Claim Missing Document
Check
Articles

Found 19 Documents
Search

MAKNA SIMBOLIS GUTI FU DI DESA BHERAMARI KECAMATAN NANGAPANDA KABUPATEN ENDE Rero, Dentiana; Kusi, Josef
Historis : Jurnal Kajian, Penelitian dan Pengembangan Pendidikan Sejarah Vol 6, No 1 (2021): Juni
Publisher : UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MATARAM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31764/historis.v6i1.5101

Abstract

Abstrak: Permasalahan dalam penelitian ini adalah tentang makna simbolis dari upacara Guti fu bagi masyarakat Nangakeo. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui makna simbolis dari upacara Guti fu bagi masyarakat Nangakeo. Permasalahan ini diteliti dengan menggunakan teori interaksi simbolik yang digagaskan oleh Stryker. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Dengan pendekatan deskriptif kualitatif. Teknik pengumpulan data adalah observasi, wawancara, dan dokumentasi. Sedangkan teknik analisis data yakni pengumpulan data, reduksi data, pemaparan data, penarikan kesimpulan atau verifikasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kebudayaan potong rambut (Guti fu) yang harus dilaksanakan setiap keluarga baru yang dikarunia keturunan namun bagi anak bayi pertama dalam satu keluarga sebagai tanda simbolis untuk  melindungi anak dari pengaruh dunia luar sepreti dari aspek pergaulan, mentalitas, karakter, kesehatan dan lain-lain. Dan adapun makna yang terkandung dalam upacara Guti fu yaitu makna religius, makna sosial, dan makna pelestarian. Untuk melaksanakan upacara yang berkaitan dengan budaya guti fu di butuhkan perlengkapan yang memiliki makna khusus, agar anak bayi tidak mengalami hambatan-hambatan untuk kelancaran upacara guti fu, karena upacara ini adalah salah satu wujud kepercayaan yang diturunkan secara turun-temurun. Dalam hal ini upacara guti fu menjadi salah satu tradisi kebudayaan adat istiadat masyarakat Nangakeo yang harus laksanakan dalam keluarga.Abstract: The problem in this study is about the symbolic meaning of the Guti fu ceremony for the Nangakeo people. The purpose of this research is to find out the symbolic meaning of the Guti fu ceremony for the Nangakeo people. This problem was examined using the theory of symbolic interaction initiated by Stryker. The method used in this study is the qualitative method. With a qualitative descriptive approach. Data collection techniques are observation, interview, and documentation. While data analysis techniques are data collection, data reduction, data exposure, conclusion drawing, or verification. The results of this study showed that the culture of haircuts (Guti fu) must be implemented in every new family that is blessed with offspring but for the first baby in one family as a symbolic sign to protect the child from the influence of the outside world as a result of the aspects of the association, mentality, character, health, and others. And the meaning contained in the ceremony Guti fu is religious, social meaning, and the meaning of preservation. To carry out the ceremony related to guti fu culture in need of equipment that has a special meaning, so that the baby does not experience obstacles to the smoothness of the ceremony guti fu, because this ceremony is one form of belief that is passed down through generations. In this case, the guti fu ceremony became one of the traditional cultural traditions of nangakeo people that must be carried out in the family.
MAKNA SIMBOLIS GUTI FU DI DESA BHERAMARI KECAMATAN NANGAPANDA KABUPATEN ENDE Dentiana Rero; Josef Kusi
Historis : Jurnal Kajian, Penelitian dan Pengembangan Pendidikan Sejarah Vol 6, No 1 (2021): JUNE
Publisher : UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MATARAM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31764/historis.v6i1.4754

