Claim Missing Document
Check
Articles

Found 30 Documents
Search

Correlation between visceral fat, muscles mass, and blood sugar levels in adults PUTU SARASWATI LAKSMI DEWI; I MADE PANDE DWIPAYANA
HANG TUAH MEDICAL JOURNAL Vol 20 No 1 (2022): Hang Tuah Medical Journal
Publisher : Universitas Hang Tuah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30649/htmj.v20i1.335

Abstract

The correlation between visceral fat levels (VF) or muscle mass and insulin resistance or type-2 diabetes mellitus has been studied extensively elsewhere, particularly in the urban-dwelling populations. The current study aimed to evaluate the association of VF or muscle mass with random blood glucose (RBG) among the rural population. A cross-sectional study was conducted in Buleleng Regency. A total of 105 samples were enrolled in the study and obtained through a systematic interview, random blood glucose measurement, anthropometry, and bioelectrical impedance analysis. Spearman’s correlation test was used to determine the correlation between visceral fat levels (VF) or muscle mass with RBG levels. A partial correlation test was used to control confounding variables (age, muscle mass, body mass index, body weight, waist circumference, hip circumference). Most of the samples (61.9%) were female, with a mean age was 53,48 ± 13,03. The statistical analysis results show VF had a significant correlation with RBG (r= 0.363, p<0.001 but neither as role of muscle mass in which the r= -0.073, p=0.461). There was no significant correlation found on the partial correlation test, between VF and RBG. In conclusion, although the correlation between VF levels and RBG was weak, the clinician should aware of the role of VF in the development of insulin resistance or diabetes mellitus type-2.
Relationship of Nutrient Intake and Physical Activity with Metabolic Conditions in Obesity Putra Sugiharta, Adhika Tri; Pande Dwipayana, I Made; Indraguna Pinatih, Gde Ngurah
Jurnal KESANS : Kesehatan dan Sains Vol 3 No 7 (2024): KESANS: International Journal of Health and Science
Publisher : Rifa'Institute

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.54543/kesans.v3i7.290

Abstract

Introduction: Obesity is a risk factor for several chronic diseases including hypertension, cardiovascular disease, type 2 diabetes mellitus (DMT2), dyslipidemia and other metabolic diseases. Although obese people are often associated with several chronic diseases, not all obese people experience these diseases. Method: Possible causes of changes to metabolically unhealthy obesity (OMTS) are associated with weight gain, aging, and unhealthy lifestyles. This study used a cross-sectional observational study design that included obese health workers in the RSUP Prof. dr. I.G.N.G Ngoerah Denpasar, the prevalence of OMS sufferers among obese people is around 30-40%. Resuld and Discussion: This study, 72 obese subjects were collected consecutively. Based on this number, the majority of male patients were 38 people (52.8%) and 34 women (47.2%). A total of 47 people (65.3%) belonged to the CSO group and 25 people (34.7%) were OMTS. The analysis showed that there was no association between total calories, protein and carbohydrate intake and metabolic conditions (p >0.05). High fat intake was significantly associated with the risk of poor metabolic conditions in obese individuals (RP=1,429, p=0.038). Low physical activity was positively significant with poor metabolic conditions in obesity (PR = 7.418, p = 0.004). Conclusion: This study shows that excess fat intake and less risky physical activity increase the incidence of OMTS in obese people. While other variables are total calories, carbohydrate and protein intake is not related to metabolic conditions
KARAKTERISTIK PENDERITA NODUL TIROID DI RSUP SANGLAH DENPASAR PERIODE JANUARI 2019 – DESEMBER 2019 Parastan, Rovie Hikari; Dwipayana, I Made Pande; Saraswati, Made Ratna; Gotera, Wira
E-Jurnal Medika Udayana Vol 12 No 4 (2023): E-Jurnal Medika Udayana
Publisher : Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24843/MU.2023.V12.i04.P10

