Claim Missing Document
Check
Articles

Found 15 Documents
Search

FUNGSIWOE DALAM SISTEM SOSIAL MASYARAKAT TRADISIONAL DESA TUREKISA Maria Goreti Djandon
Historis : Jurnal Kajian, Penelitian dan Pengembangan Pendidikan Sejarah Vol 5, No 2 (2020): DECEMBER
Publisher : UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MATARAM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31764/historis.v5i2.3521

Abstract

Abstrak: Flores  merupakan salah satu pulau yang dihuni  oleh berbagai suku dengan latar budayanya masing-masing. Demikian pula dengan masyarakat di Desa Turekisa yang memiliki woe (suku) dari asal-usul berdeda-beda. Arus globalisasi membawa dampak bagi anggota woe itu sendiri terutama yang berkenaan dengan asal mula woe dan fungsi woe dalam sistem sosial masyarakat. Tujuan penelitian ini adalah mengkaji lebih dalam tentang sejarah asalmula woe dan fungsi woe yang ada di Desa Turekisa. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptf kualitatif. Sumber data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Pengumpulan data menggunakan wawancara medalam dan dokumentasi. Analisis data dilakukan melalui reduksi data, pemaparan data, dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat Desa Turekisa anggota woe masih mengetahui asalmula woe dan fungsi woe dengan baik. Untuk menjaga keharmonisan antara anggota se-woe (se suku) maupun dengan woe yang lainnya selalu ada kerja sama baik yang berhubungan dengan pekerjaan (budaya gotong royong), pada saat hajatan apa saja maupun pada saat duka. Hal ini merupakan warisan dari para leluhur yang tetap dipelihara dengan baik dari generasi ke generasi penerusnya. Masing-masing woe memiliki Ngadhu dan Bhaga sebagai lambang persatuan dan Sa’o Pu’u sebagai tempat berkumpulnya seluruh anggota woe dalam ritual-ritual adat.Abstract: Flores is one of the islands inhabited by various tribes with their cultural background. Similarly, the people in Turekisa village have woe (tribe) from different origins. The current globalization has an impact on the woe members themselves, especially about the origin of woe and the function of woe in the social system of society. The purpose of this research is to examine more about the history of woe origin and the function of woe in Turekisa Village. The research method used is descriptive qualitative. The data sources used are primary and secondary data. Data collection using deep interviews and documentation. Data analysis is done through data reduction, data exposure, and conclusion drawing. The results showed that the people of Turekisa Village woe members still know the origin of woe and woe function well. To maintain harmony between members of the se-woe (se tribe) and with another woe there is always cooperation both related to work (gotong royong culture), at any time of hajatan or at the time of grief. This is the legacy of the ancestors who remained well preserved from generation to generation. Each woe has Ngadhu and Bhaga as symbols of unity and Sa'o Pu'u as a gathering place for all woe members in traditional rituals.
KOLU LANU SEBAGAI UPACARA TOLAK BALA PADA MASYARAKAT ADAT JAWAMAGHI DI DESA SOBO KECAMATAN GOLEWA BARAT KABUPATEN NGADA Maria Goretty Djandon
Historis : Jurnal Kajian, Penelitian dan Pengembangan Pendidikan Sejarah Vol 6, No 1 (2021): JUNE
Publisher : UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MATARAM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31764/historis.v6i1.6818

