Claim Missing Document
Check
Articles

Found 21 Documents
Search

PENERAPAN TERAPI OKSIGEN PADA TINGKAT KESADARAN PASIEN DI RUANG GAWAT DARURAT Elisa Anderson; Ericha Pricilia Hender
Klabat Journal of Nursing Vol 5 No 2 (2023): Ever-evolving Nursing
Publisher : Fakultas Keperawatan, Universitas Klabat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37771/kjn.v5i2.987

Abstract

Ruang gawat darurat adalah ruang perawatan untuk melayani pasien yang terancam nyawanya atau yang membutuhkan penangan segera untuk pemulihan kesehatannya. Beberapa pasien di ruang gawat darurat mengalami perubahan tingkat kesadaran dan terapi Oksigen merupakan salah satu penanganan yang harus segera diberikan untuk pemulihannya. Tujuan penelitan ini adalah untuk mengetahui korelasi penerapan terapi Oksigen pada tingkat kesadaran pasien di ruang gawat darurat. Metode penelitian yang diaplikasikan dalam penelitian ini adalah observasional analitik dengan pendekatan cross sectional. Peneliti mengambil sampel sebanyak 322 orang dengan teknik convenience sampling. Hasil penelitian menyatakan bahwa kebanyakan pasien yang sedang dirawat di ruang gawat darurat pada area darurat tidak gawat adalah tidak mendapatkan terapi Oksigen dengan jumlah 241 (74,8%), kebanyakan tingkat kesadaran responden adalah compos mentis dengan jumlah 302 (93,8 %), dan ada korelasi lemah yang signifikan antara penggunaan terapi Oksigen dan tingkat kesadaran dengan nilai p-value=0,000 dan r=-0,330. Hasil ini diharapkan dapat menjadi acuan tenaga kesehatan di ruang gawat darurat saat mendapatkan pasien dengan penurunan tingkat kesadaran dan perlu adanya analisis regresi untuk dapat menentukan seberapa besar pengaruh terapi Oksigen pada perubahan tingkat kesadaran. KATA KUNCI: Gawat darurat, tingkat kesadaran, terapi Oksigen ABSTRACT The emergency room is a treatment room to serve patients whose lives are threatened or who need immediate handling for their health recovery. Some patients in the emergency room experience changes in their level of consciousness and oxygen therapy is one of the treatments that must be given immediately for their recovery. The purpose of this research is to determine the correlation of the application of oxygen therapy on the level of consciousness of patients in the emergency room. The research method applied in this study was analytic observational with a cross sectional approach. Researchers took a sample of 322 people with convenience sampling technique. The results stated that most patients who were being treated in the emergency room in the non-emergency area did not get oxygen therapy with a total of 241 (74.8%), most respondents' level of consciousness was compos mentis with a total of 302 (93.8%), and there was a significant weak correlation between the use of oxygen therapy and the level of consciousness with a p-value=0.000 and r=-0.330. These results are expected to be a reference for health workers in the emergency room when getting patients with decreased levels of consciousness and the need for regression analysis to be able to determine how much influence oxygen therapy has on changes in levels of consciousness. KEYWORDS: Emergency room, level of consciousness, oxygen therapy
Health Expo: Upaya Penanggulangan 4 Hypers di Kelurahan Makawidey, Bitung Reagen Jimmy Mandias; Grace Kaparang; Frendy Fernando Pitoy; Elisa Anderson; Denny Maurits Ruku; Lea Andy Shintya; Ellen Padaunan; Christina Angel Umboh; Kathleen Sharon Boling; Injilia Desgia Kawalod; Cesilia Kolesy; Thesalonika Margaretha Laluraga; Chintiya Zhou Chen Mariam Somba; Bella Elisabeth Sabathama Hadibrata; Jennifer Telly Rumuat
Servitium Smart Journal Vol 2 No 1 (2023): Servitium Smart Journal
Publisher : Universitas Klabat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31154/servitium.v2i2.21