Abstract

Abstrak: Permasalahan dalam penelitian ini adalah tentang makna simbolis dari upacara Guti fu bagi masyarakat Nangakeo. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui makna simbolis dari upacara Guti fu bagi masyarakat Nangakeo. Permasalahan ini diteliti dengan menggunakan teori interaksi simbolik yang digagaskan oleh Stryker. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Dengan pendekatan deskriptif kualitatif. Teknik pengumpulan data adalah observasi, wawancara, dan dokumentasi. Sedangkan teknik analisis data yakni pengumpulan data, reduksi data, pemaparan data, penarikan kesimpulan atau verifikasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kebudayaan potong rambut (Guti fu) yang harus dilaksanakan setiap keluarga baru yang dikarunia keturunan namun bagi anak bayi pertama dalam satu keluarga sebagai tanda simbolis untuk  melindungi anak dari pengaruh dunia luar sepreti dari aspek pergaulan, mentalitas, karakter, kesehatan dan lain-lain. Dan adapun makna yang terkandung dalam upacara Guti fu yaitu makna religius, makna sosial, dan makna pelestarian. Untuk melaksanakan upacara yang berkaitan dengan budaya guti fu di butuhkan perlengkapan yang memiliki makna khusus, agar anak bayi tidak mengalami hambatan-hambatan untuk kelancaran upacara guti fu, karena upacara ini adalah salah satu wujud kepercayaan yang diturunkan secara turun-temurun. Dalam hal ini upacara guti fu menjadi salah satu tradisi kebudayaan adat istiadat masyarakat Nangakeo yang harus laksanakan dalam keluarga.Abstract: The problem in this study is about the symbolic meaning of the Guti fu ceremony for the Nangakeo people. The purpose of this research is to find out the symbolic meaning of the Guti fu ceremony for the Nangakeo people. This problem was examined using the theory of symbolic interaction initiated by Stryker. The method used in this study is the qualitative method. With a qualitative descriptive approach. Data collection techniques are observation, interview, and documentation. While data analysis techniques are data collection, data reduction, data exposure, conclusion drawing, or verification. The results of this study showed that the culture of haircuts (Guti fu) must be implemented in every new family that is blessed with offspring but for the first baby in one family as a symbolic sign to protect the child from the influence of the outside world as a result of the aspects of the association, mentality, character, health, and others. And the meaning contained in the ceremony Guti fu is religious, social meaning, and the meaning of preservation. To carry out the ceremony related to guti fu culture in need of equipment that has a special meaning, so that the baby does not experience obstacles to the smoothness of the ceremony guti fu, because this ceremony is one form of belief that is passed down through generations. In this case, the guti fu ceremony became one of the traditional cultural traditions of nangakeo people that must be carried out in the family.
KEHIDUPAN SOSIAL MASYARAKAT STRATA BAWAH PADA SUKU ENDE Dentiana Rero; Josef Kusi
Historis : Jurnal Kajian, Penelitian dan Pengembangan Pendidikan Sejarah Vol 5, No 2 (2020): DECEMBER
Publisher : UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MATARAM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31764/historis.v5i2.1959

Abstract

Abstrak: Permasalahan yang diangkat dalam  penelitian ini adalah apa yang mendasari adanya klasifikasi identitas  sosial masyarakat strata bawah pada suku Ende Kabupaten Ende dan bagaimana kehidupan sosial masyrakat strata bawah pada suku Ende Kabupaten Ende. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dasar adanya klasifikasi identitas sosial masyarakat strata bawah pada suku Ende Kabupaten Ende dan juga mengetahui kehidupan sosial masyarakat strata bawah pada suku Ende kabupaten Ende.Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori fungsional struktural oleh Davis dan Moore. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif dengan teknik pengumpulan data yaitu  observasi, wawancara dan dokumentasi. Sedangkan teknik data yakni reduksi data, pemaran data dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian menunjukan bahwa masyarakat strata bawah merupakan  suatu golongan dalam suatu masyarakat kebudayaan di suku Ende yang dalam arti golongan yang di perhatikan oleh  tua adat (mosalaki). Selain itu pula golongan tersebut diberi sebagian tanah dari mosa laki untuk dijadikan tempat tinggal maupun untuk usaha pertanian dalam menunjang kehidupan ekonomi mereka.Abstract: The issues raised in this research is what the underlying causes of the existence of community social identity classification under strata in the tribe of the Ende Districts Ende and how social life indigenous strata down on the tribe of Ende Districts Ende. The objective of this research is to know the basis of social identity classification society under strata in the tribe of the Ende Ende District and also know the public social life strata down on the tribe of Ende districts Ende. The theory that is used in this research is the structural functional theory by Davis and Moore. The research method used in this research is a qualitative research method with data collection technique namely observation, interview and documentation. While the technique of data is  data reduction, pemaran data and the withdrawal of the conclusion. The research results show that the community strata below is a the in a cultural community in the tribe of Ende which in the meaning of the note by indigenous elders (mosalaki). Besides that also the is given some land from mosa man to live as well as to the business of agriculture in support of their economic life.
Implementasi Kebijakan “Merdeka Belajar, Kampus Merdeka” pada Perguruan Tinggi Swasta: Survey Pendidikan Sejarah Universitas Flores Agutina Mei; Finsensius Yesekiel Naja; Josef Kusi
EDUKATIF : JURNAL ILMU PENDIDIKAN Vol 4, No 2 (2022): April Pages 1601- 3200
Publisher : Universitas Pahlawan Tuanku Tambusai

