Claim Missing Document
Check
Articles

Found 30 Documents
Search

PENANDA KAJIAN GEORAFI FISIK HARI PURNOMO, NUGROHO
Pendidikan Geografi Vol 8, No 16 (2009): Volume 8 Nomor 16, Desember 2009
Publisher : Pendidikan Geografi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

PENANDA KAJIAN GEORAFI FISIK   Nugroho Hari Purnomo *)   Abstrak : Geografi fisik mengkaji fenomena fisik permukaan bumi yang mempengaruhi kehidupan manusia atau dikenal sebagai geosfer. Geosfer dikaji oleh banyak bidang keilmuan, menjadikan geografi fisik harus memiliki ciri sebagai suatu keilmuan yang berbeda dengan keilmuan lainnya, yaitu berdasarkan pada pendekatan geografi. Akan tetapi luasnya geosfer sebagai objek kajian, kiranya masih perlu adanya penciri geografi fisik yang dapat ditandai berdasarkan pada : (1) adanya keteraturan alam semesta berupa sistem yang seimbang, (2) penyederhanaan fenomena permukaan bumi menjadi suatu model, dan (3) pembatasan luasan atau skala kajian yang diamati. Dengan adanya penanda kajian geografi fisik tersebut diharapkan adanya ketegasan antara keilmuan geografi fisik dengan keilmuan lainnya serta fenomena geosfer yang keterkaitannya tidak terbatas dapat lebih mudah dipahamai.   Kata kunci : geografi fisik,  sistem, model, skala   GEOGRAFI FISIK Geografi menurut Blij dan Muller (1993) adalah disiplin akademik yang berkaitan dengan penjelasan karakteristik fisik dan manusia di permukaan bumi dengan penekanan pada mengapa sesuatu berada di tempat tertentu. Karakteristik fisik dan manusia di permukaan bumi akan mewujudkan suatu fenomena permukaan bumi. Fenomena permukaan bumi merupakan wajah permukaan bumi yang tersusun oleh sebagian atau semua unsur geosfer yang terdiri dari litosfer, atmosfer, hidrosfer, pedosfer, biosfer, dan antroposfer.  Fenomena permukaan bumi tersebut merupakan objek material geografi. Geografi fisik didefinisikan sebagai studi distribusi dan saling hubungan fenomena-fenomena alami dari litosfer, atmosfer, hidrosfer, dan biosfer (Slaymaker dan Spencer, 1998). Keempat fenomena alami tersebut merupakan komponen pembentuk lapisan kehidupan, yang dapat digambarkan seperti pada Gambar 1.                       Gambar 1. Skema Hubungan Fenomena Alami Pembentuk Lapis Kehidupan (Sumber : Strahler dan Strahler, 1997)   Menurut Blij dan Muller (1993), geografi fisik mempelajari kondisi fisik permukaan bumi, yang mencakup studi tentang tanah, lautan, atmosfer, batuan, air, vegetasi, dan binatang. Keberadaan geografi fisik merupakan kombinasi dari beberapa kajian ilmu lain. Secara skematis hubungan antara disiplin ilmu lain dengan geografi fisik disajikan pada Gambar 2. Gambar di bawah memperlihatkan bahwa kajian geosfer yang dikaji oleh banyak ilmu, menjadikan geografi atau geografi fisik belum memiliki ciri sebagai suatu ilmu yang mandiri. Supaya geografi atau geografi fisik memiliki ciri sebagai ilmu, maka objek formalnya harus spesifik yang membedakan dengan keilmuan lainnya. Objek formal geografi yang selama ini telah menjadi identitas ilmu geografi adalah pendekatan keruangan, ekologikal, dan kompleks wilayah (Haggett, 2001). Pendekatan merupakan upaya untuk lebih menjadi dekat kepada objek material yang dikaji. Pendekatan keruangan menekankan pada karakteristik penyusun ruang, pendekatan ekologikal menekankan pada hubungan antara manusia dengan tempat kehidupannya, sedang pendekatan kompleks wilayah menekankan adanya hubungan pengaruh antara satu wilayah dengan wilayah lainnya. Ketiga pendekatan tersebut merupakan kerangka orientasi dalam mengkaji objek material geografi   PENANDA GEOGRAFI FISIK Geografi fisik sebagai suatu ilmu pengetahuan memiliki objek kajian berupa fenomena permukaan bumi pada komponen abiotik dan biotik non manusia akan tetapi berpengaruh terhadap kehidupan manusia. Objek kajian fenomena permukaan bumi tersebut memiliki cakupan yang sangat luas sehingga akan tumpang tindih dengan ilmu pengetahuan lainnya. Pendekatan geografi secara umum tetap merupakan objek formal dalam kajian geografi fisik. Akan tetapi perlu adanya penanda lainnya yang mencirikan identitas sebagai ilmu geografi fisik.     Geologi       à Geomorfologi      Botani Meterorologià Klimatologi Geografi Biogeografi ß      Ekologi Pedologi      à Geografi tanah fisik   Zoologi Oseanografi à Geografi kelautan   Sumberdaya air ß   Hidrologi   Gambar 2. Skema Kajian-Kajian Penyusun Geografi Fisik (Sumber : Blij dan Muller, 1993; dengan modifikasi)   Fenomena permukaan bumi yang luas dan komplek akan memiliki serta memunculkan banyak konsep maupun metode spesifik yang baru. Penanda karakteristik geografi fisik mempertimbangkan tiga pendekatan umum yang meliputi sistem, model, dan besaran. Ketiga penanda tersebut merupakan karakteristik geografi fisik, sehingga dalam studi geografi fisik mutlak digunakan dalam mengkaji objek material.   