Abstract

Meskipun selama beberapa dekade terakhir terjadi peningkatan teknologi dan penelitian ekstensif yang signifikan dalam dunia medis dan kesehatan secara keseluruhan, Penyakit Tidak Menular (PTM) atau penyakit degeneratif atau dalam istilah lain yaitu Man-made Disease menjadi seperti enigma yang tidak kunjung dapat diatasi. Program Pengabdian kepada Masyarakat pada artikel ini adalah mengacu pada skrining dan penanganan 4 Hypers dengan cara pemberian edukasi melalui konsultasi pola hidup dan pemberian obat pada warga Masyarakat Kelurahan Makawidey, Aertembaga, Bitung. Penanganan 4 Hypers terus perlu digalakkan untuk mencegah peningkatan kasusnya pada waktu ke depan. Para dokter, perawat, tenaga kesehatan serta pemerintah harus terus berkolaborasi untuk mengadakan skrining, edukasi, pencegahan serta pengobatan penyakit tidak menular. Kegiatan seperti ini perlu diadakan oleh sivitas akademika fakultas keperawatan, fakultas ilmu kesehatan atau sekolah tinggi ilmu kesehatan yang lain secara regular dan menyeluruh di seluruh Indonesia sesuai cakupan jangkauan wilayah institusi tersebut.
Skrining dan Penanggulangan Penyakit Tidak Menular di Kelurahan Airmadidi Denny Maurits Ruku; Reagen Jimmy Mandias; Lea Andy Shintya; Frendy Fernando Pitoy; Elisa Anderson; Jimmy Herawan Moedjahedy; Eunike Ella; Gabriel Christovel Nander; Nikita Ribka Maya Siwu
Jurnal Kreativitas Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM) Vol 7, No 7 (2024): Volume 7 No 7 2024
Publisher : Universitas Malahayati Lampung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33024/jkpm.v7i7.15272

Abstract

ABSTRAK Gangguan Kesehatan tidak pernah lepas dari masyarakat meskipun peningkatan teknologi dibilang sudah cukup pesat. Gangguan kesehatan dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu penyakit yang menular dari satu ke yang lain dan penyakit tidak menular (PTM) yang mana dapat ditularkan dari orang lain. Penyakit tidak menular adalah penyakit katastropik dengan penyebab kematian paling tinggi di Indonesia. Penyakit ini diantaranya adalah hipertensi, diabetes, dan gout arthritis, dan hiperkolesterol. Program pengabdian masyarakat ini bertujuan untuk melakukan skrining dan penanggulangan PTM di RW 10 Kelurahan Airmadidi Atas dengan cara melakukan pemeriksaan kesehatan dan pemberian edukasi kesehatan pada masyarakat. Metode yang diterapkan pada program ini adalah survey observasi dan penyuluhan kesehatan kepada masyarakat di RW 10 kelurahan Airmadidi Atas. Data hasil analisis skrining kesehatan menunjukan bahwa pada sebagian besar penderita PTM berada pada kategori usia lanjut atau diatas dari usia 60 tahun dengan nilai persentase penderita Hipertensi sebanyak 18 (66.6%) orang, Diabetes Melitus 12 (60%) orang, dan Hyperkolesterolemia 15 (51%) orang. Sehubungan dengan angka penderita hipertensi yang cukup tinggi, maka telah diberikan edukasi kesehatan mengenai hipertensi pada Masyarakat. PTM ditemukan dengan angka kejadian yang cukup tinggi dikalangan Masyarakat. Kegiatan seperti in harus diadakan agar masyarakat lebih peduli mengenai kesehatannya.  Kata Kunci: Penyakit Tidak Menular, Skrining, Edukasi  ABSTRACT Health problems have never been separated from society even though the technological improvements are increasing rapidly. Health problems can be divided into two types, namely diseases that are transmitted from one person to another and non-communicable diseases (NCDs) which can be transmitted from other people. Non-communicable diseases are catastrophic diseases with the highest cause of death in Indonesia. These diseases include hypertension, diabetes, gouty arthritis and hypercholesterolemia. This community service program aims to carry out the health screening and PTM prevention in RW 10 Airmadidi Atas Village by conducting health observation and providing health education to the community. The data from health screening analysis shows that the majority of NCDs sufferers are in the elderly category or above the age of 60 years with a percentage of 18 (66.6%) people suffering from hypertension, 12 (60%) people with diabetes mellitus, and 15 (51%) people with hypercholesterolemia. According to the high number of hypertension sufferers, health education regarding hypertension has been provided to the community. NCDs is found to have high incidence rate among the community. Activities like this must be held so that people care more about their health. Keywords: Non-Communicable Disease, Screening, Education
KEMANDIRIAN, KEBERDAYAAN OTOT DAN RISIKO DEKUBITUS Manoppo, Arlien J; Anderson, Elisa
Klabat Journal of Nursing Vol. 7 No. 1 (2025): Building Resilient Communities
Publisher : Fakultas Keperawatan, Universitas Klabat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37771/kjn.v7i1.1278

