteristik Klinis Epilepsi pada Anak I Gusti Ngurah Made Suwarba
Sari Pediatri Vol 13, No 2 (2011)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp13.2.2011.123-8

Abstract

Latar belakang.Epilepsi merupakan salah satu penyebab terbanyak morbiditas di bidang saraf anak, yang berdampak terhadap tumbuh-kembang anak. Epilepsi merupakan diagnosis klinis, insidensnya bervariasi di berbagai negara. Elektroensefalografi (EEG) dikerjakan untuk melihat fokus epileptogenik, sindrom epilepsi tertentu, evaluasi pengobatan, dan menentukan prognosis. Pencitraan dilakukan untuk mengetahui adanya fokus epilepsi dan kelainan struktur otak lainnya.Tujuan. Mengetahui insidens dan karakteristik klinis, gambaran EEG dan pencitraan pasien epilepsi di bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK UNUD/ RSUP sanglah Denpasar Bali, selama periode Januari 2007- Desember 2010.Metode.Penelitian potong lintang dengan observasi langsung. Data diambil dari setiap pasien yang baru dengan diagnosis epilepsi di Poliklinik Anak dan ruang rawat inap Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar selama Januari 2007-Desember 2010. Data yang dikumpulkan adalah umur, jenis kelamin, status gizi, gambaran klinis epilepsi, penyakit neurologis penyerta, status tumbuh kembang, riwayat kejang demam, riwayat epilepsi keluarga, gambaran EEG dan pencitraan kepala.Hasil. Ditemukan 276 kasus epilepsi, dengan insidens 5,3%. Sebagian besar laki-laki (56,9%), terbanyak (42%) umur 1–5 tahun dan onset tersering umur <1 tahun (46%) kasus. Diagnosis epilepsi umum tonikklonik (62%), dan sindrom epilepsi yang ditemukan spasme infantil 6,9% kasus. Sebagian besar tumbuh kembang normal (75%), riwayat kejang demam sebelumnya 10,1% kasus dan riwayat epilepsi keluarga 13% kasus. Pemeriksaan EEG pertama ditemukan abnormal 42,4% kasus dan pada CT scankepala ditemukan kelainan pada 51,4 % kasus.Kesimpulan.Ditemukan 276 kasus epilepsi, dengan insidens 5,3%, terutama terjadi pada anak laki-laki (56,9%). Sebagian besar (62%) epilepsi umum tonik-klonik. Gambaran EEG pertama kali abnormal pada 42,4% kasus. Pada CT scankepala, ditemukan kelainan pada 51,4 % kasus.
Hubungan Infantile Anorexia dengan Perkembangan Kognitif Faisal Husien; Djauhar Ismail; Mei Neni Sitaresmi
Sari Pediatri Vol 14, No 6 (2013)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (68.473 KB) | DOI: 10.14238/sp14.6.2013.379-83

Abstract

Latar belakang.Anak dengan gangguan makan dapat terjadi kekurangan asupan nutrisi bagi perkembangan sel saraf sehingga mengganggu perkembangan anak tersebut termasuk perkembangan kognitifnya. Infantile anorexiamerupakan salah satu bentuk gangguan makan yang ditandai penolakan makan secara menyolok, kehilangan nafsu makan yang khas, dan defisiensi pertumbuhan. Tujuan.Mengetahui hubungan antara infantile anorexiadengan perkembangan kognitif dan faktor lain yang dapat mempengaruhinya.Metode.Penelitian cross sectionaldengan besar sampel 80 anak. Kriteria inklusi adalah anak usia 12 sampai dengan 36 bulan yang mengalami masalah makaninfantile anorexia, orang tua bersedia mengikuti penelitian dan menandatangani informed consent. Kriteria eksklusi adalah anak dengan riwayat persalinan prematur, berat lahir rendah, dan asfiksia; anak dengan masalah susunan saraf pusat; anak dengan masalah cerna dan anak dengan penyakit oganik yang dapat mengganggu perkembangan. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan uji statistik Spearman.Hasil.Secara statistik terdapat korelasi bermakna antara gangguan makan infantile anorexiadengan perkembangan kognitif anak dengan nilai p=0,021 (r=0,244; CI 95%=1,026-11,998). Faktor pendidikan ibu mempunyai korelasi yang bermakna dengan perkembangan kognitif nilai ( r= 0,322; CI 95%=3,385-15,159; p= 0,002).KesimpulanTerdapat korelasi positif antara infantile anorexiadan pendidikan ibu dengan perkembangan kognitif anak
Perbandingan Manfaat Vaksin Oral Polio 1 (Monovalen) dengan Vaksin Oral Polio Trivalen Terhadap Transmisi Virus Polio 1 dalam Upaya Mengatasi Kejadian Luar Biasa Polio 1 di Indonesia Tahun 2005: ditinjau melalui respons imun dan keamanannya Kusnandi Rusmil
Sari Pediatri Vol 11, No 1 (2009)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp11.1.2009.71-8