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31004/edukatif.v4i2.2010

Abstract

Dunia pendidikan menjadi sangat istimewa karena bergulirnya kebijakan  Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Konsep MBKM memberi kebebasan dan otonomi kepada Lembaga Pendidikan, dan merdeka dari birokratisasi, dosen dibebaskan dari birokrasi yang berbelit serta mahasiswa diberikan kebebasan untuk memilih bidang yang mahasiswa sukai, Adanya kebebasan yang hendak diraih dalam MBKM ini menambah imun setiap kampus untuk terus menjadi lebih baik lagi dengan mencetak lulusan memiliki nilai karakter, daya pikir, dan kreativitas. Peneltian ini bertujuan untuk mengetahui implementasi kebijakan Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) di perguruan tinggi swasta: Survey pada program studi pendidikan Sejarah Universitas Flores. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan kuantitatif dengan metode survei. Data diperoleh dari populasi yang berjumlah 147  responden yang merupakan mahasiswa Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Flores. Data dikumpulkan melalui kuesioner survei  SPADA DIKTI. Teknik analisis data dimulai dari pengumpulan data kemudian dianalisis menggunakan analisis deskriptif. Hasil dari penelitian survey ini menunjukan bahwa mahasiswa  pada program studi pendidikan Sejarah, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Flores memberikan respon yang positif terhadap program Merdeka Belajar Kampus Merdeka dan sudah menyiapkan diri dengan baik untuk mengikuti kegiatan MBKM yang difokuskan pada program asistensi mengajar di satuan pendidikan.
MAKNA RITUAL LENGGENG ALANG PADA PEREMPUAN DI DESA KOJAWAIR KECAMATAN HEWOKLOANG KABUPATEN SIKKA Josef Kusi; Elisabeth Sustita Dua Jawa
NUSANTARA : Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial Vol 9, No 5 (2022): NUSANTARA :Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial
Publisher : Universitas Muhammadiyah Tapanuli Selatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31604/jips.v9i5.2022.1552-1560

Abstract

Permasalahan  yang diangkat dalam penelitian ini adalah apa makna lenggeng alang pada perempuan di desa Kojawair Kecamatan Hewokloang Kabupaten Sikka. Tujuan penelitian  adalah  untuk  mengetahui  makna lenggeng  alang  pada  rempuan di Desa Kajowair, Kecamatan Hewokloang, Kabupaten Sikka. Metode yang digunakan  dalam penelitian ini adalah metode penelitilian kualitatif dengan teknik pengumpulan data adalah observasi, wawancara dan dokumentasi. Sedangkan  analisis data adalah reduksi data, pemaparan data dan, penarikan  kesimpulan.  Hasil  penelitian menunjukan bahwa makna yang terkandung dala ritual lenggeng alang adalah makna kedewasaan, makna keindahan dan makna budaya. Dewasa  dalam  hal  ini  artinya ia sanggup melaksanakan tugas sebagai ibu rumah tangga yang baik. Demikian lenggeng alang sebagai simbol identitas perempuan yang  merupakan  warisan  leluhur yang  mengandung nilai budaya dan simbol-simbol tersendiri yang merupakan  pesan moral  bagi masyarakat desa Kojawair, khususnya  generasi  muda agar tetap melestarikan budaya yang ada.
PENDAMPINGAN PELAKSANAAN PENELITIAN TINDAKAN KELAS DAN PENULISAN PUBLIKASI ILMIAH BAGI GURU DI SMA Konstantinus Denny Pareira Meke; Sofia Sa'o; Lely Suryani; Alexander Bala; Felix Welu; Marsel Nande; Maimunah Haji Daud; Melkyanus Bili Umbu Kaleka; Sayful Amrin; Stefanus Hubertus Gusti Ma; Maria Kristina Ota; Yosef Moan Banda; Josef Kusi; Bonaventura R Seto Se
Martabe : Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat Vol 6, No 6 (2023): martabe : jurnal pengabdian kepada masyarakat
Publisher : Universitas Muhammadiyah Tapanuli Selatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31604/jpm.v6i6.1876-1886