Abstract

Luka dekubitus, yang sering juga disebut sebagai luka tekan atau luka tirah baring merupakan cedera pada kulit dan jaringan di bawahnya. Penyebabnya adalah tekanan berkepanjangan, yang berkaitan dengan keterbatasan mobilitas, dan aktivitas yang bergantung pada orang lain. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi hubungan antara kemandirian, keberdayaan otot, dan risiko dekubitus pada pasien di ruang perawatan intensif medikal dan bedah. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuantitatif dengan pendekatan observasional analitik serta desain cross-sectional. Teknik pengambilan sampel yang diterapkan adalah non-probability sampling dengan convenience sampling, melibatkan 51 pasien sebagai subjek penelitian. Hasil analisa dari 51 responden menunjukkan bahwa kebanyakan pasien tidak mandiri 46 (90,2%), tidak mempunyai keberdayaan otot 25-26 (49-51%), mempunyai risiko dekubitus yang sangat tinggi 34 (66,7%), serta terdapat hubungan yang bermakna antara kemandirian, keberdayaan otot, dan risiko dekubitus (p<,05) dengan keeratan hubungan yang bervariasi dari kuat hingga mendekati sempurna. Disarankan agar petugas Kesehatan, khususnya perawat, dapat memperhatikan kondisi kemandirian dan keberdayaan otot pasien bila bertemu dengan pasien yang memiliki atau yang berisiko terjadi luka dekubitus. Analisis regresi multivariat juga disarankan kepada peneliti selanjutnya untuk memperoleh hasil yang lebih optimal. Decubitus wounds, also known as pressure sores or bed sores, are injuries to the skin and underlying tissues. It is caused by prolonged distress, which is associated with limited mobility, and dependent activities. This study aimed to explore the relationship between independence, muscle empowerment, and decubitus risk in patients in medical and surgical intensive care units. The method used in this study was quantitative with an analytic observational approach and cross-sectional design. The sampling technique applied was non-probability sampling with convenience sampling, involving 51 patients as research subjects. The results of the analysis of 51 respondents showed that most patients were not independent 46 (90.2%), did not have muscle empowerment 25-26 (49-51%), had a very high risk of decubitus 34 (66.7%), and there was a significant relationship between independence, muscle empowerment, and risk of decubitus (p<.05) with the strength of the relationship varying from strong to near perfect. It is recommended that health workers, especially nurses, can pay attention to the condition of the patient's independence and muscle empowerment when meeting with patients who have or are at risk of decubitus wounds. Multivariate regression analysis is also suggested to future researchers to obtain more optimal results.
Karakteristik Demografi Dan Efikasi Diri Pada Penderita Hipertensi Manoppo, Arlien Jeannete; Anderson, Elisa
NUTRIX Vol 9 No 2 (2025): Volume 9, Issue 2, 2025
Publisher : Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Klabat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37771/nj.v9i2.1399

Abstract

Hypertension is a non-communicable disease with a steadily increasing global prevalence among adults. This is also the case in Eastern Indonesia, particularly in North Minahasa, making self-management through self-efficacy key to reducing the risk of complications. A comparative descriptive study with a cross-sectional approach was used to analyze the relationship between demographic characteristics (age, gender, education level, employment status, and income) and self-efficacy in 130 hypertensive patients selected using convenience sampling in the working area of a community health center in North Minahasa. Univariate analysis showed that the majority of respondents were elderly (49.2%), female (76.9%), high school educated (35%), had an income below the minimum wage (83.8%), were housewives (56.1%), and 59.2% had high self-efficacy. Bivariate tests using Mann Whitney U and Kruskal Wallis revealed that only the category of employment status had a significant difference in self-efficacy (p=.011), where retirees and housewives had higher self-efficacy ratings than those who were not working. These findings emphasize the importance of employment status and routine in increasing the confidence of hypertensive patients in self-management of their disease. Hipertensi merupakan salah satu penyakit tidak menular dengan prevalensi global yang terus meningkat pada populasi orang dewasa. Di wilayah Indonesia Timur, khususnya Minahasa Utara, hal ini juga terjadi, sehingga pengelolaan mandiri melalui efikasi diri menjadi kunci dalam menurunkan risiko komplikasi. Penelitian deskriptif komparatif dengan pendekatan cross-sectional digunakan untuk menganalisis hubungan antara karakteristik demografi (usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status pekerjaan, dan pendapatan) dan efikasi diri pada 130 penderita hipertensi yang dipilih dengan teknik convenience sampling di wilayah kerja salah satu Puskesmas yang berada di Minahasa Utara. Analisis univariat menunjukkan bahwa mayoritas responden berusia dewasa lanjut (49,2%), memiliki jenis kelamin perempuan (76,9%), berpendidikan SMA (35%), berpendapatan di bawah UMR (83,8%), berstatus ibu rumah tangga (56,1%), serta 59,2% memiliki efikasi diri tinggi. Uji bivariat dengan Mann Whitney U dan Kruskal Wallis mengungkapkan bahwa hanya kategori pada variabel status pekerjaan yang memiliki perbedaan signifikan terhadap kondisi efikasi diri (p=,011), di mana pensiunan dan ibu rumah tangga memiliki peringkat efikasi diri lebih tinggi dibanding yang tidak bekerja. Temuan ini menegaskan pentingnya status pekerjaan dan rutinitas dalam meningkatkan keyakinan diri penderita hipertensi untuk manajemen penyakit mandiri.
EFIKASI DIRI DAN GENDER PADA PRESTASI BELAJAR Anderson, Elisa
Klabat Journal of Nursing Vol. 4 No. 1 (2022): New Start
Publisher : Fakultas Keperawatan, Universitas Klabat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37771/kjn.v4i1.786

