Claim Missing Document
Check
Articles

Found 27 Documents
Search

Hubungan Status Berpacaran, Paparan Media, Teman Sebaya Dan Peran Orang Tua dengan Perilaku Seksual Pranikah pada Remaja Pria di Indonesia (Analisis Lanjut Data SDKI 2017) Shakti, Rachmadya Wira; Ramani, Andrei; Baroya, Ni'mal
BIOGRAPH-I: Journal of Biostatistics and Demographic Dynamic Vol 2 No 1 (2022): May
Publisher : Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Jember

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.19184/biograph-i.v2i1.29460

Abstract

Perilaku seksual pranikah merupakan salah satu permasalahan yang penuh risiko dan sangat rawan terjadi pada proses perkembangan seorang remaja. Transisi antara sosial dan budaya dapat mengakibatkan remaja rentan terpengaruh dampak negatif. Menurut data SDKI 2017 menyatakan bahwa perilaku seksual pranikah terjadi pada 8% remaja pria dan 2% remaja wanita. Tujuan penelitian menganalisis hubungan antara faktor predisposing (meliputi usia, tingkat pendidikan, pengetahuan, dan status berpacaran), faktor enabling (meliputi paparan media), dan faktor reinforcing (meliputi pengaruh teman sebaya dan peran orang tua) dengan perilaku seksual pranikah pada remaja pria di Indonesia. Penelitian ini menggunakan data SDKI tahun 2017 dengan desain Cross Sectional. Populasi penelitian yang digunakan adalah remaja pria usia 15-24 tahun di Indonesia. Jumlah sampel sebanyak 12.935 remaja pria. Analisis Bivariat menggunakan Chi-Square dan analisis multivariat menggunakan regresi logistik. Perilaku seksual pranikah pada remaja pria sebanyak 51,1%. Faktor yang berhubungan dengan perilaku seksual pranikah pada remaja pria yaitu usia (OR 4,0; CI 3,68-4,30), tingkat pendidikan (OR 1,8; CI 1,11-2,94), status pernah berpacaran (OR 494,6; CI 235,26-1039,70), dan pengetahuan (OR 3,0; CI 2,76-3,34). Selain itu, kepemilikan smartphone (OR 2,1; CI 1,92-2,31), akses terhadap internet (OR 2,3; CI 2,11-2,60), teman sebaya yang berpengaruh negatif (OR 7,6; CI 6,84-8,46), dan peran orang tua juga berpengaruh terhadap perilaku seksual pranikah pada remaja (OR 1,1; CI 1,01-1,17). Faktor yang paling kuat dalam mempengaruhi perilaku seksual pranikah remaja pria adalah status berpacaran (OR 362,5; CI 171,73-756,34) dapat diartikan remaja pria dengan status sedang atau pernah berpacaran berisiko 362 kali untuk berperilaku seksual pranikah. Untuk itu perlu adanya peningkatan ilmu pengetahuan mengenai kesehatan reproduksi remaja serta dampak buruk perilaku seksual pranikah.
Peramalan Jumlah Akseptor Baru Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) Kabupaten Jember Menggunakan Analisis Time Series Andriyani, Rike; Baroya, Ni'mal; Ramani, Andrei
BIOGRAPH-I: Journal of Biostatistics and Demographic Dynamic Vol 1 No 1 (2021): May
Publisher : Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Jember

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (526.929 KB) | DOI: 10.19184/biograph-i.v1i1.22208

Abstract

Penggunaan Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) sebagai kontrasepsi efektif untuk menurunkan angka TFR masih jauh di bawah angka penggunaan non-MKJP. Perkiraan jumlah akseptor baru yang memungkinkan perlu dilakukan untuk menetapkan langkah yang harus dilakukan sesuai dengan kondisi di masyarakat untuk meningkatkan penggunaan MKJP. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menentukan model peramalan penggunaan kontrasepsi jangka panjang oleh akseptor baru KB sehingga hasilnya dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk peningkatan program KB di Kabupaten Jember. Jenis penelitian ini yaitu penelitian deskriptif dengan pendekatan kuantitatif. Penelitian dilakukan pada tahun 2020 dengan subjek penelitian akseptor baru MKJP pada tahun 2012-2019 di Kabupaten Jember. Peramalan dilakukan dengan metode ARIMA yang diolah melalui aplikasi Rstudio. Hasil menunjukkan bahwa faktor sosial ekonomi yang berhubungan dengan banyaknya akseptor baru MKJP adalah persentase penduduk perkotaan (r= -0,712), persentase wanita menikah usia >30 tahun (r= 0,916), dan pendapatan per kapita (r= -0,734). Model peramalan terbaik untuk menentukan banyaknya akseptor baru metode IUD adalah ARIMA (11,1,2). Model peramalah terbaik untuk menentukan banyaknya akseptor baru metode implan adalah ARIMA (0,0,8). Model peramalan terbaik untuk menentukan banyaknya akseptor baru MOW adalah ARIMA (0,0,12). Perlu adanya peningkatan pengetahuan mengenai MKJP terutama IUD dan implan khususnya pada wanita yang telah berusia >30 tahun, perlunya pemerataan distribusi pemberi layanan kontrasepsi, sosialisasi mengenai pentingnya pembatasan kehamilan pada masyarakat dengan ekonomi tinggi, dan perlu adanya kesiapan tenaga medis dan finansial sebagai langkah mempersiapkan akseptor MOW yang kemungkinan akan meningkat.
Determinan Penggunaan Metode Kontrasepsi Jangka Panjang di Jawa Timur Tahun 2017 Hariastuti, Iswari; Baroya, Ni'mal; Handini, Yohana Rizkyta; Wicaksono, Dimas Bagus Cahyaningrat
BIOGRAPH-I: Journal of Biostatistics and Demographic Dynamic Vol 1 No 1 (2021): May
Publisher : Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Jember