Abstract

Abstrak: Pulau Flores memiliki berbagai upacara adat, khususnya pada masyarakat adat Jawamaghi di Desa Soba memiliki berbagai upacara untuk tolak bala. Salah satu upacara tolak bala pada masyarakat adat Jawamaghi adalah upacara Kolu Lanu. Upacara kolu lanu dilakukan oleh pasangan suami atau istri yang pernah menikah dan mau menikah lagi. Upacara ini dilakukan dengan tujuan agar anak-anak dari hasil perkawinan yang pertama tidak kena tula yaitu gena lanu atau kena lanu. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana proses pelaksanaan upacara kolu lanu, dan makna apa saja yang terkandung dalam upacara kolu lanu?. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, teknik pengumpulan data dilakukan melalui observasi, wawancara dan dokumentasi. Teknik analisis data dilakukan melalui reduksi data, pemaparan data,dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitiaan menujukkan bahwa upacara kolu lanu masih tetap dijalankan oleh pasangan suami atau istri yang pernah menikah dan ingin menikah lagi. Bagi masyarakat adat Jawamaghi di Desa Sobo, upacara ini wajib dilakukann agar anak-anak dari hasil perkawinan yang pertama tidak kena tula atau gena lanu. Dan bagi anak-anak dari hasil perkawinan pertama sudah boleh menerima barang-barang pemberian dari bapak atau mama yang baru. Bagi masyarakat adat Jawamaghi upacara kolu lanu memiliki makna yaitu makna regius, makna sosial dan makna keharmonisan.Abstract: Flores Island has a variety of traditional ceremonies, especially in the Jawamaghi people in Soba Village has various ceremonies to reject bala. One of the repulsion ceremonies in the Jawamaghi indigenous people is the Kolu Lanu ceremony. Kolu lanu ceremony is done by a married couple who have been married and want to marry again. This ceremony is done with the aim that the children of the first marriage do not get tula namely gena lanu or kena lanu. The purpose of this research is to know how the process of conducting kolu lanu ceremony, and what meanings are contained in the ceremony kolu lanu?. This research uses the qualitative method, data collection techniques are done through observation, interview, and documentation. Data analysis techniques are carried out through data reduction, data exposure, and conclusion drawing. The results of the research showed that the kolu lanu ceremony is still carried out by married couples who have been married and want to marry again. For the Jawamaghi indigenous people in Sobo Village, this ceremony must be done so that the children from the first marriage do not get tula or gena lanu. And for children from the first marriage can already receive gifts from the new father or mother. For the indigenous people of Jawamaghi kolu lanu ceremony has the meaning of regius, social meaning, and the meaning harmony.
TAU NUWA SEBAGAI RITUS INISIASI DIRI BAGI KAUM PRIA DEWASA DALAM MASYARAKAT ADAT RENDU Maria Goretty Djandon
Historis : Jurnal Kajian, Penelitian dan Pengembangan Pendidikan Sejarah Vol 6, No 2 (2021): DECEMBER
Publisher : UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MATARAM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31764/historis.v6i2.7188

Abstract

Abstrak: Tau nuwa merupakan suatu ritus inisiasi diri atau ritus pengukuhan bagi anak laki-laki dewasa yang sudah berkeluarga menjadi dewasa secara adat, karena secara biologis seorang laki-laki meskipun sudah dewasa dan sudah pula berkeluarga, namun masih terbilang belum dewasa secara adat, sehingga hak-hak adat yang harus diperankan oleh seorang laki-laki dewasa seperti menjadi pemimpin atau pemandu upacara adat tidak boleh dijalankannya. Yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah: 1) Bagaimanakah proses pelaksanaan ritus inisiasi tau nuwa pada masyarakat adat Rendu, dan 2) Makna apa sajakah yang terdapat dalam ritus inisiasi tau nuwa pada masyarakat adat Rendu? Penelitian ini bertujuan untuk: 1) Mengungkapkan proses pelaksanaan ritus inisiasi tau nuwa pada masyarakat adat Rendu. 2) Mengungkapkan makna yang terdapat dalam ritus inisiasi tau nuwa pada masyarakat adat Rendu. Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif dan jenis penelitian deskriptif. Tekhnik pengumpulan data dilakukan melalui observasi, wawancara dan dokumentasi. Dan tekhnik analisis data dilakukan melalui reduksi data, pemaparan data dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ritus tau nuwa masih tetap dilakukan oleh masyarakat adat Rendu khususnya kaum laki-laki dewasa yang sudah berkeluarga supaya dapat melakukan segala kewajiban yang berhubungan dengan berbagai kegiatan adat dalam masyarakat. Ritus inisiasi tau nuwa bagi masyarakat adat Rendu memiliki makna antara lain makna religius, makna kebersamaan dan makna persaudaraan.Abstract:  Tau nwa is a rite of self-initiation or a rite of passage for adult men who are married to become adults based on the tradition itself. It is said that the confirmation of adult men who are married to become adults according to tradition, because biologically a man, even though he is an adult and has a family, is still not mature according to tradition, so that the customary rights that must be played by a man He is an adult and has a family, such as being a leader or guide for traditional ceremonies, he is not allowed to carry out. The problems in this research are: 1) How is the process of implementing the tau nuwa initiation rite in the Rendu indigenous community?  2) What are the meanings contained in the tau nuwa initiation rite of the Rendu indigenous people? This study aims to: 1) Describe the process of implementing the tau nuwa initiation rite in the Rendu indigenous community. 2) Expressing the meaning contained in the tau nuwa initiation rite in the Rendu indigenous community. This research uses qualitative research and descriptive research type. Data collection techniques were carried out through observation, interviews and documentation. And the data analysis technique is done through data reduction, data exposure and conclusion drawing. The results show that the tau nuwa rite is still carried out by the Rendu indigenous people, especially adult men, in the sense that they are already married so that they can carry out all obligations related to various traditional activities in the community. The tau nuwa initiation rite for the Rendu indigenous community has meanings, including religious meaning, the meaning of togetherness and the meaning of brotherhood.
KEARIFAN LOKAL TEKI FE'A DHADHO RADHA DALAM MEMBANGUN SOLIDARITAS SOSIAL PADA MASYARAKAT ADAT RENDU DI KECAMATAN AESESA SELATAN KABUPATEN NAGEKEO Djandon, Maria Goretty
Historis : Jurnal Kajian, Penelitian dan Pengembangan Pendidikan Sejarah Vol 7, No 1 (2022): JUNE
Publisher : UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MATARAM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31764/historis.v7i1.9318