Abstract

ABSTRACT The individual's belief in himself that he can complete something he is living is self-efficacy and gender is one of the discriminations in nursing services. In nursing student learning achievement, self-efficacy and gender play a role in their achievement. The purpose of this study was to analyze the effect of self-efficacy and gender on learning achievement. This research method is cross-sectional involving 301 respondents through consecutive sampling technique. The results of this study were that the students' self-efficacy was good 153 (50.8%), most respondents were 255 women (84.7%), and the highest learning achievement was very good 147 (48.9). Self-efficacy has a significant relationship (p=0.010; p<0.05) and gender has no significant relationship (p=0.326; p>0.05) on learning achievement. Further research by adding other independent variables needs to be done to find out other factors related to learning achievement, and multivariate analysis needs to be done to find out how much influence these factors have on learning achievement. KEYWORDS: gender, learning achievement, self-efficacy ABSTRAK Kepercayaan individu terhadap dirinya bahwa dapat menyelesaikan sesuatu yang sedang dijalaninya adalah efikasi diri dan gender merupakan salah satu diskriminasi dalam pelayanan keperawatan. Pada prestasi belajar mahasiswa keperawatan, efikasi diri dan gender berperan dalam pencapaiannya. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis pengaruh efikasi diri dan gender terhadap prestasi belajar. Metode penelitian ini adalah cross-sectional yang melibatkan 301 responden melalui teknik consecutive sampling. Hasil penelitian ini adalah efikasi diri mahasiswa adalah baik 153 (50,8%), responden terbanyak adalah perempuan 255 (84,7%), serta prestasi belajar terbanyak adalah sangat baik 147 (48,9). Efikasi diri mempunyai hubungan yang bermakna (p=0,010; p<0,05) dan gender tidak mempunyai hubungan yang bermakna (p=0,326; p>0,05) terhadap prestasi belajar. Penelitian lanjutan dengan menambahkan variabel independen lainnya perlu dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor lain yang berhubungan dengan prestasi belajar, serta perlu dilakukan analisis multivariat untuk dapat mengetahui seberapa besar pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap prestasi belajar. KATA KUNCI: efikasi diri, gender, prestasi belajar
AKTIVITAS ANGGOTA GERAK, KEMANDIRIAN, DAN SISTEM PEMANTAUAN KEGAWATAN PASIEN Anderson, Elisa
Klabat Journal of Nursing Vol. 6 No. 1 (2024): Nursing Overarches All Clinical Setting
Publisher : Fakultas Keperawatan, Universitas Klabat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37771/kjn.v6i1.1087

