Susanto Nugroho
Badan Karantina Pertanian, Balai Karantina Pertanian Kelas I Kupang. Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner Sekolah Pascasarjana IPB

Published : 13 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 13 Documents
Search

Analysis of ANC Levels after Filgrastim Therapy in Acute Leukemia Children with Neutropenia Widya, Reta Anggraeni; Nugroho, Susanto; Winarsih, Sri; Yulistiani, Yulistiani
Folia Medica Indonesiana Vol 55, No 1 (2019): March
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Airlangga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (292.058 KB) | DOI: 10.20473/fmi.v55i1.12543

Abstract

Cytotoxic chemotherapy suppresses the hematopoietic system, and the most serious hematologic toxicity is neutropenia. This can decrease a risk of infection that causes delays in treatment and reduction of dose intensity, which reduces therapeutic outcome. Filgrastim is used to increase neutrophils level whose therapeutic effect is unknown. The effectiveness of filgrastim is based on the ANC level pre- and post-therapy. This study aimed to analyze the use of filgrastim on ANC level changes in acute leukemia children with neutropenia, and to analyze the patient that achieve ANC level’s targeted therapy = 1000 cell/mm3. A prospective observational study with a longitudinal design was conducted from June to October 2016. The inclusion criteria of the study were patients who diagnosed acute leukemia with neutropenia and received filgrastim 10 µg/kgBW for 3, 4, 5 days. Patients’ ANC levels were measured before and after filgrastim therapy. This study has been approved its ethical clearance by Dr. Saiful Anwar Hospital, Malang. Data were obtained on the basis of neutropenic episodes, followed by 7 episodes of obtaining filgrastim for 3 days, 1 episode of obtaining filgrastim for 4 days, and 7 episodes of obtaining filgrastim for 5 days. Thus, it consists of 15 episodes. In 3 days, ANC levels increased by 9.5 fold from 381.3 ± 91.8 cell/mm3 to 3984.9 ± 426.8 cell/mm3, but in 5 days, ANC levels decreased by 0.9 fold from 200.9 cell/mm3 ± 98.2 to 189.7 ± 14.2 cell/mm3. Filgrastim was able to increased the ANC levels around nine fold for 3 days of theraphy. There were 53% neutropenia patients who achieved the goal of therapy. Filgrastim therapy with dose 10 µg/kgBW for 3 to 5 days has been able to reach the therapeutic target of 53% in acute leukemia children with neutropenia. The increased levels of ANC maximum was reached on the third day with increased levels of 9.5 fold.
RISIKO KENAIKAN HEMATOKRIT TERHADAP TERJADINYA RENJATAN PADA KASUS DEMAM BERDARAH DENGUE Sumakto, Sumakto; Santoso, Nurtjahjo Budi; Nugroho, Susanto; Kawurjan, Siti Lintang
Jurnal Kedokteran Brawijaya Vol 20, No 2 (2004)
Publisher : Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (100.827 KB) | DOI: 10.21776/ub.jkb.2004.020.02.2

