ABSTRAK Lembaga negara Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, lazim disingkat DPD, merupakan lembaga negara hasil reformasi. Semangatnya untuk memastikan terakomodasinya aspirasi masyarakat daerah dalam kebijakan nasional. Dalam pelbagai publikasi ilmiah mengenai DPD, kerap mengemuka persoalan-persoalan berikut. Pertama, satu sisi DPD memiliki legitimasi kuat di daerah karena tidak mudah untuk terpilih menjadi anggota DPD mengingat hanya empat orang keanggotannya di setiap provinsi. Di sisi lain, dibandingkan DPR, kewenangan DPD terbatas. Hal ini menimbulkan paradoks. Kedua, di publik, informasi dan pemahaman mengenai tugas dan wewenang DPD masih terbatas. Pemberitaan media massa kurang memberikan porsi memadai menyangkut hal tersebut. Ketiga, terbit UU Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD khususnya Pasal 249 ayat (1) huruf j di mana DPD memiliki wewenang dan tugas tambahan (yang tidak diatur di UUD 1945) yaitu “melakukan pemantauan dan evaluasi atas rancangan peraturan daerah dan peraturan daerah”. Hal ini menimbulkan kontroversi di publik sebab dapat bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XIV/2016 yang menegaskan pengujian Perda, termasuk pembatalannya merupakan ranah Mahkamah Agung (MA). Meskipun DPD tidak dapat membatalkan suatu peraturan daerah, namun agak sukar untuk melacak argumentasi konseptualnya berkenaan wewenang memantau dan evaluasi atas rancangan peraturan daerah maupun peraturan daerah. Tulisan paper ini akan menggali kewenangan baru DPD menyangkut pemantauan dan evaluasi atasi rancangan peraturan daerah dan peraturan daerah serta menguji dengan konsep, konteks dan relevansi dengan teori perundang-undangan dan hukum positif menyangkut pembentukan dan pengujian perundang-undangan. Kata kunci : Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD), kewenangan, reformasi.ABSTRACT The state institution of the Regional Representative Council of the Republic of Indonesia, commonly abbreviated as DPD, is a reformed state institution. His passion is to ensure that local people's aspirations are accommodated in national policies. In various scientific publications regarding DPD, the following issues often arise. First, one side of the DPD has strong legitimacy in the regions because it is not easy to be elected as a member of the DPD considering there are only four members in each province. On the other hand, compared to the DPR, the authority of the DPD is limited. This raises a paradox. Second, in the public, information and understanding regarding the duties and authorities of the DPD is still limited. Mass media coverage does not provide sufficient portion regarding this matter. Third, the issuance of Law Number 2 of 2018 concerning the Second Amendment to Law Number 17 of 2014 concerning the MPR, DPR, DPD and DPRD, especially Article 249 paragraph (1) letter j where the DPD has additional powers and duties (which are not regulated in the 1945 Constitution), namely "monitoring and evaluating draft regional regulations and regional regulations". This has caused controversy in the public because it can conflict with the Constitutional Court Decision Number 56/PUU-XIV/2016 which confirms that reviewing regional regulations, including their annulment, is the domain of the Supreme Court (MA). Even though the DPD cannot cancel a regional regulation, it is rather difficult to trace its conceptual arguments regarding the authority to monitor and evaluate draft regional regulations and regional regulations. This paper will explore the DPD's new authority regarding monitoring and evaluation of draft regional regulations and regional regulations as well as examining the concept, context and relevance to the theory of legislation and positive law regarding the formation and testing of legislation. Keywords: Regional Representative Council of the Republic of Indonesia (DPD), authority, reform.