Claim Missing Document
Check
Articles

Found 14 Documents
Search

ANALISIS PERMINTAAN KAYU LAPIS DI JAWA Satria Astana; Buharman Buharman
Jurnal Penelitian Hasil Hutan Vol 3, No 2 (1986): Jurnal Penelitian Hasil Hutan
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20886/jphh.1986.3.2.14-18

Abstract

One of  the main  important things for  the planning  of production and marketing  development is the demand informations. This research was conducted to analyse the aggregate demand  of plywood  in the districts of Java and its determining  factors.  The result of this research revealed that the aggregate demand  of plywood  in the districts of Java ranged from 679. 731 m3 to 1741.841  m3. The number of people  and the gross domestic regional income in the districts determine  the aggregate demand  of plywood significantly.  The elasticity  of the number of people  is 0.12  and the gross domestic  regional income  is 0.16. In addition,  this research found  that the distribution  of its consumption  consisted  of 60. 02% of the households,  25.22%  of the building contractors,  10.97%  of the furniture  craft industries and  3. 79% of the car body craft industries. 
EFISIENSI TATANIAGA EKSPOR BIJI TENGKAWANG DARI KALIMANTAN BARAT Satria Astana; Subandi Antaatmaja; Rachman Effendi; Buharman Buharman
Jurnal Penelitian Hasil Hutan Vol 4, No 2 (1987): Jurnal Penelitian Hasil Hutan
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20886/jphh.1987.4.2.1-9

Abstract

Efficiency  of marketing  system has an important  role in supply and demand  balance.  It could be indicated by the marketing margin. A lower marketing  margin  would  mean  lower prices  to consumers, higher prices  to producers,  and a greater quantity  of  the good  exchange.The marketing system for illipe-nuts export from West Kalimantan has two main channels,  intermediate  sellers and exporters. The price spread analysis reveals that the marketing system  mechanism  is inefficient. The farmer margin is 45.83%  and  the marketing  margin is 54.17%  of the export price. The marketing margin consists of 32.27% of profit (and risk) margin and 21.90% of marketing  cost.  The biggest marketing cost is on the intermediate  seller (12.50%). However,  the highest margin for  profit  (and risk) is on the exporter  (19.76%);   the margin for  profit  (and risk) for  the intermediate  seller is 12.5%  and  the marketing  cost for the exporter  is 9.40%..In the marketing system, the farmer's earning is 17.01% of  the production cost  when poor  harvest; the production cost  is Rp. 64276.38 includes 58.41% of accomodation costs, 35.99%  of transportation   costs and 5.60%  of  tool  costs. In the rich harvest,  the farmer's earning  is estimated  at 30.0%  of the production  cost under the assumption  that the decreasing of the price due to the production   increases is about  18%. If inefficiency of  the marketing  system  can be overcomed, the farmer's earning both  in the poor and rich harvests  will be able to increase.
ANALISIS KEBIJAKAN SISTEM INSENTIF BAGI USAHA KEHUTANAN Satria Astana; M Zahrul Muttaqin; Nunung Parlinah; Indartik Indartik
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol 4, No 1 (2007): JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN KEHUTANAN
Publisher : Centre for Research and Development on Social, Economy, Policy and Climate Change

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2624.017 KB) | DOI: 10.20886/jakk.2007.4.1.39-63