Abstract

Pengabdian kepada masyarakat ini memiliki tujuan untuk mengarahkan guru dan memberikan pendampingan saat guru melaksanakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dan merampungkannya dalam artikel ilmiah yang terpublikasi. Metode pengabdian ini menggunakan pelatihan dengan tahapan yakni pendampingan dalam pembuatan proposal, membantu merancang kegiatan serta perangkat pembelajaran, pendampingan pelaksanaan PTK, hingga mempublikasikannya sebagai publikasi ilmiah pada jurnal nasional Ber ISSN. Hasil kegiatan pengabdian pendampingan ini menunjukkan bahwa bertambahnya wawasan dan motivasi para guru dalam pelaksanaan penelitian tindakan kelas serta lebih memahami tahapan-tahapan dalam proses pelaksanaan PTK. Guru juga mampu menghasilkan Karya ilmiah hasil PTK serta publikasi pada jurnal nasional ber ISSN yang dapat digunakan sebagai syarat kenaikan jabatan fungsional. Kegiatan pengabdian pendampingan pelaksanaan PTK dan penulisan publikasi ilmiah mampu menjadi motivasi untuk meningkatkan kemampuan dan kompetensi guru.
MAKNA BELIS GADING GAJAH (SUE) DALAM TRADISI PERKAWINAN ADAT BUDAYA MASYARAKAT RAJAWAWO DI DESA EMBUZOZO KECAMATAN NANGAPANDA KABUPATEN ENDE Cantikma, Adriana Sucinta; Dentis, Yosef; Kusi, Josef
Sajaratun : Jurnal Sejarah dan Pembelajaran Sejarah Vol 9 No 2 (2024): Sajaratun : Jurnal Sejarah dan Pembelajaran Sejarah
Publisher : Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Flores

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37478/sajaratun.v9i2.5255

Abstract

Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah apa Makna Belis Gading Gajah (Sue) Dalam Tradisi Perkawinan Adat Budaya Masyarakat Rajawawo Di Desa Embuzozo Kecamtan Nangapenda?. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Makna Dari Belis Gading Gajah (Sue) Dalam Tradisi Perkawinan Adat Budaya Masyarakat Rajawawo Di Desa Embuzozo Kecamtan Nangapenda Kabupaten Ende. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif. Penelitian ini menggunakan metodologi etnografi. Subjek penelitian terdiri dari 3 orang sebagai informan kunci dan 4 orang informan pendukung. Teknik pengumpulan data adalah: Reduksi data, Presentasi data, dan Penarikan kesimpulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa belis memiliki dua nilai, yaitu nilai historis dan budaya. Nilai historis dalam tradisi perkawinan adat budaya masyarakat Rajawawo merupakan salah satu tradisi yang diwariskan oleh leluhur terdahulu. Nilai budaya adalah bahwa semua masyarakat Rajawawo masih melaksanakannya tradisi peninggalan nenek moyang terdahulu. Benda yang diberikan oleh laki-laki kepada perempuan merupakan penghargaan kepada pihak perempuan. Benda tersebut berupa gading gajah, sapi, emas, dan uang yang merupakan warisan budaya leluhur yang harus dijaga dan dilestarikan dari generasi ke generasi.
MAKNA SIMBOLIK MOTIF KHAS LAWO/SARUNG KELIMARA ENDE LIO Kusi, Josef
Sajaratun : Jurnal Sejarah dan Pembelajaran Sejarah Vol 9 No 2 (2024): Sajaratun : Jurnal Sejarah dan Pembelajaran Sejarah
Publisher : Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Flores

