Claim Missing Document
Check
Articles

Found 16 Documents
Search

HUBUNGAN TEKANAN DARAH SISTOLIK DENGAN KADAR HBA1C PADA PASIEN HIPERTENSI DAN DIABETES MELLITUS TYPE 2 DI RS UNHAS MAKASSAR Hasteti Husni -; Elly Wahyudin; Hasyim Kasim
Majalah Farmasi dan Farmakologi Vol. 26 No. 2 (2022): MFF
Publisher : Faculty of Pharmacy, Hasanuddin University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20956/mff.v26i2.20482

Abstract

Hipertensi adalah komorbiditas umum pada pasien diabetes mellitus, dengan prevalensi hingga dua pertiga dari populasi. Hipertensi ditemukan 1,5 sampai 3 kali lebih sering pada penderita diabetes mellitus. Penelitian ini bertujuan untuk  mengetahui hubungan antara tekanan darah sistolik dengan kadar HbA1c pada pasien hipertensi dan diabetes mellitus di Instalasi Rawat Inap RS UNHAS Makassar periode 2019-2020. Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental yang dilakukan dengan metode deskriptif menggunakan data retrospektif berupa penelusuran data rekam medis pasien hipertensi dan diabetes mellitus yang memilki data pemeriksaan tekanan darah dan kadar HbA1c. Subjek penelitian dipilih dari populasi terjangkau yang memenuhi kriteria inklusi yakni sebanyak 56 sampel. Pada penelitian ini didapatkan distribusi frekuensi jenis kelamin meliputi 35 orang (62,5%) perempuan dan 21 orang (37,5%) laki-laki. Distribusi frekuensi jumlah kelompok usia terbanyak yakni pada rentang 45-64 tahun yakni sebanyak 30 orang (56,6%), usia >65 tahun sebanyak 17 orang (30,4%), dan usia 26-45 tahun sebanyak 9 orang (16,1%). Distribusi frekuensi tekanan darah sistolik pada pasien hipertensi dengan diabetes mellitus tipe 2 dengan tekanan darah normal <140 mmhg yakni sebanyak 21 orang (41,1%), dan pasien dengan tekanan darah >140 mmhg yakni sebanyak 33 orang (58,9%).  Distribusi frekuensi kadar HbA1c dengan kategori baik <6,5 yakni 4 orang (7,1%), kategori sedang 6,5-8 yakni 17 orang (30,4%),  dan kategori buruk >8 yakni sebanyak 35 orang (62,5%).  Hasil analisis data menggunakan rumus chi-square dengan uji alternatif fisher exact melalui cross tabulasi dengan tingkat kesalahan (alpha) 0,05 didapatkan P value = 0,789 (P>0.05), maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara tekanan darah sistolik dengan kadar HbA1c pada pasien hipertensi dan diabetes mellitus tipe 2.
KORELASI UKURAN KETEBALAN KORTEKS DAN RESISTIVE INDEX GINJAL BERDASARKAN PEMERIKSAAN ULTRASONOGRAFI PADA PASIEN HIDRONEFROSIS Ferawati Dakio; Nurlaily Idris; Mirna Muis; Andi Alfian; Hasyim Kasim; Bachtiar Murtala
Mandala Of Health Vol 12 No 2 (2019): Mandala Of Health
Publisher : Fakultas Kedokteran Universitas Jenderal Soedirman

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (411.328 KB) | DOI: 10.20884/1.mandala.2019.12.2.1279

