Articles
PENERAPAN DOKTRIN VICARIOUS LIABILITY DALAM TINDAK PIDANA PENGGELAPAN PAJAK OLEH KORPORASI (STUDI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 2239 K/PID.SUS/2012)
Nyoman Serikat Putrajaya, Umi Rozah, Raymond Joshua Marudut Sibarani*,
Diponegoro Law Journal Vol 5, No 3 (2016): Volume 5, Nomor 3, Tahun 2016
Publisher : Program Studi S1 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (572.322 KB)
Bagaimanakah apabila wajib pajak badan yang dalam hal ini adalah korporasi melakukan suatu penghindaran pajak yang dikualifikasikan sebagai suatu tindak pidana penggelapan pajak? Dalam hal bagaimana suatu korporasi dapat dimintakan pertanggungjawaban secara pidana? Penelitian ini mengambil permasalahan bagaimana pertimbangan hakim dalam penerapan salah satu doktrin pertanggungjawaban pidana korporasi yaitu doktrin Vicarious Liability dalam suatu tindak pidana penggelapan pajak yang dilakukan oleh korporasi dalam Putusan Mahkamah Agung No: 2239K/PID.SUS/2012 dan bagaimana pemidanaan terhadap penerapan Pertanggungjawaban Vicarious Liability dalam putusan tersebut.Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif.  Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa perbuatan terpidana berbasis pada kepentingan bisnis 14 (empat belas) korporasi yang diwakilinya untuk menghindari Pajak Penghasilan dan Pajak Badan, dan pertimbangan majelis hakim yaitu bahwa sekalipun secara individual perbuatan terpidana terjadi karena mens rea dari terpidana, namun karena perbuatan tersebut semata-mata untuk kepentingan dari korporasi maka Mahkamah Agung berpendapat bahwa apa yang dilakukan oleh terpidana adalah dikehendaki atau mens rea dari 14 (korporasi) yang diwakilinya. Dalam hal ini diterapkan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi atas perbuatan atau prilaku Terdakwa sebagai personifikasi dari korporasi yang diwakilinya. Lalu berdasarkan penelitian diketahui dalam perkara a quo majelis hakim menerapkan pidana bersyarat kepada terpidana yang mana syarat khusus yang ditetapkan oleh majelis hakim bukan sebagai syarat khusus penjatuhan pidana bersyarat terhadap individu.
KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA TENTANG PENERIMAAN GRATIFIKASI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI (STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR 7 / PID. SUS - TPK / 2015 / PN DPS.)
Nyoman Serikat Putra Jaya, Budi Wisaksono, Lastiar Rudi H B*,
Diponegoro Law Journal Vol 5, No 4 (2016): Volume 5, Nomor 4, Tahun 2016
Publisher : Program Studi S1 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (790.234 KB)
Pemberantasan tindak pidana korupsi saat ini telah berjalan dalam suatu koridor kebijakan yang komprehensif dan preventif. Upaya pencegahan tindak pidana korupsi menyentuh tahapan pemberian dalam arti yang luas (gratifikasi) dari seseorang (pihak lain) kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagai suatu tindak pidana (suap). Undang-undang korupsi saat ini telah memperkenalkan istilah "gratifikasi" sebagai bagian dari pemberantasan tindak pidana korupsi. Gratifikasi yang merupakan suatu pemberian dalam arti luas kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dapat berpotensi kearah suap apabila berhubungan dengan jabatan dan bertentangan dengan kewajiban aparatur negara.Namun dalam penegakan dan penerapan hukumnya cenderung menghadapi hambatan/kendala. Oleh karena itu, pengaturan masalah gratifikasi sebagai upaya penanggulangan atau pemberantasan korupsi yang merupakan bagian dari kebijakan hukum pidana, memerlukan pengaturan yang bersifat komprehensif. Metode pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan hukum normatif. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder yang menggunakan bahan hukum primer dan sekunder. Data sekunder digunakan untuk membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer tersebut.Hasil yang diperoleh adalah terdapat beberapa kendala yang dihadapi dalam pengaturan gratifikasi saat ini yang memerlukan pengaturan yang bersifat menyeluruh. Kebijakan formulasi mengenai gratifikasi yang telah ada saat ini dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi memerlukan penyusunan ulang (re-formulasi) terutama dalam substansi pengertian gratifikasi, pelaporan penerimaan gratifikasi kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sanksi pidana, dan kualifikasi pemberi dan penerima gratifikasi, sehingga optimalisasi penerapan dan penegakan hukum sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai, yaitu kepastian dan keadilan.