Abstract

Latar belakang. Indonesia menggunakan trivalent oral polio vaccine (tOPV) sejak tahun 1977 dan sejak tahun 1995 tidak pernah ditemukan lagi kasus poliomelitis. Pada Maret 2005 terjadi kejadian luar biasa (KLB) polio yang meluas ke seluruh pulau Jawa dan Sumatera. Berdasarkan pengalaman negara yang berhasil mengatasi KLB, penggunaan monovalent oral polio vaccine (mOPV) sesuai penyebab KLB memberikan hasil lebih cepat dibandingkan tOPV.Tujuan. Melihat manfaat pemberian mOPV1 dibandingkan dengan tOPV ditinjau dari imunogenisitas dan keamanan vaksin.Metode. Penelitian dilakukan pada anak berumur 0-12 bulan, menggunakan mOPV1 dan tOPV saat saat Pekan Imunisasi Nasional tahun 2005.Hasil. Penelitian menunjukkan sero konversi pada kelompok mOPV terdapat pada 19 subjek dan tOPV pada 2 subjek, dengan titer rerata masing-masing 69,47 dan 48. Proporsi kenaikan titer ≥4 kali kelompok mOPV1 40,5%, tOPV 27,2% (X2=5,49; p=0,014). GMT kelompok mOPV1 21,9 menjadi 54,84 (Zw=5,45; p<0,001); kelompok tOPV 42,93 menjadi 52,30 (Zw=1,488; p=0,137). Ekskresi virus polio 1 pada hari ke-7 dan ke-21 setelah pemberian mOPV1 berturut-turut 38%, dan 4% (p<0,001), pada kelompok tOPV berturut-turut 26%, dan 14% (X2=1,65; p=0,125).Kesimpulan. Respon imun mOPV1 memberikan respons yang lebih baik dibandingkan dengan tOPV dan kedua kelompok vaksin mempunyai keamanan yang sama, tidak ditemukan reaksi KIPI yang berat selama penelitian.
Hubungan Indeks Massa Tubuh dan Resistensi Insulin pada Anak Obes Vivekenanda Pateda; Kristellina Sangirta Tirtamulia
Sari Pediatri Vol 12, No 5 (2011)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp12.5.2011.315-8

Abstract

Latar belakang. Salah satu dampak obesitas pada anak adalah terjadinya diabetes tipe-2 yang didahuluioleh terjadinya resistensi insulin. Belum diketahui apakah tingkat keparahan resistensi insulin semakinmeningkat seiring dengan meningkatnya indeks massa tubuh (IMT) pada anak obes.Tujuan. Mengetahui hubungan antara IMT dengan resistensi insulin pada anak obes.Metode. Suatu penelitian observasional potong lintang yang dilaksanakan di Kecamatan Wenang, KotaManado, Oktober 2009 sampai Januari 2010. Dilakukan pemeriksaan resistensi insulin dengan metodehomeostasis model assessment of insulin resistance index (HOMA-IR) pada 54 anak obes berusia 10-14 tahun.Hubungan antara IMT dan HOMA-IR dianalisis dengan uji korelasi Pearson.Hasil. Rerata IMT semua subjek 31,8 dan rerata HOMA-IR dari subjek 4,0. Uji korelasi Pearson memberikanhasil p=0,014; r=0,298.Kesimpulan.Tidak terdapat hubungan antara indeks masa tubuh dengan resistensi insulin pada anak obes. 
Faktor Risiko Timbulnya Inhibitor Faktor VIII pada Anak dengan Hemofilia A Grace N.A. Simatupang; Endang Windiastuti; Hanifah Oswari
Sari Pediatri Vol 14, No 5 (2013)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (19.8 KB) | DOI: 10.14238/sp14.5.2013.320-5