Abstract

ABSTRACT Shock is life threatening feature of DHF it must be manage properly through close clinical and laboratory observations. This was a pre-eliminary study to evaluate hematocrit (Hct) increased where shock occurs on dengue hemorrhagic fever (DHF) or dengue shock syndrome (DSS). The WHO criteria was used to diagnose DHF, with two or more clinical criteria with trombocytopenia (≤ 100.000) and Hct increase ≥ 20 %. Examination of hemoglobin (Hb), Hct, thrombocytes and leucocytes were done in RSU Dr. Saiful Anwar Central Laboratory everyday during hospitalized. The increase of Hct percentage and Hct/Hb ratio calculation were based on the result of lowest dan highest Hct and Hb examination. The data obtains was analysed with t-test using SPSS version 10.0 programme. From 30 DHF cases, 23 (76.66%) non DSS and 7 (23.77%) DSS. The average Hct increase in all patients from serial examinations was 21.09% (SD= 2.32%). However, in 7 DSS patients the average Hct increase was 23.79% (SD= 3.84%) higher than the 23 non DSS patients (20.28%; SD= 0.25%). It was observed that the Hct increase in DSS patients was higher than that for non DSS patients. This high Hct level of 23.79% increases the likelihood of shock by 2.5 times compare with an Hct rise of 20.28%. There was a significant difference in the highest and lowest Hct/Hb ratio between DSS and non DSS cases (p= 0.000). Keywords : dengue hemorrhagic fever, dengue shock syndrome, hematocrit increase, Hct/Hb ratio
Parameter Bakteremia pada Anak dengan Keganasan dan Demam Neutropenia Nugroho, Susanto
Jurnal Kedokteran Brawijaya Vol 26, No 2 (2010)
Publisher : Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (524.32 KB) | DOI: 10.21776/ub.jkb.2010.026.02.9

Abstract

ABSTRAKDemam netropenia merupakan komplikasi yang serius dan sering pada anak dengan keganasan dan dapat mengancam nyawa.  Meskipun  demikian  bukti  menunjukkan  bahwa  infeksi  lokal  maupun  sistemik  ditemukan  pada  48-60%  dari episode demam netropenia namun hanya16-20% diantaranya mengalami bakteremia. Bakteremia merupakan baku emas diagnosis infeksi bakteri yang mempengaruhi prognosis dan dapat meningkatkan resiko kematian. Studi cross-sectional ini dilakukan in bangsal Hematologi-Onkologi Anak RS dr. Saiful Anwar untuk mengidentifikasi gejala dan gambaran klinis infeksi serta parapmeter bakteremia pada anak dengan keganasan dan febrile netropenia. Subjek penelitian melibatan 68 pasien  anak  dengan  keganasan  dan  demam  netropenia  yang  dirawat  di  rumah  sakit  dan  mendapatkan  kemoterapi. Parameter  bakteremia  yang  dianalisis  terdiri  dari  infeksi  klinis,  suhu  tubuh  saat  episode  demam  netropenia,  jumlah lekosit, neutrofil, monosit dan fagosit absolut. Secara klinis 65 dari 68(95.5%) mengalami infeksi tetapi bakteremia hanya ditemukan pada 14 dari 68 kultur darah pasien(20,6%). Infeksi klinis yang terkait dengan baktermia adalah infeksi saluran pernafasan  akut  non  pneumonia  (p=0.047;  OR=3.7;  CI  95%  0,96-14,40).  Parameter  klinis  yang  terbukti  berhubungan dengan bakteremia adalah jumlah netrofil absolute (p = 0,003) dan fagosit absolut (p = 0,013). Dapat disimpulkan bahwa infeksi saluran pernafasan akut non pnemoni, jumlah netrofil dan fagosit absolut dapat digunakan sebagai parameter klinis  bakteremia pada anak dengan keganasan dan demam netropenia. Kata Kunci : Anak, bakteremia, demam netropenia, keganasan
GANGGUAN KESEIMBANGAN ELEKTROLIT SESUDAH KEMOTERAPI INDUKSI REMISI PADA ANAK DENGAN LEUKEMIA LIMFOBLASTIK AKUT Nugroho, Susanto
Jurnal Kedokteran Brawijaya Vol 26, No 1 (2010)
Publisher : Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (517.713 KB) | DOI: 10.21776/ub.jkb.2010.026.01.11

