Claim Missing Document
Check
Articles

Found 21 Documents
Search

Membangun Budaya Hukum Persidangan Virtual (Studi Perkembangan Sidang Tindak Pidana via Telekonferensi) Dewi Rahmaningsih Nugroho; Suteki Suteki
Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia Volume 2, Nomor 3, Tahun 2020
Publisher : PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS DIPONEGORO

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14710/jphi.v2i3.291-304

Abstract

Premis dasar yang diusulkan dalam penelitian ini didasarkan pada fakta-fakta perkembangan beberapa peraturan dalam pelaksanaan pengadilan selama pandemi Covid-19. Berdasarkan premis ini, penelitian ini berupaya mengeksplorasi aspek budaya hukum dalam melakukan uji coba virtual. Penelitian ini mempertanyakan bagaimana perkembangan sidang telekonferensi di Kantor Kejaksaan Kota Semarang dan bagaimana membangun budaya uji coba virtual di masa depan. Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif dan pendekatan penelitian sosial-hukum. Penelitian ini menyimpulkan pertama, Pengembangan uji coba virtual di Kantor Kejaksaan pada umumnya dan Kantor Kejaksaan Kota Semarang khususnya selain menjadi kebutuhan selama periode Pandemi Covid-19 juga dapat dilihat sebagai akumulasi dari perkembangan teknologi di Bidang informasi. Ada tiga faktor yang saat ini penting untuk dipertimbangkan dalam konteks budaya hukum antara lainmasalah teknis-empiris, komponen faktor non-hukum dalam bentuk sumber daya manusia, ketersediaan fasilitas dan infrastruktur, sampai kebiasaan pengambilan keputusan terbukti mempengaruhi pengoperasian hukum pada tingkat yang konkret. Jadi apa yang harus dibenahi untuk menyambut persidangan virtual di masa depan adalah mempersiapkan budaya hukum selain mempersiapkan struktur dan substansi hukum.
INDEPENDENSI PENILAIAN AMDAL SEBAGAI WUJUD PERLINDUNGAN TERHADAP LINGKUNGAN HIDUP Ivan Wagner; Suteki Suteki
Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia Volume 1, Nomor 3, Tahun 2019
Publisher : PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS DIPONEGORO

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (173.564 KB) | DOI: 10.14710/jphi.v1i3.404-424

Abstract

Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Amdal) telah menjadi instrumen perlindungan lingkungan hidup dalam UU No 32 Tahun 2009. Amdal selalu dikaitkan dengan sifat yang independen, ilmiah, objektif, bahkan netral. Hal demikian wajib dipertanyakan berkaitan dengan kandungan nilai-nilai inti kehidupan yang sering diabaikan, terutama karena menyebabkan konflik, bahkan membawa dampak rusaknya lingkungan hidup dan jatuhnya korban. Berdasarkan hal tersebut di atas, permasalahan yang diangkat adalah: Pertama, Mengapa penilaian Amdal perlu dilakukan secara independen?; dan Kedua, Bagaimana konsep ideal perencanaan berbasis independensi dalam rangka perlindungan terhadap lingkungan hidup? Penelitian menggunakan stand point paradigma critical theory et.al dan perspektif sosio-legal. Penelitian menghasilkan kesimpulan bahwa independensi penilaian Amdal yang semula dimaksudkan sebagai upaya menghilangkan masuknya kepentingan politik dan kepentingan partikular lainnya dari pejabat pemberi izin lingkungan, merupakan sebatas “mitos” dan “ilusi”. Hal demikian memberi peluang untuk digunakan sebagai alat justifikasi normatif terhadap independensi, objektivitas dan kepakaran, dengan memanfaatkan dikotomi harfiah dan skalar antara kata tergantung/menjadi bagian (dependence) dengan tidak bergantung/terpisah (independence), untuk menutup-nutupi peran kekuasaan. Kemudian perlu dirumuskan konsepsi perencanaan dan penilaian dampak lingkungan yang mengusung pendekatan relasional, berbasiskan etika kepedulian, dan sentralitas dari kebutuhan rakyat itu sendiri yang menumbuhkan independensi/otonomi dan bukannya merusak nilai-nilai inti kehidupan.
REKONSTRUKSI PROGRAM PERLINDUNGAN DASAR MELALUI PROGRAM PERTANGGUNGAN WAJIB KECELAKAAN PENUMPANG DAN LALU LINTAS Mertha Hapsari; Suteki Suteki
Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia Volume 1, Nomor 1, Tahun 2019
Publisher : PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS DIPONEGORO

