Claim Missing Document
Check
Articles

Found 18 Documents
Search

PROBLEMA PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA Zul Akli
JOURNAL OF LAW AND GOVERNMENT SCIENCE Vol 4, No 1 (2018): April 2018
Publisher : Universitas Ubudiyah Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Korupsi merupakan warisan birokrasi orde lama dan orde baru yang berwatak korup hingga sampai saat ini walaupun sudah ada agenda reformasi, mental korup tetap ada pada birokrasi tersebut, karena yang menguasai birokrasi masih bersumber pada kekuatan yang sama dan tak dapat dipungkiri lagi sudah menjalar luas kedalam tubuh aparat penegak hukum dan system peradilan. Korupsi sudah dianggap budaya yang sulit dihilangkan sehingga dapat menghambat pembangunan dan membuat mental bangsa menjadi lemah serta dapat menciptakan pemerintah yang kotor yang cenderung memperkaya diri sendiri tampa memikirkan nasib rakyat.Kata kunci: tindak pidana, korupsi
Pelaksanaan Hak Cuti Menjelang Bebas bagi Warga Binaan(Studi Penelitian di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Lhokseumawe Yeni Fakhriati; Zul Akli; Joelman Subaidi
JURNAL ILMIAH MAHASISWA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MALIKUSSALEH Vol 5, No 1 (2022): Januari
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29103/jimfh.v5i1.5643

Abstract

Lembaga Pemasyarakatan merupakan tempat untuk melaksanakan proses pembinaan bagi Warga Binaan yang nantinya warga binaan tersebut siap untuk kembali ke lingkungan masyarakat dan tidak mengulangi tindak pidananya lagi. Dalam menjalani masa pidana di Lembaga Pemasyarakatan, Undang-Undang No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan menjamin hak-hak Warga Binaan mengenai hak mendapatkan Cuti Menjelang Bebas. Oleh karena itu peneliti ingin meneliti bagaimana proses Pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas yang dilakukan Di Lembaga Pemasyarakatan terhadap warga binaan Cuti Menjelang Bebas dan hambatan serta upaya dalam Pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas Di Lembaga Pemasyarakatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menjelaskan proses Pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas yang dilaksankan Di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Lhokseumawe terhadap warga binaan Cuti Menjelang Bebas dan hambatan serta upaya dalam Pelaksanaannya. Metode ini menggunakan metode penelitian yuridis empiris yaitu penelitian yang dilakukan dengan mengumpulkan data primer secara langsung dari objek penelitian melalui tahapan wawancara dengan informan dan responden yang berhubungan dengan objek penelitian. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Lhokseumawe dilaksanakan berdasarkan peraturan dan juga didasarkan peraturan Menteri Hukum dan HAM No.M.01.PK.04.10 Tahun 2007 jo peraturan Menteri Hukum dan HAM No.10 Tahun 2020. Dalam aturan tersebut dijelaskan bahwa pemberian hak cuti menjelang bebas merupakan alternatif terakhir jika hak-hak yang lain tidak didapatkan oleh warga binaan dengan persyaratan sudah menjalani 2/3 masa pidananya,sudah berkelakuan baik serta ada rekomendasi daari pihak pengawas warga binaan tersebut. Di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Lhokseumawe dari Thaun 2020 sampai 2021 hanya ada 3 orang warga binaan yang mendapatkan cuti menjelang bebas, sedangkan yang sudah menjalani 2/3 masa pidananya yaitu 96 orang warga binaan. Hambatan dalam pelaksanaan pemberian cuti menjelang bebas yaitu tidak adanya penjamin, warga binaan tidak memenuhi persyaratan, dan kurang optimalnya dalam sosialisasi dari pihak Lembaga Pemasyarakatan. Disarankan kepada Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Lhokseumawe agar dapat lebih mengoptimalkan proses Pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas bagi Warga Binaan seperti pentingnya sosialisasi agar warga binaan mengetahui dalam pengajuan Cuti Menjelang Bebas harus ada penjamin dan juga Warga Binaan mengetahui keberadaan hak-haknya.
ANALISIS YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA TERORISME YANG DILAKUKAN OLEH ANAK EDY RENTA SEMBIRING; Zul Akli; Johari J
JURNAL ILMIAH MAHASISWA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MALIKUSSALEH Vol 4, No 3 (2021): Oktober
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29103/jimfh.v4i3.5179