Abstract

ABSTRAK Nodul tiroid ditandai dengan pertumbuhan sel tiroid secara abnormal yang membentuk benjolan pada kelenjar tiroid. Nodul tiroid dapat berupa tumor jinak atau ganas. Data statistik mengenai nodul tiroid di Indonesia masih sangat minim dibahas, sehingga penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteritik kasus nodul tiroid di Rumah Sakit Sanglah Denpasar periode Januari sampai Desember tahun 2019. Penelitian ini dilakukan dengan metode deskriptif menggunakan studi potong lintang dengan sampel yang sesuai dari populasi berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi. Data kemudian dianalisis menggunakan software SPSS versi 20 untuk mendapatkan karakteristik kasus nodul tiroid berdasarkan usia, jenis kelamin, fungsi tiroid, dan jenis kanker. Hasil penelitian menunjukkan kasus nodul tiroid di RSUP Sanglah Denpasar tahun 2019 terbanyak terjadi pada rentang usia 41 – 50 tahun sebesar 37,6% dan didominasi oleh perempuan (82,3%) dengan fungsi tiroid yang lebih banyak normal/ eutiroid sebanyak 82,3%. Selain itu, mayoritas kasus nodul tiroid berupa nodul jinak sebanyak 51,1% dan dilanjutkan dengan karsinoma papilar sebanyak 39,7%. Temuan ini bertujuan untuk memberikan informasi mengenai gambaran karakteristik nodul tiroid di RSUP Sanglah Denpasar tahun 2019. Sarannya perlu dilakukan penelitian lebih lanjut serta data registri yang lebih lengkap untuk mencari hubungan antara variabel karakteristik. Kata kunci : Nodul Tiroid, Karakteristik, Histopatologi.
Karakteristik Pasien Gangguan Fungsi Tiroid di RSUP Sanglah Tahun 2019 Wardana, Rr. Cattleya Allayka; Saraswati, Made Ratna; Dwipayana, I Made Pande; Gotera, Wira
E-Jurnal Medika Udayana Vol 12 No 4 (2023): E-Jurnal Medika Udayana
Publisher : Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24843/MU.2023.V12.i04.P11

Abstract

ABSTRAK Gangguan fungsi tiroid merupakan suatu kondisi dimana produksi hormon tiroid menjadi tidak seimbang. Gangguan fungsi tiroid merupakan suatu kelainan endokrin terbesar kedua setelah diabetes. Tercatat kasus bahwa 300 juta orang di dunia mengalami gangguan fungsi tiroid dan 50% diantaranya tidak menyadari kelainan tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik gangguan fungsi tiroid berdasarkan fungsi tiroid, usia, jenis kelamin, dan pola kunjungan pasien di Poli Diabetic Center RSUP Sanglah. Penelitian ini dilakukan dengan metode deskriptif menggunakan studi potong lintang. Sampel ini dipilih dari populasi berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebanyak 596 pasien mengalami gangguan fungsi tiroid di RSUP Sanglah tahun 2019 yang terdiri dari 484 (81,2%) pasien dengan hipertiroid dan 112 (18,8%) pasien dengan hipotiroid. Gangguan fungsi tiroid ini didominasi oleh rentang usia 41-50 tahun (29,9%) dengan hipertiroid lebih banyak terjadi pada usia muda yaitu 31-40 tahun (87,6%) dan 21-30 tahun (87,4%), sedangkan hipotiroid banyak terjadi pada kelompok usia tua yaitu 61-70 tahun (27,1%) dan 51-60 tahun (23,5%). Berdasarkan jenis kelamin, pasien gangguan fungsi tiroid perempuan 458 orang (76,8%) lebih banyak dibandingkan laki-laki 132 orang (23,2%) dengan hipertiroid didominasi oleh perempuan sebanyak 366 orang (75,6%) dan hipotiroid 92 orang (82,1%) merupakan perempuan. Pola kunjungan pasien dengan gangguan fungsi tiroid di RSUP Sanglah tahun 2019 didapatkan bahwa kunjungan tertinggi yaitu pada Februari 2019 (142 kunjungan). Perlu dilakukan penelitian analitik lebih lanjut untuk mengetahui hubungan antara variabel karakteristik. Kata Kunci: Hipertiroid, Hipotiroid, Karakteristik.
Profil Lipid Pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di RSUP Sanglah Denpasar Tahun 2019 Siorcani, Putu Tasha; Suastika, Ketut; Gotera, Wira; Pande Dwipayana, I Made
E-Jurnal Medika Udayana Vol 11 No 1 (2022): E-Jurnal Medika Udayana
Publisher : Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24843/MU.2022.v11.i01.P16

