Erwin Pradian
Departemen Anestesiologi Dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung

Published : 64 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Perbandingan Keberhasilan dan Waktu Intubasi Endotrakeal pada Manekin antara Bantal Intubasi Standar dengan Bantal Intubasi Modifikasi Sendy Setiawan Permana; Erwin Pradian; Dedi Fitri Yadi
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 6, No 3 (2018)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (469.192 KB) | DOI: 10.15851/jap.v6n3.1363

Abstract

Intubasi pipa endotrakeal adalah standar baku manajemen jalan napas. Direct laryngoscopy dengan memposisikan kepala dan leher secara sniffing position menggunakan bantal agar visualisasi glotis optimal merupakan kunci untuk melakukan tindakan intubasi endotrakea. Tujuan penelitian adalah membandingkan keberhasilan dan lama waktu intubasi endotrakea pada manekin menggunakan bantal intubasi standar dengan bantal intubasi modifikasi. Penelitian menggunakan metode crossover randomized study dengan teknik nonprobability sampling oleh 31 orang residen anestesi pada manekin di ruang skill lab Departemen Anestesiologi dan Terapi Intesif FK Unpad  RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung periode Februari 2018. Penelitian dibagi menjadi kelompok bantal intubasi standar (A) melakukan intubasi endotrakeal menggunakan bantal intubasi standar dilanjutkan menggunakan bantal intubasi modifikasi. Kelompok bantal modifikasi (B) melakukan intubasi endotrakeal dengan bantal intubasi modifikasi dilanjutkan menggunakan bantal intubasi standar, dinilai keberhasilan dan lama waktu intubasi. Data dianalisis dengan uji-t dan Uji Mann-Whitney dengan p<0,05 dianggap bermakna. Analisis data statistik menunjukkan angka keberhasilan yang sama pada kedua kelompok, sedangkan lama waktu intubasi endotrakea lebih singkat pada kelompok bantal modifikasi dibanding dengan kelompok bantal standar yang berbeda bermakna (p<0,05). Simpulan penelitian menunjukkan waktu intubasi menggunakan bantal intubasi modifikasi lebih singkat dibanding dengan menggunakan bantal standar, sedangkan keberhasilan intubasi sama pada kedua kelompok.Kata kunci: Bantal intubasi, intubasi endotrakea, sniffing positionComparison of Successful Intubation and Time of Intubation in Mannequin using Standard Intubation Pillow and Modified Intubation PillowEndothracheal intubation is the gold standard in airway management. Direct laryngoscopy by positioning the head and the neck in a sniffing position with the help of a pillow will facilitate optimal visualization of the trachea, which is the key to a successful endotracheal intubation. The purpose of this study was to assess the time needed to intubate mannequin using modified intubation pillow when compared to standard intubation pillow. This was a crossover randomized study using nonprobability sampling technique conducted inn March 2018 on of 31 anesthesia residents who were working on a mannequin in the Skill Laboratory of Anesthesiology and Intensive Therapy Department of Dr. Hasan Sadikin General Central Hospital. Subjects were divided into two groups: group A that used the standard intubation pillow, followed by the modified intubation pillow and group B that used the modified intubation pillow, followed by the standard intubation pillow. The success rate and the time needed to intubate were recorded. Data were analyzed using t-test and Mann-Whitney test with a p score of <0.05 considered to be significant. The statistical analysis showed the same success rate in both groups, while the time needed to intubate was shorter in the modified pillow group with p<0.05. Hence, the use of modified intubation pillow shorten the time needed to intubate, while the success rate is similar when compared to standard pillow.Key words: Endotracheal intubation, intubation pillow, sniffing position 
gambaran prokalsitonin, skor sofa dan rasionalitas pemberian antibiotik pada pasien luka bakar berat di rsup hasan sadikin Kurnia Ricky Ananta; Erwin Pradian; Nurita Dian Kestriani
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 9, No 3 (2021)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15851/jap.v9n3.2579

