Nyoman Serikat Putra Jaya
Faculty Of Law, Universitas Diponegoro

Published : 38 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 38 Documents
Search

KAJIAN YURIDIS PENERAPAN UNSUR MERUGIKAN KEUANGAN NEGARA DALAM PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI Abdul Fatah*, Nyoman Serikat Putra Jaya, Henny Juliani
Diponegoro Law Journal Vol 6, No 1 (2017): Volume 6 Nomor 1, Tahun 2017
Publisher : Program Studi S1 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (636.567 KB)

Abstract

Di Indonesia adanya kerugian keuangan keuangan negara atau perekonomian negara menjadi unsur dari delik korupsi. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tujuanpenelitian ini yaitu memberikan gambaran dan analisis implementasi unsur merugikan keuangan negara terhadap penegakan hukum tindak pidana korupsi, kewenangan suatu instansi atau pihak untuk penghitungan kerugian keuangan negara dan praktik pengadilan dalam menerapkan unsur merugikan keuangan negara terhadap tindak pidana korupsi. Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan yuridis normatif, yang memfokuskan pada studi literatur dan perundang-undangan dengan spesifikasi penelitian deskriptis analitis. Hasil penelitian menemukan bahwa penerapan mengenai unsur merugikan keuangan negara sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006 terkait dengan kata “dapat” dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor memiliki pengertian dalam konsep delik formil. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak menyebutkan secara jelas dan tegas mengenai siapa instansi atau pihak yang berwenang untuk melakukan penghitungan kerugian keuangan negara. Praktik pengadilan dalam penerapan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 mengenai pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti. Dikembalikannya kerugian negara bukan berarti menghapus dapat dipidananya pelaku tindak pidana korupsi, melainkan hanya merupakan salah satu faktor yang dapat meringankan.
PENEGAKAN TINDAK PIDANA MAYANTARA (CYBERCRIME) DI POLRESTABES SEMARANG Desta Rizki Priwidya, Nyoman Serikat Putra Jaya*), A.M. Endah Sri A
Diponegoro Law Journal Vol 2, No 3 (2013): Volume 2, Nomor 3, Tahun 2013
Publisher : Program Studi S1 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (323.629 KB)

Abstract

Advances in technology have changed the structure of society that is local communities toward global structure. This change is caused by the presence of information technology. The development of information technology is combined with media and computers, which later gave birth to a new tool called the internet. The presence of internet has led to a new paradigm in human life. Life changed from being merely real (estate) to a new reality that is both virtual (virtual). The second reality is usually associated with the internet and cyber space. Issues to be raised in the writing of this law are:1.Knowing mayantara setting offense in law in Indonesia. 2.Knowing the types of crimes that occur in the region mayantara Polrestabes Semarang. 3.Knowing how the enforcement process is done by Polrestabes Semarang in practice so far. The research method used is empirical legal research. Research the law itself means that a process to find the rule of law to address the legal issues at hand. This research includes empirical legal research because this study uses data from the view of the authorities in Polrestabes Semarang, to obtain data related about mayantara crime (cybercrime) that occurred in Polrestabes Semarang.Number of reported cases of cybercrime were entered in the period from 2012 until May of 2013, cases were still under investigation by Polrestabes Semarang as many as 23 cases, 4 cases were terminated, 13 cases were transferred to the Central Java Police, and 2 cases that have been completed investigated by Polrestabes Semarang (file to the Public Prosecutor). The overall number of reported cases of cyber crime that goes on in 2012 until May 42 this is the case. Of the 42 cases that go most of the cases of cybercrime as criminal fraud, more than 50% of the total incoming cases as many as 24 cases. Based on data on the number of cyber crime cases reported in the period that goes from 2012 until May of 2013, cases were still under investigation by Polrestabes Semarang as many as 23 cases, 4 cases were terminated, 13 cases were transferred to the Central Java Police, and 2 cases that have been completed investigation by Polrestabes Semarang (file to the Public Prosecutor). From these data it can be concluded that the rule of law for criminal offenses mayantara still not up to it can be seen from 42 reports of criminal cases only 2 cases mayanrata file to the public prosecutor, it is due to the lack of human resources to handle criminal cases mayantara and yet there is legislation that specifically regulates mayantara crime.
KEBIJAKAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ANGGOTA TNI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI (STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR 363 K/MIL/2017) Jeremy Emmanuel; Nyoman Serikat Putra Jaya; Umi Rozah
Diponegoro Law Journal Vol 8, No 3 (2019): Volume 8 Nomor 3, Tahun 2019
Publisher : Program Studi S1 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (354.202 KB)