Abstract

ABSTRAKGangguan keseimbangan elektrolit sering di jumpai pada leukemia limfoblastik akut pada anak karena proses leukemia, infiltrasi organ dan kematian sel akibat efek samping obat sitotoksik. Dari berbagai gangguan tersebut, gangguan keseimbangan elektrolit (hiperkalemi, hiperfosfatemi dan hipokalsemi) juga hyperuricemia dan azotemia paling sering ditemukan. Meskipun tidak mengancam jiwa, gangguan ini berpotensi menyebabkan efek kardiotoksi akibat kemoterapi seperti kematian mendadak karena aritmia malignant. Studi retrospektif ini dilakukan untuk mengevaluasi perubahan level serum elektrolit (potasium, kalsium, dan fosfor), asam urat dan ureum pada anak dengan ALL dan menerima induksi remisi kemoterapi menggunakan protokol Indonesia ALL-2006. Subjek penelitian adalah 34 anak dengan kasus baru ALL yang menerima remisi induksi kemoterapi. Terdapat peningkatan signifikan level serum potasium (p=0,035) dan fosfor (p=0,039), sebaliknya terdapat penurunan signifikan kadar calcium serum (p=0,008). Disamping itu juga ditemukan peningkatan kadar asam urat dan ureum serum tetapi tidak signifikan. Dapat disimpulkan bahwa induksi remisi kemoterapi menggunakan protokol ALL 2006 dapat menyebabkan ketidakseimbangan elektrolit.Kata Kunci : A  ketidakseimbangan elektrolit, leukemia limfoblastik akut nak, kemoterapi,
Laporan Kasus: Multisystem Langerhans Cell Histiocytosis pada Anak Perempuan Usia Dua Tahun WL, Eky Indyanty; Arthamin, Maimun Z; Nugroho, Susanto; Budiman, Budiman
Jurnal Kedokteran Brawijaya Vol 29, No 1 (2016)
Publisher : Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (538.506 KB) | DOI: 10.21776/ub.jkb.2016.029.01.17

Abstract

Langerhans Cell Histiocytosis (LCH) merupakan penyakit yang jarang dengan karakteristik proliferasi dan migrasi sel dendritik atau sel histiosit (sel Langerhans). Kelainan ini terutama mengenai tulang (sistem skeletal) namun dapat juga muncul pada kulit, kelenjar tiroid, kelenjar limfe dan risk organs involvement yaitu hepar, paru, limpa, dan sistem hematopoietik. Kelainan ini relatif langka dan jarang sehingga diagnosis LCH sering kali terlambat atau luput. Diagnosis definit pada LCH yaitu ditemukannya CD1a antigen, S100 protein, atau Langerin (CD207) pada pemeriksaan imunohistokimia atau granula Birbeck pada pemeriksaan mikroskop elektron. Pada kasus ini seorang anak perempuan usia 2 tahun dengan keluhan mata kiri menonjol, terdapat benjolan di belakang kepala, belakang telinga kiri dan leher sebelah kanan. Hasil pemeriksaan fisik didapatkan proptosis okuli sinistra, massa regio occipital, belakang telinga kiri dan leher, hepatomegali, spenomegali. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan anemia mikrositik hipokrom anisositosis, leukositosis, trombositosis. Pemeriksaan sumsum tulang mengesankan terdapat infiltrasi Langerhans cell histiocytosis. Pemeriksaan FNAB mengesankan Langerhans histiositosis. Pemeriksaan foto Schuller menunjukkan lesi litik geografik tulang fronto-temporo-parietal-occipital sinistra, occipital dextra, lesi litik destruktif pada ramus mandibula dextra. Hasil CT-scan kepala menunjukkan hasil soft tissue mass multiple. Hasil pemeriksaan imunohistokimia didapatkan hasil positif S100 protein. Pada kasus ini, pasien didiagnosis LCH atas dasar gambaran morfologi sel Langerhans (FNAB) dan hasil positif S100 protein (imunohistokimia). Beberapa organ yang terlibat antara lain mata, tulang craniofacial, kulit, hepar, limpa, dan sumsum tulang.
PERAN EKSPRESI p53 DAN SURVIVIN TERHADAP HEMOGLOBIN, LEUKOSIT, DAN TROMBOSIT PADA LEUKEMIA LIMFOBLASTIK AKUT ANAK YANG MENDAPATKAN KEMOTERAPI Wairo, Candy Maharani; Nugroho, Susanto; Suyuti, Hidayat
Majalah Kesehatan FKUB Vol 6, No 1 (2019): Majalah Kesehatan
Publisher : Faculty of Medicine Universitas Brawijaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (385.737 KB) | DOI: 10.21776/ub.majalahkesehatan.006.01.3

