Claim Missing Document
Check
Articles

Found 8 Documents
Search

Pluralism And Freedom Of Religion In Indonesia In Context Of The Religious Blasphemy Prevention Act Johannes Johny Koynja
Unram Law Review Vol 2 No 1 (2018): Unram Law Review (ULREV)
Publisher : Faculty of Law, University of Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29303/ulrev.v2i1.37

Abstract

The point of the problem spectrum that becomes the legal issue in this article is in the establishment of the Act Number 1/PNPS/1965 on Prevention of Abuse and/or Blasphemy to the Religion as requested its examination to the Constitutional Court. The Constitutional Court of the Republic of Indonesia in its decision assess that the Applicant, in fact, wishes only to look for interpretation and form "freedom of religion and confidence" in Indonesia. For that, the legal analysis was done to the problem of pluralism of religion in Indonesia it's bearing on the implementation of the Religious Blasphemy Prevention Act, ideally, include three analysis, that is governance science (bestuurkundige), human rights, and freedom of religion values analysis of requested its examination to the Constitutional Court. Discussion concerning relations among religion and state become to draw to be studied by its bearing about how the ought relationship of religion and state in Indonesia society embracing pluralism. The freedom of religion and confidence, in fact, do not represent absolute matter the religious believers to free and ease, but Also have to at one's feet of demarcation the religious believers there are in Article 28J of the sentence (2) The 1945 Constitution of the Republic of Indonesia as the supreme law of the which represent Staatsfundamentalnorm roommates giving guidance of freedom of religion and confidence in Indonesia. In the context needed or it's not the Religious Blasphemy Prevention Act, all-important only how State or Government able give the guarantee that law and regulation the which published can become base management of conflict between society the which is plural wisely and can become socio-cultural supporter national tighten tying, arrange the democratic system and governance, so that various distortion potency flange at the happenings of interfaith conflict, internal conflict and external Also can lessen, not simply forming and equipping peripherals of law and regulation.
Konstitusionalitas Fungsi dan Wewenang Wakil Presiden RI Setelah Amandemen UUD 1945 Johannes Johny Koynja
Jatiswara Vol 30 No 2 (2015): Jatiswara
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (546.498 KB)

Abstract

This article represent effort to reflect again how far the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia have guaranteed constitutionality function and authority of Vice President of Republic of Indonesia as "assistant" President which still there are dimness or ill defined norm (vague van normen) and also continuous to become polemic. The 1945 Constitution of the Republic of Indonesia do not give clear arrangement, adequate and coherent about how in fact form relation mechanism work and division of authority between Presidents with Vice President which have been elected as a single ticket directly by the people, considering that Vice President is "partner which is image" with President because both have been elected as a single ticket directly by the people. Including the Article 4 Paragraph 2 the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia does not give interpretation of authentic concerning term "The President shall be assisted by a Vice President".
Jaminan Kerahasiaan Informasi Pajak Atas Harta Benda Wajib Pajak Dalam Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara Yang Dijalankan Badan Pemeriksa Keuangan Johannes Johny Koynja
Jatiswara Vol 31 No 2 (2016): Jatiswara
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (635.134 KB)

Abstract

This study departs from the legal issues that were born from the conflict of two interests are equally protected by the constitution, namely: First, the interest in the form of the constitutional rights of the taxpayer on his property, in this case the guarantee of confidentiality is protected by law on all the information that has been given to the state (tax authorities) in respect of its obligations to pay taxes according to the principle of self-assessment; Secondly, the benefit in the form of constitutional authority of Audit Board of the Republic of Indonesia (BPK) to audit state finances freely and independently. There are two questions of urgency in the research related to the conflict norm constitutional authority of Audit Board of the Republic of Indonesia (BPK) to information on property tax taxpayer, namely: First, where was the norm conflicts related to the constitutional authority of the Supreme Audit Agency (BPK) to get property tax on the Taxpayer? Second, how real implementation Taxpayer confidentiality to information on property tax Taxpayer with the implementation of self assessment system in the Indonesian tax system? egislation governing state finances, namely the Act Number 17 of 2003 on State Finance and the Act Number 15 of 2004 concerning Management and Accountability of State Finance, and the Act Number 15 of 2006 regarding the Supreme Audit Agency (BPK) has placed the Supreme Audit Agency (BPK) as a body that tends to monopoly the inspections on state finances, in addition to creating instability in the taxation sector.
Konsekuensi Hukum bagi Pelaku Kekerasan terhadap Jurnalis : Legal Consequences for Perpetrators of Violence against Journalists Hendrikus Haipon; Dolfries Jakop Neununy; Mas’odi; Johannes Johny Koynja; Hamzah Mardiansyah
Jurnal Kolaboratif Sains Vol. 7 No. 8: Agustus 2024
Publisher : Universitas Muhammadiyah Palu