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37478/sajaratun.v9i2.5280

Abstract

Permasalahan dalam penelitian ini adalah apa makna simbol motif khas lawo/ sarung kelimara di kampung adat Wolotopo, Kabupaten Ende Flores Nusa Tenggara Timur. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan dan mendeskripsikan makna simbol motif khas lawo / Sarung kelimara di kampung adat Wolotopo Ndona Ende - Lio, Kabupaten Ende Flores Nusa Tenggara Timur. Metode yang digunakan dalam Penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Tehnik pengumpulan data observasi, wawancara dan dokumentasi . Teknik analisis data dalam penelitian ini reduksi data, pemaparan data dan kesimpulan. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa makna motif khas lawo/ sarung kelimara Ende –Lio adalah simbol kehidupan, kasih sayang serta cinta yang dicurahkan Tuhan adalah sumber kasih sejati kepada manusia. Selain itu mengadung makna kesuburan dan juga keindahan. Kelimara adalah salah satu lawo / sarung saat ini cukup terkenal dikalangan masyarakat Ende-Lio, hal dikarenakan motifnya yang indah, sehingga kebanyakan kaum perempuan sebagai sarung idola. Sarung lawo / sarung kelimara dikenakan pada berbagai acara seperti pesta perkawina, ritual adat, hari raya, pernikahan, dan juga busana bagi kelompok tertentu dalam membawakan suatu acara kedinasan dan acara kegiatan sosial lainnya . Keindahan lawo / sarung kelimara selain motif gunung yang indah, juga paduan aneka warna seperti warna kuning melambangkan kesuburan kaum perempuan, pratanda seorang gadis dapat dipersunting oleh seorang pemuda. Warna Putih melambangkan kesucian atau keperawanan seorang gadis. Warna merah melambangkan keberanian serta semangat kerja. Warna hitam melambangkan kekuatan, keagungan dan gagah. Warna biru tua melambangkan kebijksanaan dan dipercaya. Demikian halnya bila kaum perempuan Ende-Lio mengenakan lawo/sarung kelimara pada acara-acara tertentu nampak cantik, anggun, gagah, mempesona serta bijaksana sehingga memikat hati setiap orang yang memandangnya.
Messages of Ecological Awareness in the Pa’a Loka Ritual of Water Sources among the Lio Indigenous People, Ende Regency, Flores: Pesan Kesadaran Ekologis Dalam Ritus Pa’a Loka Sumber Air Dalam Masyarakat Adat Lio Kabupaten Ende Flores Kusi, Josef; Helena Mau
Santhet: (Jurnal Sejarah, Pendidikan Dan Humaniora) Vol 9 No 3 (2025): SANTHET: (JURNAL SEJARAH, PENDIDIKAN DAN HUMANIORA) 
Publisher : Proram studi pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universaitas PGRI Banyuwangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36526/santhet.v9i3.5351

Abstract

The formulation of the problem in this study is; 1). What is the process or stages of the traditional rite of pa'a loka in the water source in the Lio Ende indigenous community, 2), What is the message of ecological awareness in the ritual of pa'a loka in the water source in the indigenous people of Lio Ende. 3). What is the ecological and anthropological view in the rite of pa'a loka water source in the indigenous people of Lio Ende.The purpose of this study is to; 1). Knowing the process of pa; a loka at water sources in the indigenous people of Lio Ende, 2). Knowing the message of ecological awareness in the ritual of pa'a loka at the water source in the indigenous people of Lio Ende. The rite of the water source in the Lio Ende community.3). To know the ecological and anthropological views of the ritual of the water source in the Lio Ende community. The method used in this study is qualitative descriptive. The data collection techniques are observation, interviews and documentation. The data analysis techniques in this study are; 1) data collection, 2) data reduction, 3) data presentation. 4) Draw conclusions. The results of the study show that the process or stages in the rite of pa'a loka water source in the indigenous people of Lio Ende go through three stages, namely; preparation, implementation and final. The message for the younger generation is that traditional rituals continue to be carried out, protecting the forest by, not illegally logging, so that the water discharge remains stable. Through the ritual of the Lio Ende indigenous people, ask for the blessing of the ancestors and provide abundant water. The ecological view in the ritual pa'a loka at the water source is to maintain a harmonious balance of relations between the environment, nature and humans. Anthropological views; Perpetuate the endless relationship between the surviving generations and the ancestors
DINAMIKA MASYARAKAT NELAYAN GURITA DI KAMPUNG ARUBARA KELURAHAN TETANDARA KECAMATAN ENDE SELATAN KABUPATEN ENDE Hanafiah, Azizah; Kusi, Josef; Bego, Karolus Charlaes
Sajaratun : Jurnal Sejarah dan Pembelajaran Sejarah Vol 7 No 1 (2022): Sajaratun : Jurnal Sejarah dan Pembelajaran Sejarah
Publisher : Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Flores

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37478/sajaratun.v7i1.1957

Abstract

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Bagaimanakah Dinamika Masyarakat Nelayan Gurita di Kampung Arubara Kelurahan Tetandara Kecamatan Ende Selatan Kabupaten Ende? Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Dinamika Masyarakat Nelayan Gurita di Kampung Arubara Kelurahan Tetandara Kecamatan Ende Selatan Kabupaten Ende. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dan teknik dan instrumen pengumpulan data yang digunakan adalah Observasi, Wawancara, Dokumentasi. Teknik Analisis Data yang digunakan adalah Reduksi Data, Pengumpulan Data, Penarikan Kesimpulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa alat tangkap gurita oleh masyarakat arubara mengalami perkembangan sesuai kemajuan jaman. Pada masa yang lalu nelayan gurita menggunakan anak panah dan ganco. Seiring perkembangan waktu masyarakat membuat alat tangkap gurita berupa pocong atau menggunakan beberapa alat tangkap menggunakan kain berupa gurita tiruan untuk menjadi umpan gurita. Alat tangkap berupa kain oleh komunitas gurita sering disebut pocong-pocong.