Claim Missing Document
Check
Articles

Found 12 Documents
Search

PSIKOANALISIS TOKOH UTAMA TURI-TURIAN LEGENDA BATU BASIHA DI DESA AEK BOLON KECAMATAN BALIGE Ega, Revaldo; Siahaan, Jamorlan
Kompetensi : Jurnal Pendidikan dan Humaniora Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan UNIBA Vol 16 No 1 (2023): Kompetensi
Publisher : Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Balikpapan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36277/kompetensi.v16i1.101

Abstract

Psikologi sastra adalah disiplin penelitian sastra yang membicarakan persoalan manusia dari aspek kejiwaan. Hal inilah yang membuat penulis tertarik menganalisis psikologi yang terdapat dalam Legenda Batu basiha. Adapun judul artikel ini Kekuatan Superego Tokoh Utama Turi-Turian Legenda Batu Basiha di Desa Aek Bolon Kecamatan Balige. Masalah dalam artikel ini yakni bagaimana id, ego dan super ego pada Turi-Turian Legenda Batu basiha Di Desa Aek Bolon, Kecamatan Balige. Teori yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada teori tentang psikoanalisis Sigmund Freud. Pendekatan yang peneliti gunakan pendekatan kualitatif, jenis penelitian ini perpustakaan, metode yang digunakan metode deskriptif. Hasil penelitian antara lain unsur id pada tokoh utama ini yakni memiliki sifat giat, ramah tamah kepada masyarakat serta penuh semangat dalam menjalani kehidupannya. Unsur ego pada tokoh utama antara lain berkeinginan membangun Jabu Bolon akan tetapi belum tercapai berhubung tidak ada teman bertukar pikiran. Dan unsur superego tokoh utama ini yakni sosok gagah perkasa yang melawan harimau dan semangat membangun Jabu Bolon.
BENTUK DAN RITUAL MANGAN NA PAET DI ALIRAN KEPERCAYAAN PARMALIM ETNIK BATAK TOBA Silalahi, Ayudya Annisa; Siahaan, Jamorlan; damanik, Ramlan
Kompetensi : Jurnal Pendidikan dan Humaniora Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan UNIBA Vol 17 No 1 (2024): Kompetensi
Publisher : Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Balikpapan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36277/kompetensi.v17i1.220

Abstract

Upacara ritual Mangan na Paet merupakan praktik penting dalam kepercayaan masyarakat Parmalim, yang secara harfiah berarti "makan yang pahit." Frasa ini memiliki makna simbolis dan spiritual, mengajarkan filosofi hidup Parmalim tentang menerima kesulitan dan penderitaan sebagai bagian dari proses spiritual dan pembelajaran hidup. Penelitian mengenai kearifan lokal dalam ritual ini bertujuan mengungkap nilai-nilai penting seperti penghormatan terhadap leluhur dan alam, gotong royong, pelestarian tradisi, seni dan budaya lokal, serta nilai spiritual dan moral. Menggunakan teori kearifan lokal dari Sibarani, yang dibagi menjadi kearifan lokal kedamaian dan kesejahteraan, penelitian ini menerapkan pendekatan kualitatif dengan triangulasi data untuk menggali pemahaman mendalam mengenai ritual Mangan na Paet. Metode pengumpulan data meliputi observasi, wawancara, dan dokumentasi, sedangkan analisis data dilakukan secara deskriptif dan kualitatif untuk menghasilkan kesimpulan objektif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai kearifan lokal kedamaian dalam ritual ini mencakup etika, kebenaran, solidaritas, kedamaian, mediasi, dan konsistensi. Sementara itu, kearifan lokal kesejahteraan meliputi kerja keras dan pendidikan. Ritual Mangan na Paet dalam kepercayaan Parmalim memiliki makna mendalam, memperkuat identitas budaya, dan menjadi media edukasi bagi generasi muda dalam memahami nilai-nilai luhur kepercayaan ini.
The Functions and Meanings of Dalihan Na Tolu for the Toba Batak Tribe: Oral Tradition Study siahaan, jamorlan; barus, asni
LINGUA : Jurnal Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya Vol. 20 No. 2 (2023): September
Publisher : Center of Language and Cultural Studies