Abstract

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana kebijakan pertanggungjawaban pidana terhadap anggota TNI pelaku tindak pidana korupsi, serta mengalanisa penerapan pidana oleh hakim dalam putusan suatu kasus tindak pidana korupsi oleh anggota TNI.  Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa anggota TNI tunduk terhadap Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK), kebijakan pertanggungjawaban anggota TNI dalam tindak pidana korupsi sama seperti masyarakat sipil, yang membedakan ialah sanksi tambahan berupa penurunan pangkat atau pemecatan dari militer. Dalam analisa kasus hakim memutuskan bahwa Terdakwa memenuhi unsur – unsur Pasal 2 UU PTPK, namun terdapat permasalahan dalam alat bukti yang menjadi keberatan dari pihak Terdakwa.
TINJAUAN YURIDIS PENETAPAN STATUS TERSANGKA SEBAGAI PERLUASAN OBJEK PRAPERADILAN PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 21/PUU-XII/2014 Rahmad Riyan Choiruddin*, Nyoman Serikat Putra Jaya, Sukinta
Diponegoro Law Journal Vol 5, No 2 (2016): Volume 5, Nomor 2, Tahun 2016
Publisher : Program Studi S1 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (576.961 KB)

Abstract

Putusan MK No.21/PUU-XII/2014, pada dasarnya telah mencerminkan penjaminan hak asasi tersangka atau terdakwa dengan dimasukkannya sah tidaknya penetapan status tersangka, penyitaan, dan penggeledahan sebagai objek yang dapat diajukan praperadilan. Dalam putusan MK No.21/PUU-XII/2014 juga memperjelas mengenai frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” dalam KUHAP harus dimaknai minimal dua alat bukti yang termuat dalam pasal 184 KUHAP ditambah keyakinan penyidik secara objektif. Namun demikian, mengenai Putusan MK No.21/PUU-XII/2014 yang menyatakan memperluas objek Praperadilan tidak dapat diartikan begitu saja menjadi kepastian hukum bahwa pasal 77 KUHAP telah berubah. Walaupun putusan MK bersifat final and binding namun tidak secara otomatis merubah KUHAP, oleh karena itu perlu diadakannya revisi KUHAP.
KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM UPAYA PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA LINGKUNGAN HIDUP DI INDONESIA Dwientha Ayu Pratjna; Nyoman Serikat Putra Jaya; Purwoto Purwoto
Diponegoro Law Journal Vol 8, No 2 (2019): Volume 8 Nomor 2, Tahun 2019
Publisher : Program Studi S1 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (344.801 KB)

