Claim Missing Document
Check
Articles

Found 12 Documents
Search

Hak Asasi Manusia Dalam Kerangka Negara Hukum: Catatan Perjuangan di Mahkamah Konstitusi Andi Muhammad Asrun
Jurnal Cita Hukum Vol 4, No 1 (2016)
Publisher : Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15408/jch.v4i1.3200

Abstract

Abstract: Human rights on the one hand by the concept of natural law is an inherent right of every individual human being since birth, but on the other hand the legality of human rights must be shaped by the flow of positivism. The debate over whether human rights should be stipulated in the constitution also influence the discussion of the UUD 1945. Finally, the UUD 1945 amendments regulate the basic rights of citizens more fully starts from the premise that human rights protection is an important element in the concept of a constitutional state. Incorporated therein also setting mechanism of "judicial review" in the Constitutional Court as a means to avoid any legislation contrary to the fundamental rights of citizens as guaranteed in the constitution. Abstrak: Hak Asasi Manusia Dalam Kerangka Negara Hukum: Catatan Perjuangan di Mahkamah Konstitusi. Hak asasi manusia pada satu sisi menurut konsep hukum alam adalah suatu hak yang melekat pada setiap individu manusia sejak dilahirkan, tetapi pada sisi lain hak asasi harus bentuk legalitas menurut aliran positivisme. Perdebatan apakah hak asasi manusia harus diatur dalam konstitusi atau tidak perlu dimuat dalam konstitusi juga mewarnai pembahasan UUD 1945. Amandemen UUD 1945 pasca berakhirnya 32 tahun Pemerintahan Orde Baru di bawah Suharto membawa perubahan significant UUD 1945. Pasca amandemen UUD 1945, konstitusi mengatur secara umum hak warganegara secara lebih lengkap. Perlindungan hak asasi manusia merupakan satu elemen penting dalam konsep negara hukum. Pasca amandemen konstitusi, UUD 1945 mengatur hak-hak dasar warganegara yang lebih lengkap bertitik tolak dari pemikiran bahwa perlindungan hak asasi manusia merupakan satu elemen penting dalam konsep negara hukum. UUD 1945 pasca amandemen memasukkan pengaturan hak warga negara lebih rinci serta mekanisme “judicial review” di Mahkamah Konstitusi sebagai sarana untuk menghindari adanya peraturan yang bertentangan dengan hak-hak dasar warganegara sebagaimana dijamin dalam konstitusi. DOI: 10.15408/jch.v4i1.3200
Keunggulan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah “Amanah Ummah” Dalam Penerapan Fatwa Dewan Syariah Nasional dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Andi Muhammad Asrun; Abdu Rahmat Rosyadi; Agus Satory; Yennie K. Milono; Ridwan Malik
Mizan: Journal of Islamic Law Vol 4, No 1 (2020): MIZAN
Publisher : Fakultas Agama Islam Universitas Ibn Khaldun Bogor, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32507/mizan.v4i1.594

