Articles
INTERAKSI RASIONALITAS TEKNIS DALAM PEMIKIRAN HADIS KONTEMPORER
Hasbi, M. Ridwan
Jurnal Ushuluddin Vol 19, No 1 (2013): Januari - Juni 2013
Publisher : Jurnal Ushuluddin
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Transmisi periwayatan hadis dari Rasulullah sampai pada tahap kodifikasinya merupakan sebuah realitas yang berkaitan dengan redaksionalisasi wahyu, kewenangan dan validitasnya. Tahap selanjutnya aplikasi hadis dalam ajaran Islam dengan pemahaman yang berputar antara tekstual dan kontekstual yang berformulasi pada penggunaan rasio secara terbatas terikat dengan kaidahkaidah dan atau liberal. Kontek pemikiran hadis kontemporer menjelaskan perlunya rasio dalam pemahaman hadis yang disebabkan perubahan kondisi sosio-historis, mobilitas sosial, dan kemajuan zaman. Dinamika pemikiran ini dipola pada rasionalitas teknis, yakni penggunaan akal terhadap hadis dalam merealisasikan ajaran Islam yang âsholeh likulli zamanin wa makaninâ dengan memilih sarana yang terbaik dalam menggapai tujuan tersebut tapi tidak keluar dari kaidah yang mu`tabarah. Konstruksi interaksi pemikiran ini dihadapkan pada maqashid dan maslahah, juga `umum al-lafzi dan khusus al-Sabab, kedua masalah ini dipolarisasi pada dinamika bahwa penjabaran dan pemahaman rasionalitas teks bersifat teknis dengan sarana dua sayap akal dan teks yang tidak beroposisi untuk sampai pada pemikiran yang flekisibel, variasi dan tidak statis.
THE LEGALITY OF DIVORCE IN THE PERSPECTIVE OF HADITH
Hasbi, Ridwan;
Hasibuan, Syafaruddin
Jurnal Ushuluddin Vol 24, No 1 (2016): Januari - Juni
Publisher : Jurnal Ushuluddin
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Cerai talak (formula for divorce) and Cerai gugat (sue for divorce) are two terms of termination of marriage bond in Indonesia. The formula of divorce is a term that coincides with a divorce coming from the will of a husband and sue for divorce is the desire of a wife to separate from her husband. Islamic Law legalizes the right of wives in cases of divorce redeem (khuluâ) and fasakh because of syiqaq. On the other side, there are signs setting the rights up, so that the given reasons to use the rights must be legal in syarâi. The reasons for the legality of divorce is a common-cause factor, so that the banning with threatening hadiths as well as those of the hadiths that say wives must obey their husbands, the wives should not hurt their husband and the wives are prisoners of husbands are all categorized into general. At another angle, there also the hadiths concerning with the status a couple husband and wife is heaven and hell for them in a household. Contextualization of hadiths that ban a wife asking for divorce without any legal cause from Syarâi, and also those of the hadiths legalize khuluâ are the realization of the conjugal lives with regards to the mandate of Allah and religious values. The facts of a wife sue for divorce to her husband are the conditions related to a confusion occurred in a household which are influenced by a variety of factors, i.g. economy, adultery, polygamy, social strata and others. A sue for divorce which is Syarâi based condition is a disagreement prolonged strife after peace held between the two sides and act endangers a wife
MEMBINGKAI AYAT-AYAT JIHAD PERANG DALAM KERUKUNAN UMAT BERAGAMA
M. Ridwan Hasbi
TOLERANSI: Media Ilmiah Komunikasi Umat Beragama Vol 1, No 1 (2009): Januari - Juni
Publisher : Lembaga penelitian dan pengabdian kepada masyrakat
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.24014/trs.v1i1.444
In the al Quran at least there are 164 verses of jihad war that led to the people to get the glory and give spirit to fight and defend of Islam presence before the non-Muslims. This paper will need to frame verses in the context of inter-religious harmony in which Muslims live in close proximity to each other in many aspects. Frame basis and the principle is the interpretation, the spirit of life that is safe and peaceful and the attitude of Muslims in view of contemporary reality
RELEVANSI AL-KHILAF AL-FIQHI DAN TOLERANSI (Analisis Toleransi Antar Umat Islam Dalam Fiqh)
M Ridwan Hasbi
