Judging from the history of the emergence of Shia there are different views of Shia leaders. Some say that the early emergence of Shi'ism was just a political movement. This is seen by the support for Sayyidina Ali as caliph after the death of the Prophet. Another opinion states his appearance as a supporter and follower of Sayyidina Ali in the battle of Jamal and Shiffin. However, it is different from a contemporary thinker who wrote about Shi'ism in the book Al-Khututh al-'Aridhah Li Dini al-Syi‘ah, namely Muhibuddin al-Khatib. Departing from the contradiction of the emergence of Shi'ism itself, this paper aims to explore the opinion of Muhibuddin al-Khatib. This research is a qualitative study of literature. Sources of data were obtained from books, journals, articles, and everything relevant to this research. This research method uses a comparative method of the opinion of Shia leaders. As for the results of this research, according to Muhibuddin al-Khatib, the early emergence of Shiites in the first period was political and not religious, where the imams of the Ahl al-Bayt handed over all rights to all people in terms of power and deliberation, as well as the rights of all Muslims in choosing and nominating who entitled to the caliphate. However, there is an evolution in Shiite thought about the transformation of Shiite groups from politics to religion by the "Imamiyah" who link the idea of the "Imamah Ilahiyah". More than that, believing in the Imamate has been included in the pillars of faith. Muhibuddin al-Khatib concludes that the Shi'ites have made their priests like God. Thus, the theology becomes the core and principle of Shi'ism which changes from a political face to a theology. So, Muhibuddin al-Khatib concluded that Shi'ism is not just a school or sect, but has turned into a religion. This is because there are special beliefs that are not found in Muslims who follow the Qur'an and the Sunnah of the Prophet. Dilihat dari sejarah kemunculan Syiah terdapat perbedaan pandangan dari para tokoh Syiah. Ada yang menyatakan bahwa awal kemunculan Syiah hanyalah gerakan politik. Ini dilihat dari dukungan terhadap Sayyidina Ali sebagai khalifah pasca wafatnya Nabi. Pendapat lain menyatakan kemunculannya sebagai pendukung dan pengikut Sayyidina Ali dalam pertempuran Jamal dan Shiffin. Akan tetapi, berbeda dengan seorang tokoh pemikir kontemporer yang menulis tentang Syiah dalam kitab Al-Khututh al-‘Aridhah Li Dini al-Syi‘ah, yakni Muhibuddin al-Khatib. Berangkat dari kontradiksi kemunculan Syiah itu sendiri, makalah ini bertujuan menelusuri pendapat Muhibuddin al-Khatib. Penelitian ini merupakan kajian kualitatif pustaka. Sumber data diperoleh dari buku, jurnal, artikel dan segala hal yang relevan dengan penelitian ini. Metode penelitian ini menggunakan metode komparatif pendapat para tokoh Syiah. Adapun hasil penelitian ini adalah menurut Muhibuddin al-Khatib awal munculnya Syiah pada periode pertama bersifat politik bukan agama, di mana para imam Ahlul Bait menyerahkan seluruh hak kepada seluruh umat dalam hal kekuasaan dan musyawarah, serta hak semua muslim dalam pemilihan dan mencalonkan siapa yang berhak atas kekhalifahan. Akan tetapi, terdapat evolusi dalam pemikiran Syiah tentang transformasi kelompok Syiah dari politik ke agama oleh "Imamiyah" yang menghubungkan gagasan "imamah ilahiyyah". Lebih dari itu, mengimani imamah telah dimasukkan ke dalam rukun iman. Muhibuddin al-Khatib menyimpulkan bahwa Syiah telah menjadikan para imam-imam mereka seperti Tuhan. Sehingga, teologi tersebut menjadikan inti dan asas dari Syiah yang merubah dari wajah politik menjadi teologi. Maka, Muhibuddin al-Khatib berkesimpulan bahwa Syiah bukan hanya sekedar mazhab maupun sekte, akan tetapi sudah berubah menjadi agama. Ini dikarenakan terdapat kepercayaan khas yang tidak ditemukan pada orang Islam pengikut al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah.