Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search
Journal : Jurnal Yudisial

KESAKSIAN AHLI JIWA DALAM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENGANIAYAAN BERAT Y. A. Triana Ohoiwutun
Jurnal Yudisial Vol 8, No 1 (2015): DIALEKTIKA HUKUM NEGARA DAN AGAMA
Publisher : Komisi Yudisial RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29123/jy.v8i1.36

Abstract

ABSTRAKPutusan Nomor 210/Pid.B/2005/PN.RKB memeriksa kasus penganiayaan berat yang berakibat matinya orang lain karena terdakwa mengalami halusinasi visual. Halusinasi visual termasuk ke dalam kategori gangguan jiwa, tetapi pemeriksaan kejiwaan oleh psikolog diberikan secara tertulis, tanpa second opinion ahli jiwa lain. Pentingnya kesaksian ahli jiwa dalam pemeriksaan Putusan Nomor 210/Pid.B/2005/PN.RKB akan berimplikasi pada penjatuhan sanksi tindakan yang dapat dikaji dari tujuan pemidanaan. Metode penulisan yang digunakan berbasis pada penelitian hukum normatif dengan menggunakan sumber data sekunder. Permasalahan dikaji menggunakan pendekatan kasus Putusan Nomor 210/Pid.B/2005/PN.RKB yang diperbandingkan dengan Putusan Nomor 998/Pid.B/2006/PN.BDG dengan analisis data secara kualitatif. Hakim memutus perkara menggunakan keterangan tertulis seorang psikolog tanpa adanya ahli jiwa lain; sedangkan halusinasi visual merupakan gangguan jiwa yang seharusnya ditentukan oleh ahli jiwa. Dalam pemeriksaan di persidangan terbukti adanya penganiayaan berat yang berakibat matinya korban, sehingga hakim memutus sanksi pidana penjara selama tujuh bulan delapan hari. Penjatuhan tindakan dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa lebih tepat daripada pidana penjara pendek jika ditinjau dari perspektif tujuan pemidanaan. Kesimpulan sebagai akhirpenulisan adalah kesaksian ahli jiwa berperan penting dalam pemeriksaan Putusan Nomor 210/Pid.B/2005/PN.RKB, dan ditinjau dari aspek tujuan pemidanaan, sanksi tindakan dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa lebih tepat dijatuhkan terhadap terdakwa dalam Putusan Nomor 210/Pid.B/2005/PN.RKB.Kata kunci: keterangan ahli jiwa; tanggung jawab pidana; penganiayaan berat. ABSTRACTThe Decision Number 210/Pid.B/2005/PN.RKB examines the case of aggravated assault causing the death of the victim committed by the defendant who is having visual hallucinations. Such hallucinations belong to the categories of mental disorder, but this conclusion is merely based on a written psychological examination without any second opinion from another mental health professional. The psychiatric expert testimony (mentalhealth professional) in the examination of this case shall be of profound significance to implicate the imposition of the sentence, which shall be viewed from the purpose of punishment. The method of analysis deployed is normative legal research by using sources of secondary data. The issues are elaborated through case-based approach by comparing the Decision Number 210/Pid.B/2005/PN.RKB to the Decision Number 998/Pid.B/2006/PN.BDG by using a qualitative data analysis. The judge decides the case using the psychologist’s written statements without any additional from other expert testimony of mental health professionals. The visual hallucination is a mental disorder that should beprescribed by a mental health professional. In the trial proceedings, an aggravated assault causing the death of the victim is proven, thereof, the judge imposes seven months and eight days imprisonment to the defendant From the perspective of the punishment  objective, sending the defendant to a mental hospital seems to be more appropriate rather than imposing a sentence of short-term imprisonment. On the whole, the analysis concludes that the psychiatric expert testimony is greatly significant in the examination of the Case Decision Number 210/Pid.B/2005/PN.RKB, and through the purpose of  punishment opinion, sending the defendant to a mental hospital is a proper final decision.Keywords: psychiatric expert testimony; criminal liability; aggravated assault.
URGENSI BEDAH MAYAT FORENSIK DALAM PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA Y. A. Triana Ohoiwutun
Jurnal Yudisial Vol 9, No 1 (2016): DIVERGENSI TAFSIR
Publisher : Komisi Yudisial RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29123/jy.v9i1.32