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (100.75 KB) | DOI: 10.14710/jphi.v1i1.64-77

Abstract

Pemerintah memberikan perlindungan dasar bagi korban kecelakaan lalu lintas melalui Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1964 tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang jo Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965 dan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1964 tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Lalu Lintas Jalan jo Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1965. Kedua Undang-Undang tersebut dibentuk sebagai langkah awal pemberian jaminan sosial kepada masyarakat pengguna lalu lintas. Namun perlindungan yang diberikan bersifat third party liability atau tanggung jawab hukum pihak ketiga, sehingga tidak semua warga Negara yang berada di jalan dan mengalami kecelakaan lalu lintas terjamin menurut Undang-Undang. Permasalahan yang dibahas dalam tesis ini mengenai kedudukan Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang dan Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Lalu Lintas Jalan dalam sistem jaminan sosial dan bagaimana Undang-Undang ini memberikan perlindungan baik yang sudah diatur maupun belum diatur kepada korban kecelakaan lalu lintas dengan berbasis nilai keadilan. Dalam penelitian ini menggunakan metode pendekatan Socio-legal dengan spesifikasi penelitian deskriptif analitis, penulis berusaha menjelaskan mengenai kedudukan dana pertanggungan wajib kecelakaan penumpang dan lalu lintas dalam sistem jaminan sosial nasional dan menemukan konstruksi ideal perlindungan dasar bagi korban kecelakaan lalu lintas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tujuan awal dibentuknya Undang-Undang untuk melindungi seluruh masyarakat Indonesia belum terpenuhi, sehingga diperlukan rekonstruksi agar perlindungan dasar kepada korban kecelakaan lalu lintas dapat dilaksanakan berdasar nilai keadilan sosial.Kata kunci : Perlindungan Dasar; Kecelakaan Lalu Lintas; Rekonstruksi.
REKONSTRUKSI KEBIJAKAN PUBLIK TENTANG IZIN PINJAM PAKAI KAWASAN HUTAN YANG BERBASIS SUSTAINABLE DEVELOPMENT Tutut Ferdiana Mahita Paksi; Suteki Suteki; Tity Wahju Setiawati
Diponegoro Law Journal Vol 6, No 3 (2017): Volume 6 Nomor 3, Tahun 2017
Publisher : Program Studi S1 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (607.148 KB)