Abstract

Munculnya anak-anak pelaku terorisme tidak diragukan lagi mengejutkan dan membuka mata masyarakat sebagai pelaku kejahatan terorisme. Kemandirian anak tidak diragukan lagi menjadi alasan pemberian sanksi terhadap anak-anak yang melakukan kejahatan teroris.Setiap Anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari keterlibatan dalam sengketa bersenjata; keterlibatan dalam kerusuhan sosial; keterlibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur Kekerasan; pelibatan dalam peperangan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pertanggungjawaban atas tindak pidana terorisme yang dilakukan oleh anak di bawah umur, berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Teroris, dan untuk mengetahui prosedur penanganan tindak pidana terorisme yang dilakukan oleh anak di bawah umur. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Sifat penelitian yang digunakan adalah deskriptif analisis mengarah kepada penelitian hukum yuridis normatif. Sumber data yang diperoleh dalam penelitian ini bersumber dari data Sekunder. Penelitian ini menggunakan studi dokumen. Analisis bahan hukum merupakan kegiatan dalam penelitian yang berupaya melakukan kajian telaah terhadap hasil pengolahannya data yang dibantu dengan teori-teori yang telah didapat sebelumnya Tanggung jawab pelaku tindak pidana terorisme yang dilakukan oleh anak adalah tindak pidana terorisme, dan pidana minimum khusus yang dijelaskan dalam UU No. 6 tidak berlaku. Terkait pemberantasan tindak pidana terorisme, pada tanggal 15 tanggal 15 tahun 2003, anak yang menjadi korban tindak pidana terorisme berhak atas santunan atau santunan berdasarkan Pasal 36 UU No.3. 15th, 2003. Undang-Undang Peradilan Anak, jika seorang anak usia 12-18 tahun terlibat kejahatan yang diancam pidana mati atau seumur hidup, maksimal hukuman yang dapat dijatuhkan adalah 10 tahun. Beberapa anak yang terlibat dalam kasus terorisme ditempatkan di Lapas / Rutan (LP). Walaupun pengelolaannya berbeda dengan Lapas dewasa, secara struktural bangunan fisik mereka tinggal dalam satu bangunan fisik serupa berada dalam satu bangunan fisik yang sama, Kompleks Lapas dewasa. Masih terkait proses penahanan, anak-anak yang terlibat kasus terorisme biasanya dijauhkan dari orang tua atau anggota keluarganya yang biasanya bukan berasal dari Jabodetabek. Hal ini tentu menyulitkan orang tua untuk menjenguk anaknya.
Pemberian bantuan hukum oleh posbakum kepada masyarakat kurang mampu dalam perkara pidana Nelsa Rinanda; Sumiadi S; Zul Akli
JURNAL ILMIAH MAHASISWA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MALIKUSSALEH Vol 4, No 2 (2021): April
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29103/jimfh.v4i2.4129