Abstract

ABSTRAKPutusan Nomor 79/Pid.B/2012/PN.BGR memutuskan tindak pidana pembunuhan berencana secara bersama-sama terhadap empat orang terdakwa. Tindak pidanapembunuhan sebagai delik materiil melarang akibat perbuatan menghilangkan nyawa orang lain, sehingga haruslah dapat dibuktikan adanya hubungan kausal antara perbuatan setiap terdakwa yang mengakibatkan kematian korban. Namun demikian, visum et repertum sebagai alat bukti surat dalam pemeriksaan Putusan Nomor 79/Pid.B/2012/PN.BGR tidak dapat menyimpulkan penyebab kematian korban, karena tidak dilakukan bedah mayat forensik. Adanya hubungan kausal antara perbuatan dengan akibatnya di dalam delik materiil, dapat berkorelasi dengan pertanggungjawaban pidana. Bedah mayat forensik atas tindak pidana pembunuhan yang dilakukan secara bersama-sama merupakan syarat yang bersifat conditio sine qua non, dalam menentukan pertanggungjawaban pidana. Posisi urgen bedah mayat forensik dalam pembuatan visum et repertum merupakan fokus dari penelitian ini. Adapun metode penulisan berbasis pada penelitian hukum yuridis normatif dengan menggunakan sumber data sekunder. Data penelitian berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Analisis data dilakukan secara kualitatif, yaitu penelitian hukum kualitatif (qualitative-legal research). Dari aspek hukum pidana, pemeriksaan bedah mayat forensik bermanfaat untuk mengetahui penyebab pasti kematian korban yang berhubungan dengan pertanggungjawaban pidana.Kata kunci: pembunuhan berencana, bedah mayat forensik, visum et repertum, pertanggungjawaban pidana.ABSTRACTCourt Decision Number 79/Pid.B/2012/PN.BGR prosecutes a criminal case of premeditated murder committed jointly by four convicts. Crimes of murder as a material offense, prohibiting a result of the act of taking the life of others, therefore, a causal connection between the actions of each convict that caused the death of the victim shall be proved. However, visum et repertum as the documentary evidence in the case investigation ofthe Court Decision Number 79/Pid.B/2012/PN.BGR cannot reveal the cause of death since the forensic post-mortem examination was not carried out. Causal connection between the act and result in material offense correlates with criminal liability. Forensic post-mortemexamination of murder crime jointly committed is a requirement of “conditio sine qua non” in determining criminal liability. The forensic post-mortem examination to acquire visum et repertum is the emphasis of this analysis. This analysis applies normative legal researchmethod by using secondary data sources. The research data is in the form of primary legal materials, secondary and tertiary. The data are studied through qualitative-legal research. From the aspect of criminal law, forensic post-mortem examination is used to determine the cause of death of the victim that relates to criminal liability. Keywords: premeditated murder, post-mortem forensic examination, visum et repertum, criminal liability.
KEPASTIAN HUKUM PUTUSAN YANG MELANGGAR SPECIAL STRAF MAXIMA Widowati Widowati; Y. A. Triana Ohoiwutun
Jurnal Yudisial Vol 14, No 1 (2021): OPINIO JURIS SIVE NECESSITATIS
Publisher : Komisi Yudisial RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29123/jy.v14i1.413