Abstract

Prevalensi dislipidemia dua kali lebih tinggi ditemukan pada diabetes melitus. Studi potong lintang dengan teknik consecutive sampling menggunakan data sekunder seperti data rekam medis dari pasien diabetes melitus tipe 2 di RSU Pusat Sanglah tahun 2019. Dari 138 sampel ditemukan 69.6% laki-laki dan 30.4% perempuan. Prevalensi dislipidemia pada total sampel berturut-turut yaitu hiperkolesterolemia sebesar 42%, peningkatan kolesterol LDL sebesar 75.4%, penurunan kolesterol HDL sebesar 67.4%, dan hipertrigliseridemia sebesar 54.3%. Berdasarkan analisis uji korelasi ditemukan bahwa glukosa darah puasa memiliki hubungan yang sangat lemah terhadap trigliserida (r=0.177, p=0.045), sedangkan glukosa darah puasa tidak signifikan memiliki hubungan terhadap kolesterol total, kolesterol HDL, dan kolesterol LDL (r=0.167, p=0.058; r=0.101, p=0.253; r=0.042, p=0.636). Selain itu HbA1c tidak signifikan memiliki hubungan terhadap profil lipid (r=0.050, p=0.585; r=0.080, p=0.385; r=0.048, p=0.601; r=-0.068, p=0.463). Simpulan pada penelitian ini bahwa glukosa darah puasa memiliki hubungan terhadap trigliserida, namun glukosa darah puasa tidak memiliki hubungan terhadap kolesterol total, kolesterol HDL, dan kolesterol LDL. Sementara HbA1c tidak memiliki hubungan terhadap profil lipid dari pasien diabetes melitus tipe 2 di RSU Pusat Sanglah tahun 2019. Kata kunci: Profil Lipid, Glukosa Darah Puasa, HbA1c
HUBUNGAN KADAR HBA1C DAN LAMANYA DIABETES DENGAN RASIO NEUTROFIL LIMFOSIT DARAH PADA PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE 2 DI POLIKLINIK ENDOKRIN DAN DIABETES RSUP PROF. I.G.N.G. NGOERAH DENPASAR Kartadinata, Sarah Levina; Dwipayana, I Made Pande; Saraswati, Made Ratna; Rena, Ni Made Renny Anggreni
E-Jurnal Medika Udayana Vol 12 No 3 (2023): E-Jurnal Medika Udayana
Publisher : Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24843/MU.2023.V12.i03.P09

Abstract

Penderita diabetes melitus tipe 2 (DMT2) mengalami kondisi inflamasi kronis yang apabila tidak terkontrol dengan baik, risiko terjadi komplikasi akan meningkat. Kondisi inflamasi tersebut dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya kadar glikemik, serta durasi menderita DM. Salah satu parameter kendali glikemik yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan HbA1c. Literatur menunjukkan bahwa rasio neutrofil limfosit darah dianggap sebagai salah satu parameter inflamasi dalam tubuh. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara HbA1c dan lamanya diabetes dengan rasio neutrofil limfosit darah pada pasien DMT2. Penelitian ini menggunakan metode observasional analitik potong lintang pendekatan dengan tehnik consecutive sampling. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Endokrin RSUP Prof. Dr. I.G.N.G Ngoerah Denpasar dengan tujuan mengetahui hubungan antara HbA1c, lamanya DM dengan rasio neutrofil limfosit darah. Data yang dikumpulkan kemudian dianalisis secara analitik menggunakan SPSS versi 26. Hasil analisis uji Chi square menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara HbA1c dengan rasio neutrofil limfosit darah (p<0.001) dan uji Kruskal- wallis menunjukkan lamanya DMT2 dengan rasio neutrofil limfosit darah (p=0.000). Berdasarkan dari hasil penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara HbA1c dan lamanya diabetes dengan rasio neutrofil limfosit darah pada pasien DMT2 di Poliklinik Endokrin dan Diabetes RSUP Prof Dr. I.G.N.G Ngoerah Denpasar 2022.
DIABETES INSIPIDUS PADA PASIEN DENGAN CEDERA KEPALA SEDANG S., Hantono; Gotera, Wira; Suastika, Ketut; Budhiarta, Anak Agung Gde; Saraswati, Made Ratna; Dwipayana, I Made Pande; Semadi, I Made Siswadi; Nugraha, Ida Bagus Aditya
Ganesha Medicina Vol. 4 No. 1 (2024)
Publisher : Universitas Pendidikan Ganesha