Abstract

 Leukemia limfoblastik akut (LLA) merupakan jenis leukemia paling sering ditemukan (97%) dan menjadi penyebab kematian anak. Terapi sitostatika dapat mengakibatkan kerusakan DNA yang memicu apoptosis dengan cara menstimulasi p53 sebagai proapoptosis, menghambat survivin sebagai antiapoptosis yang berperan dalam perbaikan kadar hemoglobin, jumlah leukosit dan trombosit. Penelitian ini ingin mengungkap peran  ekspresi p53 dan survivin terhadap kadar hemoglobin, leukosit, trombosit pada LLA anak yang mendapat kemoterapi. Studi kohort prospektif dilakukan di ruang rawat inap anak RS. Dr. Saiful Anwar Malang, pada bulan April-Juni 2018. Populasi penderita LLA berdasarkan analisis morfologi darah perifer dan aspirasi bone marrow.  Deteksi  ekspresi p53 dan survivinn menggunakan metode flow cytometry. Analisis statistik menunjukkan  ekspresi p53 meningkat (p = 0,003), ekspresi survivin menurun (p = 0,000), hemoglobin (p = 0,039), leukosit (p = 0,000), trombosit (p = 0,023) meningkat. Setelah dilakukan kemoterapi, didapatkan hubungan ekspresi p53 dengan hemoglobin (p = 0,873), leukosit (p = 0,212), dan trombosit (p = 0,670) tidak signifikan. Hubungan ekspresi survivin dengan hemoglobin (p = 0,682), leukosit (p = 0,907), trombosit (p = 0,936) setelah dilakukan kemoterapi tidak signifikan. Hubungan p53 dan survivin pada pasien LLA anak sebelum kemoterapi (p = 0,005)   signifikan, namun sesudah kemoterapi (p = 0,467) tidak signifikan. Dapat disimpulkan bahwa kemoterapi meningkatkan ekspresi p53, menurunkan ekspresi survivin, dan meningkatkan kadar hemoglobin, leukosit, trombosit. Ada hubungan yang tidak signifikan antara p53 dan survivin terhadap kadar hemoglobin, leukosit, trombosit, sebelum dan sesudah kemoterapi. Didapatkan hubungan signifikan antara p53 dan survivin sebelum kemoterapi, namun tidak signifikan sesudah kemoterapi. 
HUBUNGAN ANTARA EKSPRESI BAX, BCL-2, DAN RASIO BAX/BCL-2 DENGAN RESPONS KEMOTERAPI FASE INDUKSI PADA LEUKEMIA MIELOID AKUT ANAK Supraptiningsih, Eka Sari; Nugroho, Susanto; Wahyuni, Endang Sri
Majalah Kesehatan FKUB Vol 6, No 4 (2019): Majalah Kesehatan
Publisher : Faculty of Medicine Universitas Brawijaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (592.983 KB) | DOI: 10.21776/ub.majalahkesehatan.2019.006.04.2