Sistem Sejak awal di dalam geografi fisik telah terorganisasi adanya suatu sistem kerangka berfikir. Sistem tersebut didasarkan bahwa kajian geogari fisik mengkombinasikan berbagai macam kajian keilmuan secara parsial. Pada kenyataannya fenomena permukaan bumi sebagi objek material merupakan satu kesatuan yang saling kait mengkait antara satu fenomena dengan fenomena lainnya membentuk suatu sistem.  Sistem merupakan suatu rangkaian hubungan kejadian atau objek yang saling berinteraksi (Blij dan Muller, 1993). Kajian geografi fisik menggunakan pendekatan sistem untuk mencari interaksi dan pertalian antar komponen (Strahler dan Strahler, 2006). Dapat dicontohkan bahwa fenomena permukaan bumi seperti hutan atau padang rumput akan terbentuk karena adanya lima unsur geosfer, yaitu litosfer, atmosfer, hidrosfer, pedosfer dan biosfer. Adanya interaksi beberapa geosfer akan mewujudkan suatu fenomena permukaan bumi yang membentuk suatu sistem, yaitu sistem hutan atau sistem padang rumput. Dalam sistem hutan atmosfer memberikan kontribusi cuaca diantaranya berupa panas matahari dan curah hujan. Panas dan hujan yang sampai di permukaan bumi akan mengakibatkan pelapukan litosfer sehingga terbentuk pedosfer, sementara itu hujan juga akan membentuk sistem hidrosfer. Keberadaan pedosfer dan hidrosfer merupakan media bagi biosfer dalam menjalankan proses fisiologis. Hidrosfer sebagai elemen yang bersifat mobil, secara keruangan akan bergerak sampai di laut atau danau. Melalui proses evapotraspirasi air akan kembali ke atmosfer. Uraian contoh di atas menjelaskan adanya suatu sistem dalam hubungan elemen-elemen geografi fisik. Dalam sistem tersebut dapat diidentifikasi adanya siklus dan sub sistem. Elemen hidrosfer mengalami suatu siklus dari atmosfer, permukaan bumi, bergerak scara keruangan, dan akhirnya akan kembali ke atmosfer. Elemen hidrosfer sendiri merupakan sub sistem dari sistem hutan, mapun sub sistem dari elemen geografi fisik lainnya. Di dalam sistem dikenal adanya bentuk sistem terbuka dan sistem tertutup. Sistem terbuka misalnya terjadi pada sungai, sedangkan sistem tertutup seperti pada siklus hidrologi. Sungai merupakan tempat pergerakan air di permukaan bumi dari wilayah hulu ke hilir. Wilayah hulu biasanya terletak di wilayah pegunungan, sedangkan hilir terletak di wilayah pesisir. Pergerakan air sungai dari hulu ke hilir merupakan bentuk sistem terbuka, karena sesampainya di laut air tidak dapat berbalik kembali ke sungai. Sementara untuk siklus hidrologi, air dalam bentuk uap air akan bergerak ke atmosfer, selanjutnya akan kembali lagi ke permukaan bumi dan dialirkan melalui sungai. Sistem tertutup membentuk suatu siklus, yaitu material yang sama akan mengalami proses yang berulang meskipun berubah wujud sementara. Banyak sekali siklus lainnya berlangsung di permukaan bumi. Siklus batuan, siklus oksigen, siklus energi dan lainnya berlangsung di objek material geografi fisik. Demikian juga dengan peristiwa pada sistem terbuka, seperti proses penaplain, pergerakan material sedimen, juga berlangsung pada objek material geografi fisik. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa sistem terbuka mengikuti proses input dan output, sedangkan sistem tertutup tidak. Hasil dari suatu sistem ada yang bersifat keseimbangan dinamik dan umpan balik. Sistem keseimbangan dinamik bukan merupakan suatu proses yang berkembang atau berubah, tetapi bersifat melengkapi dan melanjutkan untuk menyelesaikan suatu proses sampai terjadi adanya keseimbangan. Suatu contoh adalah hubungan antara dinamika gelombang dengan pasokan sedimen yang bembentuk garis pantai. Garis pantai merupakan bentuk keseimbangan dinamik antara pasokan material dengan besaran gelombang. Untuk sistem yang bersifat umpan balik, merupakan suatu perubahan di dalam satu bagian dari sistem yang  menyebabkan perubahan di dalam bagian lain dari sistem tersebut. Suatu contoh adalah efek bangunan kaca pada gedung-gedung bertingkat yang memantulkan kembali radiasi matahari yang menimpanya. Dalam pendekatan sistem, dikenal adanya sistem thinking dan sistem laundry list thinking (Anonim, 1999). Sistem thinking menyatakan bahwa suatu perubahan atau prilaku atau dinamika, akan dimunculkan oleh suatu struktur berupa unsur-unsur pembentuk yang saling bergantung (interdependensi). Pokok dari sistem thinking adalah melihat hubungan saling bergantung, bukan hubungan sebab akibat, dan melihat adanya proses-proses perubahan, bukan peristiwa sesaat. Kebalikan sistem thinking adalah sistem laundry list thinking, yang berangkat dari beberapa asumsi sebagai berikiut : (1) setiap faktor berperan sebagai suatu sebab terhadap akibat, (2) setiap faktor bertindak sendiri-sendiri, (3) bobot faktor selamanya tetap, dan (4) cara pengaruh suatu faktor terhadap faktor lainnya bersifat positif negatif. Sistem laundry list thinking masih menunjukkan ciri parsial dan statis. Dari sini terlihat bahwa dalam geografi fisik pendekatan dengan sistem thinking lebih sesuai dengan realita fenomena permukaan bumi dari pada pendekatan sistem laundry list thinking.       