Abstract

ABSTRAKTindak pidana penipuan atau penggelapan merupakan dakwaan alternatif yang dibuat oleh penuntut umum dalam Putusan Nomor 306/Pid.B/2017/PN.Smd. Dalam pertimbangannya hakim membuktikan unsur-unsur tindak pidana penipuan; namun demikian dalam amar putusannya menyatakan bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana penggelapan. Sanksi pidana penjara 10 tahun yang dijatuhkan terhadap terdakwa menyimpangi special straf maxima. Rumusan masalah dalam tulisan ini, apakah amar Putusan Nomor 306/Pid.B/2017/PN.Smd yang melanggar “asas” special straf maxima telah memenuhi asas kepastian hukum yang adil? Metode yuridis normatif digunakan dalam penulisan ini. Sumber data diperoleh dari data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, dan bahan hukum sekunder. Putusan Nomor 306/Pid.B/2017/PN.Smd seharusnya batal demi hukum, karena tidak terpenuhinya syarat formalitas putusan sebagaimana ditentukan Pasal 197 ayat (1) KUHAP. Di samping itu, penjatuhan sanksi pidana penjara selama 10 tahun melanggar ketentuan special straf maxima, dan melanggar kepastian hukum yang adil. Namun, berdasarkan asas res judicata pro veritate habetur, apapun putusan hakim harus dianggap benar sampai ada putusan hakim yang lebih tinggi yang menyatakan sebaliknya. Kata kunci: special straf maxima; tindak pidana penipuan; tindak pidana penggelapan. ABSTRACTFraud or embezzlement is an alternative indictment made by the public prosecutor in Decision Number 306/ Pid.B/2017/PN.Smd. In the judge’s consideration, all elements of the criminal act of fraud have been successfully proven; however, in the conviction it was stated that the defendant was guilty of the crime of embezzlement. The 10 years imprisonment imposed on the defendant violated the special straf maxima “principle”. The formulation of the problem to analyze is whether the sentencing in the Decision Number 306/Pid.B/2017/PN.Smd violating principle has met the principle of fair-legal certainty. This paper uses normative juridical method and obtain data sources from secondary data including primary and secondary legal material. Decision Number 306/Pid.B/2017/PN.Smd should be null and void, because it did not meet the formal requirements of the decision as stipulated in Article 197 paragraph (1) of the Criminal Procedure Code. In addition, the imposition of imprisonment for 10 years violates the principle of the special straf maxima and fair legal certainty. However, based on the principle of res judicata pro veritate habetur, the judge’s decision whatsoever must be deliberated truthful until there is a decision of a superior judge which states otherwise. Keywords: special straf maxima; fraud; embezzlement. 
PENERAPAN PRINSIP “KEPENTINGAN TERBAIK BAGI ANAK” DALAM KASUS TINDAK PIDANA NARKOTIKA Y. A. Triana Ohoiwutun; Samsudi Samsudi
Jurnal Yudisial Vol 10, No 1 (2017): ABROGATIO LEGIS
Publisher : Komisi Yudisial RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29123/jy.v10i1.41

Abstract

ABSTRAKPutusan Nomor 229/Pid.B/2012/PN.Jpr memutuskan sanksi pidana penjara terhadap anak pengguna narkotika, tanpa disertai tindakan rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Kewajiban pemeriksaan dokter ahli jiwa untuk menentukan urgensi tindakan rehabilitasi telah dikesampingkan oleh hakim di dalam memutus kasus. Permasalahan yang dikaji meliputi urgensi keterangan ahli dalam pemeriksaan ajudikasi tindak pidana narkotika dan aplikasi prinsip "kepentingan terbaik bagi anak" dalam penjatuhan sanksi terhadap anak pengguna narkotika. Metode penulisan berbasis pada penelitian hukum yuridis normatif dengan menggunakan sumber data sekunder. Data penelitian berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Analisis data dilakukan secara kualitatif, yaitu penelitian hukum kualitatif (qualitative-legal research). Penjatuhan sanksi pidana penjara tanpa tindakan rehabilitasi terhadap anak pengguna narkotika tidak sejalan dengan tujuan pemidanaan. Prinsip individualisasi pidana dan prinsip double track system sebenarnya dapat diterapkan dalam kasus tindak pidana narkotika oleh pelaku anak. Hakim dalam menjatuhkan sanksi terhadap anak seharusnya berorientasi pada prinsip kepentingan terbaik bagi anak, sehingga pemidanaan terhadap anak, khususnya pidana perampasan kemerdekaan digunakan sebagai upaya terakhir (ultimum remedium).Kata kunci: keterangan ahli, pertanggungjawaban pidana, hukum pembuktian. ABSTRACTThe Court Decision Number 229/Pid.B/2012/PN.Jpr imposed sanctions of imprisonment against the children of drug users without any of medical and social rehabilitation measures. The provision on the examination of the psychiatrist to settle on the urgency of rehabilitation measures have been ruled out by the judges in deciding the case. The problems outlined embrace the urgency of testifying expert witnesses in the adjudication of narcotic crime case and the implementation of the "best interests of the child" measure in the imposition of sanction on the children of drug users. The analytical method used is based on normative legal research using secondary data sources. The research data are in the form of primary, secondary, and tertiary legal materials. The data were analyzed qualitatively through a method of qualitative legal research. Imposing sanction of imprisonment with no rehabilitation measures on the children of drug users is inconsistent with the objective of sentencing. The principle of individualization of punishment and double track system can actually be implemented in the case of narcotic crime involving children offender. The judge in imposing sanctions on the children should be oriented to the measure of best interests of children, so that conviction for a criminal offence against children, particularly deprivation of liberty is done as a last resort (ultimum remedium).Keywords: expert witnesses, criminal responsibility, rules of evidence.
URGENSI PEMERIKSAAN AHLI JIWA DALAM KASUS KEKERASAN PSIKIS DALAM RUMAH TANGGA Y. A. Triana Ohoiwutun; Surjanti Surjanti
Jurnal Yudisial Vol 11, No 3 (2018): PARI PASSU
Publisher : Komisi Yudisial RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29123/jy.v11i3.300