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (647.73 KB) | DOI: 10.19184/biograph-i.v1i1.23619

Abstract

Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) menjadi solusi paling efektif dalam mencegah kehamilan. Rendahnya penggunaan MKJP di Jawa Timur tentu berkontribusi pada belum tercapainya target nasional dalam penurunan Angka Kelahiran Total di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui determinan penggunaan MKJP di Jawa Timur Tahun 2017. Penelitian menggunakan data hasil Survei Demograsi dan Kesehatan Indonesia Tahun 2017. Beberapa variabel yang diduga mempengaruhi penggunaan MKJP di Jawa Timur ialah usia, tingkat pendidikan, daerah tempat tinggal, status sosial ekonomi, jumlah anak, pengetahuan, dan keterlibatan suami. Hasil penelitian menunjukkan bahwa usia, pendidikan, jumlah anak, pengetahuan dan keterlibatan suami berhubungan dengan penggunaan MKJP di Jawa Timur. Sedangkan daerah tempat tinggal dan status sosial ekonomi tidak berpengaruh terhadap penggunaan MKJP di Jawa Timur. Hal ini dapat disebabkan oleh usaha-usaha pemerintah daerah dalam meningkatkan akseptor MKJP dengan membuat program-program seperti sosialisasi dan pemberian MKJP secara gratis. Suami yang terlibat dalam menentukan metode kontrasepsi pasangannya lebih cenderung memilih menggunakan MKJP 17 kali lipat dibandingkan yang tidak terlibat. Sehingga peneliti menyarankan keterlibatan suami dalam dalam kegiatan sosialisasi untuk meningkatkan pemahaman tentang metode kontrasepsi.
Determinan Keinginan Menggunakan Kontrasepsi pada Remaja Usia 15-24 Tahun di Masa Mendatang (Analisis Lanjut Data SDKI 2017) Yunita, Rani; Ramani, Andrei; Baroya, Ni'mal
BIOGRAPH-I: Journal of Biostatistics and Demographic Dynamic Vol 3 No 2 (2023): November
Publisher : Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Jember

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.19184/biograph-i.v3i2.29828

Abstract

Strategi pemerintah Indonesia untuk menekan pertumbuhan penduduk dilakukan melalui program Keluarga Berencana. Remaja termasuk sasaran program KB diharapkan agar mampu memiliki perencanaan yang baik terkait penggunaan kontasepsi di masa depan sehingga semua remaja memiliki akses terhadap informasi, konseling dan ketentuan kontrasepsi, dan tidak terjadi penyalahgunaan alat kontrasepsi. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis determinan keinginan remaja menggunakan kontrasepsi di masa mendatang yang dilihat dari faktor internal (jenis kelamin, usia, kuintil kekayaan, tempat tinggal, tingkat pendidikan, dan tingkat pengetahuan) dan faktor eksternal (akses media massa, diskusi kesehatan reproduksi, serta sumber informasi dan konseling kesehatan reproduksi). Penelitian ini merupakan penelitian non reaktif dengan desain cross sectional. Data pada penelitian ini didasarkan pada hasil SDKI 2017 dengan besar sampel sebanyak 19.912 responden. Penelitian ini menggunakan analisis univariat, bivariat dengan uji asosiasi dan multivariat dengan uji regresi logistik dengan nilai α=0,05. Hasil penelitian menunjukkan bahwa remaja pria yang berusia 15-19 tahun dengan kuintil kekayaan terbawah, tidak pernah sekolah, tidak mengakses televisi, tidak berdiskusi dengan teman, keluarga dan petugas kesehatan, serta remaja yang tidak mengetahui sumber informasi dan konseling kesehatan reproduksi merupakan determinan remaja yang tidak ingin menggunakan kontrasepsi di masa mendatang. Pemanfaatan media sosial (internet) untuk mendapatkan informasi terkait kesehatan reproduksi, peningkatan kualitas pelayanan konseling yang telah tersedia serta membangun komunikasi yang efektif antara orang tua dan remaja perlu dilakukan untuk meningkatkan keinginan menggunakan kontrasepsi pada remaja.
PERKEMBANGAN ANAK USIA 36-48 BULAN BERDASARKAN KARAKTERISTIK, PENGETAHUAN DAN POLA ASUH IBU DI DESA SRATEN KECAMATAN CLURING KABUPATEN BANYUWANGI Widayanti, Aghnes; Baroya, Ni'mal; Wicaksono, Dimas Bagus Cahyaningrat
Jurnal Kesehatan Tambusai Vol. 5 No. 4 (2024): DESEMBER 2024
Publisher : Universitas Pahlawan Tuanku Tambusai