Model Model merupakan ciptaan ideal dari kenyataan seperti aslinya yang kompleks dengan maksud untuk menyederhanakan kenyataan tersebut sehingga mudah untuk dipahami dari suatu kenyataan (Blij dan Muller, 1993). Di dalam geografi fisik model memegang peranan penting untuk mengamati sebagian atau seluruh permukaan bumi di dalam analisis spasial. Model ini merupakan representasi dari permukaan bumi yang disederhanakan. Peta merupakan bentuk model permukaan bumi yang paling tepat bagi geografi fisik, sehingga penggunaan peta merupakan bagian yang penting untuk menjembatani antara dunia nyata dengan teori. Peta merupakan model simbolik dengan tingkat abstraksi menengah, yang berasal dari model ikonik pada abstraksi rendah, dan mampu menghasilkan model analog pada abstraksi tinggi. Hubungan tersebut disajikan  pada Gambar 3.             Gambar 3. Model Sebagi Jembatan Antara Dunia Nyata dengan Teori dalam Geografi   (Sumber :  Haggett, 2001 dan Sutanto 1995 dengan modifikasi         Model ikonik dan simbolik merupakan bentuk model keruangan yang menggambarkan wajah permukaan bumi. Tetapi untuk mengetahui faktor-faktor geosfer yang beroperasi pada ruang sehingga berkontribusi membentuk wajah permukaan bumi, model analog lebih representatif untuk mengetahui keterkaitan antar faktor. Penyusunan model analog diawali dari identifikasi pola tingkah laku spesifik dari faktor yang ada, dan dapat diwujudkan dalam diagram pola hubungan. Sebagai suatu contoh model adalah dinamika kualitas lingkungan. Perubahan yang terjadi terutama di sekitar daerah perkotaan yang begitu cepat, seringkali kesulitan untuk mengantisipasinya sehingga menimbulkan masalah lingkungan seperti pencemaran udara, tanah, dan air. Model kualitas lingkungan di sini hanya menggambarkan seberapa besar perubahan lingkungan terjadi terhadap kondisi normal yang ada. Kualitas lingkungan dibatasai atas kualitas air, tanah, dan udara. Model menggambarkan laju penurunan kualitas lingkungan yang dipengaruhi oleh aktivitas manusia melalui faktor perubah kualitas lingkungan. Sedangkan laju absorbsi pencemaran berfungsi memperlambat proses penurunan kualitas lingkungan. Pada kenyataannya fenomena geosfer sebagai objek material geografi fisik memiliki hubungan saling pengaruh mempengaruhi. Hubungan tersebut dapat disusun dalam model diagram analog untuk melihat keterkaitannya. Skema model kualitas lingkungan tersebut disajikan pada Gambar 4.   Skala Pendekatan terhadap dunia nyata perlu untuk mempertimbangkan ukuran subyek maupun fenomena yang menjadi kajian. Luasan keruangan fenomena permukaan bumi merupakan suatu permasalahan yang dapat di atasi dengan pembatasan luasan keruangan. Skala merupakan perbandingan jarak antara dua titik sembarang di peta dengan jarak horisontal kedua titik tersebut di permukaan bumi dengan satuan ukuran yang sama. Menurut Blij dan Muller (1993), skala kajian geografi meliputi luasan kurang lebih dari 105 cm sampai kurang dari 1010 cm. Ukuran kajian tersebut dapat mencakup fenomena permukaan bumi dari skala lokal sampai global. Ukuran kajian dimaksud apabila di konversikan ke tingkatan administrasi lebih kurang adalah dari tingkat dusun sampai ukuran lingkar equator. Skala mengacu pada tingkatan struktur organisasi fenomena dan variasi pola dari fenomena yang dikaji (Strahler dan Strahler, 2006). Skala merupakan representasi dari ukuran dan pola objek permukaan bumi, semakin besar skala yang diindikasikan dengan angka perbandingan yang semakin kecil, informasi objek kajian menjadi semakin banyak. Sebaliknya semakin kecil skala yang diindikasikan dengan angka perbandingan yang semakin besar, informasi objek kajian menjadi semakin sedikit.                                       