Abstract

Kearifan lokal teki fe’a dhadho radha, merupakan salah satu kearifan lokal pada masyarakat adat Rendu yang hidup dan berkembang di Kecamatan Aesesa Selatan  Kabupaten Nagekeo. Kebudayaan lokal ini merupakan warisan dari para leluhur yang harus di laksanakan dan di lestarikan dari generasi ke generasi, yang syarat dengan  nilai-nilai kemanusisaan. Dalam realitanya, kearifan lokal teki fe’a dhadho radha yang berarti (berat sama dipikul, ringan sama dijinjing), ini menjunjung tinggi nilai persaudaraan dan nilai persatuan yang sampai saat ini masih tetap dilaksanakan. Yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah: a. Bagaimana eksistensi kearifan lokal teki fe’a dhadho radha pada  masyarakat adat Rendu di Kecamatan Aesesa Selatan Kabupaten Nagekeo? b. Nilai-nilai solidaritas apa sajakah yang terdapat dalam kearifan lokal teki fe’a dhadho radha pada  masyarakat adat Rendu di Kecamatan Aesesa Selatan Kabupaten Nagekeo?Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif dan jenis penelitian deskriptif. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui observasi, wawancara dan dokumentasi. Dan teknik analisis data dilakukan melalui reduksi data, pemaparan data dan penarikan kesimpulan.Hasil penelitian menunjukkan bahwa kearifan lokal teki fe’a dhadho radha masih tetap dilakukan oleh masyarakat adat Rendu sampai saat ini, karena merupakan warisan leluhur yang harus di rawat dan dilestarikan dari waktu ke waktu oleh generasi penerusnya. Dalam kearifan lokal teki fe’a dhadho radha terdapat berbagai nilai yang menjadi pedoman hidup masyarakat adat Rendu antara lain nilai gotong royong atau to’o jogho waga sama, nilai keharmonisan atau muzi modhe ne’e keka bho’a  sa`o lange, nilai  persaudaraan atau ka’e azi moko doa dan nilai persatuan atau kolo sa toko tali sa tebu. Nilai-nilai inilah yang menjadi pegangan hidup masyarakat adat Rendu sampai saat ini.
MAKNA MISTIS DAN KEUTAMAAN HIDUP DALAM FOLKLOR HIGI MITAN PADA MASYARAKAT DI DESA KLOANGPOPOT KECAMATAN DORENG KABUPATEN SIKKA Diruk, Dominika Delsiana; Kenoba, Marianus Ola; Djandon, Maria Gorety
Sajaratun : Jurnal Sejarah dan Pembelajaran Sejarah Vol 9 No 2 (2024): Sajaratun : Jurnal Sejarah dan Pembelajaran Sejarah
Publisher : Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Flores