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31004/jkt.v5i4.35102

Abstract

Perkembangan anak dapat mencapai titik optimal apabila mendapatkan stimulasi melalui pola asuh yang tepat sehingga akan merangsang balita untuk berkembang sesuai dengan usianya. Terdapat 35,6% anak mengalami gangguan perkembangan di Kabupaten Banyuwangi. Kecamatan Cluring mempunyai risiko terdapat gangguan perkembangan pada anak karena persentase stunting di kecamatan ini tertinggi kedua se Kabupaten Banyuwangi (11,56%). Penelitian ini bertujuan menggambarkan perkembangan anak usia 36-48 bulan berdasarkan karakteristik, pengetahuan dan pola asuh ibu. Penelitian ini termasuk jenis penelitian deskriptif dengan pendekatan kuantitatif. Sampel penelitian berjumlah 129 ibu dan balita usia 34-48 bulan yang tercatat di posyandu Desa Sraten Kecamatan Cluring Kecamatan Cluring. Data dikumpulkan melalui wawancara menggunakan kuesioner dan observasi menggunakan Kuesioner Pra Skreening Perkembangan (KPSP). Data yang terkumpul dianalisis menggunakan statistik deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan ibu yang berusia dewasa (26-35 tahun), berpendidikan menengah atas, tidak bekerja dan berpendapatan di atas UMK berpotensi lebih besar mempunyai anak yang berkembang sesuai usianya (normal) daripada ibu yang berusia lebih muda (?25 tahun), berpendidikan dasar, bekerja dan berpendapatan di bawah UMK. Ibu yang memiliki pengetahuan baik, memiliki anak yang berkembang normal dengan persentase lebih besar daripada ibu dengan pengetahuan kurang. Semua anak yang mendapat pola asuh baik mempunyai perkembangan normal. Dengan demikian edukasi tentang pengasuhan kepada ibu balita perlu dilakukan secara intensif supaya ibu bisa menerapkan pengasuhan yang baik sehingga perkembangan anak normal bisa dicapai.
Peningkatan pengetahuan kader posyandu melalui inisiasi program posyandu remaja sehat di Desa Pace, Jember Rafi, Rizki Nur; Pratikno, Cahyaning Putri; Izzafattatin, Kurnia; Kusumawardani, Devi Arine; Baroya, Ni'mal; Wijayanto, Dony; Sari, Vina Ameliatunnikmah Desya Cournia
SELAPARANG: Jurnal Pengabdian Masyarakat Berkemajuan Vol 9, No 6 (2025): November (In Progress)
Publisher : Universitas Muhammadiyah Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31764/jpmb.v9i6.34469