Abstract

Menjelang tahun 1990-an, ekspor hasil hutan menduduki peringkat satu ekspor non-migas namun sekarang menurun menduduki peringkat ketiga setelah elektronika dan tekstil. Perkembangan kinerja HPH cenderung menurun namun degradasi sumberdaya hutan tetap meningkat, sementara kinerja HTI dan HKm tergolong lamban. Kenyataan menunjukkan dampak pengganda (multiplier effect) sektor kehutanan tergolong tinggi dan penurunan kinerjanya berdampak negatif terhadap perekonomian nasional. Karenanya suatu kebijakan yang efektif perlu diambil untuk mengatasi permasalahan tersebut dalam hal ini kebijakan sistem insentif merupakan salah satu kebijakan yang dapat diadopsi. Melalui kebijakan sistem insentif, pelaku ekonomi dan masyarakat yang terlibat dalam usaha (bisnis) kehutanan diharapkan lebih bergairah untuk mewujudkan pengelolaan hutan lestari. Indikator dari situasi yang diharapkan ini akan ditunjukkan oleh terwujudnya efisiensi dan daya saing serta green market hasil hutan. Secara teknis, efektivitas kebijakan sistem insentif bergantung pada ketepatan jenis, bentuk, dan besaran insentif yang diberikan. Secara politis, efektifitas kebijakan sistem insentif bergantung pada kapasitas, kapabilitas dan akuntabilitas instansi yang terlibat. Keberhasilan pelaksanaankebijakan harus didasarkan pada hasil MONEV, yang keakuratannya bergantung pada ketepatan ukuran-ukuran dampak yang dikembangkan dan digunakan.
ANALISIS PERMINTAAN KAYU LAPIS DI JAWA Satria Astana; Buharman Buharman
Jurnal Penelitian Hasil Hutan Vol 3, No 2 (1986): Jurnal Penelitian Hasil Hutan
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20886/jphh.1986.3.2.14-18

Abstract

One of  the main  important things for  the planning  of production and marketing  development is the demand informations. This research was conducted to analyse the aggregate demand  of plywood  in the districts of Java and its determining  factors.  The result of this research revealed that the aggregate demand  of plywood  in the districts of Java ranged from 679. 731 m3 to 1741.841  m3. The number of people  and the gross domestic regional income in the districts determine  the aggregate demand  of plywood significantly.  The elasticity  of the number of people  is 0.12  and the gross domestic  regional income  is 0.16. In addition,  this research found  that the distribution  of its consumption  consisted  of 60. 02% of the households,  25.22%  of the building contractors,  10.97%  of the furniture  craft industries and  3. 79% of the car body craft industries. 
EFISIENSI TATANIAGA EKSPOR BIJI TENGKAWANG DARI KALIMANTAN BARAT Satria Astana; Subandi Antaatmaja; Rachman Effendi; Buharman Buharman
Jurnal Penelitian Hasil Hutan Vol 4, No 2 (1987): Jurnal Penelitian Hasil Hutan
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20886/jphh.1987.4.2.1-9

Abstract

Efficiency  of marketing  system has an important  role in supply and demand  balance.  It could be indicated by the marketing margin. A lower marketing  margin  would  mean  lower prices  to consumers, higher prices  to producers,  and a greater quantity  of  the good  exchange.The marketing system for illipe-nuts export from West Kalimantan has two main channels,  intermediate  sellers and exporters. The price spread analysis reveals that the marketing system  mechanism  is inefficient. The farmer margin is 45.83%  and  the marketing  margin is 54.17%  of the export price. The marketing margin consists of 32.27% of profit (and risk) margin and 21.90% of marketing  cost.  The biggest marketing cost is on the intermediate  seller (12.50%). However,  the highest margin for  profit  (and risk) is on the exporter  (19.76%);   the margin for  profit  (and risk) for  the intermediate  seller is 12.5%  and  the marketing  cost for the exporter  is 9.40%..In the marketing system, the farmer's earning is 17.01% of  the production cost  when poor  harvest; the production cost  is Rp. 64276.38 includes 58.41% of accomodation costs, 35.99%  of transportation   costs and 5.60%  of  tool  costs. In the rich harvest,  the farmer's earning  is estimated  at 30.0%  of the production  cost under the assumption  that the decreasing of the price due to the production   increases is about  18%. If inefficiency of  the marketing  system  can be overcomed, the farmer's earning both  in the poor and rich harvests  will be able to increase.
KEUNGGULAN KOMPARATIF HASIL HUTAN BUKAN KAYU DARI HUTAN TANAMAN Satria Astana; M Zahrul Muttaqin; J T Yuhono
Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol 1, No 1 (2004): Jurnal Sosial Ekonomi Kehutanan
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial, Ekonomi, Kebijakan dan Perubahan Iklim