Abstract

Hidronefrosis dapat terjadi pada satu atau kedua ginjal yang menyebabkan aliran urine menjadi lemah dan mengganggu fungsi dari ginjal itu sendiri.Penelitian ini bertujuan mengetahui korelasi ketebalan korteks ginjal dan resistive index ginjal berdasarkan pemeriksaan ultrasonografi pada pasien hidronefrosis. Penelitian ini dilakukan di bagian Radiologi Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar dari Mei sampai dengan Agustus 2018. Desain penelitian yang digunakan adalah observasional dengan rancangan potong lintang.Sampel penelitian sebanyak empat puluh orang yang memiliki klinis hidronefrosis. Pemeriksaan ultrasonografi grayscale terhadap pasien dilakukan untuk mengukur ketebalan korteks ginjal yang dilakukan di bagian tengah ginjal pada potongan longitudinal dan diukur dari puncak piramid tegak lurus ke arah kapsul, kemudian dilanjutkan pemeriksaan ultrasonografi doppler di arteri interlobar atau arcuata pada pole superior, median, dan inferior ginjal untuk menilai renal resistiveindex. Data dianalisis dengan analisis statistik melalui uji korelasi Spearman dan Pearson.Hasil penelitian menunjukkan bahwa rerata sampel penelitian mengalami hidronefrosis derajat ringan. Mean tebal korteks ginjal kanan pada penelitian ini 0,9 cm (0,26-1,79cm) dan ginjal kiri 0,84 cm (0,22-1,57cm). Terdapat korelasi yang bermakna antara derajat hidronefrosis dengan ketebalan korteks ginjal kanan dan kiri dengan arah korelasi negatif (p=0,0001). Kecenderungan peningkatan derajat hidronefrosis, meningkatkan nilai resistive index meskipun secara statistik tidak bermakna. Tidak terdapat korelasi antara ketebalan korteks dan resistive index ginjal berdasarkan pemeriksaan ultrasonografi. Hydronephrosis can occur in one or both kidneys which causes the flow of urine to become weak and interfere with the function of the kidney. This research aimed to investigate the correlation between the cortex thickness and the resistive index of kidney based on the ultrasonography examination in hydronephrosis patients. The research was conducted in Radiology Department of Dr. Wahidin Sudirohusodo General Hospital, Makassar from May through August 2018. The research design used was observational using the cross sectional design. The total samples comprised 40 samples with clinical hydronephrosis. The examination of ultrasonography grayscale was carried out in order to measure the cortex thickness of the kidneys in the central parts of kidneys and the longitudinal cut was measured from the pyramid top straight down the capsule, then it was continued with the Doppler ultrasonography examination in the interlobare artery or arcute at superior pole, median and inferior kidney in order to evaluate the renal resistive index. The data were analyzed using the statistical analysis through the correlation tests of Spearman and Pearson. The research results indicated that the mean research samples had experienced the light hydronephrosis. The mean cortex thickness of the right kidney was 0.9 cm (0.26 - 1.79 cm), and that of the left kidnet was 0.84 cm (0.22 - 1.57 cm). There was a significant correlation between the degree of hydronephrosis and the cortex thickness of the right and the left kidneys, with the direction of the negative correlation (p=0.0001). There was a tendency of the increase of hydronephrosis degree to increase the value of resistive index, though statistically it was insignificant. There was no correlation between the cortex thickness and the resistive index of kidney based on the ultrasonogrphy examination.
Analysis of Endocan Levels in Hypertensive Patients as Risk Factors of Chronic Kidney Disease Suryani Jamal; Uleng Bahrun; Ibrahim Abdul Samad; Fitriani Mangarengi; Hasyim Kasim; Ilham Jaya Patellongi
INDONESIAN JOURNAL OF CLINICAL PATHOLOGY AND MEDICAL LABORATORY Vol. 27 No. 1 (2020)
Publisher : Indonesian Association of Clinical Pathologist and Medical laboratory