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PEJABAT PEMBUAT KEBIJAKAN (POLICY MAKER) ATAS DIAMBILNYA KEBIJAKAN YANG MENIMBULKAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA
Nyoman Serikat Putra Jaya, Laila Mulasari, Rizky Putradinata*,
Diponegoro Law Journal Vol 5, No 3 (2016): Volume 5, Nomor 3, Tahun 2016
Publisher : Program Studi S1 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (394.122 KB)
Kebijakan merupakan usaha untuk mencapai tujuan tertentu dengan sasaran tertentu dan dengan suatu urutan tertentu. Perkembangan saat ini dikaitkannya dengan merebaknya tindak pidana korupsi yang dilakukan dengan sistemis, kebijakan merupakan suatu cara yang digunakan untuk melakukan tindak pidana korupsi yang sifatnya terselubung. Dalam sisi lain kebijakan disaat tertentu diharuskan diambil secara cepat dan tepat, namun seringkali kebijakan yang diambil tersebut dapat menimbulkan kerugian keuangan negara. Kerugian keuangan negara yang ditimbulkan karena kebijakan pejabat pembuat kebijakan merupakan suatu tindak pidana korupsi. Akan tetapi perlu diperhatikan apakah pantas seorang pejabat pembuat kebijakan tersebut dipidana atas kebijakannya yang merugikan keuangan walaupun tidak ada niat jahat dalam pengambilan kebijakan tersebut. Adapun yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini, adalah : Pertama, bagaimana ruang lingkup pertanggungjawaban pidana pejabat pembuat kebijakan atas diambilnya kebijakan yang menimbulkan kerugian keuangan negara dalam hukum positif di Indonesia? kedua, bagaimana pengaturan pertanggungjawaban pidana pejabat pembuat kebijakan atas diambilnya kebijakan yang menimbulkan kerugian keuangan negara di masa yang akan datang ?Metode penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif yang bersifat deskriptif analisis. Data penelitian ini didapatkan melalui studi kepustakaan, yakni dengan melakukan pengumpulan referensi yang berkaitan dengan obyek penelitian yang meliputi data sekunder yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan (library research). Seluruh data yang dikumpulkan selanjutnya ditelaah dan dianalisis secara kualitatif.Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan bahwa diperoleh hasil bahwa kebijakan yang diambil oleh policy maker yang menimbulkan kerugian keuangan negara merupakan suatu tindak pidana korupsi/discritionery corruption. Hal tersebut diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 2 dan Pasal 3. Supaya kebijakan tidak dikualifikasikan sebagai korupsi maka ruang lingkup kebijakan diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Pertanggungjawaban pidana kedepan dalam tindak pidana korupsi harus memisahkan antara unsur kesalahan dan unsur perbuatan atau aliran dualisme. Hal tersebut berguna supaya apabila seorang policy maker membuat kebijakan yang menimbulkan kerugian keuangan negara tetapi dengan sikap batin baik dan tidak ada sifat melawan hukum tindak pidana korupsi maka tidak dapat dipidana. Maka asas tiada pidana tanpa kesalahan harus diterapkan. Selain itu dalam tindak pidana korupsi dapat menerapkan sifat melawan hukum formil dan terbatas sifat melawan hukum materiil dalam arti negatif sebagai suatu penghapus pidana supaya tidak bertentangan dengan asas legalitas.Â
TINJAUAN YURIDIS KASUS PEMUKULAN YANG DILAKUKAN OLEH PESEPAKBOLA YANG DIKENAI PASAL 351 KUHP TENTANG PENGANIAYAAN (STUDI KASUS PERTANDINGAN SEPAKBOLA ANTARA PERSIS SOLO VS GRESIK UNITED)
Nyoman Serikat Putra Jaya, Pujiyono, Anggit Bisma B*,
Diponegoro Law Journal Vol 5, No 3 (2016): Volume 5, Nomor 3, Tahun 2016
Publisher : Program Studi S1 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (411.672 KB)
Pada tahun 2009 yang lalu terjadi kasus pemukulan antar pesepakbola pada laga Persis Solo melawan Gresik United. Usai pertandingan polisi sempat menahan kedua pesepakbola yang terlibat pemukulan dalam laga tersebut, namun polisi menangguhkan penahanan mereka berdua. Akhirnya kasus ini dilanjutkan ke pengadilan. Banyak pro dan kontra terhadap kasus ini. Ada yang menilai negara melakukan intervensi terhadap otoritas sepakbola Indonesia yaitu Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI). PSSI menganggap bahwa kasus ini merupakan wilayah kekuasaannya, namun di sisi lain negara menganggap kasus ini merupakan wewenangnya. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui bagaimana penerapan hukum terhadap kasus ini.Dari hasil penelitian dan pembahasan dalam penulisan hukum ini bahwa kasus pemukulan antar pesepakbola pada laga Persis Solo melawan Gresik United berdasarkan putusan perkara No.319/PID.B/2009/PN.SKA Hakim PN Surakarta menjatuhkan putusan pidana kepada Terdakwa Nova Zaenal Mutaqin yang terbukti melakukan tindak pidana Penganiayaan sebagaimana diatur dalam Pasal 351 KUHP tentang Penganiayaan. Dalam menjatuhkan suatu putusan seorang hakim harus didasari pertimbangan-pertimbangan. Ada empat pertimbangan utama yang mendasari putusan ini yaitu: 1) Barang bukti berupa 1 (satu) keping VCD rekaman pertandingan Persis Solo melawan Gresik United 2) Hakim sependapat dengan saksi ahli Prof. Dr. Nyoman Serikat PJ SH., MH yang menyatakan Hukum Pidana mempunyai wewenang menyelesaikan perkara ini 3) Unsur-unsur Pasal 351 yang didakwakan kepada Terdakwa terpenuhi 4) Hal-hal yang memberatkan dan meringankan terdakwa.