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20886/jpsek.2004.1.1.31-44

Abstract

Pasokan kayu dari hutan alam diperkirakan akan terus menurun dan di masa mendatang diharapkan akan digantikan oleh hutan tanaman. Apabila hutan tanaman tidak berkembang sesuai dengan harapan, pertanyaan nya adalah apakah hasil huran bukan kayu dapat menggantikan? Jawaban atas pertanyaan tersebut diantaranya bergantung pada apakah hasil hutan bukan kayu sekurang-kurangnya memiliki keunggulan komparatif yang sama dengan kayu bulat dari hutan tanaman. Hasil hutan yang dikaji adalah gondorukem, terpentin dan minyak kayu putih. Penelitian dilaksanakan pada tahun 1999. Untuk gondorukem dan terpentin, penelitian dilaksanakan di Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Bandung Utara, Pekalongan Timur dan Lawu DS, sedangkan untuk minyak kayu putih di Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) lndramayu, Gundih dan Madiun. Keunggulan komparatif ketiga hasil hutan tersebut dihitung dengan menggunakan metode Biaya Sumberdaya Domestik (BSD). Dengan menggunakan data sekunder tahun 1998, hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga komoditas yang diteliti memiliki keunggulan komparatif yang relatif tinggi, ditunjukkan oleh nilai koefisien BSD-nya yang relatifrendah. Koefisien BSD gondorukem berkisar antara 0,35-0,59,terpentin 0, 10-0, 13 dan minyak kayu putih 0,54-0, 71. Gondorukem masih memiliki keunggulan komparatif jika harga ekspornya menurun dari harga ekspor tertinggi (US$ 437/ton) menjadi US$ 153/ton atau menurun 64,99%, dan terpentin dari harga ekspomya tertinggi (US$ 325/ton) menjadi US$ 35/ton atau menurun 89,23%, serta minyak kayu putih dari harga ekspomya tertinggi (US$ 4938/ton) menjadi USS 2874/ton atau menurun 41,80%. Memperhatikan koefisien BSD-nya yang relatif rendah dan perkembangan harga pada periode 1994 - 1998, prospek ekspor ketiga komoditas tersebut di masa datang diperkirakan relatif tetap baik.Perkembangan harga gondorukem cenderung meningkat (1,35%-1,74%) dan terpentin juga cenderung meningkat ( 14,39%-16,54%). Sebaliknya, perkembangan harga minyak kayu putih tidak diketahui secara pasti, tetapi jika harganya less-distortive diperkirakan juga memiliki prospek yang baik di masa datang. Direkomendasikan untuk melakukan penelitian keunggulan komparatifhasil hutan bukan kay u yang lain, terutama yang tumbuh di luar Jawa.
DAMPAK IMPLEMENTASI SERTIFIKASI VERIFIKASI LEGALITAS KAYU TERHADAP KEBERLANJUTAN INDUSTRI KAYU DAN HUTAN RAKYAT Elvida Yosefi Suryandari; Deden Djaenudin; Satria Astana; Iis Alviya
Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol 14, No 1 (2017): Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial, Ekonomi, Kebijakan dan Perubahan Iklim

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (179.846 KB) | DOI: 10.20886/jpsek.2017.14.1.19-37