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37478/sajaratun.v9i2.5271

Abstract

Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah 1) Apa makna mistis dari folklor Higi Mitan pada masyarakat di Desa Kloangpopot Kecamatan Doreng Kabupaten Sikka? 2) Apa saja nilai-nilai keutamaan hidup dalam folklor Higi Mitan pada masyarakat di Desa Kloagpopot Kecamatan Doreng Kabupaten Sikka? Tujuan penelitian ini adalah 1) Untuk mengetahui makna mistis dalam folklor Higi Mitan pada masyarakat di Desa Kloangpopot Kecamatan Doreng Kabupaten Sikka. 2) Untuk mengetahui nilai-nilai keutamaan hidup dalam folklor Higi Mitan pada masyarakat di Desa Kloangpopot Kecamatan Doreng Kabupaten Sikka. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif, dengan menggunakan pendekatan etnografi. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi non-partisipan, wawancara, dan dokumentasi. Subjek dalam penelitian ini terdiri dari 2 orang informan kunci, dan 7 orang informan pendukung. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1) Pengumpulan data, 2) Reduksi data, 3) Penyajian data, 4) Penarikan kesimpulan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa folklor Higi Mitan memiliki makna mistis yang sangat melekat dengan kehidupan masyarakat di Desa Kloangpopot Kecamatan Doreng Kabupaten Sikka. Folklor Higi Mitan mempresentasikan sistem keyakinan dan kepercayaan masyarakat terhadap “Ina nian tana wawa; Ama lero wulan reta” sebagai Wujud Tertinggi yang harus di patuhi dan ditaati. Folklor Higi Mitan juga mengandung empat nilai keutamaan hidup yang berkenaan dengan kehidupan masyarakat diantaranya: Nilai keharmonisan, Nilai kemanusiaan, Nilai solidaritas, dan Nilai kebersamaan di dalam kolektivitas.
TAU NUWA SEBAGAI RITUS INISIASI DIRI BAGI KAUM PRIA DEWASA DALAM MASYARAKAT ADAT RENDU DI KECAMATAN AESESA SELATAN KABUPATEN NAGEKEO Djandon, Maria Gorety
Sajaratun : Jurnal Sejarah dan Pembelajaran Sejarah Vol 5 No 1 (2020): Sajaratun : Jurnal Sejarah dan Pembelajaran Sejarah
Publisher : Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Flores

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37478/sajaratun.v5i1.1359

Abstract

Tau nuwa merupakan suatu ritus inisiasi diri atau ritus pengukuhan laki-laki dewasa yang sudah berkeluarga menjadi dewasa secara adat. Dikatakan pengukuhan laki-laki dewasa yang sudah berkeluarga menjadi dewasa secara adat, karena secara biologis seorang laki-laki itu meskipun sudah dewasa dan sudah pula berkeluarga, namun bisa jadi belum dewasa secara adat, sehingga hak-hak adat yang harus diperankan oleh seorang laki-laki dewasa dan sudah pula berkeluarga, seperti menjadi pemimpin atau pemandu upacara adat tidak boleh dijalankannya.Yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah: 1) Bagaimanakah proses pelaksanaan ritus inisiasi tau nuwa pada masyarakat adat Rendu Kecamatan Aesesa Selatan Kabupaten Nagekeo? 2) Makna apa sajakah yang terdapat dalam ritus inisiasi tau nuwa pada masyarakat adat Rendu Kecamatan Aesesa Selatan Kabupaten Nagekeo? Penelitian ini bertujuan untuk: 1) Mengungkapkan proses pelaksanaan ritus inisiasi tau nuwa pada masyarakat adat Rendu Kecamatan Aesesa Selatan Kabupaten Nagekeo. 2) Mengungkapkan makna yang terdapat dalam ritus inisiasi tau nuwa pada masyarakat adat Rendu Kecamatan Aesesa Selatan Kabupaten Nagekeo. Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif dan jenis penelitian deskriptif. Tekhnik pengumpulan data dilakukan melalui observasi, wawancara dan dokumentasi. Dan teknik analisis data dilakukan melalui reduksi data, pemaparan data dan penarikan kesimpula Hasil penelitian menunjukkan bahwa ritus tau nuwa masih tetap dilakukan oleh masyarakat adat Rendu khususnya kaum laki-laki dewasa dalam arti sudah berkeluarga supaya dapat melakukan segala kewajiban yang berhubungan dengan berbagai kegiatan adat dalam masyarakat. Ritus inisiasi tau nuwa bagi masyarakat adat Rendu di Kecamatan Aesesa Selatan memiliki makna antara lain makna religius, makna kebersamaan dan makna persaudaraan.
KEBIASAAN BO BEDIL PADA SAAT ORANG MENINGGAL DUNIA DI DESA GOLO WEDONG KECAMATAN KUWUS BARAT KABUPATEN MANGGARAI BARAT Atul, Pius Hadino; Dentis, Yosef; Djandon, Maria Gorety
Sajaratun : Jurnal Sejarah dan Pembelajaran Sejarah Vol 7 No 1 (2022): Sajaratun : Jurnal Sejarah dan Pembelajaran Sejarah
Publisher : Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Flores