Abstract

Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan merupakan izin yang diajukan sebagai tanda penggunaan lahan kawasan hutan berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Dewasa kini, praktik izin pinjam pakai kawasan hutan banyak menuai permasalahan. Pertama, ditinjau dari segi yuridis terdapat celah permasalahan penetapan batas kawasan hutan, alih fungsi lahan hutan, dan dispensasi penggunaan hutan lindung untuk pertambangan terbuka yang menyebabkan disahkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 menjadi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 karena alasan kegentingan yang memaksa menurut Presiden. Kedua, permasalahan teknis pada upaya praktik penerbitan izin pinjam pakai kawasan hutan yang tidak clean and clear antar instansi Pemerintah Daerah ditinjau dari kasus yang terjadi di Kecamatan Sajingan Besar, Sambas, Kalimantan Barat dan kasus pendirian pabrik semen dan penambangan batu kapur PT. Semen Indonesia di Kecamatan Gunem, Rembang, Jawa Tengah.Permasalahan di atas diuraikan berdasarkan telaah pendekatan socio-legal sehingga termasuk dalam jenis penelitian non-doktrinal. Data penelitian diperoleh melalui media massa, hasil wawancara dengan informan, dan telaah peraturan perundang-undangan. Metode penentuan informan dilakukan secara purposive sampling untuk mendapatkan key informan dan penetapan informan dengan menggunakan teknik snowball sampling.  Pengolahan dan analisis data dilakukan dengan menggunakan teknik triangulasi data. Sementara metode penyimpulan penelitian dilakukan secara induktif.Hasil penelitian menunjukkan bahwa permasalahan praktik izin pinjam pakai kawasan hutan dilatarbelakangi oleh tidak harmonisnya antar peraturan perundang-undangan. Selain itu, faktor utama penyebab tidak harmonisnya regulasi dan praktik didasarkan pada penyalahgunaan kewenangan penguasa untuk mementingkan kebutuhan ekonomi daripada keseimbangan ekologi. Pola rekonstruksi yang ditawarkan adalah pemahaman sustainable development yang mengacu pada integrasi pilar ekonomi, pilar ekologi, dan pilar sosial.
PENYIDIKAN TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA PELECEHAN SEKSUAL OLEH PENYIDIK UNIT PPA SATUAN RESKRIM BERBASIS KEADILAN RESTORATIF DI KABUPATEN KENDAL Agil Widiyas Sampurna; Suteki Suteki
LAW REFORM Vol 12, No 1 (2016)
Publisher : PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (142.945 KB) | DOI: 10.14710/lr.v12i1.15847

Abstract

Kasus pelecehan seksual seperti persetubuhan dan pencabulan yang terjadi di kabupaten Kendal sudah semakin marak dan mengkhawatirkan karena sudah sangat memungkinkan tindak pidana tersebut dilakukan oleh anak. Hal tersebut terjadi karena mudahnya akses pornografi melalui internet yang kemudian ditiru dan dipraktekkan oleh anak tersebut. Hal itu terbukti dengan adanya anak dibawah umur 12 (dua belas) tahun melakukan pelecehan seksual di kabuapten Kendal pada tahun 2015 dan akhirnya anak tersebut di vonis putusan pidana penjara oleh hakim, dimana hal tersebut tidak sesuai dengan sistem peradilan pidana anak. Sehingga, perlu dilakukan terobosan hukum dalam sistem peradilan pidana yang ada khususnya penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian sebagai garda terdepan dalam penaganan tindak pidana berkaitan dengan anak. Metode pendekatan yang digunakan penulis adalah pendekatan Socio-Legal Research, sebagai suatu pendekatan alternatif yang menguji studi doktrinal terhadap hukum. Domain tersebut terdiri dari, Mengapa penyidikan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana pelecehan seksual oleh penyidik unit PPA cenderung mengikuti penyidikan konvensional dan tidak berbasis keadilan restoratif di kabupaten Kendal. Dan Bagaimana dampak dari penyidikan tersebut, serta Bagaimana konsep baru penyidikan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana pelecehan seksual oleh penyidik unit PPA yang berbasis keadilan restoratif. Hasil peneltian bahwa penyidikan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana pelecehan seksual oeh penyidik unit PPA cenderung mengikuti penyidikan konvensional karena ada alasan yang mendorong baik secara internal maupun eksternal, dampaknya dapat mengenai anak sebagai pelaku tindak pidana pelecehan seksual, aparat penegak hukum yang terlibat dalam perkara tersebut, dan hukum acara terkait proses penanganan anak sebagai pelaku tindak pidana pelecehan seksual khususnya dalam penyidikan. Konsep baru tentang penyidikan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana pelecehan seksual oleh penyidik unit PPA yang berbasis keadilan restoratif, yaitu melalui sistem penegakan hukum satu atap/one roof enforcement system (ORES) dengan beberapa persyaratan yang harus diperhatikan sehingga penyidik unit PPA dapat menerapkan konsep baru penyidikan melalui sistem tersebut.
PENERAPAN DISKRESI OLEH PETUGAS LEMBAGA PEMASYARAKATAN PEREMPUAN KELAS II A, SEMARANG: (TELAAH PARADIGMA KONSTRUKTIVISME TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NO. 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN) Otniel Yuristo Yudha Prawira; Suteki Suteki
LAW REFORM Vol 12, No 1 (2016)
Publisher : PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (115.22 KB) | DOI: 10.14710/lr.v12i1.15843