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30957/lingua.v20i2.820

Abstract

Oral traditions, oral culture and oral customs are messages or testimonies that are passed down from generation to the next generation. The message or testimony is deliverd by words, speeches, songs, and can be in the form of rhymes, folklore, advice, ballads, or songs. Dalihan na tolu means three pillars of the furnace. Dalihan is made by stone that is arranged neatly so the shape becomes elongated round and has a blunt end so that it can be used as a place for cauldrons and pots so that they doesn’t shake. The formulation of the problem in this research are 1) What is the function of dalihan na tolu, 2) What is the meaning of dalihan na tolu, 3) What is the message of dalihan na tolu. The aims and benefit of this research are to describe the meaning and the function as well as the message that be delivered to the community, while the benefit is to develop the knowledge and support the institution/management. The theory used is the theory of Dj. Rajamarpodang G. (1995). The basic method is the method that used in terms of the data collection process, to the analysis stage by applying to the subject matter. This research method used a descriptive method, namely research that seeks to describe a current problem that solving based on data as well as presenting data and interpreting data (Narbuko, 1994:4). The discussion in this dalihan na tolu research is to explain the hulahula (uncle), boru (female) group and the dongan sauntunga (semarga friends) group in the event of joy and sorrow in terms of meaning, message and function be delivered orally.
PARJAMBARAN DALAM UPACARA ADAT MARUNJUK DI DESA SANGKARNIHUTA SITOLU BAHAL KECAMATAN BALIGE ETNIK BATAK TOBA: KAJIAN SEMIOTIK Napitupulu, Alessandro A.; Siahaan, Jamorlan
Asas: Jurnal Sastra Vol 13, No 1 (2024): ASAS : Jurnal Sastra
Publisher : Fakultas Bahasa dan Seni

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24114/ajs.v13i1.58833

Abstract

Dalam penelitian ini penulis menggunakan kajian semiotik. Penelitian bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk simbol yang terdapat dalam Parjambaran Dalam Upacara Adat Marunjuk Etnik Batak Toba, mendeskripsikan fungsi Simbol yang terdapat dalam upacara adat Parjambaran Dalam Upacara Adat Marunjuk Etnik Batak, mendeskripsikan makna simbol yang terdapat dalam upacara adat Parjambaran Dalam Upacara Adat Marunjuk Etnik Batak Toba. Teori yang digunakan untuk menganalisis data ini merupakan teori semiotik yang dikemukakan oleh Charles Sanders Peirce. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif.  Menemukan hasil penelitian yakni: Parjaambaran Dalam Upacara Adat marunjuk terdapat delapan bentuk, fungsi, dan makna simbol, yaitu antara lain: ulu (kepala babi), ihur (ekor babi), aliang (leher babi), ate-ate (hati babi), somba-somba (rusuk babi), soit (pangkal paha), panomboli (punggung babi), osang (rahang bawah babi).
Interkulturasi Budaya Sunda dalam Masyarakat Batak-Toba pada Film "Tulang Belulang Tulang" Zul Fahmi, Lisan Shidqi; Siahaan, Jamorlan; Tampubolon, Flansius
LOKABASA Vol 16, No 1 (2025): April 2025
Publisher : UPI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.17509/jlb.v16i1.81203