Abstract

The Government of Aceh launched a legal aid program for underprivileged communities to protect and provide assistance to disadvantaged people in Aceh who are facing legal problems. Legal assistance for underprivileged people has been mandated by Law Number 16 of 2011, Concerning Legal Aid. Aceh Qanun Number 8 of 2017 and Governor Regulation Number 10 of 2019 are local regulations issued to strengthen efforts to provide legal assistance to underprivileged communities. But in reality, the provision of legal aid to underprivileged people at the Lhokseumawe Class 1B District Court still experiences many obstacles, especially from Posbakum as the party that has provided legal assistance, but does not get assistance fees and other constraints. The formulation of the problem in this research is what are the obstacles faced by the Legal Aid Post to provide legal assistance to underprivileged people in criminal cases at the Lhokseumawe Class 1 B District Court and what efforts are made by the Legal Aid Post when overcoming obstacles to the implementation of providing legal aid to underprivileged people in criminal cases at the Lhokseumawe Class 1B District Court. This type of research is an empirical juridical research, namely an integrative and conceptual method of analysis to identify, process and analyze documents to understand the meaning, significance, and relevance that produces descriptive data in the form of written or spoken words from the people or observed behavior. The results showed that the obstacles faced by Posbakum in providing legal assistance to the underprivileged were the delay in receiving the indictment documents submitted by the court for the Note of Defense, the lack of budget, and psychological pressure experienced by the defendant from the start of the BAP to the ongoing trial and the lack of public understanding of the existence of legal aid provided by the State. Efforts made in overcoming obstacles to the implementation of providing legal aid to the underprivileged are requesting an indictment letter from the Bhakti Keadilan Legal Institute, requesting an allocation of funds for the implementation of legal aid for underprivileged people, providing moral support to the defendant and increasing socialization efforts about assistance Law from the State to the people. It is recommended that the Regional Government and the Aceh DPR be allocated funds to Posbakum to make it more effective and efficient in providing legal assistance to underprivileged people.
PENGAWASAN PEMBEBASAN BERSYARAT TERHADAP TAHANAN KOTA PADA MASA PANDEMI COVID-19 Nur Hidayah; Zul akli; Malahayati M
JURNAL ILMIAH MAHASISWA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MALIKUSSALEH Vol 5, No 1 (2022): Januari
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29103/jimfh.v5i1.5359

Abstract

Abstract Supervision according to Victor M. Situmorang and Jusuf Juhir is every effort and action in order to know the extent to which the implementation of tasks carried out according to the provisions and objectives to be achieved. The duties and functions of Community Guidance are regulated in several regulations including, namely the Decree of the Minister of Justice of the Republic of Indonesia Number M.01-PK.04.10 of 1998 concerning Duties, Obligations, and Conditions for Community Guidance, RI Law Number 11 of 2012 concerning the Judicial System Child Crime, regarding the duties and functions of Community Guidance and adaptations carried out by Community Advisors during the Covid-19 pandemic. The research objectives in this study were to find out and explain how to monitor conditional release of city prisoners during the Covid-19 pandemic, and to find out and explain how the consequences of the parole policy on city prisoners in the community during the Covid-19 pandemic and efforts the government did in handling the conditional release of city detention during the Covid-19 pandemic. The research method used in this research is: This type of juridical normative research. With a statutory approach, and a conceptual approach. The nature of the research in this thesis is descriptive research. And the form of this research research is a descriptive form. Based on the results of the study, it can be seen that in supervising convicts who get parole, the government carries out various programs to deal with convicts who get parole during the COVID-19 pandemic, namely by collaborating between community counselors and the community and involving the families concerned to anticipate when things go wrong. Keywords : Surveillance, parole, Covid-19 pandemic
PERANAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN TERHADAP PENGOBATAN NARAPIDANA NARKOTIKA (Studi Penelitian Di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Lhoksukon) Natasya Mauliza; Zul Akli; Jumadiah J
JURNAL ILMIAH MAHASISWA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MALIKUSSALEH Vol 4, No 3 (2021): Oktober
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29103/jimfh.v4i3.5279