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.23887/gm.v4i1.75553

Abstract

Diabetes Insipidus (DI) adalah suatu sindrom yang ditandai dengan ekskresi urin dalam jumlah besar yang tidak normal (poliuria) disertai peningkatan asupan cairan sebagai kompensasinya (polidipsia). Hal ini disebabkan oleh penurunan sekresi (DI sentral/neurogenik) atau kerja (DI nefrogenik) dari Hormon Antidiuretik. Hormon ini diproduksi oleh neuron hipotalamus di nukleus supraoptik dan paraventrikular dan disekresikan ke sirkulasi bila ada rangsangan. Cedera kepala merupakan salah satu penyebab mortalitas dan morbiditas terbanyak pada generasi muda terutama laki-laki. Salah satu dampaknya adalah disfungsi hormonal pada hipofisis anterior dan posterior. Angka kejadian DI setelah cedera kepala berkisar 1-2,9%. Dalam kasus tertentu, keadaan ini hanya terjadi sementara namun dapat juga menjadi permanen. Dalam laporan kasus ini, dilaporkan laki-laki berusia 28 tahun dengan DI setelah mengalami cedera kepala. Pasien menjalani kraniektomi dekompresi dengan osteoplasti. Selama perawatan, pasien didiagnosa dengan Diabetes Insipidus dari gejalanya, osmolalitas urin yang rendah, osmolalitas plasma yang tinggi, dan hipernatremia, kemudian ditangani dengan rehidrasi dan pemberian injeksi vasopresin 5 IU secara intramuskular serta pemantauan ketat terhadap keseimbangan cairan setiap hari. Selama beberapa hari berikutnya, setelah keseimbangan cairan normal, vasopresin dihentikan dan keseimbangan cairan masih dalam batas normal.
Diagnostic and Management of Idiophatic Panhypopituitarism A Case Report Ida Bagus Aditya Nugraha; Komang Agus Wira Nugraha; Anak Agung Gede Budhiarta; Ketut Suastika; Wira Gotera; Made Ratna Saraswati; I Made Pande Dwipayana; I Made Siswadi Semadi
‎ InaJEMD - Indonesian Journal of Endocrinology Metabolic and Diabetes Vol. 1 No. 1 (2024): InaJEMD Vol. 1, No. 1
Publisher : PP PERKENI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Hypopituitarism is marked by decreased secretion of one, several, or all anterior or posterior pituitary hormones. A rare disorder, panhypopituitarism indicates the loss of all the pituitary hormones but often is used in clinical practice to describe a patient's deficiency in growth hormone, gonadotropins, corticotropin, and thyrotropin in whom the posterior pituitary function remains intact. Hypopituitarism may occur because of diverse etiologies and lead to substantial morbidity and mortality. Despite advances in the diagnosis and management of pituitary disorders, hypopituitarism is still associated with increased long-term cardiovascular mortality. We report a rare case of a 22-year-old boy with idiopathic panhypopituitarism. The patient has deficiency of growth hormone, gonadotropin, corticotropin, and thyrotropin, yet the underlying etiology remains unknown in this patient because of lack of imaging data. This is very challenging to do prompt diagnosis and management of panhypopituitarism. The management is needing multiple hormonereplacement therapy, based on the result of pituitary hormone laboratory examination. Prompt treatment is needed to prevent further morbidity and mortality in this patient. hypothyroidism, growth hormon
The Effect of Oral Chitosan Supplementation on Leptin Levels and HOMA-IR in Male Wistar Rats (Rattus norvegicus) with an Obesity Model Stefani, Lidwina; Pande Dwipayana, I Made; Alit Widhiartini, Ida Ayu; Made Wihandani, Desak; Bayu Mayura, I Putu
Eduvest - Journal of Universal Studies Vol. 5 No. 7 (2025): Eduvest - Journal of Universal Studies
Publisher : Green Publisher Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.59188/eduvest.v5i7.51526