TOLERANSI: Media Ilmiah Komunikasi Umat Beragama Vol 3, No 1 (2011): Januari - Juni
Publisher : Lembaga penelitian dan pengabdian kepada masyrakat
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.24014/trs.v3i1.1067
Meaning say 'ikhtilaf' and 'khilaf' be as and mutually neighboring, so fathoms a meanning,is distinctive clear a root, opinion or method that variably an one by another one. Tolerance in trouble that diperselisihkan can be done if we are not fanatical to one opinion that go againts to have Say the other. Its principle; shall respect others opinion and realises its medley possible level with another. Shall be realished that al-khilaf al-fiqhi tem of nash's grasp and gets effort for its application in human benefit
ASAL MULA PENGKHIANATAN ISTRI DALAM PERSPEKTIF HADIS MISOGINI
Ridwan Hasbi
Marwah: Jurnal Perempuan, Agama dan Jender Vol 16, No 2 (2017): Marwah
Publisher : Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.24014/marwah.v16i2.4140
Nabi Adam dan Hawa keluar dari surga dikarenakan memakan buah yang dilarang oleh Allah untuk dimakan, peristiwa itu disebabkan Hawa merayu suaminya sampai terpedaya mengikuti keinginan istri. Lalu kejadian ini dijadikan asal mula bentuk pengkhianatan istri terhadap suami yang diungkapkan Rasulullah. Pemahaman hadis secara tekstual adalah Hawa diidentikkan sebagai pengkhianat istitusi keluarga pertama dan perbuatannya ini menjadi identitas perempuan tukang pengkhianat suami sepanjang hidup manusia. Namun hadis ini harus dipahami secara kontekstual dari kata “seandainya bukan” adalah bertujuan untuk taubikh (pernyataan jelek), pengkhianat perempuan sebagai kalimat majazi bukan untuk merendahkan martabat perempuan. Ungkapan pengkhianatan dalam hadis bukan perbuatan fahishah tapi sebatas melanggar larangan Allah. Dalam konteks ini, Islam mendudukkan kaum perempuan pada posisi yang terhormat dan tidak ada namanya dosa turun temurun. Asumsi misogini dalam hadis tidak beralasan dengan mengemukan hadis-hadis kemulian perempuan dan hubungan suami istri adalah ikatan dunia akhirat.
Elastisitas Hukum Nikah dalam Perspektif Hadits
Ridwan Hasbi
Jurnal Ushuluddin Vol 17, No 1 (2011): January - June
Publisher : Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.24014/jush.v17i1.680
Nikah merupakan satu sunnah (ajaran) Rasulullah SAW yang sangat dianjurkannya, sampai beliau mengatakan “orang yang tidak mau menikah dengan tanpa alasan yang Syar`i, dimasukkan kedalam kategori bukan dari pengikutnya”. Kalau begitu posisi dari anjuran Rasulullah SAW dan larangan Tabattul (membujang) menjadikan pernikahan sebagai salah satu tanda beriman kepadanya, dan bahkan dapat menjadi salah satu upaya untuk menyempurnakan iman. Hukum nikah disaat mengacu pada hadits Nabi tidak menunjukkan pada satu ketetapan hukum, sehingga membuat nikah elastis pada wajib, sunat, mubah, makruh dan haram dalam ketetapan hukum.
Paradigma Shalat Jum’at dalam Hadits Nabi
M. Ridwan Hasbi
Jurnal Ushuluddin Vol 18, No 1 (2012): January - June
Publisher : Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.24014/jush.v18i1.700
Shalat jum‘at sebelum direkontruksi oleh ulama Mazahib seperti sekarang ini, terdapat fenomenal jika dirujuk kepada riwayat-riwayat yang menjelaskannya. Sebab ayat yang menjelaskan tentang shalat jum‘at turun di Madinah, tapi pelaksanaannya sudah ada sebelum hijrah dan saat Nabi SAW hijrah sebelum sampai ke Madinah. Penulis menemukan bahwa shalat jum‘at sebelum hijrah yang sudah dilaksanakan di Madinah dan saat Nabi SAW di Quba adalah shalat zuhur plus khutbah. Pada awalnya khutbah setelah shalat, tapi saat terjadi orang-orang meninggalkan Nabi saat khutbah dan turun ayat, maka diubah menjadi khutbah dulu baru shalat, lalu terkontruksi shalat dua rakaat. Waktu pelaksanaannya terdapat perbedaan riwayat dengan ungkapan waktu dhuha, sebelum tengah hari, saat tengah hari dan setelah matahari tergelincir, dengan esensial shalat jum‘at sama dengan shalat ‘id (hari raya). Jumlah jamaah yang menjadi wajibnya shalat tidak terdapat kesepakatan dan kewajiban bagi mukallaf sebab riwayat-riwayatnya bersifat umum dan berbeda satu dengan lainnya.