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24293/ijcpml.v27i1.1571

Abstract

This study aimed to analyze endocan levels as a marker of endothelial dysfunction in the control group, patients with stage I hypertension, stage II hypertension, and patients with end-stage renal disease. Endocan levels were measured with ESM-1 (endocan) kit by Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) method. This study used a cross-sectional method and was conducted in Dr. Wahidin Sudirohusodo Hospital, Makassar and Hasanuddin University Hospital from September to October 2017. There were 83 samples in this study, consisting of 12 samples in the control group, 22 samples of stage I hypertension, 28 samples of stage II hypertension, and 21 samples of end-stage renal disease aged 20-90 years old. This study showed significantly higher endocan levels in patients with stage II hypertension and end-stage renal disease (p< 0.05). Endocan levels were significantly higher (p<0.05) in patients with end-stage renal disease compared with the control group and patients with stage I hypertension; but not significantly higher (p > 0.05) compared to patients with stage II hypertension. Also, the median of endocan levels in patients with the end-stage renal disease was higher (309,850 ng/L) compared to patients with stage II hypertension (273,050 ng/L).
Conn’s Syndrome Due to Adrenal Adenoma Rasyid, Haerani; Bakri, Syakib; Kasim, Hasyim; Hidayat, Andi Rahmat; Syarif, Syarif; Azis, Abd
Jurnal Penyakit Dalam Indonesia Vol. 6, No. 2
Publisher : UI Scholars Hub

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Conn’s syndrome is characterized by an increase in aldosterone level causes sodium retention and an increase in urine excretion of potassium. This syndrome is characterized by trias hypokalemia, hypertension, and metabolic alkalosis. This article discussed a case report of a patient with uncontrolled hypertension with neuromuscular symptoms caused by recurrent hypokalemia. After an evaluation of the imaging test, we found a left adrenal tumor then we performed unilateral adrenalectomy surgery. Histopathology examination from the excised tumor revealed the adrenal adenoma. After unilateral adrenalectomy, the patient showed clinical and laboratory improvement.
Efek Pemberian High Fat High Fructose Diet (HFHFD) dan Carbon tetrachloride (CCL4) Terhadap Kadar Cystatin C Serum Inez Marsha Gabriella Singgih; Ika Yustisia; Arif Santoso; Aminuddin Aminuddin; Liong Boy Kurniawan; Hasyim Kasim
Indonesian Journal of Human Nutrition Vol. 8 No. 2 (2021)
Publisher : Department of Nutrition, Faculty of Health Sciences, Universitas Brawijaya Malang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21776/ub.ijhn.2021.008.02.3

Abstract

Tingkat konsumsi lemak dan fruktosa tinggi dapat mengakibatkan gangguan fungsi ginjal. High Fat High Fructose Diet (HFHFD) / Diet tinggi lemak tinggi fruktosa merupakan pemberian diet tinggi lemak dan diberikan fruktosa dalam air minum atau dalam makanan. Pemberian Karbon tetraklorida pada tikus menyebabkan kerusakan pada ginjal. Cystatin C merupakan pemeriksaan untuk mengetahui gangguan dini pada fungsi ginjal. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian HFHFD dan injeksi CCl4 terhadap kadar cystatin C serum pada tikus. Penelitian ini terdiri dari 4 kelompok yang terdiri dari: 1) kelompok tikus diberi pakan standar; 2) kelompok tikus HFHFD; 3) kelompok tikus HFHFD yang diinjeksi CCl4 intraperitoneal (IP) dua kali seminggu; dan 4) kelompok tikus yang diberikan pakan standar dan diinjeksi CCl4 IP dua kali seminggu, dengan 24 ekor tikus. Perlakuan diberikan selama 8 minggu. Parameter yang diuji yakni kadar Cystatin C serum pada tikus yang diberikan pakan standar dibandingkan dengan tikus yang diberikan diet tinggi lemak dan tambahan fruktosa pada air minumnya (HFHFD), tikus yang diberi HFHFD dan suntikan CCl4 dua kali seminggu, dan tikus dengan pakan standar dan diinjeksi CCl4 dua kali seminggu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tikus yang diberikan HFHFD dan CCl4 mengalami peningkatan Cystatin C serum paling tinggi dibandingkan dengan tikus yang diberikan HFHFD saja, suntikan CCl4 saja dengan pakan standar, dan yang hanya diberikan pakan standar. Pemberian kombinasi HFHFD + CCl4 menunjukkan perbedaan Cystatin C yang bermakna secara statistik dibandingkan dengan kelompok kontrol (p=0.004). Simpulan diperoleh bahwa pemberian HFHFD dan CCl4 meningkatkan kadar Cystatin C serum pada tikus.
Efek Asam Askorbat Menurunkan Indeks Aterogenik dan Kadar Gula Darah Tikus (Rattus norvegicus L.) Diabetes Mellitus Induksi Aloksan Sunarti, Sunarti; Wahyudin, Elly; Kasim, Hasyim
Journal of Experimental and Clinical Pharmacy (JECP) Vol 2, No 1 (2022): February 2022
Publisher : Poltekkes Kemenkes Gorontalo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.52365/jecp.v2i1.303