Abstract

AbstractIslamic People's Financing Bank (BPRS) is a bank that conducts business activities based on sharia principles which in its activities do not provide services in payment traffic. The development trend of BPRS since the enactment of Islamic banking law continues to increase. All BPRS activities are obliged to apply sharia principles which are stated by the National Sharia Board of the Indonesian Ulema Council (DSN-MUI). After the Financial Services Authority (OJK) was formed there is now a change in regulation that the enactment of the DSN-MUI fatwa must be included in the Financial Services Authority Regulation (P-OJK). Sharia banking problems that arise at this time generally occur in Sharia Commercial Banks (BUS), Sharia Business Units (UUS), as well as in Islamic People's Financing Banks (BPRS) in terms of applying sharia principles that are not consistent there is still not yet under the fatwa DSN-MUI which has become OJK regulations. Research on the BPRS Amanah Ummah was conducted on capital assets. This research was conducted with a juridical-normative approach that places the laws and regulations as the object of research originating from primary, secondary, and tertiary laws. Primary data were obtained through direct interviews with BPRS Amanah Ummah. While secondary data obtained from legislation, books, journals, and other documents. The results of the study concluded that the BPRS Amanah Ummah financing products have consistently applied the principles of Islamic banking based on the DSN-MUI Fatwa.Keywords: Excellence, Implementation, SRB, DSN Fatwa, OJK AbstrakBank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Tren perkembangan BPRS sejak diberlakukan undang-undang perbankan syariah terus meningkat. Seluruh kegiatan BPRS wajib menerapkan prinsip-prinsip syariah yang difatwakan oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI). Setelah dibentuk Otoritas Jasa Keuangan (OJK) saat ini telah terjadi perubahan regulasi bahwa pemberlakuan fatwa DSN-MUI harus masuk ke dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (P-OJK). Permasalahan perbankan syariah yang timbul saat ini secara umum terjadi pada Bank Umum Syariah (BUS), Unit Usaha Syariah (UUS), maupun pada Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) dalam hal penerapan prinsip-prinsip syariah yang belum konsisten, bahkan masih ada yang belum sesuai dengan fatwa DSN-MUI yang sudah menjadi peraturan OJK. Penelitian terhadap BPRS Amanah Ummah ini dilakukan pada aset permodalan. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan yuridis-normatif yang menempatkan peraturan perundang-undangan sebagai objek penelitian yang bersumber dari hukum primer, sekunder, dan tersier. Data primer diperoleh melalui wawancara langsung dengan pihak BPRS Amanah Ummah. Sedangkan data sekunder diperoleh dari peraturan perundang-undangan, buku, jurnal, dan dokumen lainnya. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa dari produk-produk pembiayaan BPRS Amanah Ummah telah menerapkan prinsip-prinsip perbankan syariah berdasarkan Fatwa DSN-MUI secara konsisten.Kata Kunci: Keunggulan, Penerapan, BPRS, Fatwa DSN, OJK
Strengthening Guarantees of Independence of Judicial Power Post Amendment to the 1945 Constitution Andi Muhammad Asrun; Raden Muhammad Mihradi; Nazarudin Lathif; Mustika Mega Wijaya
Budapest International Research and Critics Institute (BIRCI-Journal): Humanities and Social Sciences Vol 5, No 1 (2022): Budapest International Research and Critics Institute February
Publisher : Budapest International Research and Critics University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33258/birci.v5i1.4191

Abstract

Amendments to the 1945 Constitution have provided even stronger guarantees for the independence of judicial power in Indonesia. The pre-amendment Constitution only mentions the promise of the freedom of judicial power in the Explanation section of the 1945 Constitution. The Explanatory Provisions have no binding legal force. The weakness of the law became a loophole for the interference of executive power in judicial power as occurred in the era of Sukarno (1959-1966) and the era of Suharto (1966-1998). In addition to strengthening the guarantee of judicial independence, amendments to the 1945 Constitution were also established by the Constitutional Court. The Constitutional Court exercises judicial power alongside the Supreme Court and the judicial bodies. Changes to the 1945 Constitution also assign duties to the Judicial Commission to supervise judges and judicial processes.
DAMPAK PENGELOLAAN SAMPAH MEDIS DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG No 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN DAN UNDANG-UNDANG No. 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP Andi Muhammad Asrun; L. Alfies Sihombing; Yeni Nuraeni
Pakuan Justice Journal of Law (PAJOUL) Vol 1, No 1 (2020): Vol 1 No 1 tahun 2020
Publisher : Universitas Pakuan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (816.604 KB) | DOI: 10.33751/pajoul.v1i1.2037