Pertanggungjawaban Pidana Dalam Tindak Pidana Lingkungan Hidup Yang Dilakukan Oleh Korporasi Pasca Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016
Fitriani Rahmadia;
Hari Sutra Disemadi;
Nyoman Serikat Putra Jaya
Unram Law Review Vol 4 No 1 (2020): Unram Law Review (Ulrev)
Publisher : Faculty of Law, University of Mataram
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.29303/ulrev.v4i1.86
Corporations are organized groups of people and / or properties, both in the form of legal entities or non-legal entities. In relation to the corporation as a legal subject in environmental crime, it is formulated in Article 1 number 32 of the Law Number 31 Year 2009 about Environmental Protection and Management, each person is an individual or business entity, both legal entities and non-legal entities. The context of corporate crime in the environment is still not solid enough to ensure corporations in criminal sanctions because there is no legal basis regarding the procedures for handling environmental crimes committed by corporations. The Supreme Court Regulation Number 13 of 2016 concerning Procedures for Handling Corporate Crime provides a basis for enforcement of criminal law, then the purpose of writing this article is to find out the form of criminal liability for corporations for environmental crimes and legal consequences after the Supreme Court Regulation Number 13 of 2013.The type of research used is legal research which is included in the normative legal research typology where this study focuses on positive legal norms in the form of legislation. The theory used by the author in analyzing is using the theory of criminal liability which is based on the principle of legality. The conclusions include: criminal sanctions that can be applied to corporations based on Article 4 of Supreme Court Regulation Number 13 of 2016 are in the form of criminal fines, additional crimes, and disciplinary actions except prisons and confinement. Last, the legal consequences of the application Article 25 Supreme Court Regulation Number 13 of 2016 with the principal criminal is a criminal fine and then the criminal added according to the law governing environmental criminal acts is the Law Number 32 Year 2009 concerning Environmental Protection and Management.
The Complexity Problem on the Law Enforcement by Indonesian Police Agency during the COVID-19 Pandemic
Dwi Putri Hardiani;
Nyoman Serikat Putra Jaya
Unram Law Review Vol 4 No 2 (2020): Unram Law Review (Ulrev)
Publisher : Faculty of Law, University of Mataram
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.29303/ulrev.v4i2.120
In Indonesia, the COVID-19 pandemic can be a fundamental concern if it is not able to overcome its impact. This pandemic considered to be very influential in affecting and disturbing several fundamental aspects of a country, such as health, economic, legal aspect, defense and security, and etc. This study examined the complexity problem of law enforcement by the police officer during the COVID-19 pandemic. The method of this researchusesnormative legal research by prioritizing secondary data that analyzed descriptive qualitative analysis techniques. The results of this study indicate that the police are referred to the law that lives in the community because of the work of the police plays an important role in maintaining the security and defense of the community, the law enforcement, as well as providing protection, protection, and services to the community. This has placed the police in dealing with various dynamics of social changing including the current COVID-19 pandemic. However, the problem with police law enforcement in the current COVID-19 pandemic arises from the implementation of Large-Scale Social Restrictions (PSBB) policy, the complexity problem in law enforcement on PSBB, and the choice to the possible solutions.
Hospital criminal liability as a corporation of patient rejection in infected with covid-19
Handri Kristanto;
Nyoman Serikat Putra Jaya
Legality : Jurnal Ilmiah Hukum Vol. 28 No. 2 (2020): September
Publisher : Faculty of Law, University of Muhammadiyah Malang
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
One problem that has recently discussed is that there are hospitals that reject patients infected with COVID-19. COVID-19 has become a pandemic outbreak designated as a national disaster by the Government of Indonesia. Hospital administration in modern times is not as simple as it used to be. The need to manage hospitals with business principles is undeniable. Based on this paper, the research problem formulated is the criminal liability corporation of hospitals towards the rejection of patients infected with COVID-19. The method used in this research is normative juridical research (doctrinal research). The approaches used are case approach and statute approach. The outcomes indicate that based on Law Number 36 of 2009 concerning Health clearly said that hospitals are restricted to reject patients who need help. Hospitals as a corporation can be demanded criminally liable by using the doctrine of strict liability, namely criminal liability sans error. In this research, if the corporation that has committed a prohibited act as formulated in the law can already get sentenced without questioning whether the offender has an error (mens rea) or not.