Abstract

Sepsis masih menjadi penyebab utama kematian pada luka bakar berat karena dampak luka bakar yang luas pada sistem organ. Prokalsitonin dan skor sequential organ failure assessment (SOFA) memiliki kemampuan yang sama dalam menilai prognosis pada pasien sepsis untuk indikator mortalitas, terapi yang lebih awal dan mengevaluasi terapi yang diberikan, agar angka mortalitas dapat menurun. Penggunaan antibiotik yang tepat dan akurat juga dapat dianggap sebagai faktor penting dalam meningkatkan prognosis. Tujuan penelitian ini melihat gambaran prokalsitonin, skor SOFA, dan rasionalitas pemberian antibiotik pada pasien luka bakar berat di RSUP Dr Hasan Sadikin Bandung. Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik yang dilakukan pada 38 pasien yang dirawat di ULB dan ICU RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung Februari–Agustus 2021. Penelitian ini diperoleh hasil bahwa nilai prokalsitonin yang didukung skor SOFA dapat dijadikan acuan untuk mempertimbangkan keberhasilan pemberian antibiotik dan penghentian antibiotik pada pasien luka bakar berat. Pemberian antibiotik pada seluruh pasien luka bakar berat di RSUP Dr. Hasan Sadikin tidak rasional dikarenakan tidak didasari pemeriksaan kultur dan prokalsitonin pada hari pertama pasien terpapar. Pemberian antibiotik profilaksis secara rasional harus didukung oleh tanda-tanda infeksi yang jelas dilihat dari nilai prokalsitonin, skor SOFA, dan kultur untuk menghindari resistensi antibiotikOverview of Procalcitonin, SOFA Score, and Rationality of Antibiotics Administration to Patients with Severe Burns at Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung, February–August 2021Sepsis is currently the leading cause of death in severe burns due to its wide-ranging effects on organ systems. Procalcitonin and sequential organ failure assessment (SOFA) scores can determine the prognosis of septic patients in terms of mortality indicators, early therapy, and evaluation of the therapy given to reduce mortality and morbidity. Correct and accurate use of antibiotics is also essential in improving the patient's prognosis. This study aimed to determine the procalcitonin, SOFA scores, and the rationality of antibiotics administration to patients with severe burns at Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung. This analytic observational study was conducted on 38 patients hospitalized in the Burn Unit and ICU of Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung during February–August in 2021. Procalcitonin values supported by SOFA scores may refer to successful antibiotic administration and ceasing therapy in severe burn injury patients. Antibiotic administration to all patients with severe burns in Dr. Hasan Sadikin General Hospital was irrational as it was not based on cultural examination and procalcitonin on the first day of exposure. Clear signs of infection seen from the procalcitonin value, SOFA score, and culture to avoid antibiotic resistance must support rational prophylactic antibiotic administration.
Perbandingan Pemberian Morfin 15 mg Topikal dengan Bupivakain 0,25% Topikal pada Luka Operasi Modified Radical Mastectomy terhadap Waktu Bebas Nyeri dan Jumlah Kebutuhan Opioid Pascaoperasi Irwan Setiadi; M. Andy Prihartono; Erwin Pradian
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 8, No 2 (2020)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15851/jap.v8n2.2038