Abstract

AbstractThe management of medical waste is part of environmental sanitation activities in the hospital which aims to protect the public from the dangers of environmental pollution that originate from hospital waste and efforts to prevent the spread of disease. Each type of medical waste has its own way of handling it. If not carried out with appropriate procedures, the consequences will have a more severe impact. Waste or medical waste is the result of waste from a medical activity. This medical waste contains various kinds of medical waste which is dangerous to human health if not treated properly, and storage becomes the last choice if the waste cannot be directly processed. Medical waste is mostly contaminated with bacteria, viruses, poisons and radioactive materials that are harmful to humans and other creatures around their environment. The negative impact of medical waste on the community and its environment occurs due to poor management. The impact that occurs from medical waste can cause pathogens that can adversely affect humans and the environmentKeywords: management, medical waste, environment AbstrakPengelolaan limbah medis merupakan bagian dari kegiatan penyehatan lingkungan di Rumah Sakit yang bertujuan untuk melindungi masyarakat dari bahaya pencemaran lingkungan yang bersumber dari limbah Rumah Sakit dan upaya penanggulangan penyebaran penyakit.. Tiap jenis limbah medis memiliki cara penanganannya sendiri-sendiri. Apabila tidak dilakukan dengan prosedur yang sesuai maka akibatnya akan berdampak lebih parah Sampah atau limbah medis adalah hasil buangan dari suatu aktivitas medis. Limbah medis ini mengandung berbagai macam limbah medis yang berbahaya bagi kesehatan manusia bila tidak diolah dengan benar, dan penyimpanan menjadi pilihan terakhir jika limbah tidak dapat langsung diolah. Limbah medis kebanyakan sudah terkontaminasi dengan bakteri, virus, racun dan bahan radioaktif yang berbahaya bagi manusia dan mahluk lain disekitar lingkungannya. Dampak negatif limbah medis terhadap masyarakat dan lingkungan nya terjadi akibat pengelolaan yang kurang baik. Dampak yang terjadi dari limbah medis tersebut dapat menimbulkan patogen yang dapat berakibat buruk terhadap manusia dan lingkungannyaKata kunci : pengelolaan, limbah medis, lingkunga
PERADILAN AGAMA DAN OPTIMALISASINYA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA WARIS ISLAM BERBASIS PANCASILA Yenny Febrianty; Andi Muhammad Asrun
Pakuan Justice Journal of Law (PAJOUL) Vol 3, No 2 (2022): Volume 3, Nomor 2 Juni-Desember 2022
Publisher : Universitas Pakuan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33751/pajoul.v3i2.7159

Abstract

AbstrakHukum waris Islam di Indonesia tidak terlepas dari aturan-aturan dalam sistem hukum nasional dan aturan dan ketentuan dari kitab suci Al Quran. Peradilan Agama adalah peradilan tempat penyelesaian sengketa soal keperdataan khusus bagi orang-orang beragama Islam. Berdasarkan hal tersebut maka penulis dalam makalah ini mengkaji dan menganalisa tulisan ini dalam perumusan masalah yang antara lain tentang, hakikat peradilan agama dalam penyelesaian sengketa waris Islam yang berbasis nilai-nilai Pancasila  dan Optimalisasi peradilan agama dalam era globalisasi guna menyelesaikan sengketa waris Islam dalam sistem hukum nasional berbasis Pancasila. Metode pendekatan sosiolegal  dan  pendekatan Yuridis Normatif, dengan data sekunder sebagai sumbernya. Dari hasil pembahasan dalam penulisan ini menunjukan bahwa hakikat dari peradilan agama dalam praktek penyelesaian sengketa waris Islam tergantung pada status dan kedudukan pengadilan agama itu sendiri khususnya dalam penyelesian sengketa waris, yang mana  pelaksana kekuasaan kehakiman di era reformasi dalam peradilan agama dalam segi peraturan per undang-undangannya sudah jelas diatur bahwa setiap orang Islam di Indonesia apabila bersengketa khususnya waris harus melalui peradilan agama.. Kondisi tersebut diharapkan tidak lagi mengundang perdebatan mengenai kehadirannya dalam sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia. Menjalankan peradilan agama menjadi tanggungjawab dan kewajiban konstitusional, yang penghapusannya hanya mungkin kalau ada perubahan UUD. Dan Cara mengembalikan seperti semula sistem pengadilan agama dalam menyelesaikan sengketa waris Islam dalam sistem hukum nasional berbasis Pancasila dapat dimulai dari tingkat individu umat agama Islam itu sendiri. Pemeluk agama Islam harus meyakini dalam keimanan Islam nya bahwa aturan-aturan hidup yang harus mereka taati dan jalani adalah aturan-aturan yang bersumber dari Al Quran dan Hadist. Sejalan dengan itu maka apabila pemeluk agama Islam bersengketa soal waris Islam, mereka menempuh berpekara di peradilan agama, karena peradilan  agama memakai atau memutus dengan syariat Islam. Kata kunci :Peradilan Agama, Hukum Waris Islam, Sistem Hukum Nasional, Pancasila AbstractIslamic inheritance law in Indonesia is inseparable from the rules in the national legal system and the rules and regulations of the holy book of Al-Quran. Religious courts are courts where dispute settlement of civil matters specifically for people of the Muslim faith. Based on this, the authors in this paper examine and analyze this paper in the formulation of the problem which includes, among other things, the nature of religious justice in resolving Islamic inheritance disputes based on Pancasila values the and Optimization of religious justice in the era of globalization to resolve Islamic inheritance disputes in the legal system nationalism based on Pancasila. Sociolegal approach and Normative Juridical approach, with secondary data as the source. From the results of the discussion in this paper, it shows that the nature of the religious court in the practice of resolving Islamic inheritance disputes depends on the status and position of the religious court itself, especially in the settlement of inheritance disputes, which is the executor of judicial power in the reform era in the religious court in terms of regulations per law. the invitation clearly stipulates that every Muslim in Indonesia must go through the religious court if there is a dispute, especially inheritance. It is hoped that this condition will no longer invite debate about its presence in the judicial power system in Indonesia. Running the religious courts is a constitutional responsibility and obligation, the abolition of which is only possible if an amendment to the Constitution exists. And how to restore the religious court system to its original state in resolving Islamic inheritance disputes in a Pancasila-based national legal system can start from the individual level of the Muslim community itself. Adherents of Islam must believe in their Islamic faith that the rules of life that they must obey and live are rules that originate from the Al-Quran and Hadith. In line with that, if adherents of the Islamic religion dispute Islamic inheritance, they will pursue litigation in the religious court, because the religious court uses or decides on Islamic law. Keywords: Religious Courts, Islamic Inheritance Law, National Legal System, Pancasila
KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA MELAKUKAN PEMANTUAN DAN EVALUASI RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAN PERATURAN DAERAH PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 56/PUU-XIV/2016 Raden Muhammad Mihradi; Dinalara Dermawati Butar-Butar; Andi Muhammad Asrun; Bambang Heriyanto; Nuradi ,; Niki Susanti
PALAR (Pakuan Law review) Vol 9, No 1 (2023): Volume 9, Nomor 1 Januari-Maret 2023
Publisher : UNIVERSITAS PAKUAN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33751/palar.v9i1.7263