Abstract

Dewasa ini kerusakan lingkungan hidup khususnya di Indonesia semakin memperihatinkan, yang jika dibiarkan lambat laun akan mengancam kehidupan manusia itu sendiri. Kerusakan lingkungan selain diakibatkan oleh kondisi alam juga diakibatkan oleh kerusakan yang diakibatkan oleh aktifitas manusia yang tidak lagi memperhatikan kondisi lingkungan dan untuk memperoleh keuntungan ekonomis, manusia mengekploitasi alam secara berlebihan seperti perusakan hutan, penebangan pohon secara liar, pencemaran air, udara ,tanah dan lain sebagainya. Maka dari itu dikeluarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan lingkungan hidupuntuk menjerat  para pelaku tindak pidana lingkungan hidup dan untuk meminimalisir kerusakan lingkungan hidup. Dalam penelitian hukum ini peneliti memakai metode yuridis normatif  yaitu penelitian yang menggunakan peraturan perundang-undangan sebagai dasar pemecahan permasalahan yang dikemukakan. Data yang dipergunakan adalah data primer dan sekunder. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian ke pustakaan (Library Research). Sedangkan analisis data yang digunakan adalah analisis kualitatif, yaitu dengan menguraikan data secara bermutu dalam bentuk kalimat yang teratur, runtun, logis, tidak tumpang tindih, dan efektif, sehingga memudahkan interpretasi data dan analisis.Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) telah memasukkan ketentuan pidana dalam Bab XV, yang terdiri dari 23 pasal. Ketentuan pemidanaan ini jauh lebih lengkap dan rinci bila dibandingkan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup yang lama, namun masih banyak hal-hal yang perlu dibenahi dalam UUPPLH tersebut. Hasil penelitian menunjukan bahwa upaya penanggulangan tindak pidana lingkungan hidup dengan pendekatan represif sebagian besar tidak memberikan hasil yang memuaskan karena tingkat kesalahan pelaku berat, akibat perbuatannya relatif besar, dan perbuatannya menimbulkan keresahan masyarakat. Sementara sanksinya tidak seimbang dengan dampak yang akan ditimbulkan. Maka dari itu aparat pemerintah harus dibekali modal yang cukup untuk memahami masalah dan memberikan solusi yang tepat bagi lingkungan.
PERAN KEJAKSAAN DALAM UPAYA PENGEMBALIAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA, AKIBAT TINDAK PIDANA KORUPSI (STUDI DI KEJAKSAAN TINGGI JAWA TENGAH) Ari Wisnu Aji*, Nyoman Serikat Putrajaya, Pujiyono
Diponegoro Law Journal Vol 5, No 3 (2016): Volume 5, Nomor 3, Tahun 2016
Publisher : Program Studi S1 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (423.209 KB)

Abstract

Tindak Pidana Korupsi seringkali mengidentikkan diri dalam deliknya bahwa Korupsi merusak perekonomian negara. Unsur kerugian negara adalah kunci utama bagi kesuksesan upaya perampasan dan pengembalian aset negara yang diselewengkan. Kejaksaan sebagai aparat hukum sangat berperan dalam upaya pengembalian kerugian keuangan negara sebagai aparat penuntutan. Namun Kejaksaan seringkali bersikap formal dan hanya menuntut pidana umum tanpa melihat pemeriksaan untuk pidana tambahan. Kejaksaan sebagai eksekutor dan penuntut upaya pengembalian kerugian keuangan negara oleh tindak pidana korupsi patutnya tidak hanya membatasi pengawasan pada saat keluarnya putusan, namun hingga pelaksanaan hasil putusan yang berkekuatan hukum tetap tersebut.
KEBIJAKAN KRIMINAL DALAM MENANGGULANGI TINDAK PIDANA MAKAR DI INDONESIA Jeremia Ganesh; Nyoman Serikat Putra Jaya; Pujiyono Pujiyono
Diponegoro Law Journal Vol 8, No 3 (2019): Volume 8 Nomor 3, Tahun 2019
Publisher : Program Studi S1 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (365.597 KB)

