Analisis data spasial memiliki peranan penting dalam bidang kesehatan, khususnya ketika distribusi masalah kesehatan tidak merata di seluruh wilayah. Salah satunya adalah metode Cokriging, yang diterapkan untuk memprediksi prevalensi di daerah yang belum teramati, sekaligus mengatasi tantangan ketidaklengkapan data spasial akibat keterbatasan biaya, sumber daya, atau akses ke lokasi tertentu. Penelitian ini bertujuan untuk mengestimasi prevalensi kekurangan zat besi di Indonesia menggunakan metode Cokriging. Sebagai analisis lanjut dari data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, penelitian ini menggunakan data dari 15.045 individu yang memiliki informasi kadar ferritin dan C-Reactive Protein (CRP), yang tersebar di 154 kabupaten/kota di empat pulau: Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi. Ferritin digunakan sebagai variabel utama, sementara CRP sebagai variabel sekunder. Evaluasi model dilakukan dengan Leave-One-Out-Cross-Validation (LOOCV), dan akurasi model diukur menggunakan Mean Error (ME) dan Root Mean Squared Error (RMSE). Hasil penelitian menunjukkan prevalensi kekurangan zat besi bervariasi signifikan antar wilayah. Kabupaten Batang dan Minahasa Selatan teridentifikasi dalam kategori "tidak ada masalah kesehatan". Selain itu 274 kabupaten/kota di Indonesia berada pada kategori prevalensi ringan, seperti Kabupaten Berau, Gunung Mas, dan Bangkayang, sementara 132 kabupaten/kota tercatat dengan prevalensi sedang seperti Kabupaten Sidenreng Rappang, Tapanuli Tengah, dan Sukoharjo. Kabupaten Pare-pare terdeteksi pada prevalensi tinggi (≥40%), tingginya prevalensi di wilayah ini perlu dicermati lebih lanjut karena kemungkinan disebabkan oleh jumlah sampel yang sangat sedikit. Temuan ini menunjukkan bahwa sebagian besar kabupaten/kota di Indonesia tergolong dalam kategori prevalensi ringan hingga sedang. Gambaran ini dapat menjadi dasar penting dalam merancang kebijakan kesehatan terkait penanggulangan kekurangan zat besi di Indonesia.