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37478/sajaratun.v7i1.1962

Abstract

Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah (1) Bagaimana asal-usul kebiasaan bo bedil pada saat orang meninggal dunia? (2) Apa persepsi tua adat tentang perubahan dalam tradisi bo bedil pada saat orang meninggal dunia? Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui asal-usul kebiasaan bo bedil pada saat orang meninggal dunia (2) mengetahui persepsi tua adat tentang perubahan dalam tradisi bo bedil pada saat orang meninggal dunia.Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif kualitatif, metode pengumpulan data menggunakan teknik: (1) Wawancara (2) Dokumentasi. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah reduksi data, pemaparan data, dan penarikan kesimpulan. Sesuai dengan fokusnya, maka yang menjadi subjek penelitian ini terdiri dari informan kunci daninforman pendukung, yang terdiri dari Tua golo, Tua tembongsekaligusTua teno, dan informan pendukung dari warga Desa Golo Wedong.Hasil penelitian menunjukan bahwa tradisi bo bedil pertama kali ada sejak zaman penjajahan dan persepsi tua adat mengenai perubahan dalam tradisi bo bedil, bahwa perubahan itu terjadi karena perkembangan zaman yang semakin pesat dengan munculnya teknologi baru untuk memudahkan segala kegiatan manusia.
MOTIF ANAK PUTUS SEKOLAH YANG BEKERJA PADA SEKTOR INFORMAL (STUDI KASUS) DI KELURAHAN EKASAPTA KECAMATAN LARANTUKA KABUPATEN FLORES TIMUR Tajriah, Suryani; Djandon, Maria Gorety; Sulaiman, Hasti
Sajaratun : Jurnal Sejarah dan Pembelajaran Sejarah Vol 7 No 2 (2022): Sajaratun : Jurnal Sejarah dan Pembelajaran Sejarah
Publisher : Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Flores