Abstract

ABSTRAK Lembaga negara Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, lazim disingkat DPD, merupakan lembaga negara hasil reformasi. Semangatnya untuk memastikan terakomodasinya aspirasi masyarakat daerah dalam kebijakan nasional. Dalam pelbagai publikasi ilmiah mengenai DPD, kerap mengemuka persoalan-persoalan berikut. Pertama, satu sisi DPD memiliki legitimasi kuat di daerah karena tidak mudah untuk terpilih menjadi anggota DPD mengingat hanya empat orang keanggotannya di setiap provinsi. Di sisi lain, dibandingkan DPR, kewenangan DPD terbatas. Hal ini menimbulkan paradoks. Kedua, di publik, informasi dan pemahaman mengenai tugas dan wewenang DPD masih terbatas. Pemberitaan media massa kurang memberikan porsi memadai menyangkut hal tersebut. Ketiga, terbit UU Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD khususnya Pasal 249 ayat (1) huruf j di mana DPD memiliki wewenang dan tugas tambahan (yang tidak diatur di UUD 1945) yaitu “melakukan pemantauan dan evaluasi atas rancangan peraturan daerah dan peraturan daerah”. Hal ini menimbulkan kontroversi di publik sebab dapat bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XIV/2016 yang menegaskan pengujian Perda, termasuk pembatalannya merupakan ranah Mahkamah Agung (MA). Meskipun DPD tidak dapat membatalkan suatu peraturan daerah, namun agak sukar untuk melacak argumentasi konseptualnya berkenaan wewenang memantau dan evaluasi atas rancangan peraturan daerah maupun peraturan daerah. Tulisan paper ini akan menggali kewenangan baru DPD menyangkut pemantauan dan evaluasi atasi rancangan peraturan daerah dan peraturan daerah serta menguji dengan konsep, konteks dan relevansi dengan teori perundang-undangan dan hukum positif menyangkut pembentukan dan pengujian perundang-undangan. Kata kunci : Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD), kewenangan, reformasi.ABSTRACT The state institution of the Regional Representative Council of the Republic of Indonesia, commonly abbreviated as DPD, is a reformed state institution. His passion is to ensure that local people's aspirations are accommodated in national policies. In various scientific publications regarding DPD, the following issues often arise. First, one side of the DPD has strong legitimacy in the regions because it is not easy to be elected as a member of the DPD considering there are only four members in each province. On the other hand, compared to the DPR, the authority of the DPD is limited. This raises a paradox. Second, in the public, information and understanding regarding the duties and authorities of the DPD is still limited. Mass media coverage does not provide sufficient portion regarding this matter. Third, the issuance of Law Number 2 of 2018 concerning the Second Amendment to Law Number 17 of 2014 concerning the MPR, DPR, DPD and DPRD, especially Article 249 paragraph (1) letter j where the DPD has additional powers and duties (which are not regulated in the 1945 Constitution), namely "monitoring and evaluating draft regional regulations and regional regulations". This has caused controversy in the public because it can conflict with the Constitutional Court Decision Number 56/PUU-XIV/2016 which confirms that reviewing regional regulations, including their annulment, is the domain of the Supreme Court (MA). Even though the DPD cannot cancel a regional regulation, it is rather difficult to trace its conceptual arguments regarding the authority to monitor and evaluate draft regional regulations and regional regulations. This paper will explore the DPD's new authority regarding monitoring and evaluation of draft regional regulations and regional regulations as well as examining the concept, context and relevance to the theory of legislation and positive law regarding the formation and testing of legislation. Keywords: Regional Representative Council of the Republic of Indonesia (DPD), authority, reform.
PERADILAN AGAMA DAN OPTIMALISASINYA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA WARIS ISLAM BERBASIS PANCASILA Yenny Febrianty; Andi Muhammad Asrun
Pakuan Justice Journal of Law (PAJOUL) Vol 3, No 2 (2022): Volume 3, Nomor 2 Juni-Desember 2022
Publisher : Universitas Pakuan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33751/pajoul.v3i2.7159

