Nyoman Serikat Putra Jaya
Faculty Of Law, Universitas Diponegoro

Published : 38 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 38 Documents
Search

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANAPERJUDIAN SABUNG AYAM DI SEMARANG (STUDI PUTUSAN PN SEMARANG NO.155/PID/B./2015/PN.SMG) Sony Duga Bangkit Pardede*, Nyoman Serikat Putra Jaya, AM.Endah Sri
Diponegoro Law Journal Vol 5, No 4 (2016): Volume 5, Nomor 4, Tahun 2016
Publisher : Program Studi S1 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (823.058 KB)

Abstract

Sejarah Perjudian Sabung Ayam di Indonesia atau kegiatan mengadu dua ekor Ayam Jago atau Ayam jantan ini adalah salah satu hobi atau kegiatan yang sangat terkenal dan kental di kalangan masyarakat Indonesia. Tidak hanya sebagai hobi, Sabung Ayam juga kerap dijadikan sebagai ajang atau media perjudian baik sekala kecil bahkan sampai sekala besar dengan nominal taruhan sampai berpuluh-puluh juta rupiah.Dalam hal ini yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini ialah bagaimana kebijakan hukum pidana dalam menanggulangi perjudian sabung ayam saat ini. Praktik pengadilan dalam memeriksa, megadili dan memutus perjudian sabung ayam dalam Putusan PN.Semarang NO.155/PID/B./2015/PN.SMG. Kebijakan hukum pidana dalam menanggulangi perjudian sabung ayam yang akan datang.Penulisan hukum ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif. Metode pendekatan yuridis normatif, yaitu suatu pendekatan yang melihat hukum dalam perspektif hukum positif. Penelitian dengan pendekatan yuridis normatif artinya permasalahan yang ada diteliti berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada dan literatur-literatur yang ada kaitannya dengan permasalahan.Perjudian merupakan salah satu tindak  pidana (delict) yang meresahkan masyarakat. Tindak pidana perjudian dalam KUHP  termasuk “Sabung Ayam” selain dilarang secara tegas oleh hukum positif (KUHP). Hal ini dapat diketahui dari ketentuan pasal 303 KUHP, pasal 542 KUHP dan sebutan pasal 542 KUHP  kemudian dengan adanya UU.No.7 1974 diubah menjadi pasal 303 bis KUHP. Para terdakwa pelaku tindak pidana perjudian telah divonis bersalah dan dijatuhkan hukuman pidana penjara selama 4 (empat) bulan penjara. Hal tersebut dapat dibuktikan karena para terdakwa telah mengakui terus terang perbuatannya melakukan Tindak Pidana khususnya Perjudian Sabung Ayam dan juga menggunakan uang sebagai taruhan demi mendapatkan sebuah keuntungan. Pembaharuan  RUU KUHP merupakan suatu keharusan. Karena pemerintah harus menyikapi perkembangan tersebut dengan merancang sebuah peraturan yang dapat menjangkau dan mengakomodir kejahatan di bidang kesusilaan khususnya tindak pidana perjudian sabung ayam. Jadi dalam hal ini perlu kerja sama antara penegak hukum dengan masyarakat untuk menanggulangi Tindak Pidana Perjudian agar tercipta kondisi sosial yang aman dan  bersih serta bebas dari perjudian yang meresahkan masyarakat.Dalam upaya pencegahan dan penanggulangan perjudian sabung ayam selain dilakukan para penegak hukum hal ini juga perlu ditempuh dengan berbagai cara yang bersifat persuasif dan juga melibatkan masyarakat untuk berpartisipasi mengatasi maraknya perjudian sabung ayam yang terjadi. Dengan melaporkan kepada pihak berwajib bila mengetahui adanya perjudian sabung ayam. Karena dalam hal tersebut sangat berpengaruh dalam mengurangi adanya tindak pidana perjudian dimana dalam hal ini masyarakatlah yang sering diserahkan oleh pelaku perjudian tersebut.
IMPLEMENTASI PENDAMPINGAN PENGGUNAAN DANA DESA SEBAGAI SARANA NON-PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSI Nanik Riyanti; I Nyoman Serikat Putra Jaya; Purwoto Purwoto
Diponegoro Law Journal Vol 8, No 2 (2019): Volume 8 Nomor 2, Tahun 2019
Publisher : Program Studi S1 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (269.761 KB)