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37478/sajaratun.v7i2.2413

Abstract

Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah 1) Apakah yang menyebabkan anak putus sekolah yang bekerja pada sektor informal? 2) Apakah dampak negatif yang menyebabkan anak putus sekolah yang bekerja pada sktor informal? 3) Bagaimana upaya pemerintah dalam mengatasi anak putus sekolah yang bekerja pada sektor informal? Penelitian ini bertujuan untuk: 1) Untuk mengetahui faktor penyebab anak putus sekolah yang bekerja pada sektor informal 2) untuk mengetahui dampak negatif yang menyebabkan anak putus sekolah yang bekerja pada sektor informal, 3) untuk mengetahui upaya yang dilakukan pemerintah dalam mengatasi masalah anak putus sekolah. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan penelitian studi kasus. Pengumpulan data menggunakan teknik observasi, wawancara dan dokumentasi. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: 1) pengumpulan data, 2) reduksi data 3) penyajian data, 4) penarikan kesimpulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: faktor penyebab anak berhenti sekolah adalah rendahnya SDM, kurangnya motivasi, minat yang rendah, lingkungan sosial sekolah, lingkungan sosial masyarakat serta kurangnya perhatian orang tua terhadap pendidikan anak. Penyebab anak meninggalkan bangku sekolah adalah kesadaran pendidikan, ekonomi yang rendah, sehingga anak-anak rela meninggalkan bangku sekolah guna membantu perekonomian keluarga dengan mencari pekerjaan sebagai sopir angkot, kenek, nelayan, penjual ikan bahkan ada yang merantau di luar negeri. Dampak anak putus sekolah yaitu dampak negatif seperti mabuk-mabukan, mencuri, bermain judi, duduk nongkrong seharian, membuat keributan bahkan menikah di usia sekolah. Upaya yang dilakukan oleh pemerintah Kelurahan Ekasapta yaitu sosialisasi antara anak dan orang tua tentang pentingnya pendidikan serta mengadakan sekolah paket A. Sedangkan dari pihak sekolah SDN Kampung Baru sudah mengadakan program bimbingan prestasi serta mengadakan sosialisasi yang dilakukan oleh guru-guru SDN Kampung Baru di Kelurahan Ekasapta saat proses belajar mengajar serta saat ceramah ataupun setelah upacara bendera.
MAKNA JOTO SEBAGAI NILAI BUDAYA KEARIFAN LOKAL SUKU API LEDU DI DESA WOLOLELU KECAMATAN MAUPONGGO KABUPATEN NAGEKEO Co'o, Kristina Fania; Djandon, Maria Gorety; Kusi, Josef
Sajaratun : Jurnal Sejarah dan Pembelajaran Sejarah Vol 7 No 2 (2022): Sajaratun : Jurnal Sejarah dan Pembelajaran Sejarah
Publisher : Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Flores

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37478/sajaratun.v7i2.2432

Abstract

Permasalahan yang diangkat peneliti adalah Apa makna Joto sebagai nilai budaya kearifan lokal Suku Api Ledu di Desa Wololelu Kecamatan Mauponggo Kabupaten Nagekeo? Apa fungsi Joto sebagai nilai budaya kearifan lokal Suku Api Ledu di Desa Wololelu Kecamatan Mauponggo Kabupaten Nagekeo?.Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori kebudayaan yang digagas oleh Prof. M. Djojodigeno yang menegaskan bahwa kebudayaan “atau budaya” adalah daya dari budi, yang berupa cipta, karsa dan rasa.Cipta yang artinya bawa kerinduan manusia untuk mengetahui rahasia segala hal yang ada dalam pengelamannya, Karsa yang berarti kerinduan manusia untuk menginsyafi tentang hal “sangkan paran”. Sedangkan rasa yang berarti kerinduan manusia akan keindahan. Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif.Penelitian ini dilakukan di Desa Wololelu Kecamatan Mauponggo Kabupaten Nagekeo. Subjek yang dipilih adalah anggota suku Api Ledu. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adala teknik wawancara, observasi, dan dokumentasi. Teknik analisis yang digunakan : reduksi data, penyajian data, penyimpulan dan verifikasi serta kesimpulan akhir. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa makna Joto dibagi menjadi dua bagia yaitu makna estetika dan makna budaya. Sedangkan fungsi Joto dibagi menjadi tiga bagian yaitu fungsi religi, fungsi solidaritas dan fungsi persatuan.Makna peneliti menyimpulkan bawa Joto sebagai dasar atau pondasi dan sebagai simbol dalam suku yang dimana terdapat aturan-aturan yang sudah disepakati bersama melalui musyawarah bersama sehingga terjalin hubungan yang harmonis dalam suku.
STRATEGI BERTAHAN HIDUP PADA KOMUNITAS PETANI SAWAH TADAH HUJAN (Studi Kualitatif di Lecem Desa Wae Renca Kecamatan Cibal Barat Kabupaten Manggarai) Jelita, Yohana Sumiyati; Ola Kenoba, Marianus; Djandon, Maria Gorety
Sajaratun : Jurnal Sejarah dan Pembelajaran Sejarah Vol 8 No 1 (2023): Sajaratun : Jurnal Sejarah dan Pembelajaran Sejarah
Publisher : Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Flores

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37478/sajaratun.v8i1.2944

Abstract