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.56338/jks.v7i8.5996

Abstract

Jurnalis adalah seorang profesional yang terlibat dalam pengumpulan, penulisan, penyuntingan, dan penyebaran berita atau informasi kepada publik melalui berbagai media, seperti surat kabar, televisi, radio, dan platform online. Tugas utama jurnalis adalah mengumpulkan informasi secara akurat dan objektif, serta menyajikannya kepada masyarakat dengan cara yang dapat dimengerti dan bermanfaat. Dalam menjalankan tugas profesinya, jurnalis terkadang mengalami hambatan dan rintangan bahkan sering terjadi kekerasan terhadap jurnalis. Kekerasan terhadap jurnalis adalah pelanggaran serius yang harus dihadapi dengan hukuman yang tegas. Hukum pidana, perlindungan khusus, dan sanksi perdata adalah beberapa bentuk konsekuensi hukum yang dapat diterapkan pada pelaku. Namun, penegakan hukum yang efektif dan dukungan dari semua pihak sangat penting untuk memastikan keadilan dan perlindungan bagi jurnalis. Negara-negara harus bekerja sama untuk memperkuat sistem hukum mereka dan memastikan bahwa kekerasan terhadap jurnalis tidak terjadi tanpa konsekuensi.
Ketidakpatuhan Lembaga Pembentuk Undang-Undang terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 91/Puu-XVIII/2020 Ditinjau dari Asas Penyelenggaraan Negara yang Baik Muhamad Afif Amanullah; Rusnan; Johannes Johny Koynja; Agung Setiawan
Jurnal Diskresi Vol. 3 No. 2 (2024): Jurnal Diskresi
Publisher : Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum, Ilmu Sosial, dan Ilmu Politik Universitas Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29303/diskresi.v3i2.6023

Abstract

Penelitian dengan judul Ketidakpatuhan Lembaga Pembentuk Undang-undang Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 Ditinjau Dari Asas Penyelenggaraan Negara yang Baik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Implikasi dari ketidakpatuhan Pembentuk Undang-undang terhadap putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 91/PUU-XVIII/2020 ditinjau dari asas-asas penyelenggaraan negara yang baik dan untuk mengetahui solusi agar tidak terjadi ketidakpatuhan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi. Penelitian ini menggunakan pendekatan hukum normatif. Hasil penelitian : implikasinya, adanya sengketa hukum baru, melanggar prinsip Check and Balances, dan hilangnya marwah dari sifat Putusan Mahkamah Konstitusi serta kelembagaan Mahkamah Konstitusi. terdapat dua alasan mengapa pembentuk undang-undang melakukan ketidakpatuhan. Pertama, adanya politik hukum yang diakukan olehpemerintah, kedua lemahnya kelembagaan Mahkamah Konstitusi.selain itu terdapat beberapa asas penyelenggaraan negara yakni asas kepastian hukum, kepentingan umum, dan tertib penyelenggaraan negara. Solusi yang dapat ditawarkan agar tidak terjadinya ketidakpatuhan adalah memuat tenggang waktu dalam putusan dan merevisi undang-undang Mahkamah Konstitusi serta undang-undang pembentukan peraturan perundang-undangan dengan memasukan norma tentang sanksi bagi pihak yang tidak mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi.
Bentuk Putusan Mahkamah Konstitusi yang Bersifat Final dan Mengikat ( Suatu Kajian Filosofis) Rusnan; Johannes Johny Koynja; Ashari
Jurnal Diskresi Vol. 3 No. 2 (2024): Jurnal Diskresi
Publisher : Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum, Ilmu Sosial, dan Ilmu Politik Universitas Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29303/diskresi.v3i2.6025