Abstract

Latar belakang. Proses timbulnya inhibitor bersifat multifaktorial, baik genetik maupun lingkungan. Beberapa studi telah dilakukan untuk mengetahui faktor risiko terbentuknya inhibitor, namun masih terdapat pendapat yang kontroversial. Di Indonesia, skrining inhibitor tidak rutin dilakukan karena keterbatasan biaya dan alat, sehingga diperlukan suatu penelitian yang dapat dijadikan acuan pemeriksaan inhibitor selektif.Tujuan. Mengetahui prevalensi , karakteristik klinis, dan faktor risiko timbulnya inhibitor pada anak dengan hemofilia A di Departemen IKA- RSCM.Metode. Uji potong lintang dilakukan pada anak usia ≤18 tahun di Pusat Hemofilia Terpadu IKA-RSCM. Analisis bivariat dilakukan dengan uji Fisher. Analisis multivariat tidak dilakukan karena tidak memenuhi syarat.Hasil. Empatpuluh subjek penelitian, didapatkan prevalensi inhibitor 37,5% (15/40). Rentang usia subjek 10 (1,5-18) tahun, usia saat diagnosis hemofilia pertama kali ditegakkan 8 bulan, dan saat pertama kali mendapat terapi faktor VIII pada inhibitor positif 9 bulan. Hampir seluruh subjek (39/40) mendapat terapi konsentrat plasma, 11/15 subjek dengan inhibitor positif mendapat terapi pertama kali sebelum berusia 1 tahun, 14/15 subjek merupakan hemofilia berat, sebagian besar (12/15) mendapat manifestasi perdarahan sendi. Suku bangsa ibu, Jawa, lebih sering ditemukan pada inhibitor positif (8/15). Tidak ditemukan hasil yang bermakna secara statistik antara faktor risiko dengan timbulnya inhibitor.Kesimpulan. Prevalensi inhibitor 37,5%, inhibitor positif lebih sering ditemukan pada pasien hemofilia berat yang mendapat terapi pertama kali sebelum berusia 1 tahun. Penelitian kami tidak berhasil membuktikan faktor risiko bermakna untuk timbulnya inhibitor pada anak dengan hemofilia A.
Hubungan Kadar Seng dan vitamin A dengan Kejadian ISPA dan Diare pada Anak Fedriyansyah Fedriyansyah; HM Nazir Hz; Theodorus Theodorus; Syarif Husin
Sari Pediatri Vol 12, No 4 (2010)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (75.848 KB) | DOI: 10.14238/sp12.4.2010.241-6

Abstract

Latar belakang. Rendahnya sistem imunitas dianggap turut berpengaruh terhadap kejadian ISPA dandiare. Beberapa penelitan menyatakan bahwa kadar seng dan vitamin A dalam serum yang rendah jugaberpengaruh terhadap sistim imun.Tujuan.Untuk mengetahui hubungan antara status seng dan vitamin A dengan kejadian ISPA dan diarepada anak.Metode. Penelitian kohort selama enam bulan di lima posyandu di wilayah kerja Puskesmas Talang Ratu,Palembang. Subjek penelitian adalah anak berumur 12-60 bulan yang datang ke Posyandu pada bulanFebruari 2009. Kadar seng dan vitamin A diperiksa, serta mendapat vitamin A sesuai program pemerintah.Data ISPA dan diare dari subjek, dikumpulkan selama 6 bulan dan selanjutnya dianalisis dengan programSPSS 15.Hasil. Terdapat 100 subjek ikut dalam penelitian, namun 8 subjek tidak melanjutkan, sehingga terdapat 92subjek. Ditemukan 62% mengalami defisiensi seng dan 68,5% defisiensi vitamin A. Didapatkan hubunganyang bermakna antara defisiensi seng dan vitamin A (RR=5,833;KI 95%:2,816-12,085). Selama 6 bulandidapatkan 62% subjek menderita ISPA dan 30,4% menderita diare. Terdapat hubungan yang bermaknakejadian ISPA dengan anak defisiensi seng dan atau vitamin A (RR=2,455;KI 95%:1,403-4,297). Ditemukanjuga hubungan yang bermakna pada kejadian diare dengan anak defisiensi seng dan atau vitamin A(RR=5,984;KI 95%:1,522-23,534).Kesimpulan. Status seng dan vitamin A merupakan faktor yang mempengaruhi kejadian ISPA dan diarepada anak.