Abstract

International market requires producers to proof the legality of their wood products to address the issues of illegal logging and illegal trade. Timber Legality Verification System (TLVS) has been prepared by the Government of Indonesia that covering the upstream and downstream wood industries. This paper aims to evaluate gaps in the implementation of TLVS policy and its impact on the sustainability of timber industry. This study was using gap, descriptive and costs-structure analyzes. The study was conducted in three provinces, namely: DKI Jakarta, West Java and D.I. Yogyakarta. Research found that the effectiveness of the TLVS implementation was low due to relatively rapid policy changes. This situation became disincetive for investments in timber business. Private sector perceived that TLVS policy should be applied in the upstream of timber business. Hence, the industry and market in the downstream have not been fully support to this system. Furthermore, TLVS policy implementation was considered ineffective by timber industry as well as private forest managers, especially by micro industry and smallholder private forests. This situation threatened the sustainability of timber industry and private forests. Therefore, Institutions should be strengthened in order to improve the quality of human resources and the competitiveness of products.
DAYA SAING EKSPOR HASIL HUTAN ANDALAN SETEMPAT Satria Astana; Muhammad Zahrul Muttaqin
Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol 2, No 1 (2005): Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial, Ekonomi, Kebijakan dan Perubahan Iklim

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20886/jpsek.2005.2.1.27-37

Abstract

Pennintaan hasil hutan, termasuk hasil hutan andalan setempat (H2AS), hingga kini masih relatif tinggi. Kondisi demikian mengharuskan adanya upaya pengembangan hasil hutan yang bersangkutan. Upaya pengembangannya memerlukan informasi mengenai keunggulan komparatif dan kompetitif serta stabilitas daya saing ekspomya. Selaras dengan masalah tersebut, penelitian bertujuan untuk mengkaji: I) daya saing .ekspor, terutama keunggulan komparatif dan kompetitif H2AS, dan 2) stabilitas daya saing ekspor H2AS. Penelitian dilakukan di Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Timur, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan pada bulan Nopember dan Desember 2002. Keunggulan komparatif dan kompetitif berturut-turut diukur berdasarkan koefisien Biaya Sumberdaya Domestik (k) dan Private Cost Ratio (PCR). Stabilitas daya saing ekspor H2AS dianalisis berdasarkan kepekaan PCR. Hasil penelitian menunjukkan bahwa H2AS memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif serta stabilitas daya saing ekspor yang tinggi. Ekspor minyak cendana belum tergoncang jika harga inputnya meningkat atau harga outputnya menurun berturut-turut sampai 30% dan 20% dan untuk kerajinan kayu cendana sampai I 00% dan 40%, sedangkan ekspor kemiri mulai terguncangjikaharga inputnya meningkat atau harga outputnya menurun berturut-turut lebih dari 29% dan 20% dan untuk buah tengkawang lebih dari 35% dan 23%. Dengan demikian, kebijakan pengembangan beberapa hasil hutan tersebut dapat diarahkan masuk ke dalam kelompok pengembangan budidaya tanaman ekspor daerah setempat.
KEUNGGULAN KOMPARATIF KAYU BULAT JATI DAN PINUS HUTAN TANAMAN DAN PROSPEKNYA DI MASA DATANG Satria Astana; J T Yuhono; Budhi Waskito; Sapto Yowono; Probo Raharjo; Dewi Untari; Sri Mina Ginting; Kamila Yuniarti
Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol 1, No 1 (2004): Jurnal Sosial Ekonomi Kehutanan
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial, Ekonomi, Kebijakan dan Perubahan Iklim