Abstract

AbstrakHukum waris Islam di Indonesia tidak terlepas dari aturan-aturan dalam sistem hukum nasional dan aturan dan ketentuan dari kitab suci Al Quran. Peradilan Agama adalah peradilan tempat penyelesaian sengketa soal keperdataan khusus bagi orang-orang beragama Islam. Berdasarkan hal tersebut maka penulis dalam makalah ini mengkaji dan menganalisa tulisan ini dalam perumusan masalah yang antara lain tentang, hakikat peradilan agama dalam penyelesaian sengketa waris Islam yang berbasis nilai-nilai Pancasila  dan Optimalisasi peradilan agama dalam era globalisasi guna menyelesaikan sengketa waris Islam dalam sistem hukum nasional berbasis Pancasila. Metode pendekatan sosiolegal  dan  pendekatan Yuridis Normatif, dengan data sekunder sebagai sumbernya. Dari hasil pembahasan dalam penulisan ini menunjukan bahwa hakikat dari peradilan agama dalam praktek penyelesaian sengketa waris Islam tergantung pada status dan kedudukan pengadilan agama itu sendiri khususnya dalam penyelesian sengketa waris, yang mana  pelaksana kekuasaan kehakiman di era reformasi dalam peradilan agama dalam segi peraturan per undang-undangannya sudah jelas diatur bahwa setiap orang Islam di Indonesia apabila bersengketa khususnya waris harus melalui peradilan agama.. Kondisi tersebut diharapkan tidak lagi mengundang perdebatan mengenai kehadirannya dalam sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia. Menjalankan peradilan agama menjadi tanggungjawab dan kewajiban konstitusional, yang penghapusannya hanya mungkin kalau ada perubahan UUD. Dan Cara mengembalikan seperti semula sistem pengadilan agama dalam menyelesaikan sengketa waris Islam dalam sistem hukum nasional berbasis Pancasila dapat dimulai dari tingkat individu umat agama Islam itu sendiri. Pemeluk agama Islam harus meyakini dalam keimanan Islam nya bahwa aturan-aturan hidup yang harus mereka taati dan jalani adalah aturan-aturan yang bersumber dari Al Quran dan Hadist. Sejalan dengan itu maka apabila pemeluk agama Islam bersengketa soal waris Islam, mereka menempuh berpekara di peradilan agama, karena peradilan  agama memakai atau memutus dengan syariat Islam. Kata kunci :Peradilan Agama, Hukum Waris Islam, Sistem Hukum Nasional, Pancasila AbstractIslamic inheritance law in Indonesia is inseparable from the rules in the national legal system and the rules and regulations of the holy book of Al-Quran. Religious courts are courts where dispute settlement of civil matters specifically for people of the Muslim faith. Based on this, the authors in this paper examine and analyze this paper in the formulation of the problem which includes, among other things, the nature of religious justice in resolving Islamic inheritance disputes based on Pancasila values the and Optimization of religious justice in the era of globalization to resolve Islamic inheritance disputes in the legal system nationalism based on Pancasila. Sociolegal approach and Normative Juridical approach, with secondary data as the source. From the results of the discussion in this paper, it shows that the nature of the religious court in the practice of resolving Islamic inheritance disputes depends on the status and position of the religious court itself, especially in the settlement of inheritance disputes, which is the executor of judicial power in the reform era in the religious court in terms of regulations per law. the invitation clearly stipulates that every Muslim in Indonesia must go through the religious court if there is a dispute, especially inheritance. It is hoped that this condition will no longer invite debate about its presence in the judicial power system in Indonesia. Running the religious courts is a constitutional responsibility and obligation, the abolition of which is only possible if an amendment to the Constitution exists. And how to restore the religious court system to its original state in resolving Islamic inheritance disputes in a Pancasila-based national legal system can start from the individual level of the Muslim community itself. Adherents of Islam must believe in their Islamic faith that the rules of life that they must obey and live are rules that originate from the Al-Quran and Hadith. In line with that, if adherents of the Islamic religion dispute Islamic inheritance, they will pursue litigation in the religious court, because the religious court uses or decides on Islamic law. Keywords: Religious Courts, Islamic Inheritance Law, National Legal System, Pancasila
Mempertanyakan Legalitas Qanun Aceh: Sesuaikah dengan Sistem Peraturan Perundang-Undangan Andi Muhammad Asrun; Abdu Rahmat Rosyadi; Yennie K. Milono
Kanun Jurnal Ilmu Hukum Vol 21, No 2 (2019): Vol. 21, No. 2 (Agustus 2019)
Publisher : Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24815/kanun.v21i2.12632