Gambar 4. Model Kualitas Lingkungan (Sumber : Djajadiningrat 2000, dengan modifikasi)   Model permukaan bumi yang diperkecil dalam bentuk peta harus memperhatikan aspek besaran pengecilan permukaan bumi tersebut. Hal ini terkait dengan banyak sedikitnya informasi yang diperoleh. Sebagai contoh adalah tingkat ketelitian peta tematik untuk mendukung rencana tata ruang wilayah (RTRW) berdasarkan yang telah diundangkan berdasarkan Peraturan Pemerintah no.10/2000 tanggal 20 Desember 2000 sebagai berikut :  (1) peta RTRW Nasional minimal 1 : 1.000.000, dengan informasi berupa garis pantai, hidrografi dengan lebar minimal 125 m, kota, jalur transportasi, batas administrasi,  nama-nama geografis, (2) peta RTRW Daerah Propinsi minimal 1 : 250.000, dengan informasi berupa garis pantai, hidrografi dengan lebar minimal 35 m, kota, jalur transportasi, batas administrasi,  nama-nama geografis, kontur 125 m. Untuk propinsi sempit skala dapat 1 : 50.000 - 1:100.000,  untuk skala 1 : 25.000, dan hidrografi minimal 1,5 m dan  kontur 5 m untuk skala 1 : 10.000, (3) peta RTRW Daerah Kabupaten, minimal 1 : 100.000, dengan informasi berupa garis pantai, hidrografi dengan lebar minimal 15 m, kota, jalur transportasi, batas administrasi,  nama-nama geografis, kontur 50 m. Untuk kabupaten sempit skala dapat 1 : 50.000 - 1:25.000, (4) peta RTRW Daerah Kota minimal 1 : 50.000, dengan informasi berupa garis pantai, hidrografi dengan lebar minimal 7 m, kota, jalur transportasi, batas administrasi,  nama-nama geografis, kontur 25 m. Untuk kota sempit skala dapat 1 : 25.000 - 1:10.000, dengan detail informasi hidrografi minimal 5 m dan  kontur 12,5 m    PENUTUP Sistem, model, dan skala bagi geografi fisik merupakan pendekatan yang sangat membantu untuk digunakan secara sadar dalam setiap kajiannya. Realita fenomena permukaan bumi yang menjadi objek material geografi fisik adalah sangat kompleks dan membentuk wajah yang luas di permukaan bumi, memerlukan suatu pendekatan yang dapat memberikan gambaran utuh tetapi sederhana. Banyak penelitian di luar geografi fisik telah memanfaatkan pendekatan yang sama, akan tetapi objek material yang dipandang secara parsial menjadikan pendekatan tersebut bukan hal yang mutlak bagi kajian non geografi fisik.                   DAFTAR PUSTAKA Anonim, 1999. Good Modelling Practice Handbook, Amsterdam: Dutch Dep. of Public Work. Institute for Iland Water Management and Waste Water Treatment   Blij, H.J. de and Muller, Peter O. 1993. Physical Geography of The Global Environment. New York : John Wiley & Sons, Inc.,   Djajadiningrat, H. M., 2000. Model Simulasi Dinamis Untuk Pemantauan Perubahan Lingkungan Wilayah Desa Kota (Kasus Botabek). Makalah Seminar Nasional Pemodelan Dinamis dengan SIG Untuk Pengembangan Wilayah Berwawasan Lingkungan. Jurusan Teknik Geodesi ITB, Bandung   Haggett, P.2001. Geography A Global Synthesis. Essex : Prentice Hall   Slaymaker, T.and Spencer, O., 1998. Physical Geography and Environmental Change., Essex : Longman   Sutanto, 1994. Penelitian Geografi. Majalah Geografi Indonesia, Tahun 8-9 Nomor !4-15. Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. h. 89-101   Strahler, A. and Strahler, A., 1997. Physical Geography, Science and Systems of The Human environmental, New York : John Wiley & Sons, Inc.   _____________ , 2006. Introducing Physical Geography., New York :  John Wiley & Sons, Inc.    
KERAWANAN LONGSORLAHAN DI KECAMATAN PACET KABUPATEN MOJOKERTO HARI PURNOMO, NUGROHO
Pendidikan Geografi Vol 7, No 14 (2008): Volume 7 Nomor 14 Desember 2008
Publisher : Pendidikan Geografi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Abstrak : Penelitian dengan judul Kerawanan Longsorlahan di Kecamatan Pacet Kabupaten Mojokerto bertujuan untuk mengetahui tingkat kerawanan longsorlahan dan karakteristik penggunaan lahan pada wilayah yang rawan longsorlahan di laksanakan di desa-desa pada wilayah Kecamatan Pacet Kabupaten Mojokerto. Metode penilitian mengunakan pendekatan keruangan dalam analisis geografi dengan perolehan data secara survei pada populasi satuan lahan yang memberikan informasi atribut lahan berupa geologi, tanah, lereng, dan penggunaan lahan. Dengan teknik tumpangsusun dan generalisasi peta. Data yang dikumpulkan meliputi lereng, tekstur tanah, solum tanah, tingkat pelapukan batuan, struktur perlapisan batuan, dan pengunaan lahan. Analisis data berdasarkan pada tingkat pengaruh karakteristik lahan terhadap kejadian longsorlahan yang ditampilkan dalam bobot kuantitatif berskala ordinal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kecamatan Pacet Kabupaten Mojokerto memiliki empat kelas tingkat kerawanan longsorlahan yaitu kelas kerawanan longsorlahan sangat tinggi, kelas kerawanan longsorlahan tinggi, kelas kerawanan longsorlahan sedang, dan kelas kerawanan longsorlahan rendah. Sedangkan untuk kelas kerawanan longsorlahan sangat rendah tidak dijumpai. Secara dominan Kecamatan Pacet berada pada kerawanan longsorlahan tinggi sampai kerawanan longsorlahan sedang. Faktor utama yang menentukan tingkat kerawanan longsorlahan adalah kemiringan lereng yang curam, penggunaan lahan berupa tegalan dan lahan kosong, tingkat pelapukan batuan dan tanah yang intensif sehingga menghasilkan tanah yang tebal dan dirajai fraksi lempung yang berkembang pada satuan geologi Anjasmara Muda.   Kata Kunci : Kerawanan, Longsorlahan