Abstract

Perempuan memiliki peranan untuk menerima zat anak, mengandung anak, melahirkan anak, menyusui anak. Hanya saja perempuan juga dapat kehilangan hak kemerdekaannya sebagai seorang manusia karena kesalahan yang disebabkan oleh situasi tidak terduga, berada di waktu dan tempat yang tidak tepat ataupun karena kekhilafannya. Dan ironisnya adalah perempuan tersebut sedang hamil (bahkan hingga melahirkan) ataupun menyusui anaknya dalam keadaan sedang menjalani hukuman hilang kemerdekaan dalam Lembaga Pemasyarakatan. Kriteria pola bangunan jauh dari kata ideal, kelebihan kapasitas narapidana, serta minimnya peraturan perundangan yang secara spesifik mengatur bagaimana peran Petugas Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Kelas II A terhadap pembinaan narapidana perempuan yang hamil dan/atau menyusui adalah faktor-faktor yang menyatakan bahwa diskresi sudah dapat dilakukan. Namun, minimnya pengetahuan dan pengalaman petugas lapas terhadap diskresi serta disintegrasi antar anggota tim pengamat pemasyarakatan merupakan hambatan utama dalam membina narapidana hamil dan/atau menyusui.
IMPLIKASI KEBIJAKAN FORMULASI PENGGUNAAN ALOKASI DANA BAGI HASIL CUKAI TEMBAKAU TERHADAP PROGRAM PEMBINAAN LINGKUNGAN SOSIAL Suteki Suteki
LAW REFORM Vol 13, No 2 (2017)
Publisher : PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (154.982 KB) | DOI: 10.14710/lr.v13i2.16160

Abstract

Analisis terhadap hubungan hukum dan kemiskinan tidak dapat dilepaskan dari adanya konsep atau model bekerjanya hukum dalam masyarakat. Bertitik tolak dari batasan model yang tidak dikemukakan oleh Seidman, dapat diketahui dalam peranan hukum dalam mengubah dan mengarahkan perilaku atau pola-pola tingkah laku pemegang peran, dalam hal ini adalah warga masyarakat. Apabila perubahan perilaku ini dapat dilaksanakan maka hukum dalam bekerjanya dapat berfungsi sebagai sarana untuk merekayasa masyarakat (a tool of social Engineering). Dengan demikian pada tingkatan tertentu diharapkan hukum dapat menanggulangi bahkan menghapuskan kemiskinan. Berdasarkan UU No. 39 Tahun 2007 tentang Cukai, pasal 66A ayat (1), salah satu  tujuan bagi hasil cukai  pembinaan industri, pembinaan lingkungan sosial. Pendapatan cukai tentu saja tidak lepas dari jerih payah para karyawan/buruh. Setiap hari sejak subuh para buruh/karyawan sudah berangkat kerja menuju brak-brak rokok untuk membuat lintingan batang per batang. Karena itu, pemerintah daerah perlu memperjuangkan konsep regulasi teknis untuk memikirkan nasib buruh/karyawan. Jika dilihat dari tingkat kesejahteraan, kehidupan para buruh tentu masih belum seluruhnya layak. Karena itu, pemerintah kabupaten perlu memprioritaskan nasib para buruh dalam regulasi di tingkat teknis dalam pengelolaan dana bagi hasil cukai tersebut. Melakukan perbaikan nasib buruh dengan cara: (1) pemberian beasiswa bagi putra-putri buruh, (2) memberikan tambahan penghasilan (tunjangan) bagi para pendidik yang mengelola lembaga pendidikan swasta yang kebanyakan berasal dari keluarga buruh, (3) membangun sarana dan prasarana pendidikan, (4) pemberian pelayanan hibah atau kredit lunak, (5) peningkatan jaminan kesehatan, (6) peningkatan sarana dan prasarana publik yang bermanfaat baik secara langsung atau tidak langsung terhadap produktivitas pabrik-pabrik penghasil cukai, serta (7) pemberian subsidi perumahan, dana rehab atau bedah rumah bagi para buruh yang tidak memiliki rumah atau memiliki rumah yang tidak layak huni.
FUNGSI PENGAWASAN OLEH INSPEKTORAT PENGAWASAN DAERAH BERBASIS PENGADUAN MASYARAKAT DALAM PERSPEKTIF HUKUM PROGRESIF Dian Trisusilowaty; Anggita Doramia Lumbanraja; Suteki Suteki
LAW REFORM Vol 15, No 1 (2019)
Publisher : PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (136.063 KB) | DOI: 10.14710/lr.v15i1.23353