Nilai-nilai Oposisi dalam Hadis Nabawi
M Ridwan Hasbi
Jurnal Ushuluddin Vol 22, No 2 (2014): July - December
Publisher : Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.24014/jush.v22i2.733
Oposisi merupakan suatu yang sangat fenomenal dan urgen disaat instrumen bernegara sekarang ini dihadapkan kepada sistem demokrasi. Landasan nilai-nilai oposisi adalah memperbaiki yang batil, meluruskan perilaku yang keluar dari norma agama, menyanggah yang tidak benar serta mengajak kepada kebaikan dalam bentuk taushiyah. Pertumbuhan oposisi begitu pesat dan menjadi bahan pembicaraan yang dilematis antara kalangan yang mengharamkannya dengan menganggap bahwa nilai-nilai oposisi adalah suatu penghianatan, dan kalangan yang membolehkannya dengan dasar bahwa oposisi adalah kewajiban menyampaikan kebaikan serta mencegah keburukan. Dalam hadis terdapat dua arahan, yakni suruhan untuk taat serta sabar terhadap pemimpin yang keluar dari jalur kebenaran, dan suruhan untuk melakukan oposisi. Nilainilai oposisi itu terpola dalam amar ma‘ruf nahi munkar dalam sifat global dan terdapat aplikasi para khulafa al-Rashidin yang menganjurkannya. Kedua kalangan ini melandaskan pendapat mereka kepada hadis Nabawi sebagai pijakan realitas oposisi menjadi haram dan halal.
HADIS “KHAIR AL-QURUN” DAN PERUBAHAN SOSIAL DALAM DINAMIKA HUKUM
Ismail Nasution;
Ridwan Hasbi
Jurnal Ushuluddin Vol 26, No 1 (2018): January - June
Publisher : Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.24014/jush.v26i1.4042
Ungkapan Rasulullah SAW atas pengakuan kebaikan tiga generasi berkaitan dengan keimanan, penegakan hukum, dan moral mereka. Realitas generasi ini berhadapan dengan akan terjadinya suatu perubahan sosial yang berkorelasi dengan ketetapan hukum Islam. Perspektif “khair al-qurun” menunjukkan bahwa perubahan struktur sosial dan sistem yang terjadi, antara masa hidup Rasulullah SAW dengan zaman hidup Sahabat, begitu juga antara zaman Sahabat dengan zaman Tabi`in dan sesudahnya terdapat transformasi hukum. Transformasi hukum dengan transformasi sosial merupakan suatu keniscayaan dalam sebuah kehidupan manusia, baik secara individu maupun secara kolektif. Ajaran Islam yang bersandarkan pada al-Qur'an dan hadis dihadapkan pada idealisme dan realisme, juga antara stabilisme dan perubahan. Dalam pemahaman hadis “khair al-qurun” menunjukkan bahwa realisme dan perubahan diperhatikan dalam konteks wahyu, sebab manusia secara alami memiliki sifat tidak statis dalam sebuah kondisi, sebab cenderung aktif merespons sejumlah kejadian dan peristiwa yang ada di sekelilingnya. Respons inilah yang membuat hidup manusia selalu dinamis dan pada akhirnya menciptakan sejumlah gagasan dan ide-ide baru dalam rangka memenuhi harapan serta kebutuhannya
Klasifikasi Sunnah Tasyri’iyah dan Ghairu Tasyri’iyah Perspektif Pemikiran Ahmad Syah Waliyullah Al-Dahlawi
Johar Arifin;
M. Ridwan Hasbi
An-Nida' Vol 44, No 1 (2020): January - June
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyrakat
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.24014/an-nida.v44i1.12500
Sebagian ulama yang meyakini bahwa semua sunnah Nabi sebagai hukum yang mengikat sehingga semua yang Nabi harus ditaati, sehingga jika ada pihak yang tidak mengamalkan dianggap inkar sunnah atau sesat. Sedangkan ulama lain berpendapat bahwa selain Rasul, Muhammad juga manusia biasa yang besar dalam budaya dan lokalitas, sehingga hadis yang bersumber dari fitrah manusia untuk meniru Muhammad tidak wajib, karena itu bukan bentuk hukumnya. Selain itu, berbagai macam penemuan dan teknologi membutuhkan penilaian yang cukup cepat terhadap kebutuhan pemahaman hadits Nabi. Interaksi antar budaya yang berkembang dengan ajaran Islam yang bersumber dari teks, untuk kemudian tentunya berhadapan dengan fakta yang lebih berat dan rumit. Menjawab hal tersebut, al-Dahlawi menawarkan pemahamannya tentang konsep hadis dengan klasifikasi sunnah tasyri'iyyah dan ghairu tasyri'iyyah dengan kriteria masing-masing. Menurut al-Dahlawi, hadis tasyri’iyyah adalah hadis yang muncul dari posisi Nabi Saw sebagai seorang Rasul. Sedangkan hadis kategori ghairu tasyri’iyyah adalah hadis yang berasal dari sifat kemanusiaan Muhammad dan tidak wajib untuk ditiru, tapi hanya ideal untuk ditiru.