Abstract

Sistem pemantauan kegawatan merupakan pedoman yang dapat digunakan untuk memonitor kondisi pasien khususnya di ruang intensif, seperti aktivitas anggota gerak dan kemandirian pasien. Tujuan dalam studi ini untuk menganalisis korelasi aktivitas anggota gerak, kemandirian pasien, dan sistem pemantauan kegawatan di ruang intensif medikal dan bedah. Metode yang dipilih dalam studi ini adalah kuantitatif melalui pendekatan observasional analitik dengan desain cross-sectional. Teknik pengambilan sampelnya ialah non-probability sampling dengan pendekatan convenience sampling, sampel yang dilibatkan dalam penelitian ini berjumlah 51 pasien. Temuan hasil dari 51 responden yang terlibat dalam penelitian ini adalah adanya hubungan yang bermakna antara aktivitas anggota gerak, kemandirian, serta sistem pemantauan kegawatan pasien (p<0,05) dengan keeratan hubungan yang bervariasi, dari lemah hingga kuat. Direkomendasikan kepada petugas kesehatan khususnya perawat untuk membudayakan penggunaan sistem pemantauan kegawatan pasien khususnya pada pasien yang terancam nyawanya agar dapat diberikan pertolongan yang cepat dan akurat sehingga terhindar dari perburukan kondisi. The emergency monitoring system is a guide that can be used to monitor patient conditions, especially in the intensive care unit, such as limb activity and patient independence. The aim of this study is to analyze the correlation of limb activity, patient independence, and the emergency monitoring system in the medical and surgical intensive care unit. The method chosen in this study is quantitative through an analytical observational approach with a cross-sectional design. The sampling technique was non-probability sampling with a convenience sampling approach. The sample involved in this study was 51 patients. The findings from the 51 respondents involved in this research were that there was a significant relationship between limb activity, independence, and the patient emergency monitoring system (p<0.05) with varying degrees of relationship, from weak to strong. It is recommended for health workers, especially nurses, to cultivate the use of a patient emergency monitoring system, especially for patients whose lives are threatened so that they can be given quick and accurate help to avoid worsening of their condition. KEYWORDS: Emergency monitoring system, independence, limb activity
COMPARATIVE STUDY: FAMILY SUPPORT FOR STROKE PATIENTS BASED ON DEMOGRAPHIC PROFILE, TYPE OF STROKE, AND DURATION OF HOSPITALIZATION Anderson, Elisa
Klabat Journal of Nursing Vol. 7 No. 2 (2025): Nursing Insights: Bridging Science and Care
Publisher : Fakultas Keperawatan, Universitas Klabat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37771/kjn.v7i2.1410

Abstract

Family support is a crucial component in the care process for stroke patients, but there is still little research evaluating its intensity based on demographic profiles and clinical conditions. This study aims to analyze the relationship between demographic profiles (age, gender, education level, occupation, income), stroke type, and length of hospital stay on family support for stroke patients. This study used an analytical cross-sectional method with a cross-sectional approach involving 62 stroke patients treated at a hospital in Manado. Data was collected through survey sheets and observations combined with family support questionnaires. The data were analyzed using the Mann–Whitney and Kruskal–Wallis tests. The results showed that the highest level of family support was found in young-old patients (60–74 years), those with higher education, those with income above the minimum wage, and those with a long hospitalization duration (≥8 days). Meanwhile, in the correlation test, gender, occupation, and type of stroke did not show significant differences in family support (p>.05). However, age, education, family income, and length of hospital stay showed significant differences in the intensity of family support (p<.05) when providing assistance to stroke patients who were hospitalize. Recommendations that can be given in this study are the design of family education programs based on patient demographic profiles, such as health literacy modules for low-educated families and coping skills training for low-income families, as well as implementing family-centered care that involves family members from the first day of hospitalization. Dukungan keluarga merupakan komponen krusial dalam proses perawatan pasien stroke, namun masih sedikit penelitian yang mengevaluasi intensitasnya berdasarkan profil demografi dan kondisi klinisnya. Studi ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara profil demografi (usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, pendapatan), jenis stroke, dan durasi rawat inap terhadap dukungan keluarga pada pasien stroke. Studi ini menggunakan metode analytical cross-sectional study yang melibatkan 62 pasien stroke yang dirawat di salah satu rumah sakit di Manado. Data dikumpulkan melalui lembar survei dan observasi yang dikombinasikan dengan kuesioner dukungan keluarga. Data yang tersebut dianalisis menggunakan uji deskriptif, Mann–Whitney, dan Kruskal–Wallis. Temuan hasil menunjukkan bahwa dukungan keluarga tertinggi ditemukan pada pasien usia young-old (60–74 tahun), berpendidikan tinggi, berpendapatan di atas upah minimun, dan durasi rawat inap panjang (≥8 hari). Sementara pada uji hubungan, jenis kelamin, pekerjaan, dan tipe stroke tidak menunjukkan perbedaan dukungan keluarga yang signifikan (P>,005). Sedangkan untuk faktor usia, pendidikan, pendapatan keluarga, dan lama rawat inap mempunyai perbedaan intensitas dukungan keluarga yang signifikan (P<,005) saat memberikan pendampingan pada pasien stroke yang sedang dirawat inap. Rekomendasi yang dapat diberikan dalam studi ini adalah perancangan program edukasi keluarga berdasarkan profil demografi pasien, seperti modul literasi kesehatan bagi keluarga berpendidikan rendah dan pelatihan coping skills untuk keluarga berpendapatan terbatas, serta menerapkan family centered care yang melibatkan anggota keluarga sejak hari pertama rawat inap.
Tanda Vital dan Tingkat Kesadaran Pasien Stroke Manoppo, Arlien Jeannete; Anderson, Elisa
NUTRIX Vol 8 No 1 (2024): Volume 8, Issue 1, 2024
Publisher : Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Klabat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37771/nj.v8i1.1093