Abstract

Korupsi merupakan kejahatan yang dapat menjerat siapa saja dalam lingkungan sekitarnya, tidak mengenal jabatan dan status sosial baik dikota maupun di desa. Termasuk pada saat ini, dengan adanya kebijakan Dana Desa yang dikucurkan pada tiap desa menjadi sarana penyalahgunaan wewenang.  Penanggulangan korupsi tidak hanya dapat dilakukan melalui sarana penal (hukum pidana), namun juga dapat dilakukan melalui sarana non-penal yang lebih menitikberatkan pada sifat pencegahan (preventif). Dalam pencegahan korupsi Dana Desa dapat dilakukan melalui pendampingan sebagaimana diatur dalam Permendes Nomor 3 Tahun 2015 tentang Pendampingan Desa. Pendampingan penggunaan Dana Desa oleh Pendamping Desa dan Pendamping Lokal Desa diharapkan dapat mencegah terjadinya tindak pidana korupsi Dana Desa, karena para pendamping selalu terlibat langsung dalam mendampingi penggunaan Dana Desa untuk pembangunan Desa maupun pemberdayaan masyarakat Desa mulai dari tahap perencanaan sampai dengan tahap evaluasi. Para pendamping terus berusaha untuk memberikan fasilitasi yang baik, namun dalam implementasinya tentu dijumpai kendala yang dihadapi dan baik Pendamping Desa maupun Lokal Desa terus melakukan koordinasi untuk meminimalisir kendala tersebut.
IMPLEMENTASI UPAYA HUKUM PENINJAUAN KEMBALI DALAM PERKARA PIDANA SETELAH PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 34/PUU-XI/2013 Nadia Yurisa Adila*, Nyoman Serikat Putra Jaya, Sukinta
Diponegoro Law Journal Vol 5, No 2 (2016): Volume 5, Nomor 2, Tahun 2016
Publisher : Program Studi S1 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (440.671 KB)

Abstract

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 menyatakan bahwa permohonan peninjauan kembali dalam perkara pidana dapat diajukan lebih dari satu kali dengan ditemukannya keadaan baru/novum yang belum diajukan pada peninjauan kembali sebelumnya. Tetapi, Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 7 Tahun 2014 menegaskan bahwa permohonan peninjauan kembali dalam perkara pidana tetap dilakukan 1 (satu) kali. Lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi dan SEMA tersebut menciptakan peraturan ganda dalam hal peninjauan kembali, sehingga menimbulkan disharmoni hukum yang berdampak pada pertentangan keadilan dan kepastian hukum serta pada Pengadilan Negeri dalam menyikapi permohonan peninjauan kembali yang diajukan lebih dari 1 (satu) kali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa praktik permohonan peninjauan kembali dapat diajukan lebih dari 1 (satu) kali setelah keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013. Meskipun Mahkamah Konstitusi telah memutus demikian, pada praktik permohonan peninjauan kembali yang diajukan lebih dari sekali tidak dapat diterima oleh Mahkamah Agung karena Hakim Agung/Pengadilan Negeri tetap berpedoman pada SEMA Nomor 7 Tahun 2014 yang membatasi permohonan peninjauan kembali dalam perkara pidana diajukan 1 (satu) kali saja.
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PUTUSAN PRAPERADILAN ATAS PENETAPAN TERSANGKA BUDI GUNAWAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI Elisabeth Bethesda*, Nyoman Serikat Putra Jaya, Sukinta
Diponegoro Law Journal Vol 5, No 2 (2016): Volume 5, Nomor 2, Tahun 2016
Publisher : Program Studi S1 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (509.062 KB)