Abstract

Makar (aanslag) diterjemahkan dari Bahasa Belanda lahir disaat Pemerintah Belanda mensiasati keajegan sosial yang pada masa itu dikenal sebagai perbuatan memisahkan diri dari sebuah bangsa, menjatuhkan pemerintahan, dan/ atau kejahatan terhadap Negara (Rebellion dan Insurrection). Ekspansi yang dilakukan Pemerintah Belanda kepada Negara jajahan dalam hal ini Indonesia pun disiasati dengan upaya yang sama mengacu pada Anti Revolutie Wet 1920 (Staatblad 619) dalam Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (WvS). Dalam pengaturannya di Indonesia yang ditunagkan pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tidak jauh berbeda dengan WvS yakni tidak dirubah secara substansi makan perbuatan Makar, karena dalam pengaturan tersebut hanya merubah istilah Raja dan Ratu menjadi Presiden dan Wakil Presiden, begitupula pada pembaharuannya dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999 tentang Kejahatan terhadap Keamanan Negara. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kebijakan kriminal baik secara penal maupun non penal sebagai upaya dalam menanggulangi tindak Pidana Makar di Indonesia saat ini, dan mengetahui bagaimana formulasi pembaharuannya pada masa yang akan datang dalam menanggulangi Tindak Pidana Makar sesuai kondisi hukum, sosial dan politik. Penelitian ini termasuk penelitian yuridis-normatif. Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan adalah studi kepustakaan. Berdasarkan hasil penelitian, penulis melihat tidak terjadi kesinambungan dan sinergitas antara kebijakan kriminal dengan kondisi hukum, sosial dan politik dalam menanggulangi Tindak Pidana Makar di Indonesia
KAJIAN YURIDIS DISPARITAS PUTUSAN PRAPERADILAN NOMOR 04/PID.PRAP/2015/PN JKT SEL DAN PUTUSAN PRAPERADILAN NOMOR 2/PID.PRA/2015/PN PWT TERHADAP TERSANGKA TINDAK PIDANA KORUPSI M. Jafar Purwanto*, Nyoman Serikat Putra Jaya, Sukinta
Diponegoro Law Journal Vol 5, No 2 (2016): Volume 5, Nomor 2, Tahun 2016
Publisher : Program Studi S1 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (485.412 KB)

Abstract

Praperadilan  merupakan kewenangan Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur oleh undang-undang yakni tentang sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, serta permintaan ganti kerugian atas rehabilitasi oleh tersangka atau kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan. Namun dalam praktiknya, terdapat beberapa putusan yang  isinya tidak sesuai dengan ketentuan tersebut, sehingga menimbulkan disparitas antara putusan praperadilan yang satu dengan putusan lainnya. Dalam penulisan ini, penulis mengambil kasus antara putusan praperadilan Nomor 04/Pid.Prap/2015/PN.JktSel dan putusan praperadilan nomor 2/Pid.Pra/2015/PN.Pwt. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pertimbangan Hakim dalam putusan praperadilan yang terjadi disparitas, serta melihat disparitas yang terjadi dari sistem hukum yang berlaku di Indonesia. Metode Penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif yakni penelitian yang datanya diperoleh melalui studi kepustakaan. Dari hasil penelitian diketahui bahwa Hakim dalam memutus praperadilan tetap berpedoman kepada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Namun perbedaan pertimbangan Hakim dalam menafsirkan Undang-Undang tersebut yang menyebabkan terjadinya sebuah disparitas dengan didasarkan pertimbangan juga bahwa Hakim dilarang menolak suatu perkara dengan dalih hukumnya tidak mengatur atau tidak jelas. Sehingga sangat dimungkinkan dalam sistem peradilan pidana Indonesia terjadi disparitas putusan praperadilan dengan obyek yang sama tetapi menghasilkan putusan yang berbeda.
ANALISIS YURIDIS TINDAKAN MENGAKSES INFORMASI ELEKTRONIK SECARA ILEGAL BERDASARKAN KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA Achmad Nosi Utama*, Nyoman Serikat Putra Jaya, Purwoto
Diponegoro Law Journal Vol 5, No 2 (2016): Volume 5, Nomor 2, Tahun 2016
Publisher : Program Studi S1 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (294.257 KB)