Abstract

Inspektorat Pengawasan Daerah (Itwasda) bertugas melakukan pengawasan internal di lingkungan Kepolisian Daerah dan juga bertugas menerima aduan masyarakat yakni dalam bentuk informasi, keluhan, ketidakpuasan dan atau penyimpangan atas kinerja Kepolisian Daerah guna mendapatkan penyelesaian dan kepastian hukum. Penelitian ini mengkaji perspektif Hukum Progresif mengenai fungsi pengawasan preventif oleh Inspektorat Pengawasan Daerah melalui aduan masyarakat di lingkungan Kepolisian Daerah, menggunakan metode penekatan penelitian socio-legal dengan analisa kualitatif. Faktor pendorong pelaksaanaan pengawasan: adanya koordinasi dan kerjasama yang baik antar satuan fungsi, Struktrual Kepolisian berjenjang yang bersifat mutlak, dan dukungan masyarakat terhadap keberadaan Itwasda. Faktor penghambat pelaksanaan fungsi pengawasan adanya kewenangan Itwasda yang terbatas, penerimaan aduan masyarakat yang tidak satu pintu, tidak seimbangnya jumlah sumber daya pengawas, pengawasan terhadap rekan sejawat dan kurangnya pemahaman masyarakat terhadap mekanisme pengaduan. Konsep fungsi pengawasan yang ditawarkan agar lebih mampu mencegah tindakan indisipliner anggota kepolisian berbasis aduan masyarakat yaitu, perlu adanya mekanisme pengaduan masyarakat satu pintu, penggabungan penyidik dari beberapa satuan fungsi, komputerisasi pengaduan dan perlu ada Hukum Acara Pidana khusus bagi Aparat Penegak Hukum.
HEGEMONI OLIGARKI DAN AMBRUKNYA SUPREMASI HUKUM Suteki Suteki
CREPIDO Vol 4, No 2 (2022): Jurnal Crepido November 2022
Publisher : Bagian Dasar-Dasar Ilmu Hukum & Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14710/crepido.4.2.161-170