Abstract

Berbagai macam analgetik dapat diberikan untuk mengatasi nyeri pascaoperasi mastektomi, namun tidak ada yang ideal dalam menangani nyeri pascaoperasi. Teknik pemberian topikal adalah teknik terbaru untuk penanganan nyeri akut pascaoperasi modified radical mastectomy. Penelitian ini bertujuan membandingkan waktu bebas nyeri dan jumlah kebutuhan opioid pascaoperasi modified radical mastectomy. Penelitian menggunakan metode uji klinis acak terkontrol buta ganda melibatkan 38 pasien yang menjalani operasi modified radical mastectomy di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung pada bulan November 2019–Februari 2020. Pasien dibagi menjadi dua kelompok, kelompok morfin 15 mg topikal (kelompok M, n=19) dan kelompok bupivakain 0,25% topikal (kelompok B, n=19). Analisis data menggunakan Uji  Mann Whitney karena distribusi data tidak normal berdasar hasil Uji Shapiro-Wilk. Hasil penelitian didapatkan bahwa waktu bebas nyeri lebih lama pada kelompok M (846,78±411,80 menit) dibanding dengan kelompok B (401,52±123,19 menit) dengan perbedaan yang signifikan (p<0,05). Total kebutuhan opioid kelompok M lebih sedikit, yaitu sebesar 1,15±0,60 gram dibanding dengan kelompok B sebesar 3,84±0,89 gram dengan perbedaan yang signifikan (p<0,05). Simpulan penelitian adalah pemberian morfin topikal memberikan waktu bebas nyeri lebih lama dan jumlah kebutuhan opioid pascaoperasi lebih sedikit dibanding dengan pemberian bupivakain topikal untuk nyeri pascaoperasi modified radical mastectomy.Comparison of Postoperative Pain Free Duration and Amount of Opioid Need between Topical 15 mg Morphine and 0.25% Bupivacaine Applications on Modified Radical Mastectomy Surgical Wound Various analgesic methods are implemented for reducing postoperative mastectomy pain, but none of them are ideal. Topical administration is the latest technic for managing postoperative pain in modified-radical mastectomy. This study aimed to compare pain free duration and the amount of opioid needed to manage pain after modified-radical mastectomy. This randomized double-blind clinical trial study with 38 patients underwent modified radical mastectomy in Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung, Indonesia, was performed from November 2019 to February 2020. Subjects were divided into two groups, with one group received topical 15 mg morphine group (group M, n=19) and another received topical 0.25% bupivacaine group (group B, n=19). Data were analyzed using Mann Whitney test after they were proven to be non-normally distributed based on the results of the Shapiro-Wilk test. Results showed that the pain free duration was significantly longer in group M (846.78±411.80 minutes) when compared to group B (401.52±123.19 minutes) (p<0.05). The total dose needed for group M was 1,15±0,60 grams, which was significantly less than the dose needed in group B (384±0.89 grams) (p<0.05). In conclusion, topical morphine administration is associated with a longer pain free duration before the first onset of pain requiring opioid with less total amount of opioid needed when compared to bupivacaine for modified radical mastectomy postoperative pain.
Blok Aksilar dengan Panduan Ultrasonografi pada Operasi Debridement Lengan Bawah Pasien Systemic Lupus Erythematosus, Gagal Ginjal Kronik, Sirosis Hepatis, dan Gagal Jantung Mohamad Andy Prihartono; Dedi Fitri Yadi; Erwin Pradian
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 1, No 2 (2013)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (528.82 KB)

Abstract

Blok aksilar sangat menguntungkan dilakukan pada operasi daerah lengan bawah. Pasien wanita berusia 28 tahun dengan diagnosis systemic lupus erithematosus (SLE), gagal ginjal kronik, sirosis hepatis dan gagal jantung, direncanakan operasi nekrotomi debridement di lengan bawah di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung pada Maret 2012. Dilakukan anestesi blok aksilar dengan panduan ultrasound Sonosite M Turbo menggunakan high frequency probe linear, jarum stimulasi 50 mm dan nerve stimulator dengan obat anestesi lokal bupivakain 0,5% dengan adjuvan epinefrin 1:200.000. Keberhasilan blok aksiler dikonfirmasi dengan menstimulasi sensoris dan nervus motorik yang telah diblok. Blok tercapai secara sempurna dalam waktu ±15 menit. Operasi dilakukan setelah blok tercapai dan operasi berlangsung selama 1 jam. Simpulan, blok aksilar dengan panduan ultrasound memberikan hasil yang memuaskan dengan angka keberhasilan yang tinggi. Pada pasien ini sangat menguntungkan dilakukan anestesi regional blok saraf perifer dibandingkan dengan anestesi umum karena komplikasi penyakit yang banyak.Kata kunci: Blok aksilar, systemic lupus eritematosus, ultrasounografiAxillary Block with Ultrasound Guided for Debridement of the Forearm in Patient with Systemic Lupus Erythematous, Chronic Renal Failure, Hepatic Cirrhosis, and Congestive Heart DiseaseAxillary block is beneficial when applied to a forearm operation. A 28-year-old female patient diagnosed with systemic lupus erythematosus, chronic renal failure, hepatic cirrhosis and heart failure, was planned for necrotomy debridement operation of the forearm in Dr. Hasan Sadikin Hospital-Bandung in March 2012. An axillary block anesthesia was done with Sonosite M Turbo ultrasound guidance that used high frequency linear probe, 50 mm stimulating needle, and nerve stimulator containing bupivacaine 0.5% and epinephrine adjuvant 1:200,000. The operation can be initiated after the block was achieved and the duration of operation was 1 hour. In conclusions, axillary block with ultrasound guidance gives satisfying result with higher success rate. Peripheral nerve block (regional anesthesia) is more beneficial to this patient than general anesthesia due to multiple complications.Key words: Axillary block, systemic lupus erythematosus, ultrasound   DOI: 10.15851/jap.v1n2.124
Pengaruh Tes Elevasi Tungkai Secara Pasif terhadap Variasi Pletismograf untuk Penilaian Responsivitas Cairan pada Pasien yang Dilakukan Pembedahan dengan Anestesi Umum Bahtiar Susanto; Erwin Pradian; Tatang Bisri
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 4, No 2 (2016)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (459.826 KB)