Penanggulangan Kejahatan Perdagangan Orang Dari Perspektif Politik Kriminal di Indonesia
Asiyah Jamilah;
Nyoman Serikat Putra Jaya
Justitia Jurnal Hukum Vol 4, No 1 (2020): Justitia Jurnal Hukum
Publisher : Universitas Muhammadiyah Surabaya
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (691.218 KB)
Perdagangan orang adalah bentuk modern dari perbudakan manusia. Perdagangan orang juga merupakan salah satu bentuk perlakuan terburuk dari pelanggaran harkat dan martabat manusia. Bertambah maraknya masalah perdagangan orang di berbagai negara, termasuk Indonesia terutama di wilayah-wilayah perbatasan negara. Penulisan jurnal ini difokuskan pada pencegahan tindak pidana perdagangan orang melalui politik kriminal. Metode penelitian yang digunakan adalah metode pendekatan yuridis normatif, dengan spesifikasi penelitian deskriptif analitis. Hasil penelitian ini adalah bahwa penanggulangan tindak pidana perdagangan orang tidak hanya dilakukan melalui sarana penal melainkan juga dengan sarana non-penal yakni techno-prevention (pemanfaatan fasilitas berbasis teknologi).Kata Kunci : Perdagangan Orang, Politik Kriminal, Techno-Prevention
Non-Penal Countermeasures Efforts in Supporter Conflict (Study on PSIM vs Persis Conflict)
Laras Astuti;
Nyoman Serikat Putra Jaya;
R.B Sularto
Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal) Vol 10 No 2 (2021)
Publisher : University of Udayana
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.24843/JMHU.2021.v10.i02.p02
The conflict between PSIM Yogyakarta and PERSIS Solo supporters is a conflict that has been going on for a long time. These conflicts often cause casualties and damage to public facilities. Severe sanctions do not frighten supporters and a deterrent to take anarchic actions. To overcome this, preventive efforts (non-penal) can be used as an alternative in resolving supporter conflicts. Through socio-legal research, this paper aims to find out more about non-penal countermeasures based on an analysis of the factors that cause supporter conflict. The results of the study, it is known that non-penal countermeasures can be done by emphasizing the efforts of the supporter development process as part of the criminal politics of prevention without punishment. The coaching process is based on three factors that cause supporting conflicts, namely based on the nature, position of the actors, and diversity of society. The police and supporter also have a strategic role in preventing criminal acts to minimize the occurrence of clashes between supporters. These roles include providing security personnel, conducting sweeping, and coordinating between related parties.
Pertanggungjawaban Pidana Perusahaan Teknologi atas Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas oleh Pengemudi Ojek Online
Ratna Kumala Sari;
Nyoman Serikat Putra Jaya
Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal) Vol 8 No 1 (2019)
Publisher : University of Udayana
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (626.357 KB)
|
DOI: 10.24843/JMHU.2019.v08.i01.p03
Act No. 22 the year 2009 about Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (road traffic and transportation) raises perspectives in criminal law regarding criminal liability for public transportation companies. Furthermore, it raises problems on how criminal liability of technology companies for traffic accidents and how law enforcement practice. The purpose of this study is to analyze and describe the criminal liability of technology companies for traffic accident by online motorcycle taxi drivers and for criticizing law enforcement. Normative research methods will be used to answer the problem. There are two approaches to assess the problem, namely case approach the and law approach. The conclusion is that technology companies can be criminally accounted for by the vicarious liability perspective and the Road Traffic and Transportation Act. Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UULLAJ) memunculkan perspektif dalam hukum pidana menyangkut pertanggungjawaban pidana bagi perusahaan angkutan umum. Selanjutnya memunculkan permasalahan mengenai bagaimana pertanggungjawaban pidana perusahaan teknologi atas tindak pidana kecelakaan lalu lintas dan bagaimana praktek penegakan hukumnya. Tujuan penelitian ini untuk menganalisis dan mendeskripsikan mengenai pertanggungjawaban pidana perusahaan teknologi atas tindak pidana kecelakaan lalu lintas oleh pengemudi ojek online dan untuk mengkritisi penegakan hukumnya. Metode penelitian normatif yang akan digunakan untuk menjawab permasalahan ini. Terdapat dua pendekatan untuk mengkaji permasalahan ini yaitu pendekatan kasus dan pendekatan undang-undang. Dari hasil pembahasan dapat disimpulkan bahwa perusahaan teknologi dapat dipertanggungjawabkan secara pidana dengan perspektif vicarious liability dan Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.