TINGKAT KUALITAS LAHAN PERTANIAN SEBAGAI KAWASAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN (KP2B) DI KABUPATEN SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR RAKHMA WATI, WIDIA; HARI PURNOMO, NUGROHO
Swara Bhumi Vol 1, No 1 (2020)
Publisher : Jurusan Pendidikan Geografi FIS Unesa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

AbstrakPertanian merupakan sumber pekerjaan utama yang ada di Indonesia. Tanah pertanian yang subur karena terletak di iklim tropis. Lahan yang seharusnya dijadikan lahan pertanian guna memenuhi kebutuhan pangan Negara, banyak beralih fungsi menjadi kawasan industri dengan berdirinya pabrik. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis potensi Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan (KP2B) di Sidoarjo dan menganalisis hasil KP2B dalam sudut pandang geografis.Jenis penelitian ini adalah penelitian survey dengan pendekatan deskriptif kuantitatif. Lokasi penelitian ini dilakukan di Kabupaten Sidoarjo. Populasi pada penelitian ini adalah luas lahan pertanian yang mampu menghasilkan produksi tanaman pangan. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder adalah data dari instansi pemerintah Kabupaten Sidoarjo, jurnal, hasil penelitian, dan sebagainya. Pengumpulan data dilakukan dengan observasi dan dokumentasi. Teknik analisis menggunakan skoring dari lahan pertanian pangan berkelanjutan dan lahan cadangan pertanian berkelanjutan.Hasil penelitian menunjukkan bahwa delapan belas kecamatan di Kabupaten Sidoarjo yang termasuk Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan (KP2B) dengan kriteria tinggi ada tiga kecamatan, dua belas kecamatan masuk dalam kriteria sedang, dan tiga kecamatan masuk dalam kriteria rendah. Kecamatan dengan kategori tinggi sebagai Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan (KP2B) yaitu Kecamatan Krembung sebesar 6,1%, Kecamatan Wonoayu sebesar 6,1%, dan Kecamatan Taman sebesar 5,8%. Kecamatan yang termasuk dalam kategori sedang adalah Kecamatan Sidoarjo, Candi, Porong, Jabon, Krian, Balongbendo, Tarik, Prambon, Waru, Gedangan, Sedati, dan Sukodono dengan tingkat presentase 5,3 % - 5,6%. Kecamatan yang termasuk dalam kategori KP2B rendah adalah Kecamatan Buduran, Tulangan, dan Tanggulangin dengan presentase sebesar 5,0% - 5,3% .Kata Kunci: Pertanian berkelanjutan, Lahan Pertanian, KP2B
KAJIAN RISIKO LAHAN TAMBAK AKIBAT BANJIR DI KECAMATAN KALITENGAH KABUPATEN LAMONGAN SYAIFUR ROHMAN, KHAFID; HARI PURNOMO, NUGROHO
Swara Bhumi Vol 5, No 6 (2018): Volume 5 Nomer 6 2018
Publisher : Jurusan Pendidikan Geografi FIS Unesa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Abstrak Banjir merupakan kejadian bencana tahunan yang terjadi di Kabupaten Lamongan. Wilayah ini merupakan kawasan Bengawan Jero yang memiliki ketinggian lebih rendah dibandingkan daerah sekitarnya, termasuk lebih rendah dari ketinggian Sungai Bengawan Solo, dengan 3 tingkat elevasi (0- (-24) cm, -25 cm-(-48) cm dan -49 cm-(-72) cm) yang menunjukkan bahwa Kecamatan Kalitengah adalah daerah cekungan yang rawan tergenang banjir. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat risiko banjir terhadap lahan tambak dan nilai risiko lahan tambak terhadap banjir di Kecamatan Kalitengah Kabupaten Lamongan.Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan metode penelitian survey. Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Teknik pengambilan sampel menggunakan metode sampel acak berstrata (stratified random sampling). Subjek penelitian yang dijadikan sumber data adalah petani yang memiliki tambak dikawasan Kecataman Kalitengah dan dipilih secara purposive sampling dan accidental sampling.Hasil penelitian menunjukkan dari perhitungan skor parameter tingkat risiko banjir di Kecamatan Kalitengah Kabupaten Lamongan bahwa tingkat risiko rendah sebesar 65% dengan luasan 2308,4 Ha. Tingkat risiko sedang sebesar 35% dengan luasan 1257,2 Ha. Tingkat risiko tinggi tidak terjadi sama sekali. Nilai risiko lahan tambak di Kecamatan Kalitengah paling tinggi adalah kawasan yang memiliki elevasi sedang dengan jumlah Rp 193.850.000 dengan rata-rata Rp 13.846.429. Elevasi rendah dan tinggi masing-masing memiliki nilai risiko Rp 105.300.000 dengan rata-rata Rp 10.530.000 dan Rp 118.450.000 dengan rata-rata Rp 10.768.182. Hal ini disebabkan oleh faktor kerentanan dengan sistem irigasi tadah hujan yang tidak membutuhkan perawatan mahal dan pada sebagian besar satu unit lahan tambak ditanami lebih dari satu komoditas untuk mengantisipasi kerugian yang tinggi akibat banjir.Kata kunci : Risiko, Lahan Tambak, Kecamatan Kalitengah
ANALISIS NILAI TUKAR PETANI PENGGARAP DI KECAMATAN GEDEG KABUPATEN MOJOKERTO DENI RAHMADIN, HAFID; HARI PURNOMO, NUGROHO