Abstract

Leukemia mieloid akut merupakan keganasan terbanyak pada anak. Pengobatan utama leukemia anak adalah kemoterapi. Target obat kemoterapi adalah kematian sel terprogram atau apoptosis. Apoptosis pada kemoterapi merupakan apoptosis jalur intrinsik yang dikendalikan oleh famili b cell lymphoma-2 pada membran mitokondria yang terdiri dari agen proapoptosis dan antiapoptosis. Sebagai agen proapotosis adalah protein Bax dan agen antiapoptosis adalah protein Bcl-2. Adanya ketidakseimbangan pro dan antiapoptosis mempengaruhi prognosis terapi. Penelitian ini ingin mengetahui hubungan ekspresi Bax dan Bcl-2 maupun rasio Bax/Bcl 2 terhadap respons kemoterapi yaitu hasil bone marrow puncture (BMP) yang dijadikan marker prognosis setelah subjek mendapat kemoterapi fase induksi dalam 12 minggu pengobatan. Desain penelitian adalah experimental pre-post  test, subjek merupakan pasien leukemia mieloid akut yang mendapat pengobatan kemoterapi fase induksi di RS.Dr.Saiful Anwar Malang menggunakan protokol kemoterapi revisi 2015 dengan rentang usia 1-14 tahun selama periode bulan Mei-September 2018. Hasil  menunjukkan hubungan terbalik yang tidak signifikan antara peningkatan Bax dengan hasil BMP, semakin tinggi Bax menunnjukkan hasil BMP tidak remisi (p = 0,893). Ekspresi Bcl-2 dengan hasil BMP menunjukkan hubungan tidak signifikan dengan korelasi negatif, semakin tinggi Bcl-2 pasca kemoterapi menunjukkan hasil BMP tidak remisi (p = 0,586), sedangkan rasio Bax/Bcl-2 setelah kemoterapi berbeda tidak signifikan (p= 0,594), dan hubungan rasio Bax/Bcl-2 dengan hasil BMP adalah tidak signifikan dengan korelasi positif semakin tinggi rasio semakin tidak remisi (p = 0,104). Kesimpulannya, peningkatan Bax tidak berhubungan signifikan dengan hasil respons  kemoterapi fase induksi, penurunan Bcl-2 berhubungan tidak signifikan dengan respons kemoterapi fase induksi, hubungan tidak signifikan antara rasio Bax/Bcl2 dengan hasil BMP  
p53/Surviving Ratio as a Parameter for Chemotherapy Induction Response in Children with Acute Myeloid Leukemia Lenggana, Rinaldi; Nugroho, Susanto; Winarsih, Sri
Journal of Tropical Life Science Vol 6, No 3 (2016)
Publisher : Journal of Tropical Life Science

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.11594/jtls.06.03.02

Abstract

Acute myeloid leukemia (AML) is a malignancy that is often found in children. Many studies into the failure of apoptosis function, or programmed cell death, is one of the most important regulatory mechanisms of cellular hemostasis which is closely linked to the development of cancer, are important. Also, regulation of the apoptotic (p53) and anti-apoptotic (surviving) proteins influence treatment outcome. One role of p53 is to monitor cellular stress necessary to induce apoptosis. Surviving (BIRC5) is a group of proteins in the apoptosis inhibitor which works by inhibiting caspase-3. The role of surviving is considered very important in oncogenesis proliferation and cell growth regulation. Chemotherapy in childhood AML can inhibit cell growth and induce slowing as well as stopping the cell cycle. Thus, the aim of this study was to compare p53 and surviving before and after receiving induction chemotherapy in children with AML and also to determine the p53/surviving ratio. Peripheral blood mononuclear cells were collected from AML children before treatment and three months after starting their induction therapy. p53 and surviving were measured by flowcytometry using monoclonal antibodies. Data were analyzed by t-test for comparison between groups and Spearman’s test to find out the correlation between variables with a significant value of p < 0.05. A total of 8 children were evaluated. The intensity of p53 expression was not significantly increased after induction phase chemotherapy (p = 0.224), but surviving expression and the ratio of p53/surviving were significantly increased in the treatment group compared with the levels prior to chemotherapy (p = 0.002, p = 0.034), and there was a strong negative correlation between p53 and surviving after chemotherapy (r = −0.63, p = 0.049).
Prominently Increased of Mannose Binding Lectin (MBL) and Myeloperoxidase (MPO) Levels in Severe Valve Regurgitation and Heart Failure of Rheumatic Heart Disease Putri, Rachmania; Suwarniaty, Renny; Fitri, Loeki Enggar; Nugroho, Susanto; Rahman, Mohammad Saifur
Journal of Tropical Life Science Vol 7, No 2 (2017)
Publisher : Journal of Tropical Life Science