Abstract

Hukum, demokrasi dan hak asasi manusia mempunyai hubungan yang bersifat piramidal. Baik buruknya citra negara hukum akan memengaruhi perwujudan demokrasi. Sementara itu, supremasi hukum merupakan suatu prinsip yang harus diutamakan dalam penyelenggaraan negara hukum. Supremasi hukum dapat ambruk oleh dominasi atau hegemoni kekuasaan baik dari aspek penguasa pemerintahan, pengusaha hingga partai politik. Studi dalam perspektif hukum dan masyarakat ini penting untuk memahami bagaimana hubungan implikatif antara hegemoni oligarki terhadap supremasi hukum di negara demokrasi Indonesia tersebut. Hasil studi menunjukkan bahwa ketika parpol seakan menganut sistem oligarki maka terjadilah pembungkaman suara rakyat hingga timbul rasa apatis di sebagian besar kalangan masyarakat terhadap politik itu sendiri. Pada akhirnya, oligarki kekuasaan dapat menyebabkan collaps-nya negara hukum dan dengan sendirinya prinsip-prinsip demokrasi akan mati. Ketika oligarki kekuasaan muncul, mesin demokrasi pun sebenarnya telah mengalami senjakala. Pertanyaan tentang “How Democracies Die” dengan demikian sudah terjawab. Jalan keluar mengurangi hegemoni oligarki hingga supremasi hukum terwujud ialah menerapkan sistem hukum berkeadilan ala Islam dengan prinsip: tidak boleh dipengaruhi oleh rasa suka atau tak suka, kawan atau lawan, dekat atau jauh. Selain itu, tidak boleh dipengaruhi oleh rasa kasihan sehingga berakibat tidak menjalankan hukum terhadap pelaku kriminal, serta hukum berlaku untuk semua.
Bekerjanya Hukum Pendirian Bangunan di Garis Sempadan Sungai Babon Offi Jayanti; Suteki Suteki
Kanun Jurnal Ilmu Hukum Vol 22, No 2 (2020): Vol. 22, No. 2, Agustus 2020
Publisher : Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24815/kanun.v22i2.17025

Abstract

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui penyebab terjadinya pelanggaranpada sempadan Sungai Babon. Idealnya sempadan sungai berfungsi untuk menjaga kelestari-an, fungsi dan manfaat sungai dari aktivitas yang berkembang di sekitarnya. Keberada-an ruang yang terbatas dan minimnya pemahaman masyarakat disekitar Sungai Babon menyebabkan sebagian masyarakat memanfaatkan lahan sempadan Sungai Babon untuk lahan pembangunan industri dan permukiman serta lahan pertanian. Metode penelitian ini adalah socio-legal research, dalam penelitian ini ada tahapan implementasi atau penerapan hukum di lapangan (law in action). Spesifikasi pada penelitian ini ialah deskriptif analitis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pelanggaran Pasal 22 Permen PUPR No. 28/PRT/M/2015 atas pendirian bangunan di sempadan Sungai Babon, hal ini karena pemanfaatan batas Sungai Babon tidak sesuai sebagaimana diatur dalam Pasal 22 Permen PUPR No. 28/PRT/M/2015. Dampak dari pendirian bangunan di perbatasan Sungai Babon meliputi penurunan kualitas air sungai, peningkatan gerus-an tepian sungai, dan mengurangi jumlah debit air. Strategi untuk mengendalikan dan mengawasi pemanfaatan ruang dilakukan melalui penetapan rencana tata ruang dalam bentuk dokumen rencana tata ruang dan peraturan zonasi dalam peraturan daerah, penyaringan penerbitan izin pembangunan, memberikan insentif dan disinsentif, pembe-rian saknsi, pelatihan dalam kontrol, pengawasan dan kontrol kepada pemangku kepentingan. Law Enforcement of Establishment of Building in the Border Line of Babon River This study aims to determine the cause of violations on the border of the Babon River. Ideally, the border of the river functions to maintain the sustainability, function and benefit of the river from the activities that develop around it. The existence of limited space and the lack of understanding of the community around the Babon River causes some people to use the Babon River border land for industry, settlement, and agricul-tural. The study uses the socio-legal research method, by conducting research at the stage of implementation or application of law (law in action). The specifications in this study are analytical descriptive. The results showed that there was a violation of Article 22 of PUPR Regulation No. 28/PRT/M/2015 for the construction of buildings on the border of the Babon River because the utilization of the river boundary is not appropriate as regulated in the regulation. Impacts of building construction on the Babon River border include a decrease in river water quality, increased scouring of river banks, and reduce the amount of aquatic life. Strategies to control and supervise spatial use are carried out through the establishment of spatial plans in the form of spatial planning documents and zoning regulations in regional regulations, screening the issuance of development permits, providing incentives and disincentives, providing sanctions, providing training in supervision and control to stakeholders.