Abstract

Senyawa antioksidan diketahui dapat meningkatkan indeks aterosklerosis dan sekresi insulin. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran asam askorbat sebagai pengatur aterosklerosis dan kadar gula darah pada kondisi diabetes  (DM). Rancangan penelitian yang digunakan adalah penelitian  eksperimental dengan menggunakan 20 ekor tikus putih jantan (Rattus norvegicus L.) dengan berat badan 180-300 g, umur 23 bulan, sebagai hewan percobaan. Setelah aklimatisasi selama satu minggu, tikus tidak diberi makan semalaman dan keesokan harinya diinduksi aloksan dengan dosis 145 mg/kg berat badan (BB). Tiga hari kemudian, darah diambil melalui vena ekor tikus untuk menguji gula darah. Indeks arteriosklerosis (AI) ditentukan dengan rumus (kolesterol HDL total)/HDL. Sebagai hewan percobaan, tikus dengan kadar glukosa darah 200 mg/dl atau lebih dipilih dan dibagi menjadi 4 kelompok yang masing-masing terdiri dari 5 ekor tikus. kelompok I pakan standar; Kelompok II mendapat diet standar majemuk dan metformin; Kelompok III diberi diet standar dan asam askorbat dan kelompok IV diberi diet standar dan kombinasi metformin dan asam askorbat. Pada awal diabetes, berat  tikus dikurangi dari 240 g menjadi 220 g. Namun, setelah 2 minggu terapi asam askorbat, berat badan stabil, gula darah turun 65,57 dan 324,94 mg/dl menjadi 111,88 mg/dl, dan indeks arteriosklerosis menurun dari 0,324 menjadi 0,320.Antioxidant compounds are known to increase atherosclerosis index and insulin secretion. This study aims to determine the role of ascorbic acid as a regulator of atherosclerosis and blood sugar levels in diabetes (DM). The research design used was an experimental study using 20 male white rats (Rattus norvegicus L.) with a body weight of 180-300 g and 23 months of ageas experimental animals. After acclimatization for one week, the rats were not fed overnight and the next day the rats were induced with alloxan at a dose of 145 mg/kg body weight (BW). Three days later, the blood was drawn through the tail vein of the rats to test for blood sugar. The arteriosclerosis index (AI) was determined by the formula (total HDL cholesterol)/HDL. As experimental animals, rats with blood glucose levels of 200 mg/dl or more were selected and divided into 4 groups of 5 rats each. group I standard feed; Group II received a standard compound diet and metformin; Group III was given a standard diet and ascorbic acid and group IV was given a standard diet and a combination of metformin and ascorbic acid. At the onset of diabetes, the weight of the rats was reduced from 240 g to 220 g. However, after 2 weeks of ascorbic acid therapy, body weight was stable, blood sugar decreased from 65.57 and 324.94 mg/dl to 111.88 mg/dl, and the arteriosclerosis index decreased from 0.324 to 0.320.