Abstract

Sebagai konsekuensi negara hukum, hak konstitusional setiap warga negara harus dijunjung tinggi, dan oleh karenanya harkat martabatnya tidak dapat dirampas dengan sewenang-wenang oleh siapapun. Lembaga praperadilan dibutuhkan untuk menjawab kebutuhan konkrit dari pencari keadilan dengan memeriksa keabsahan tindakan penegak hukum. Meskipun penetapan tersangka bukan obyek praperadilan dalam KUHAP, namun tidak tertutup kemungkinan hal tersebut sebagai tindakan sewenang-wenang yang memerlukan pemeriksaan dengan alasan perlindungan hak konstitusional. Tujuan penulisan ini akan membedah kemungkinan-kemungkinan yang terjadi dengan segala akibat hukumnya. Pertanyaan yang diangkat adalah apakah pertimbangan hakim mengabulkan permohonan praperadilan dengan alasan tidak sah penetapan tersangka dibenarkan secara hukum, dan bagaimana yuridis normatif terhadap  penetapan tersangka sebagai obyek praperadilan di masa datang ?
KAJIAN YURIDIS KEKERASAN SEKSUAL YANG DILAKUKAN SUAMI TERHADAP ISTRINYA Ruhud Nadame P*, Nyoman Serikat Putra Jaya, A.M. Endah Sri Astuti
Diponegoro Law Journal Vol 5, No 2 (2016): Volume 5, Nomor 2, Tahun 2016
Publisher : Program Studi S1 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (561.024 KB)

Abstract

Kekerasan terhadap perempuan akhir-akhir ini sangat memprihatinkan. Media cetak maupun media elektronik, hampir setiap hari meliput berita tentang perkosaan, penganiayaan, perdagangan perempuan, pelecehan seksual, bahkan pembunuhan yang disertai dengan atau tanpa mutilasi. Dari sekian kasus kekerasan terhadap perempuan, kasus perkosaan merupakan kasus yang sering terjadi, oleh karena perkosaan merupakan final dari urutan kekerasan terhadap perempuan, artinya setiap kasus kekerasan terhadap perempuan baik itu pelecehan seksual, penganiayaan maupun perdagangan perempuan (trafficking) akan diakhiri ataupun bersamaan dangan perkosaan. Undang-undang No. 23 Tahun 2004 mengatur tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga yang di antaranya kekerasan seksual terhadap perempuan khususnya istri di lingkup rumah tangga dapat diatasi dengan tindakan bersama antar semua pihak, dari masyarakat sampai aparat. Bentuk kekerasan seksual yang dilakukan suami terhadap istri salah satunya adalah pemaksaan hubungan seksual.
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM KASUS KEALPAAN PEMASANGAN INSTALASI LISTRIK (STUDI KASUS PUTUSAN PENGADILAN PURWODADI NO: 05/PID.B/2015/PN PWD) Aulia Risky Aditya*, Nyoman Serikat Putra Jaya, Purwoto
Diponegoro Law Journal Vol 5, No 2 (2016): Volume 5, Nomor 2, Tahun 2016
Publisher : Program Studi S1 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (480.648 KB)

Abstract

Listrik merupan kebutuhan yang sangat mendasar bagi setiap orang di dunia. Akan tetapi banyak sekali pemsangan instalasi listrik yang menyebabkan timbulnya korban mulai dari luka ringan sampai yang terparah adalah meninggalnya korban. Permasalahan disini adalah siapa yag akan bertanggungjawab jika timbulnya korban? .Pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana kealpaan yang menyebabkan kematian orang lain dalam hukum positif indonesia diatur dalam Pasal 359 KUHP. Pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap tindak pidana kealpaan yang menyebabkan kematian orang lain dalam Putusan Pengadilan Negeri Purwodadi Nomor 05/Pid.B/2015/Pn Pwd tahun 2015 yaitu Bahwa terdakwa secara sah dan bertanggungjawab telah melakukan tindak pidana kealpaan yang menyebabkan kematian orang lain. Tetapi menurut doktrine vicarious liability bahwa orang yang melakukannya patut bertanggungjawab juga terdapat kejadian yang menimpa korban.
Hukuman Kebiri terhadap Kejahatan Seksual Anak R Bondan Agung Kardono; Nyoman Serikat Putra Jaya; Nur Rochaeti
Kanun Jurnal Ilmu Hukum Vol 22, No 3 (2020): Vol. 22, No. 3, Desember 2020
Publisher : Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24815/kanun.v22i3.17120