Abstract

Penelitian ini ingin menjawab kesesuaian Qanun Aceh dengan sistem peraturan perundang-undangan, dengan mengidentifikasi kedudukan qanun dalam sistem peraturan perundang-undangan, dan kewenangan lembaga dalam hak uji materil terhadap qanun sebagai produk hukum. Penelitian ini bersifat yuridis-formil melalui kajian pustaka terhadap peraturan perundang-undangan untuk mendeskripsikan kesesuaian qanun Aceh dalam sistem peraturan perundang-undangan. Penelitian ini menemukan bahwa Qanun Aceh ada yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan ada yang berkaitan dengan pelaksanaan syariat Islam kedudukannya dianggap sama dengan peraturan daerah pada umumnya dalam perspektif Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Argumentasi yuridis yang menyatakan bahwa qanun sejajar dengan peraturan daerah ini diperkuat oleh Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 2011 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah. Namun berkenaan dengan hak menguji untuk membatalkan Qanun Aceh dalam pelaksanaan syariat Islam hanya dapat diuji dan dibatalkan melalui judicial review oleh Mahkamah Agung sebagaimana diatur dalam Pasal 235 ayat (4) UU Nomor 11 Tahun 2006. Asking for Aceh Qanun Legality: Compatible With Legislation System This study aims to answer the compatibility between the Aceh Qanun and the system of legislation by identifying the position of qanun in the system and the authority of the institution in the rights to materially verify qanun as a legal product. This study uses a juridical-formal method through a literature review of the laws and regulations to describe the suitability of the Aceh qanun in the statutory system. This study found that the Aceh Qanun relating to the administration of government and relating to the implementation of Islamic law, its position is considered the same as local regulations in general in the perspective of Law No. 12/2011 on the Formation of Legislation. The juridical argument that states that the qanun is in line with this regional regulation is reinforced by the Republic of Indonesia Minister of Home Affairs Regulation No. 53/2011 on the Establishment of Regional Legal Products. However, the right to examine the cancellation of qanun in the implementation of Islamic Shari'a, it can only be examined and canceled through a judicial review by the Supreme Court as stipulated in Article 235 paragraph (4) of Law Number 11/2006.
PELAKSANAAN PENGEMBANGAN KOMPETENSI PEGAWAI NEGERI SIPIL DALAM PENINGKATAN PELAYANAN PUBLIK DI KOTA BOGOR BERDASARKAN PERATURAN WALIKOTA KOTA BOGOR NOMOR 78 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PELAYANAN PUBLIK DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KOTA BOGOR Revaldi Wahyu Aji Nugraha; Andi Muhammad Asrun; Astim Riyanto
YUSTISI Vol 11 No 2 (2024)
Publisher : Universitas Ibn Khaldun Bogor