Swara Bhumi Vol 5, No 7 (2018)
Publisher : Jurusan Pendidikan Geografi FIS Unesa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

AbstrakPeran sektor pertanian telah terbukti dari keberhasilan pada saat krisis ekonomi yang lalu dalam menyediakan kebutuhan pangan pokok dengan jumlah yang memadai, dan tingkat pertumbuhannya yang positif dalam menjaga laju pertumbuhan nasional. Peran sektor pertanian masih cukup besar sebagai sumber pendapatan rumah tangga (Rusastra, 1998. Struktur pengeluaran rumah tangga dipengaruhi oleh beberapa hal diantaranya adalah perubahan pengeluaran menurut waktu, perbedaan antar selera, perbedaan pendapatan dan lingkungan. Perilaku pengeluaran rumah tangga yang tersedia harus sesuai dengan tingkat kemampuan pendapatan yang diperoleh dan bagaimana mendistribusikannya, agar tidak terguncang untuk memenuhi kebutuhan dibawah tingkat kesejahteraan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui besar pendapatan dan pengeluaran petani penggarap dan nilai tukar petani penggarap di Kecamatan Gedeg Kabupaten Mojokerto.Jenis penelitian adalah deskriptif kuantitatif yang dianalisis dengan teknik persentase dan rumus nilai tukar petani (NTP). Variabel-variabel yang digunakan adalah pendapatan dalam usaha tani, pendapatan di luar usaha tani, pengeluaran dalam usaha tani, dan pengeluaran di luar usaha tani.Hasil penelitian menunjukkan pendapatan dalam usaha tani oleh petani penggarap sebagian besar berada pada rentang Rp 1.500.000 ? Rp 3.700.000 untuk setiap panen sebesar 41%. Berdagang menjadi pilihan sebagian besar petani penggarap untuk menambah pendapatan di luar usaha tani dengan jumlah 74 petani. Sebagian besar pendapatan dari berdagang berada pada rentang Rp 1.000.000 ? Rp 1.500.000 dengan jumlah 27 petani atau 36,5%. Pengeluaran paling besar dalam usaha tani digunakan untuk sewa lahan, terdapat 20 petani atau 20% yang mengeluarkan Rp 6.000.000 ? Rp 8.000.000 untuk sewa lahan. Nilai tukar petani penggarap di Kecamatan Gedeg Kabupaten Mojokerto adalah 1,13 yang artinya petani tidak kekurangan dalam memenuhi kebutuhan subsistennya.Kata Kunci: Petani Penggarap, Pendapatan, Pengeluaran, Nilai Tukar Petani
PREDIKSI KEBUTUHAN PANGAN POKOK PADI DAN JAGUNG TERHADAP PERUBAHAN JUMLAH PENDUDUK TAHUN 2018 – 2038 DI KABUPATEN PASURUAN PUTRI WIYANTI, DANARJATI; HARI PURNOMO, NUGROHO
Swara Bhumi Vol 5, No 7 (2018)
Publisher : Jurusan Pendidikan Geografi FIS Unesa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

AbstrakPertambahan jumlah penduduk merupakan fenomena kehidupan yang dapat mempengaruhi kegiatan sosial budaya masyakarat melalui dampak secara langsung maupun tidak langsung melalui penurunan luas lahan produktif yang beralih fungsi menjadi lahan tidak produktif, sehingga pada akhirnya akan mempengaruhi hasil produksi bahan pangan terutama bahan pangan padi dan jagung. Kabupaten Pasuruan merupakan wilayah yang mengalami fenomena tersebut jika dilihat dari tahun 2016 telah terjadi peningkatan jumlah penduduk sebesar 11.896 jiwa serta penurunan luas lahan pertanian sebesar 489 ha dan diimbangi peningkatan lahan bukan pertanian sebesar 490 ha di Kabupaten Pasuruan. Terjadinya penurunan luas lahan pertanian perlu diperhatikan dengan tujuan untuk mengetahui prediksi jumlah penduduk, luas lahan sawah dan tegal/kebun, serta produksi bahan pangan padi dan jagung, untuk mengetahui rasio pangan padi dan jagung tahun 2018 ? 2038 pada masing ? masing Kecamatan di kabupaten Pasuruan.Penelitian ini termasuk jenis penelitian deskriptif kuantitatif. Populasi yang digunakan berupa unit analisis atau produksi bahan pangan pokok padi dan jagung pada masing ? masing Kecamatan. Data yang digunakan berupa data sekunder di tahun 2016. Teknik analisis data menggunakan aplikasi spectrum modul Demography Projection (DemProj) dan Socioeconomic Impacts of High Fertility and Population Growth (RAPID) serta rumus dari Dinas Peternakan dan Ketahanan Pangan Kabupaten Pasuruan.Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi peningkatan jumlah penduduk pada seluruh Kecamatan di tahun 2018 ? 2038 yang dipengaruhi oleh kelahiran, kematian, dan migrasi. Perubahan luas lahan sawah dan tegal/kebun ada yang mengalami peningkatan dan penurunan luas lahan di tahun 2018 ? 2038 yang disebabkan oleh musim, saluran irigasi serta pertambahan jumlah penduduk. Produksi padi dan jagung juga mengalami peningkatan dan penurunan produksi di tahun 2018 ? 2038 yang disebabkan oleh sistem irigasi, tenaga kerja, dan musim. Perubahan yang terjadi mengakibatkan perubahan pada rasio pangan padi dan jagung yang sebagian besar berada di tingkat swasembada atau = 1 di tahun 2038.Kata Kunci: Penduduk, Lahan, Produksi, Prediksi Padi dan Jagung.