Abstract

ABSTRAKPutusan Nomor 173/Pid.Sus/2014/PN.Lmj memutus perkara tindak pidana kekerasan psikis dalam rumah tangga yang tidak didasarkan pada keterangan ahli jiwa. Tindak pidana kekerasan psikis dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga diformulasikan sebagai delik materiil, dan adanya hubungan kausal antara perbuatan pelaku yang berakibat pada trauma psikis korban itulah yang seharusnya dapat dibuktikan. Fokus permasalahan yang dikaji meliputi urgensi keterangan ahli jiwa dalam Putusan Nomor 173/Pid.Sus/2014/PN.Lmj, dan hubungan antara pemeriksaan ahli jiwa dengan tindak pidana kekerasan psikis dalam rumah tangga. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif. Data penelitian dianalisis secara kualitatif. Putusan Nomor 173/Pid.Sus/2014/PN.Lmj tidak berbasis pada pemeriksaan ahli jiwa, padahal hanya ahli jiwa yang dapat menguji secara ilmiah kebenaran adanya trauma psikis. Pemeriksaan ahli jiwa dapat diberikan oleh psikolog atau psikiater untuk tujuan menemukan kebenaran materiil. Urgensi pemeriksaan ahli jiwa terhadap korban kekerasan psikis dalam rumah tangga, bertujuan untuk menentukan adanya hubungan kausal antara perbuatan terdakwa dengan trauma psikis korban, dan adanya hubungan kausal antara trauma psikis sebagai akibat perbuatan terdakwa itulah yang mengindikasikan adanya kesalahan yang berkorelasi dengan pertanggungjawaban pidana dalam kasus kekerasan psikis dalam rumah tangga.Kata kunci: ahli jiwa, kekerasan psikis, kekerasan rumah tangga. ABSTRACTDecision Number 173/Pid.Sus/2014/PN.Lmj proceeds a case of psychological domestic violence that are not based on information from psychologists. Crime of emotional abuse in Law Number 23 of 2004 concerning the Elimination of Domestic Violence is formulated as substantive offense, and the causal relationship between the offender's conduct resulting in psychological trauma of the victim should be proven. The focus of the problem includes the urgency of the psychiatrist’s information in Decision Number 173/Pid.Sus/2014/PN.Lmj, and the correlation between the examination of psychiatrists and criminal acts of domestic emotional abuse. This is a normative juridical method research with qualitative data analysis. Decision Number 173/Pid.Sus/2014/PN.Lmj is not based on psychiatric examinations, whereas, only psychologists can scientifically examine the truth of psychological trauma. Psychiatric examination can be provided by a psychologist for the purpose of finding the substantial truth. The urgency of psychiatric examination on the victim of domestic emotional abuse aims to determine the causal relationship between the criminal act of the defendant and the psychological trauma of the victim; and the causal relationship between psychological traumas as a result of the defendant's crime indicates an error that correlates with criminal liability in such cases.Keywords: psychiatrist, emotional abuse, domestic abuse.