Abstract

The super-diversity of Indonesian society has led to interculturality, where every tradition can be changed and/or mixed, intentionally or unintentionally. This condition is often documented in literary works, where the film Tulang Belulang Tulang (Uncle’s Bones) (2024), directed by Sammaria Sari Simanjuntak, also depicts the cultural interculturality of Sundanese culture to the Batak-Toba community. Therefore, this research aims to analyse the interculturality that is shown and spoken through the visuals and dialogue between each character, using the Critical Discourse Analysis (CDA), which is studied qualitatively with descriptive results through the 7 elements of cultural approach (Koentjaraningrat, 2004). This study's results show several interculturation phenomena that occur in culture through the aspects of (1) language and (2) knowledge system. In language interculturation, some scenes show code-switching from Indonesian to Sundanese in a social environment of the Batak-Toba community. Meanwhile, the understanding of the Sundanese gastronomic products depicted and described is evidence of interculturation in the knowledge system.
Tahapan Pemberian Ulos dalam Upacara Adat Marunjuk Etnik Batak Toba : Kajian Kearifan Lokal Manurung, Lasmaria; Tampubolon, Flansius; Sinulingga, Jekmen; Siahaan, Jamorlan; Sinaga, Warisman
Jurnal Pendidikan Tambusai Vol. 8 No. 2 (2024)
Publisher : LPPM Universitas Pahlawan Tuanku Tambusai, Riau, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian yang berjudul “Tahapan Pemberian Ulos Dalam Adat Marunjuk Etnik Batak Toba” ini bertujuan untuk menggambarkan tahapan pemberian ulos dalam adat marunjuk suku Batak Toba, jenis-jenis ulos yang digunakan, serta nilai kearifan lokal yang terkandung dalam upacara tersebut. Teori yang digunakan untuk analisis adalah teori kearifan lokal dari Sibarani. Metode penelitian yang diterapkan adalah kualitatif deskriptif dengan teknik penelitian lapangan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: (1)Tahapan pemberian ulos dalam upacara adat marunjuk meliputi: Pemilihan ulos oleh pihak parboru untuk diberikan kepada penerima.Penerima ulos duduk di lokasi yang telah ditentukan.Ulos diberikan dengan cara dibentangkan dan disematkan sambil menyampaikan umpasa.Ulos pertama kali diberikan oleh orang tua pengantin wanita kepada orang tua pengantin pria, dan diakhiri dengan pemberian ulos tulang kepada kedua mempelai. Pesan dari pemberian ulos adalah untuk menyatukan dua jiwa dalam pemberkatan.(2)Jenis ulos yang digunakan dalam upacara adat marunjuk meliputi 7 jenis yang disepakati oleh kedua keluarga, yaitu: ulos passamot, ulos hela bersama dengan mandar hela, ulos pamarai, ulos simanggonghon, ulos simolohon, ulos sihutti ampang, dan ulos tulang yang diberikan pada akhir upacara oleh pihak tulang kepada kedua mempelai sambil menyampaikan umpasa. Selain itu, pengantin juga menerima ulos holong dari para tamu undangan sebelum pemberian ulos tulang.(3)Pesan tuturan dalam upacara ini mencakup saling mengasihi, saling percaya, menolak perceraian, mengandalkan Tuhan, saling menghargai, hidup rukun dalam rumah tangga, dan menghormati orang tua.(4)Nilai kearifan lokal dalam tata cara pemberian ulos mencakup nilai kesopanan, kerukunan, penyelesaian konflik, komitmen, rasa syukur, kepedulian dan kasih sayang, rasa hormat, gotong royong, pelestarian dan kreativitas budaya, serta cinta budaya.
Kearian Lokal Mangido Tuani Gondang dalam Upacara Adat Saur Matua Sihombing, Sulastri Tiur L.; Herlina, Herlina; Siahaan, Jamorlan; Sinulingga, Jekmen; Sinaga, Warisman
Jurnal Pendidikan Tambusai Vol. 8 No. 2 (2024)