ANALISIS ARAH PERKEMBANGAN WILAYAH DI KECAMATAN BABAT KABUPATEN LAMONGAN ROSITA, INO; HARI PURNOMO, NUGROHO
Swara Bhumi Vol 5, No 7 (2018)
Publisher : Jurusan Pendidikan Geografi FIS Unesa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

AbstrakKecamatan Babat merupakan kecamatan terbesar kedua di Kabupaten Lamongan setelah Kecamatan Lamongan, melihat potensi yang dimiliki oleh Kecamatan Babat yang menjadi jalur pusat yang strategis dalam perdagangan dan jasa di Kabupaten Lamongan dan juga perkembangan jumlah penduduk, industri dan perkembangan fasilitas sosial dan fasilitas ekonomi di Kecamatan Babat terus mengalami peningkatan pastinya memiliki dampak yang sangat besar bagi perkembangan wilayah khusnya pada desa yang menjadi pusat perdagangan dan jasa di wilayah Kecamatan BabatPenelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat perkembangan wilayah pada setiap desa di Kecamatan Babat Kabupaten Lamongan yang diklasifikasikan menjadi tiga yaitu tingkat perkembangan wilayah rendah, sedang dan tinggi, setelah mengetahui tingkat perkembangan wilayah pada setiap desa maka akan diketahui arah perkembangan wilayah yang tergolong desa dengan tingkat perkembangan wilayah tinggi yang menandakan bahwa perkembanagan wilayah maju dan di Analisis melui citra multitemporal google earth dan disertai dengan data sekunder. Penelitian ini termasuk penelitian deskriptif kuantitatif mengenai tingkat perkembangan wilayah, dalam penelitian ini pendekatan yang digunakan adalah pendekatan keruangan unit analisisnya adalah seluruh desa di Kecamatan Babat yaitu 21 desa dan 2 kelurahan.Hasil penelitian ini adalah tingkat perkembangan wilayah pada setiap desa di Kecamatan Babat hanya terdapat pada satu desa yang memiliki perkembangan wilayah tinggi menandakan wilayah dengan perkembangan yang maju, terdapat satu desa yang memiliki perkembangan wilayah sedang menandakan wilayah yang sedang berkembang, dan 21 desa yang tergolong perkembangan wilayah rendah menandakan wilayah tertinggal. Disimpulkan bahwa arah perkembangan wilayah di Kecamatan Babat mengarah kearah barat yang terdapat pada satu desa memiliki tingkat perkembangan wilayah yang tinggi yaitu terdapat pada Kelurahan Babat dan perkembangan wilayah di Kecamatan Babat cenderung tidak merata karena hanya memusat pada satu desa.Kata kunci: Tingkat Perkembangan Wilayah, Arah Perkembangan Wilayah.
KAJIAN KASUS PERUBAHAN STATUS KEPEMILIKAN LAHAN PERTANIAN MASYRAKAT PETANI DI DESA SUMURAGUNG KECAMATAN SUMBERREJO KABUPATEN BOJONEGORO ULFA, MARIYA; HARI PURNOMO, NUGROHO
Swara Bhumi Vol 5, No 8 (2018)
Publisher : Jurusan Pendidikan Geografi FIS Unesa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Nilai lahan tidak hanya sebagai aset yang dapat diolah dan dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari,namun juga sebagai aset yang dapat dijadikan sebagai investasi atau tabungan yang relatif aman dan menguntungkan.Perkembangan zaman menyebabkan tanah mulai diperjual belikan, yang kemudian menimbulkan adanya asaspenawaran dan permintaan. Jumlah penduduk dan permintaan akan lahan yang terus meningkat menyebabkan semakinbanyak kasus perubahan status kepemilikan lahan pertanian di Desa Sumuragung. Tujuan dari penelitian ini adalahuntuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan adanya perubahan status kepemilikan lahan pertanian di DesaSumuragung.Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Lokasi penelitian dilakukan diDesa Sumuragung Kecamatan Sumberrejo Kabupaten Bojonegoro. Subyek dalam penelitian ini adalah petani yangmenjual lahan pertaniannya dengan sumber data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Pengumpulan datamenggunakan wawancara mendalam, observasi, dan dokumentasi. Teknik analisis data dilakukan dengan tiga tahapan,yaitu reduksi data, penyajian data dan kesimpulan.Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa perubahan status kepemilikan lahan pertanian di Desa Sumuragungdisebabkan karena semakin maraknya penjualan lahan pertanian, sistem bagi waris yang mengharuskan pembagianlahan kepada ahli waris yang ditinggalkan serta adanya wakaf. Faktor yang mempengaruhi perubahan statuskepemilikan lahan pertanian yaitu lokasi lahan, kesempatan membeli lahan lain, tuntutan ekonomi, kebutuhanpendidikan anak, harga lahan yang semakin meningkat, adat dan pengaruh warga lain. Petani Desa Sumuragungsebagian besar melakukan jual beli tanah secara langsung menurut Undang Undang Pokok Agraria (UUPA). Prosesbalik nama pemilikan tanah atau pengurusan sertifikat tanah sebagian besar petani melalui broker jasa pengurusansertifikat tanah dan balik nama pemilikan tanah.Kata kunci : Perubahan, Kepemilikan Lahan, Lahan Pertanian