Abstract

AbstrakRemaja termasuk kelompok usia yang rentan terhadap berbagai permasalahan kesehatan, seperti kurangnya pengetahuan mengenai kesehatan reproduksi, gizi, kesehatan mental, serta rendahnya akses terhadap layanan kesehatan ramah remaja. Desa Pace, Kecamatan Silo, Kabupaten Jember, belum memiliki program posyandu remaja sehingga kebutuhan layanan kesehatan remaja belum terpenuhi secara optimal. Kegiatan pengabdian masyarakat ini bertujuan untuk menginisiasi pembentukan posyandu remaja melalui pendekatan pemberdayaan berbasis partisipasi yang dilaksanakan pada 29 Oktober – 16 Desember 2024 . Metode yang digunakan adalah Participatory Rural Appraisal (PRA) yang melibatkan remaja, masyarakat, tokoh desa, dan tenaga kesehatan. Tahapan kegiatan meliputi Survei Mawas Diri (SMD) untuk mengidentifikasi permasalahan kesehatan remaja dengan sasaran 80 orang, Musyawarah Masyarakat Desa (MMD) untuk membangun kesepakatan pembentukan posyandu remaja dengan sasaran 39 orang, serta capacity building kader remaja guna meningkatkan pengetahuan dan keterampilan pengelolaan posyandu dengan sasaran 10 orang. Hasil kegiatan menunjukkan bahwa sebanyak 97,5% remaja dan 100% masyarakat serta tokoh desa mendukung terbentuknya posyandu remaja. MMD menghasilkan kesepakatan bersama pembentukan posyandu remaja yang ditandai dengan rencana penerbitan Surat Keputusan Kepala Desa. Pelatihan kader remaja berhasil meningkatkan pengetahuan sebesar 11% (dari nilai rata-rata pre-test 68% menjadi 79% pada post-test). Seluruh kader mampu memahami dan mempraktikkan konsep lima meja posyandu serta mengisi kartu kecerdasan majemuk dengan benar (100%). Pendekatan partisipatif mampu meningkatkan kesadaran, keterlibatan, dan kapasitas remaja serta masyarakat dalam pengelolaan posyandu remaja. Keberhasilan inisiasi posyandu remaja di Desa Pace diharapkan menjadi model percontohan layanan kesehatan ramah remaja di wilayah pedesaan dan mendukung upaya promotif serta preventif bagi generasi muda. Kata kunci: kader remaja; kesehatan remaja; partisipasi masyarakat; pemberdayaan; posyandu Abstract Adolescents are an age group vulnerable to various health problems, such as a lack of knowledge about reproductive health, nutrition, and mental health, and low access to youth-friendly health services. Pace Village, Silo District, Jember Regency, does not yet have a youth posyandu program, so the needs of adolescent health services have not been optimally met. This community service activity aims to initiate the establishment of a youth posyandu through a participatory empowerment approach, which was implemented from October 29 to December 16, 2024. The method employed was Participatory Rural Appraisal (PRA), which involved adolescents, the community, village leaders, and health workers. The activity stages included a Self-Awareness Survey (SMD) to identify adolescent health problems with a target of 80 people, a Village Community Deliberation (MMD) to build an agreement on the establishment of a youth posyandu with a target of 39 people, and capacity building for adolescent cadres to improve knowledge and skills in managing a posyandu with a target of 10 people. The results of the activity showed that 97.5% of adolescents and 100% of the community and village leaders supported the establishment of a youth posyandu. The MMD resulted in a joint agreement to establish a youth integrated health post (Posyandu), marked by the planned issuance of a Village Head Decree. The training of youth cadres successfully increased knowledge by 11% (from an average pre-test score of 68% to 79% in the post-test). All cadres were able to understand and practice the concept of the five Posyandu tables and correctly fill out the multiple intelligence cards (100%). The participatory approach successfully increased awareness, involvement, and capacity among youth and the community in managing the youth Posyandu. The successful initiation of the youth Posyandu in Pace Village is expected to become a pilot model for youth-friendly health services in rural areas, supporting promotive and preventive efforts for the younger generation. Keywords: adolescent cadres; adolescent health; community participation; empowerment; integrated service post
In-depth exploration of postpartum hemorrhage risk factors through interviews with healthcare workers in Hospitals Erawati, Sintya; Baroya, Ni'mal; Tri Herawati, Yennike; Martiana Wati, Dwi; Permatasari, Elok
International Journal of Health Science and Technology Vol. 7 No. 2 (2025): November
Publisher : Universitas 'Aisyiyah Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31101/ijhst.v7i2.4326

Abstract

Postpartum hemorrhage (PPH) is one of the major obstetric complications responsible for approximately 75% of maternal deaths globally, particularly in low-income countries. This condition not only increases maternal morbidity and mortality but also contributes to higher needs for blood transfusion, prolonged hospitalization, and greater healthcare burden. The incidence of PPH at Dr. Soebandi Regional Hospital, Jember, reached 27%, the highest among other delivery complications in the regency. This study aimed to analyze the risk factors associated with PPH. An analytic hospital-based case-control study was conducted from January to November 2021 involving 88 mothers with PPH and 88 mothers without PPH based on medical records from 2018–2019. Antenatal factors included maternal age, anemia, birth interval, parity, and history of PPH, while intrapartum factors consisted of chorioamnionitis, labor induction, duration of labor, episiotomy, and delivery method. Data were analyzed using chi-square and logistic regression tests with a significance level of α=0.05. The results showed that maternal age >35 years (OR=4.7; 95%CI:2.35–9.82), anemia, and previous history of hemorrhage were significant risk factors. Chorioamnionitis, labor induction, and episiotomy also increased the risk, while cesarean delivery was protective (OR=0.19; 95%CI:0.08–0.45). Prevention efforts should focus on promoting pregnancy at a healthy reproductive age, improving adherence to iron supplementation, and strengthening the quality of delivery services in healthcare facilities.