Abstract

This study investigates the role of chitosan in modulating leptin and insulin levels, key hormones involved in metabolic disorders, and compares its effectiveness with orlistat, a commonly used anti-obesity drug. An experimental post-test only group design was used involving 20 healthy male Wistar rats aged 3–4 months. After a seven-day acclimation, obesity was induced through a high-fat, high-glucose diet. The rats were then divided into five groups: a positive control group (K+) receiving orlistat, a negative control (K−) receiving a standard diet, and three treatment groups receiving chitosan at 2.5% (P1), 5% (P2), and 7.5% (P3) concentrations, respectively, for 14 days. Leptin and HOMA-IR levels were measured via blood samples collected from the retro-orbital sinus. The Kruskal-Wallis test showed significant differences among groups (p<0.05). Mean leptin levels were highest in K− (5.10±0.35 ng/dL) and lowest in K+ (3.03±0.71 ng/dL), while P2 showed a notable reduction (3.71±0.32 ng/dL). HOMA-IR levels followed a similar trend, with the lowest in K+ (1.00±0.08) and significantly reduced in P2 (1.34±0.11) compared to K− (2.29±0.25). Post Hoc analysis confirmed that P2 had significantly better outcomes than K−, though not as effective as orlistat. In conclusion, chitosan—particularly at 5% concentration—can reduce leptin and HOMA-IR levels, improving insulin resistance in obesity, though orlistat remains more effective.
Effect of Porang (Amorphophallus muelleri Blume) Flour Diet on Postprandial Blood Sugar Rates and Insulin Resistance in Male Wistar Rats (Rattus norvegicus) Diabetes Mellitus Nathasia; Widhiartini, Ida Ayu Alit; Dwipayana, I Made Pande; Wahyuni, Nila; Maratni, Ni Putu Tesi; Hendrayana, Made Agus
HAYATI Journal of Biosciences Vol. 33 No. 1 (2026): January 2026
Publisher : Bogor Agricultural University, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.4308/hjb.33.1.95-102

Abstract

Medical nutrition therapy is essential in diabetes management, especially as diabetes is often linked with aging. Porang tuber flour contains glucomannan, a compound with potential glucose-lowering effects. This study aimed to evaluate the effect of porang flour feeding frequency on 2-hour postprandial blood glucose (2hPPBG) and HOMA-IR in diabetic rats. Using a quasi-experimental pre-test and post-test control group design, 21 male Wistar rats were induced with diabetes via streptozotocin and nicotinamide, then randomly assigned to three groups: G0 (control, given aquadest), G1 (porang flour 300 mg/kg BW daily), and G2 (porang flour 300 mg/kg BW every two days). Five rats died during treatment. Wilcoxon test results showed a difference in 2hPPBG levels between each group before and after treatment. There was no decrease in G0 (p = 0.893), but a decrease in G1 (p = 0.043) and G2 (p = 0.028). The difference between HOMA-IR before and after treatment did not decrease in groups G0 (p = 0.345), G1 (p = 0.138), and G2 (p = 0.249). Post hoc test for 2hPPBG levels between groups showed a significant difference between G0 and G1 (p<0.001), a significant difference between G0 and G2 (p<0.001), and no significant difference between G1 and G2 (p = 0.135). One-way ANOVA test of HOMA-IR showed no significant difference between G0, G1, and G2 (p = 0.148). It was concluded that porang flour can reduce 2hPPBG, but not HOMA-IR. There was no difference in 2hPPBG levels between administering porang flour daily and every other day.