Publisher : LPPM Universitas Pahlawan Tuanku Tambusai, Riau, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Mangido tuani gondang adalah ritual pembuka dalam upacara adat saur matua dengan maksud meminta izin dan berkat. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan tahap-tahap dan jenis kearifan lokal apa saja yang terdapat pada tradisi mangido tuani gondang dalam upacara adat saur matua etnik Batak Toba. Metode penelitian yang digunakan peneliti adalah metode deskriptif kualitatif. Teori yang digunakan pada penelitian ini adalah kearifan lokal yang dikemukakan oleh Robert Sibarani. Berdasarkan hasil penelitian, peneliti menemukan terdapat tiga tahapan dalam tradisi mangido tuani gondang dalam upacara adat saur matua. Tahapan tradisi mangido tuani gondang dalam upacara adat saur matua etnik batak toba terdiri dari tiga tahap, yakni : (a) pasahat boras sakti; (b) pangalu-aluhon tu Amanta Na Martua Debata, sahala raja, loloan natorop dan (c) maminta gondang. Terdapat nilai kearifan lokal yakni 10 nilai kedamaian, yang meliputi: kesopansantunan, kejujuran, kesetiakawanan sosial, kerukununan dan penyelesaian konflik, komitmen, pikiran positif, rasa syukur, amanah, pengendalian, kepedulian dan kasih sayang, rasa hormat dan 8 nilai kesejahteraan yang meliputi: kerja keras, disiplin, Kesehatan, gotong royong, pengelolaan gender, pelestarian dan kreatifitas budaya, kemandirian dan cinta budaya.
Legenda Pusuk Buhit: Kajian Antropologi Sastra Hutagalung, Irfan Hamonangan; Tampubolon, Flansius; Siahaan, Jamorlan; Sinulingga, Jekmen; Sinaga, Warisman
Jurnal Pendidikan Tambusai Vol. 8 No. 2 (2024)
Publisher : LPPM Universitas Pahlawan Tuanku Tambusai, Riau, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini berjudul Legenda Pusuk Buhit: Kajian Antropologi Sastra. Pusuk Buhit merupakan salah satu puncak di pinggir barat Danau Toba. Dalam mitologi Batak, puncak tersebut diceritakan sebagai tempat kelahiran Si Raja Batak. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan unsur-unsur instrinsik dan wujud budaya yang terdapat pada Legenda Pusuk Buhit di Desa Aek Sipitudai Kabupaten Samosir. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Teori yang digunakan dalam menganalisis data penelitian ini adalah teori struktural yang dikemukakan oleh Nurgianto dan teori budaya yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat. Pada penelitian ini ditemukan unsur-unsur intrinsik berupa (1) tema yaitu Perjuangan melawan rintangan dalam mencapai tujuan kehidupan; (2) latar/setting yaitu Latar tempat meliputi Banua Ginjang, samudera, Banua Tonga, dan langit, dengan suasana yang mencakup ketegangan, keputusasaan, harapan, dan kebahagiaan; (3) penokohan/perwatakan yaitu terdapat 8 tokoh antara lain Mulajadi Nabolon, Manuk-Manuk Halambujati, Batara Guru, Mangala Bulan, Si Boru Deak Parujar, Si Raja Odap-Odap, Naga Padoha, Leang Leang Mandi. (4) sudut pandang dalam cerita ini yaitu Legenda Pusuk Buhit memiliki sudut pandang orang ketiga; (5) gaya bahasa pada cerita ini yaitu bersifat naratif; dan (6) amanat pada cerita ini yaitu kesabaran dan kegigihan dalam menghadapi rintangan, kemandirian dan keberanian dalam menjalani hidup, penghargaan terhadap perubahan, serta pentingnya kerja keras dan inovasi yang bisa menghasilkan sesuatu yang besar dan bermakna. Selain itu, ditemukan hasil wujud budaya yang terdapat pada cerita Pusuk Buhit berupa: ide yang mencakup hamoraon, hagabeon, dan hasangapon; perilaku/aktivitas yang mencakup Somba Marhula-hula, Elek Marboru, Manat Mardongan Tubu. Serta hasil karya, yang mencakup adat-istiadat,marga dan aturan adat, Tala-tala, Persaktian Pusuk Buhit, Batu Hobon, dan Sopo Guru Tateabulan.