Abstract

Tujuan penelitian ini untuk melihat putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat. Motode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian normative dengan pendekatan kajian perundang-undangan dan pendekatan konseptual, analisa baha hukum yang digunakan adalah metode penafsiran perundang-undangan dan penafsiran autentik serta kajian filosofis. Hasil penelitian ini diharapkan adanya kejelasan hakekat putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat. Luaran penelitian ini dalam bentuk bahan ajar mengenai matakuliah yang terkait dalam bidang ini serta luaran tambahan dalam bentuk jurnal nasional yang ber-ISSN.
KEWENANGAN AJUDIKASI KHUSUS OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PELAYANAN PUBLIK Mustika Fuji Astuti; Johannes Johny Koynja; AD. Basniwati; Muh. Alfian Fallahiyan
Jurnal Diskresi Vol. 4 No. 1 (2025): Jurnal Diskresi
Publisher : Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum, Ilmu Sosial, dan Ilmu Politik Universitas Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29303/diskresi.v4i1.7440

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaiman proses pelaksanaan Ajudikasi Khusus Ombudsman Republik Indonesia dalam penyelesaian sengketa pelayanan publik; serta mengetahui bagaimana kekuatan hukum putusan Ajudikasi Khusus Ombudsman Republik Indonesia dalam penyelesaian sengketa pelayanan publik. Penelitian ini dilakukan dengan metode normatif, dengan menggunakann pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conseptual approach). Hasil penelitian yang ditemukan proses ajudikasi khusus oleh Ombudsman dilakukan melalui 5 (lima) tahapan, yakni 1) pemeriksaan awal yang berupa verifikasi terkait dengan kewenangan pihak komisi Ombudsman dan kedudukan hukum pemohon dan termohon; 2) setelah permohonan ajudikasi pemohon diterima maka pemohon melakukan pembuktian dengan menunjukkan alat bukti berupa saksi, surat dan/atau dokumen, serta petunjuk yang dapat memudahkan proses ajudikasi; 3) tahap berikutnya adalah pemeriksaan saksi, dimana ajudikator akan meminta keterangan seseorang yang terlibat dalam sengketa pelayanan publik; 4) setelah seluruh tahapan dilakukan, maka selanjutnya adalah kesimpulan para pihak yang akan diberi kesempatan oleh ajudikator untuk menyampaikan kesimpulan bagi para pihak; 5) tahap terakhir adalah pembacaan putusan oleh ajudikator serta penentuan besaran ganti kerugian yang harus ditanggung oleh terlapor. Kekuatan hukum putusan ajudikasi khusus oleh Ombudsman adalah bersifat final, mengikat, dan wajib dilaksanakan oleh terlapor sehingga apabila putusan ajudikasi tersebut tidak dilaksanakan maka dapat dijatuhi sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kriteria Penjatuhan Hukuman Mati bagi Koruptor Perspektif Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001: Criteria for Imposing the Death Penalty for Corruptors from the Perspective of Law Number 20 of 2001 Christina Bagenda; Yaheskel Wessy; Muhamad Ilyas; Johannes Johny Koynja; Kalijunjung Hasibuan
Jurnal Kolaboratif Sains Vol. 7 No. 5: MEI 2024
Publisher : Universitas Muhammadiyah Palu

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.56338/jks.v7i5.5341

Abstract

Hukum pidana merupakan hukum yang mengatur tentang perbuatanperbuatan yang dilarang oleh Undang-Undang beserta sanksi pidana yang dapat dijatuhkannya kepada pelaku. “Pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan oleh negara kepada orang yang melakukan perbuatan yang dilarang (tindak pidana). Sanksi hukum, dalam hal ini sanksi pidana, memiliki berbagai jenis sanksi. Satu di antara jenis sanksi itu adalah pidana mati. Secara normatif, penjatuhan pidana mati di Indonesia dimungkinkan terjadi dalam keadaan tertentu berdasarkan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberan-tasan Tindak Pidana Korupsi. Penjelasan terhadap pasal tersebut telah diubah berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. kriteria penjatuhan hukuman mati bagi koruptor yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penaggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi. Dan selama ini di Indonesia masih belum memvonis atau mejatuhkan hukuman mati bagi para koruptor melihat kriterianya yang sulit, sehingga human paling berat yang dijatuhkan kepada koruptor yaitu hukunan seumur hidup.