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20886/jpsek.2004.1.1.67-86

Abstract

Di masa datang, produksi kayu bulat dari hutan alam akan terus menurun. Diharapkan penurunan produksinya akan digantikan oleh produksi kayu bulat dari hutan tanaman. Permasalahannya adalah apakah perkembangan hutan tanaman akan berjalan sesuai dengan harapan? Jawaban atas pertanyaan tersebut diantaranya bergantung pada apakah kayu bulat dari hutan tanaman sekurang-kurangnya memiliki keunggulan komparatif yang sama dengan kayu bulat dari hutan alam. Hutan tanaman yang dikaji adalah hutanjati dan hutan pinus. Penelitian dilaksanakan pada tahun 1999. Untuk hutan jati, penelitian dilaksanakan di Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) lndramayu, Gundih dan Madiun, sedangkan untuk hutan pinus di KPH Bandung Utara, Pekalongan Timurdan Lawu OS. Keunggulan komparatifkayu bulat jati dan pinus dihitung dengan menggunakan metode Biaya Sumberdaya Domestik (BSD). Denganmenggunakan data sekunder tahun 1998, hasil penelitian menunjukkan bahwa baik kayu bulat jati maupun pinus memiliki keunggulan komparatif. lni ditunjukkan oleh koefisien BSD-nya yang kurang dari satu. Koefisien BSD kayu bu lat jati berkisar antara 0,26-0,28 dan kayu bulatpinus antara 0,48-0,53. Hasil analisis kepekaan menunjukkan bahwa kayu bulat jati masih memiliki keunggulan komparatifjika harga intemasionalnya (ekspomya) menurun sampai 73% untuk KPH Madiun, sampai 72% untuk KPH lndramayu dan sampai 74% untuk KPH Gundih.Sedangkan kayu bulat pinus masih memiliki keunggulan komparatifjika harga intemasionalnya (ekspomya) menurun sampai 47% untuk KPH Pekalongan Timur dan sampai 52% untuk KPH Bandung Utara, dan sampai 48% untuk KPH Lawu OS. Lebih jauh, hasil penelitian merekomendasikan bahwa bila kebijakan ekspor kayu bulat dari hutan tanaman tidak diberlakukan, maka prospek hutan tanaman khususnyajati dan pinus di masa datang akan tetap lamban
SISTEM TATANIAGA DAN KETERGANTUNGAN PENDUDUK LOKAL DAN EKONOMI DAERAH PADA HASIL HUTAN ANDALAN SETEMPAT Satria Astana; Muhammad Zahrul Muttaqin; Rachman Effendi
Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol 2, No 1 (2005): Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial, Ekonomi, Kebijakan dan Perubahan Iklim

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20886/jpsek.2005.2.1.39-59

Abstract

Kegiatan pengusahaan hasil hutan andalan setempat dimulai sejak penduduk lokal mengenal sifat istimewa dan alamiah hasil hutan yang bersangk'utan. Pengusahaannya menjadi mata pencaharian utama atau kedua penduduk lokal hingga kini. Seiring dengan tingginya permintaan Hasil Hutan Andalan Seternpat (H2AS), sementara potensi produksinya terus menurun, maka perlu upaya pengembangan. Untuk memahami permasalahan dalam pengembangannya, maka penelitian dilakukan. Penelitian bertujuan untuk mengkaji: I) sistem tataniaga hasil hutan andalan setempat, 2) posisi tawar petani terhadap sistem tataniaga hasil hutan andalan setempat, dan 3) tingkat ketergantungan penduduk lokal dan ekonomi daerah terhadap hasil hutan andalan setempat. Penelitian dilakukan di Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Timur, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan pada bu Ian Nopember dan Desember 2002. Efisiensisistem tataniaga H2AS dianalisis berdasarkan tiga ukuran, yaitu: I) panjang pendeknya rantai tataniaga, 2) struktur pasar, dan 3) besamya marjin tataniaga. Ukuran ketergantungan penduduk lokal pada H2AS menggunakan besamya pendapatan yang dihasilkan dari H2AS,jum lah tenaga kerja kegiatan produksi ke konsumsi, sedangkan ketergantungan ekonomi daerah pada H2AS diukur menggunakan besamya kontribusi H2AS terhadap Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) dan Provisi Sumberdaya Hutan (PSDH) terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD). Hasilpenelitian menunjukkan ketergantungan penduduk terhadap H2AS adalah tinggi, adapun kontribusi H2AS terhadap PDRB bervariasi dan terhadap PAD adalah rendah. Sistem tataniaga H2AS tidak efisien karena distribusi laba memusat di salah satu lembaga niaga. Kebijakan pengembangan H2AS dapat dilakukan melalui upaya-upaya antara lain: I) budidaya tanaman, 2)pengembangan pasar, dan 3) penurunan inefisiensi tataniaga melalui penyebaran informnasi pasar  dan perbaikan infrastruktur (transportasi, komunikasi).