Abstract

Pengobatan terhadap narapidana narkotika merupakan upaya yang harus dilakukan untuk para korban penyalahgunaan narkotika agar terlepas dari pengaruh zat berbahaya tersebut. Pelaksanaan pengobatan terhadap narapidana penyalahgunaan narkotika diatur dalam pasal 54 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui peranan lembaga pemasyarakatan kelas II B Lhoksukon dalam memberikan pengobatan terhadap narapidana narkotika. Penelitian ini adalah penelitian yuridis empiris yang mengumpulkan data melalui wawancara dengan informan dan responden serta studi kepustakan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peranan lembaga pemasyarakatan kelas II B Lhoksukon dalam memberikan pengobatan terhadap narapidana narkotika dengan melakukan pembinaan mental terhadap narapidana melalui kegiatan kepribadian dan kegiatan kemandirian.
Temporary Detention in Investigating Criminal Cases and Their Legal Consequences Zul Akli; Zainal Abidin; Muhammad Nasir; Johari Johari; Zulkifli Zulkifli
Interdisciplinary Social Studies Vol. 1 No. 3 (2021): Reguler Issue
Publisher : International Journal Labs

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55324/iss.v1i3.157

Abstract

Background: In the provisions of Article 28(A) of the 1945 Constitution it is stated that "everyone has the right to live and has the right to maintain his life and life. "This guarantee is not only limited to the order of discourse, the realization of the guarantee can be seen in the Criminal Code and in the provisions of Law No. 8 of 1981 concerning the Criminal Procedure Law (KUHAP) also aims to find and obtain material truth or at least approach the complete material truth. Aim: To uphold the rule of law, thus realizing a national legal system that serves the national interest based on justice and truth. Method: This research is normative legal research, so it requires primary legal material sourced from primary sources, namely legislation, official records or treatises in the making of legislation, and judge's rulings related to the formulation of the problem Findings: The temporary detention in the examination of criminal cases based on the provisions of Article 21 of the Kuhap is appropriately carried out by the relevant parties, but there are still many weaknesses faced. Although the purpose of temporary detention is to detain criminals temporarily, for learning and law enforcement in the community, to realize legal certainty in the midst of society, detention is also only the result of a choice over the purpose of law enforcement that is temporarily taken.
Peradilan In Absentia terhadap Terdakwa yang Belum Di-periksa pada Tingkat Penyidikan dalam Perkara Tindak Pi-dana Korupsi Zul Akli
Jurnal Ilmu Hukum Reusam Vol 8, No 1 (2020): Mei
Publisher : LPPM Universitas Malikussaleh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29103/reusam.v8i1.2613

Abstract

Pada proses peradilan pidana, keberadaan tersangka (tahap penyidikan) dan terdakwa (tahap penuntutan) adalah mutlak. Dalam kasus pidana korupsi terdapat ketentuan tentang pemeriksaan in absentia,  yaitu sebagaimana yang diatur dalam Ketentuan Pasal 23 UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, mengatur bahwa jika terdakwa telah dipanggil dengan sah namun tidak hadir dalam sidang Pengadilan tanpa memberikan alasan yang sah maka perkara dapat diperiksa dan diputus oleh Hakim tanpa kehadirannya. Namun yang menjadi masalah adalah seringkali dalam pidana korupsi, tersangka melarikan diri, dan alamatnya tidak jelas sehingga pemanggilan tersangka tidak dapat dilakukan. Dengan alasan itu banyak kasus korupsi yang tertunda penyelesaiannya, sampai keberadaan tersangka ditemukan. Dalam penelitian ini ada dua hal yang diselesaikan yaitu alasan apakah yang dapat dijadikan dasar hukum dilaksanakannya peradilan  in absentia  terhadap terdakwa yang belum diperiksa pada tingkat penyidikan dalam perkara tindak pidana korupsi ?. dan Mengapa terjadi perbedaan pemahaman dalam putusan-putusan pengadilan dalam peradilan in absentia terhadap Terdakwa yang belum diperiksa pada tingkat penyidikan dalam perkara tindak pidana korupsi?. Penulisan ini menggunakan pendekatan yuridis normatif  dan yuridis empirik. Hasil penelitian menunjukkan, Pertama, secara normatif Alasan yang dapat dijadikan dasar hukum dilaksanakannya peradilan  in absentia terhadap terdakwa yang belum diperiksa pada tingkat penyidikan dalam perkara tindak pidana korupsi karena ketentuan Pasal 38 ayat (1) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kedua, dalam praktek terdapat dua tradisi yang berbeda diantara para hakim yaitu, ada yang menerima dan ada yang menolak.
ILLEGAL FISHING DARI PERSPEKTIF KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP) Yuheni Tarida Kendal Simangunsong; Ummi Kalsum; Zul Akli
Jurnal Ilmu Hukum Reusam Vol 9, No 1 (2021): Mei
Publisher : LPPM Universitas Malikussaleh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29103/reusam.v9i1.4216