Ornamen Makam Raja Sidabutar : Kajian Semiotika Panjaitan, Novita Marlina; Tampubolon, Flansius; Sinulingga, Jekmen; Siahaan, Jamorlan; Sinaga, Warisman
Jurnal Pendidikan Tambusai Vol. 8 No. 3 (2024)
Publisher : LPPM Universitas Pahlawan Tuanku Tambusai, Riau, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Makam adalah tempat peristirahatan terakhir seseorang yang sudah meninggal dunia. Salah satunya makam Raja Sidabutar yang merupakan makam tertua di Tomok, raja Sidabutar ini adalah orang yang pertama berada di Tomok dan memiliki banyak sejarah kehidupan raja-raja Sidabutar yang dikenal dengan kesaktiannya. Raja Sidabutar ini sebelum meninggal mereka sudah mempersiapkan makam nya. Makam raja Sidabutar ini dibuat dari batu alam yang diukir berbentuk kepala yang ukiran dipahat oleh tangan (gorga) yang menjadi simbol spiritual orang Batak Toba dengan tiga warna yaitu: merah artinya keberanian, putih artinya kesucian, hitam artinya kepemimpinan. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk simbol yang ditemukan dalam makam Raja Sidabutar, mendeskripsikan fungsi dan makna simbol yang terdapat pada makam Raja Sidabutar. Teori yang digunakan untuk menganalisis data hasil penelitian ini merupakan teori semiotik yaitu simbol yang dikemukakan oleh Peirce dan makna yang dikemukan oleh Ogden dan Richard. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa simbol yang terdapat pada makam Raja Sidabutar memiliki 13 bentuk Simbol, fungsi simbol dan makna simbol yang meliputi simbol peralatan, simbol mantra. Makam Raja Sidabutar memiliki 10 jenis simbol peralatan antara lain : Ulos, Pintu masuk makam Raja Sidabutar, cicak "Boras Pati", payudara "Odap-odap", makam Raja Sidabutar (Ompu Soribuntu Sidabutar), makam Raja Sojoloan Sidabutar (Ompu Na Ibatu), anting malela boru Sinaga, rambut panjang "Simba", Dalihan Na Tolu, bendera Batak Toba.1 jenis simbol mantra yaitu : bunga dan air. 3 jenis simbol peralatan antara lain : panglima Tengku Muhammad Said, makam Ompu Solompoan Sidabutar, pintu keluar makam Raja Sidabutar. Setiap simbol memiliki fungsi dan makna yang tertentu terhadap makam Raja Sidabutar. Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa makam Raja Sidabutar masih memiliki tradisi yang hingga saat ini dilakukan dan dilaksanakan. Sehingga peninggalan sejarah raja Sidabutar tidak hilang dan masih memiliki simbol dan fungsi serta makna yang terdapat pada makam Raja Sidabutar.
PARJAMBARAN DALAM UPACARA ADAT MARUNJUK DI DESA SANGKARNIHUTA SITOLU BAHAL KECAMATAN BALIGE ETNIK BATAK TOBA: KAJIAN SEMIOTIK Napitupulu, Alessandro A.; Siahaan, Jamorlan
Asas: Jurnal Sastra Vol. 13 No. 1 (2024): ASAS : Jurnal Sastra
Publisher : Fakultas Bahasa dan Seni

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24114/ajs.v13i1.58833

Abstract

Dalam penelitian ini penulis menggunakan kajian semiotik. Penelitian bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk simbol yang terdapat dalam Parjambaran Dalam Upacara Adat Marunjuk Etnik Batak Toba, mendeskripsikan fungsi Simbol yang terdapat dalam upacara adat Parjambaran Dalam Upacara Adat Marunjuk Etnik Batak, mendeskripsikan makna simbol yang terdapat dalam upacara adat Parjambaran Dalam Upacara Adat Marunjuk Etnik Batak Toba. Teori yang digunakan untuk menganalisis data ini merupakan teori semiotik yang dikemukakan oleh Charles Sanders Peirce. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif.  Menemukan hasil penelitian yakni: Parjaambaran Dalam Upacara Adat marunjuk terdapat delapan bentuk, fungsi, dan makna simbol, yaitu antara lain: ulu (kepala babi), ihur (ekor babi), aliang (leher babi), ate-ate (hati babi), somba-somba (rusuk babi), soit (pangkal paha), panomboli (punggung babi), osang (rahang bawah babi).