Abstract

Salah satu konsekuensi dari perkembangan teknologi informasi yaitu semakin mudahnya suatu pihak untuk mengakses Informasi Elektronik secara ilegal. Sebagai Negara Hukum, Indonesia memiliki kewajiban untuk memberikan aturan hukum untuk menanggulangi tindakan mengakses Informasi Elektronik secara ilegal tersebut. Sehingga, penulisan ini bertujuan untuk mengetahui kebijakan formulasi terhadap perbuatan mengakses Informasi Elektronik secara ilegal berdasarkan hukum positif Indonesia dan untuk mengkaji kebijakan formulasi dalam penanggulangan perbuatan mengakses Informasi Elektronik secara ilegal berdasarkan hukum di Indonesia yang lebih baik pada masa yang akan datang.Berdasarkan hasil penelitian ini, diperoleh hasil bahwa tindakan mengakses Informasi Elektronik secara ilegal dirumuskan sebagai suatu tindak pidana, yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik, dan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.Kebijakan formulasi terhadap tindakan mengakses Informasi Elektronik secara ilegal berdasarkan hukum di Indonesia yang akan datang sudah mulai diatur melalui Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia Tahun 2012. Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia Tahun 2012 tersebut memiliki aturan yang lebih lengkap dibandingkan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia saat ini. Oleh karena itu, pemberlakuan Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia perlu dilakukan secepatnya. 
IMPLEMENTASI DASAR PERTIMBANGAN JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM MENENTUKAN BERAT RINGANNYA TUNTUTAN PIDANA TERHADAP TERDAKWA KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI (Studi di Kejaksaan Negeri Semarang) Dimas Indianto Wahyudi; Nyoman Serikat Putra Jaya; Pujiyono Pujiyono
Diponegoro Law Journal Vol 10, No 1 (2021): Volume 10 Nomor 1, Tahun 2021
Publisher : Program Studi S1 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (774.26 KB)

Abstract

Lembaga Kejaksaan berada pada posisi sentral dengan peran strategis dalam pemantapan ketahanan bangsa karena Kejaksaan berada diporos dan menjadi filter antara proses penyidikan dan proses pemeriksaan di persidangan serta pelaksana penetapan dan keputusan pengadilan (executive ambtenaar). Sehingga Lembaga Kejaksaan sebagai pengendali proses perkara pidana (Dominus Litis), hal ini karena hanya institusi Kejaksaan yang dapat menentukan apakah suatu kasus dapat diajukan ke Pengadilan atau tidak berdasarkan alat bukti yang sah menurut Hukum Acara Pidana. Dalam perkara tindak pidana korupsi, Lembaga Kejaksaan menjadi representatif negara dalam menentukan berat ringannya tuntutan bagi terdakwa tindak pidana korupsi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menjelaskan dasar pertimbangan Jaksa Penuntut Umum dalam menentukan berat ringannya tuntutan pidana terhadap terdakwa kasus tindak pidana korupsi dan untuk mengetahui dan menjelaskan hambatan-hambatan bagi Jaksa Penuntut Umum dalam menentukan berat ringannya tuntutan pidana terhadap terdakwa kasus tindak pidana korupsi. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis empiris dengan sepesifikasi penelitian deskriptif analitis. Metode pengumpulan data dilakukan dengan teknik wawancara dan studi kepustakaan serta akan dianalisis secara kualitatif. Lokasi penelitian adalah Kejaksaan Negeri Semarang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dasar pertimbangan Jaksa Penuntut Umum dalam menentukan berat ringannya tuntutan pidana terhadap terdakwa kasus tindak pidana korupsi, bahwa berdasarkan Surat Edaran Jaksa Agung No. 003/A/JA/2010 Tentang Pedoman Tuntutan Pidana Perkara Tindak Pidana Korupsi, ada beberapa pertimbangan, yaitu jumlah kerugian yang ditimbulkan akibat tindak pidana korupsi dan jumlah uang hasil tindak pidana korupsi yang dikembalikan kepada negara. Hambatan-hambatan bagi Jaksa Penuntut Umum dalam menentukan berat ringannya tuntutan pidana terhadap terdakwa kasus tindak pidana korupsi, terdiri hambatan yuridis dan non-yuridis. Hambatan non-yuridis termasuk kompleksitas dari perkara pidana tersebut dan hambatan yuridis termasuk perbedaan persepsi dalam menangani kasus tindak pidana korupsi antara Jaksa dan hakim dalam proses pembuktiaan di persidangan. Dari berbagai hambatan tersebut, Jaksa Agung diharapkan untuk menambahkan faktor-faktor non-yuridis dalam pedoman tuntutan pidana perkara tindak pidana korupsi, dalam rangka mewujudkan asas kepastian hukum.