Abstract

Permasalahan illegal fishing merupakan permasalahan serius yang harus diperhatikan, karena telah menurunkan produktivitas dan hasil tangkapan secara signifikan serta telah merusak ekosistem dan sumber hayati laut. Illegal fishing telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang Perikanan namun aturan tersebut menyimpang dari Hukum Acara Pidana. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menjelaskan penerapan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana terhadap tindak pidana illegal fishing serta mengetahui dan menjelaskan hambatan dan solusi dalam penerapan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana terhadap tindak pidana illegal fishing. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif. Dengan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan, dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang berkaitan dengan illegal fishing. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa penerapan Hukum Acara Pidana terhadap tindak pidana illegal fishing yaitu penangkapan dapat dilakukan untuk paling lama satu hari. Batas waktu penyelesaian perkara tindak pidana yaitu 400 hari untuk menyelesaikan suatu perkara mulai dari penyidikan sampai dengan putusan Mahkamah Agung. Sedangkan dalam Undang-Undang Perikanan penangkapan terhadap kapal dan/atau orang-orang yang diduga melakukan pelanggaran di ZEEI paling lama tujuh hari. Batas waktu penyelesaian perkara illegal fishing cukup singkat yaitu 140 hari untuk menyelesaikan suatu perkara mulai dari penyidikan sampai dengan putusan Mahkamah Agung. Hambatan dalam penerapan Hukum Acara Pidan terdiri dari kewenangan penyidikan, lama penangkapan, dan jangka waktu penahanan. Berlakunya asas lex specialis derogate legi generalis telah menjadi solusi dalam penerapan Hukum Acara Pidana. Dengan ketentuan asas ini maka terhadap illegal fishing diutamakan menggunakan hukum acara Undang-Undang Perikanan dan apabila tidak diatur dalam Undang-Undang Perikanan, maka digunakan Hukum Acara Pidana. Disarankan kepada penegak hukum supaya merevisi Undang-Undang Perikanan agar penyelesaian tindak pidana illegal fishing dapat dilakukan secara optimal dan penegak hukum harus lebih mengutamakan merehabilitasi dan memulihkan suatu keadaan daripada memenjarakan pelaku tindak pidana illegal fishing serta kepada masyarakat supaya norma hukum tersebut diatur agar bisa disesuaikan dan dilaksanakan dengan baik oleh masyarakat itu sendiri jangan sampai masyarakat bertindak sewenang-wenangnya seperti menyuap.
Perlindungan Hukum Terhadap Masyarakat yang Terpapar Limbah B3 Zainal Abidin; Zul Akli; Johari J
Jurnal Ilmu Hukum Reusam Vol 8, No 2 (2020): November
Publisher : LPPM Universitas Malikussaleh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29103/reusam.v8i2.3660

Abstract

This research examines the legal protection of people who are victims of the B3 madical waste. This research is a qualitative research with literature study. The main sources in this research are written sources in the form of books, research results, and laws which  related to the issue. The results showed that the law provides protection to people who are exposed to the B3 madical waste, both criminal and civil law.  When  a dispute happening between the community and the company, the solution can be done in two ways, litigation and non-litigation. Settlement of environmental disputes through channels outside the court according to Article 85 paragraph (3) can only be done by using the services of a mediator and / or arbitrator to help resolve the dispute. Active community participation can be carried out by referring to Article 86 of the PPLH Law by establishing a free and impartial environmental dispute resolution institution facilitated by the government and local governments.