Page 14 of 151 | Total Record : 1509


Filter by Year

2000 2025


Filter By Issues
All Issue Vol 27, No 3 (2025) Vol 27, No 2 (2025) Vol 27, No 1 (2025) Vol 26, No 6 (2025) Vol 26, No 5 (2025) Vol 26, No 4 (2024) Vol 26, No 3 (2024) Vol 26, No 2 (2024) Vol 26, No 1 (2024) Vol 25, No 6 (2024) Vol 25, No 5 (2024) Vol 25, No 4 (2023) Vol 25, No 3 (2023) Vol 25, No 2 (2023) Vol 25, No 1 (2023) Vol 24, No 6 (2023) Vol 24, No 5 (2023) Vol 24, No 4 (2022) Vol 24, No 3 (2022) Vol 24, No 2 (2022) Vol 24, No 1 (2022) Vol 23, No 6 (2022) Vol 23, No 5 (2022) Vol 23, No 4 (2021) Vol 23, No 3 (2021) Vol 23, No 2 (2021) Vol 23, No 1 (2021) Vol 22, No 6 (2021) Vol 22, No 5 (2021) Vol 22, No 4 (2020) Vol 22, No 3 (2020) Vol 22, No 2 (2020) Vol 22, No 1 (2020) Vol 21, No 6 (2020) Vol 21, No 5 (2020) Vol 21, No 4 (2019) Vol 21, No 3 (2019) Vol 21, No 2 (2019) Vol 21, No 1 (2019) Vol 20, No 6 (2019) Vol 20, No 5 (2019) Vol 20, No 4 (2018) Vol 20, No 3 (2018) Vol 20, No 2 (2018) Vol 20, No 1 (2018) Vol 19, No 6 (2018) Vol 19, No 5 (2018) Vol 19, No 4 (2017) Vol 19, No 3 (2017) Vol 19, No 2 (2017) Vol 19, No 1 (2017) Vol 18, No 6 (2017) Vol 18, No 5 (2017) Vol 18, No 4 (2016) Vol 18, No 3 (2016) Vol 18, No 2 (2016) Vol 18, No 1 (2016) Vol 17, No 6 (2016) Vol 17, No 5 (2016) Vol 17, No 4 (2015) Vol 17, No 3 (2015) Vol 17, No 2 (2015) Vol 17, No 1 (2015) Vol 16, No 6 (2015) Vol 16, No 5 (2015) Vol 16, No 4 (2014) Vol 16, No 3 (2014) Vol 16, No 2 (2014) Vol 16, No 1 (2014) Vol 15, No 6 (2014) Vol 15, No 5 (2014) Vol 15, No 4 (2013) Vol 15, No 3 (2013) Vol 15, No 2 (2013) Vol 15, No 1 (2013) Vol 14, No 6 (2013) Vol 14, No 5 (2013) Vol 14, No 4 (2012) Vol 14, No 3 (2012) Vol 14, No 2 (2012) Vol 14, No 1 (2012) Vol 13, No 6 (2012) Vol 13, No 5 (2012) Vol 13, No 4 (2011) Vol 13, No 3 (2011) Vol 13, No 2 (2011) Vol 13, No 1 (2011) Vol 12, No 6 (2011) Vol 12, No 5 (2011) Vol 12, No 4 (2010) Vol 12, No 3 (2010) Vol 12, No 2 (2010) Vol 12, No 1 (2010) Vol 11, No 6 (2010) Vol 11, No 5 (2010) Vol 11, No 4 (2009) Vol 11, No 3 (2009) Vol 11, No 2 (2009) Vol 11, No 1 (2009) Vol 10, No 6 (2009) Vol 10, No 5 (2009) Vol 10, No 4 (2008) Vol 10, No 3 (2008) Vol 10, No 2 (2008) Vol 10, No 1 (2008) Vol 9, No 6 (2008) Vol 9, No 5 (2008) Vol 9, No 4 (2007) Vol 9, No 3 (2007) Vol 9, No 2 (2007) Vol 9, No 1 (2007) Vol 8, No 4 (2007) Vol 8, No 3 (2006) Vol 8, No 2 (2006) Vol 8, No 1 (2006) Vol 7, No 4 (2006) Vol 7, No 3 (2005) Vol 7, No 2 (2005) Vol 7, No 1 (2005) Vol 6, No 4 (2005) Vol 6, No 3 (2004) Vol 6, No 2 (2004) Vol 6, No 1 (2004) Vol 5, No 4 (2004) Vol 5, No 3 (2003) Vol 5, No 2 (2003) Vol 5, No 1 (2003) Vol 4, No 4 (2003) Vol 4, No 3 (2002) Vol 4, No 2 (2002) Vol 4, No 1 (2002) Vol 3, No 4 (2002) Vol 3, No 3 (2001) Vol 3, No 2 (2001) Vol 3, No 1 (2001) Vol 2, No 4 (2001) Vol 2, No 3 (2000) Vol 2, No 2 (2000) Vol 2, No 1 (2000) More Issue