ANALISIS KERAWANAN PANGAN KABUPATEN BOJONEGORO APRILIA KARTIKA SARI, FIRDA; HARI PURNOMO, NUGROHO
Swara Bhumi Vol 5, No 8 (2018)
Publisher : Jurusan Pendidikan Geografi FIS Unesa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

AbstrakKetahanan pangan merupakan kondisi terpenuhinya kebutuhan gizi serta pangan bagi penduduk di suatu wilayah. Tidak terpenuhinya pangan suatu wilayah akan menyebabkan berbagai masalah pangan salah satunya kerawanan pangan. Kabupaten Bojonegoro merupakan penyumbang beras terbesar nomor 4 di Provinsi Jawa Timur namun berdasarkan data Badan Pusat Statistika (BPS) Kabupaten Bojonegoro memiliki tingkat sumber daya manusia yang masih rendah dan menjadi kabupaten termiskin diurutan ke 11. Kondisi ini menunjukkan bahwa Kabupaten Bojonegoro masih memiliki gejala kerawanan pangan. Peneliti tertarik untuk melihat kondisi ketahanan pangan berdasarkan indikator kerawanan pangan kronis.Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kuantitatif dengan menggunakan analisis yang sama dengan Food Security and Vulnerability Atlas of Indonesia (FSVA) 2009. Analisis ini indikator kerawanan pangan kronis terdiri dari 9 indikator kemudian dimasukan kedalam rumus, hasilnya akan dikelompokkan berdasarkan 6 kategori kerawanan pangan serta dibuat peta ketahanan pangan dengan perhitungan hasil indeks komposit dari setiap indikator.Hasil penelitian ini adalah kondisi ketahanan pangan Kabupaten Bojonegoro terdapat satu kecamatan yang termasuk kategori rawan yaitu Kecamatan Gayam dan satu kecamatan pada kategori agak rawan yaitu Kecamatan Tambakrejo. Pada kategori cukup tahan ada 18 Kecamatan dan yang termasuk kategori tahan ada 8 kecamatan. Hal ini menunjukkan pemenuhan kebutuhan pangan Kabupaten Bojonegoro masih terpenuhi dan tahan pangan namun masih membutuhkan perbaikan pada 2 kecamatan lainnya.Kata Kunci : Ketahanan Pangan, Kerawanan Pangan Kronis, Pemetaan
KAJIAN KESESUAIAN KUALITAS AIR UNTUK BUDIDAYA IKAN GURAME DI DESA NGRANTI KECAMATAN BOYOLANGU KABUPATEN TULUNGAGUNG PUSPITASARI, DEVI; HARI PURNOMO, NUGROHO
Swara Bhumi Vol 5, No 9 (2018)
Publisher : Jurusan Pendidikan Geografi FIS Unesa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

AbstrakKabupaten Tulungagung mempunyai potensi sumber daya perikanan berupa perairan laut, payau, perairanumum dan budidaya air tawar. Berdasarkan data dari Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Tulungagung,produksi perikanan air tawar terbesar di Kabupaten Tulungagung adalah Ikan gurame dengan produksi 1,247,308.00 kgdengan nilai produksi 26.193.468.000,00. Bagi petani ikan, hujan deras kerap membawa kecemasan karena rendahnyanilai ADG (Average Daily Growth) dan nilai SR (Survival Rate) atau kondisi ikan tidak dapat tumbuh optimal. Kualitasair menjadi syarat utama dalam usaha budidaya perikanan dalam meningkatkan produksi dan produktivitas. Penelitianini bertujuan untuk mengetahui karakteristik air dan kesesuaian parameter kualitas air untuk kegiatan budidaya.Penelitian ini menggunakan penelitian deskriptif kuantitatif dengan mengambil keseluruhan jumlah populasisebagai sampel penelitian, yaitu dilakukan pada 21 unit kolam budidaya yang ada pada daerah penelitian. Parameterkualitas air tersebut kemudian disesuaikan berdasarkan standar kesesuaian kualitas air untuk budidaya gurame dalamkategori sesuai (S1), cukup sesuai (S2), tidak sesuai (N).Hasil penelitian menunjukkan bahwa kesesuaian parameter kualitas air pada enam (6) variabel kimia air adalahsesuai, cukup sesuai dan tidak sesuai. Keseluruhan parameter hasil pengukuran Hidrogen Sulfida (H2S) dan kecerahanair dibeberapa kolam menjadi faktor pembatas dalam budidaya perikanan (tidak sesuai). Nilai H2S yang rendah dalamair disebabkan oleh pakan sisa yang tidak terkonsumsi oleh organisme budidaya yang disebabkan oleh suasanaanaerobik yang memungkinkan oksidasi H2S. Kekeruhan air disebabkan oleh umur ikan, ketika ikan sudah mendekatipanen (besar) maka hasil ekskresi ikan akan semakin banyak sehingga otomatis air menjadi keruh. Faktor yang tidakmempengaruhi perbedaan kualitas air untuk budidaya dalam penelitian ini adalah topografi wilayah, curah hujan,kondisi lingkungan, dan pendidikan petani.Kata kunci : kualitas air, budidaya gurame, Kabupaten Tulungagung