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32832/yustisi.v11i2.17172

Abstract

Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRIT 1945) menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Tujuan nasional yang hendak dicapai oleh bangsa Indonesia sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD NRIT 1945 alinea Keempat, yaitu membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Implementasi terhadap tujuan negara tersebut dilakukan melalui proses pembangunan bertahap, berkelanjutan, dan berkesinambungan, sehingga membawa konsekuensi bagi peran pemerintah untuk memberikan pelayanan kepada publik secara profesional, jujur, adil, dan merata dalam penyelenggaraan tugas negara, pemerintahan, dan pembangunan. Terdapat pengaturan tersendiri tentang pelayanan publik yaitu melalui Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 96 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Undang Undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Pemerintah Daerah Kota Bogor bermaksud untuk memberikan kepastian hukum dalam hubungan antara masyarakat dan penyelenggara dalam pelayanan publik melalui Peraturan Wakilkota (Perwali) Kota Bogor No. 78 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Publik di Lingkungan Pemerintah Kota Bogor. Pelayanan publik yang optimal dapat tercipta bilamana aparatur pelaksananya mendapatkan pengembangan kompetensi yang cukup sebagaimana amanat Pasal 203 ayat (3) dan (4) Peraturan Pemerintah (PP) No. 17 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil. Berdasarkan hak PNS sebagaimana yang telah dijelaskan di atas serta hasil penelitian terdahulu terdapat kontradiksi pelaksanaan pengembangan kompetensi Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang menjadikannya tidak optimal yang patut diduga hal tersebut terjadi pula di Kota Bogor. Pemerintah Kota Bogor melalui Peraturan Wali Kota Bogor No. 65 Tahun 2022 tentang Pengembangan Kompetensi Bagi Pegawai Negeri Sipil Melalui Jalur Pendidikan di Lingkungan Pemerintah Daerah Kota Bogor mengatur juga tentang Pengembangan Kompetensi Pegawai Negeri Sipil yang berada di bawah lingkup kewenangannya. Namun, dalam pelaksanaannya terdapat beberapa hal yang serupa dengan penelitian terdahulu sebagaimana dijabarkan sebelumnya, bahwasanya tidak terdapat hukuman disiplin bagi pelanggaran pelaksanaan pengembangan kompetensi yang tidak memenuhi seluruh hak yang seharusnya didapat oleh PNS, sehingga terkesan peraturan tersebut seperti peraturan karet, sehingga penting untuk diteliti mengenai kepastian hukum aturan tersebut guna memberikan keadilan bagi PNS dalam mendapatkan haknya. Kata Kunci: Pelayanan Publik, PNS, Kompentensi
PERLINDUNGAN HUKUM TENAGA KERJA KONTRAK DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2023 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2022 TENTANG CIPTA KERJA MENJADI UNDANG-UNDANG KLASTER KETENAGAKERJAAN Yoyon Setiawan; Andi Muhammad Asrun
YUSTISI Vol 12 No 1 (2025)
Publisher : Universitas Ibn Khaldun Bogor

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32832/yustisi.v12i1.18872

Abstract

Lahirnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja telah menjadi topik kontroversi sejak disahkan oleh DPR RI bersama Presiden, meskipun Undang-Undang ini dibuat untuk meningkatkan investasi dan menciptakan lapangan kerja. Elemen Buruh, Mahasiswa, dan Pegiat Lingkungan Lidup menilai bahwa UU ini merugikan banyak pihak. Pada November 2021 Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa UU Cipta Kerja ini cacat Formil dan inkonstitusional bersyarat (Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020). MK memberikan waktu dua tahun kepada Pemerintah untuk memperbaiki UU tersebut, atau akan dibatalkan secara permanen. Namun pada Desember 2022 Pemerintah membuat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) Nomor 2 Tahun 2022 yang mencabut UU Cipta Kerja. Kemudian PERPPU ini pada tanggal 31 Maret 2023 ditetapkan menjadi UU Nomor 6 Tahun 2023. Penelitian ini membuktikan penerbitan PERPPU Cipta Kerja itu sebagai pembangkangan terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi dan sekaligus pembangkanan terhadao konstitusi. UU Cipta Kerja tersebut telah melahirkan beberapa norma baru, yang salah satunya adalah Uang Kompensasi Kontrak yang bertujuan untuk memberikan perlindungan lebih bagi Pekerja/Buruh dengan status Kontrak atau dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Kata Kunci: UU Cipta Kerja, Putusan MK, Uang Kompensasi, Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)