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.11594/jtls.07.02.04

Abstract

Rheumatic heart disease (RHD) is mediated by an abnormal immunological response following a Streptococcus pyogenes infection that induces a disturbance of oxidants and antioxidants balances. Mannose-binding lectin (MBL) binds to N-acetylglucosamine, a molecule present on the Streptococcus cell wall and human heart valves. There is a disturbance of oxidant and antioxidant balance in rheumatic disease. Myeloperoxidase (MPO) is a marker of oxidative stress and inflammation. This study was aimed to determine the correlation of MBL and MPO levels and severity of valvular regurgitation and heart failure (HF) in RHD patients. A case-control study was conduct using human peripheral blood samples from 32 children aged 6 to 14 years old. The subjects were divided into two groups: 16 RHD patients included in the case group and 16 healthy children as a control group. The level of MBL and MPO was investigated using ELISA method. There were significant differences on MBL and MPO level between patient and control group. The level of MBL and MPO were significantly increased in RHD group, especially on severe valvular regurgitation. There was a strong correlation between MBL and MPO levels and the severity of valvular regurgitation (r = 0.94 and r = 0.88). The least significant diff-erence (LSD) analysis showed that significant difference occurs in the severe heart failure group. Our research revealed that the MBL and MPO levels in pediatric RHD patients were significantly higher than in healthy children. The MBL and MPO levels were significantly correlated with the severity of valvular regurgitation and heart failure.
Sindroma Lisis Tumor pada Leukemia Limfoblastik Akut L2 Hari Oki, Hambiah; Dian Sukma Hanggara; Hani Susianti; Nugroho, Susanto
Jurnal Klinik dan Riset Kesehatan Vol 4 No 1 (2024): Edisi Oktober
Publisher : RSUD Dr. Saiful Anwar Province of East Java

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.11594/jk-risk.04.1.8

Abstract

Latar Belakang: Sindroma lisis tumor adalah sekumpulan gejala metabolik akibat terlepasnya subtansi intraselular kedalam sirkulasi darah. Kriteria Cairo dan Bishop digunakan untuk menegakkan sindroma lisis tumor. Pasien dengan keganasan hematologis seperti leukemia akut sering mengalami sindroma lisis tumor, begitu juga dengan komplikasi infeksi. Evaluasi sindroma lisis tumor, khususnya mengetahui parameter laboratorium yang dapat digunakan serta komplikasi yang dapat muncul seperti infeksi merupakan hal yang penting untuk dipahami. Laporan Kasus: Anak laki-laki berusia 2 tahun menjalani pengobatan kemoterapi rumatan untuk LLA L2 yang di diagnosa sejak kurang lebih 1 tahun lalu. Pasien datang tanpa keluhan, namun mengalami perburukan kondisi seiring berjalannya kemoterapi. Diapatkan imbalans elektrolit serta gejala klinis yang sesuai dengan gambaran sindroma lisis tumor. Pada saat perawatan pasien juga menderita pneumonia, infeksi saluran cerna serta sepsis (skor PELOD 15). Kesimpulan dan Saran: Pasien mengalami sindroma lisis tumor saat sedang menjalani proses kemoterapi rumatan. Meskipun pasien datang tanpa keluhan, namun terdapat hiperurisemia dan peningkatan kreatinin yang mungkin dapat dipertimbangkan sebelum inisiasi kemoterapi. Sepsis pada pasien ini mungkin disebabkan oleh bakteri pada saluran cerna mengingat neutropenia berat yang dialami.