Abstract

Blockage or rupture of blood vessels in the brain can cause neurological disorders, such as decreased consciousness. Apart from that, it can also interfere with the regulation of other vital signs, such as body temperature, heart rate, oxygen levels in the blood, and blood pressure. The aim of this study was to analyze the correlation between vital signs and the level of consciousness of stroke patients in the neurology inpatient room. This research used an analytical observational design with a cross sectional approach, involving 82 respondents using convenience sampling techniques. The findings from this study were that the average temperature value (36.6°C), heart rate (81 times/minute), and oxygen levels in the blood of stroke patients (96%) were within normal limits, but the systolic blood pressure value (146) and diastolic (87) on average increased, the GCS assessment of the patient's level of consciousness (11) was still below normal, and there was no significant relationship between vital signs and level of consciousness (p>.05). Recommendations for further research are to increase the sample size and use multivariate analysis for better results. Sumbatan atau pecahnya pembuluh darah di otak dapat menyebabkan gangguan neurologi, seperti penurunan kesadaran. Selain itu, dapat juga mengganggu regulasi tanda vital lainnya, seperti suhu tubuh, denyut jantung, kadar oksigen dalam darah, dan tekanan darah. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis korelasi tanda vital dan tingkat kesadaran pasien stroke di ruang rawat inap neurologi. Penelitian ini menggunakan desain observasional analitik dengan pendekatan cross sectional, dengan melibatkan 82 responden melalui teknik convenience sampling. Temuan hasil dari penelitian ini adalah rata-rata nilai suhu: 36,6°C, denyut jantung: 81 kali/menit, dan kadar oksigen dalam darah pasien stroke: 96% berada dalam batas normal, tetapi nilai tekanan darah sistolik: 146 mmHg dan diastolik: 87 mmHg rata-rata mengalami peningkatan dari batas normalnya, penilaian GCS dari tingkat kesadaran pasien: 11 masih di bawah normal, serta tidak ada hubungan yang signifikan antara tanda vital dengan tingkat kesadaraan (p-value > ,05). Rekomendasi bagi penelitian selanjutnya untuk menambah jumlah sampel dan menggunakan analisis multivariat untuk hasil yang lebih baik.
A Concept Analysis: Tenacity of Post-Stroke Patients in Rehabilitation Programs Anderson, Elisa
NUTRIX Vol 8 No 2 (2024): Volume 8, Issue 2, 2024
Publisher : Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Klabat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37771/nj.v8i2.1175

Abstract

Stroke is a major global health issue, with rehabilitation offering significant benefits. However, adherence is often compromised. Tenacity, defined by persistence and determination, is essential for effective rehabilitation but is often overlooked and poorly evaluated in clinical settings. This analysis aims to clarify the concept of tenacity in post-stroke rehabilitation and assess its impact on outcomes. Walker and Avant's eight-step framework is used to examine tenacity, drawing data from relevant stroke rehabilitation literature. The analysis reveals that tenacity has several key attributes, including adaptability, self-motivation, determination, perseverance, resilience, and persistence. Antecedents of tenacity include factors such as the severity of the stroke, family support, and access to rehabilitation resources. High levels of tenacity lead to improved rehabilitation outcomes, such as enhanced mobility and quality of life. Tenacity is an essential component in the rehabilitation of post-stroke patients that can significantly improve rehabilitation outcomes. A better understanding of tenacity can aid healthcare professionals in designing more effective interventions to support patients in their rehabilitation programs. Further research is needed to develop valid and reliable tools for assessing tenacity and to evaluate interventions that can enhance patient tenacity.