Abstract

Maraknya kejahatan seksual terhadap anak, menimbulkan persepsi bahwa kebijakan hukuman penal yang ada saat ini, dipandang tidak mampu meminimalisir kejahatan seksual terhadap anak. Tulisan ini mempertanyakan bagaimana kebijakan kriminal sanksi tindakan kebiri terhadap pelaku kejahatan seksual terhadap anak yang diatur dalam PERPU No. 1 Tahun 2016 saat ini dan masa mendatang? Tulisan ini merupakan penelitian yuridis normatif yang mengkonsepkan hukum sebagai ius constitutum, ius constituendum dan hukum in concreto. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa kebijakan kriminal melalui hukum pidana berupa hukuman kebiri kimia, perlu diikuti dengan Peraturan Teknis Pelaksana; (a) Pelaksanaan sanksi tindakan kebiri tidak dapat dite-rapkan untuk semua pola-pola kejahatan seksual, tetapi bersifat kasuiistis; (b) Diperlu-kan dukungan sarana prasarana sumberdaya manusia untuk teknis pelaksanaanya; (c) Diperlukan dukungan anggaran biaya yang secara tegas dimuat dalam DIPA untuk menjalankan eksekusi kebiri; (d) Diperlukan kajian akademik yang mendukung revisi atau perubahan atas Undang-Undang No. 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi UU. Castration Punishment for Child Sexual Abuser The increasing number of child sexual abuse considered as an impact of penal punishment incapability. The aim of this research is to examine the enforcement of PERPU No.1/ 2016 specifically about crastation punismneht for child sexual abuser, currently and its future development. This is a juridical normative research by ceoncepting law as ius constitutum, ius constituendum and law in concreto. The research conclude that criminal law in the form of chemical castration punishment, needs to be followed by Implementing Technical Regulations; (a) The implementation of the castration sanction cannot be applied to all kind of  sexual abuse, but it is casuiistic in nature; (b) Infrastructure and human resources is needed for the technical implementation; (c) The inportance of financial support that’s explicitly mentioned in DIPA to enforce the castration execution; (d) Lastly, an academic study is also needed to support a revision for  Law Number 17 of 2016 concerning the stipulation of PERPU number 1 of 2016 concerning the second amendment to law number 23 of 2002 concerning child protection, transform to be a law.
Implementation of Corruption on Law Enforcement in the Criminal Justice System in Indonesia Ariza Hasna; Nyoman Serikat Putra Jaya
IJCLS (Indonesian Journal of Criminal Law Studies) Vol 5, No 2 (2020): Indonesian J. Crim. L. Stud. (November, 2020)
Publisher : Universitas Negeri Semarang (UNNES)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15294/ijcls.v5i2.28113

Abstract

The increase in criminal acts of corruption has brought disasters not only to the life of the nation and state in general, but also can cause various weaknesses in the lives of future generations. For this reason, strict, consistent and non-discriminatory law enforcement is needed for corruptors. However, law enforcement in the Criminal Justice System in Indonesia is still unable to carry out maximum law enforcement against corruption perpetrators, because there are still some weaknesses and problems, judging from the regulatory aspects there are still overlapping arrangements, the quality of the judiciary still needs to be improved because it has not been able to create justice in the public, the monitoring system of the performance of law enforcement officials related to corruption law enforcement still needs to be improved because it is not yet integrated, while the sanctions given are still considered to be not optimal so that it does not cause a deterrent effect to the perpetrators, so that in the future it is expected to change, reform and increase in Criminal Justice System in Indonesia.