Abstract

Penilaian responsivitas terhadap cairan sangat berguna untuk optimalisasi cairan perioperatif. Variasi pletismograf (respiratory variations in the pulse oximetry plethysmographic waveform amplitude; ∆POP) dan elevasi tungkai secara pasif (passive leg raising; PLR) merupakan parameter dinamis yang akurat dalam menilai responsivitas terhadap cairan. Tujuan penelitian ini adalah menilai pengaruh elevasi tungkai secara pasif terhadap variasi pletismograf untuk menilai responsivitas terhadap cairan pada pasien setelah induksi anestesi umum. Penelitian ini merupakan uji klinis pada 30 pasien yang menjalani operasi dengan anestesi umum, usia 18–60 tahun, dan status fisik American society of anesthesiologist (ASA) I atau II pada bulan Februari–Maret 2015 di Instalasi Bedah Sentral Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung. Penelitian ini diuji dengan uji-t berpasangan, Wilcoxon, dan uji ANOVA. Setelah dilakukan induksi anestesi umum, variasi pletismograf dicatat sebelum, saat, dan sesudah elevasi tungkai secara pasif. Hasil penelitian menunjukkan efek elevasi tungkai secara pasif akan menurunkan variasi pletismograf. Penurunan variasi pletismograf yang signifikan pada responden yang memiliki responsivitas terhadap cairan 6/30 dengan variasi pletismograf >13% sebelum dilakukan elevasi tungkai secara pasif. Perbedaan ini bermakna secara statistik (p<0,05). Elevasi tungkai secara pasif akan menurunkan variasi pletismograf yang dapat digunakan untuk menilai responsivitas terhadap cairan pada pasien yang menjalani operasi dengan anestesi umum.Kata kunci: Anestesi umum, elevasi tungkai secara pasif, responsivitas terhadap cairan, variasi pletismografEffect of Passive Leg Raising Test on Respiratory Variations in Pulse Oximetry Plethysmographic Waveform in Assessing Fluid Responsiveness of Surgery Patients under General AnesthesiaFluid responsiveness assessments have shown to be an important matter in perioperative fluid optimization. Respiratory variations in pulse oximetry plethysmographic waveform amplitude (∆POP) and passive leg raising have been shown as promising indicators due to the ability to predict fluid responsiveness. The aim of this study was to assess the effect of passive leg raising (PLR) on ∆POP to predict fluid responsiveness in mechanically ventilated patients after induction of general anesthesia. This was a trialon 30 patients referred for surgery under general anesthesia, aged 18–60 years and ASA physical status I or II, during the period of February–March 2015 at the Central Surgical Installation of Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung. Patients were studied immediately after the induction of general anesthesia. This trial use the paired t test, Wilcoxon test, and ANOVA for statistical analysis. Vital signs and ∆POP were recorded at baseline, before, and after PLR. PLR induced changes in ∆POP with a ∆POP greater than 13% compared to the initial PLR allowed discrimination between responders and nonresponders to 6/30. There was a significant decrease in ∆POP in responders when compared to the nonresponders(p<0.05). ∆POP can be reduced by PLR and fluid responsiveness can be predicted noninvasively in mechanically ventilated patients during general anesthesia.Key words: Fluid responsiveness, general anesthesia, passive leg raising, respiratory variations in the pulse oximetry plethysmographic waveform amplitude DOI: 10.15851/jap.v4n2.821
Perbandingan Visual Analog Score antara Teknik Injeksi Air Steril Intrakutan Satu Titik dan Empat Titik untuk Mengurangi Nyeri Persalinan Spontan Faisal Rosady; Erwin Pradian; Eri Surahman
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 2, No 1 (2014)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1156.005 KB)

Abstract

Hampir sepertiga para wanita yang menjalani persalinan menderita nyeri persalinan terutama di daerah pinggang belakang yang sifatnya kontinu. Tujuan penelitian ini untuk membandingkan efektivitas antara injeksi satu titik dan empat titik dalam mengurangi nyeri persalinan diukur menggunakan visual analogue scale (VAS). Penelitian ini dilaksanakan bekerjasama dengan Departemen Obstetri dan Ginekologi di Rumah Sakit Dr. Hasan sadikin Bandung terhadap 50 orang wanita primipara yang menjalani persalinan spontan normal pada bulan April–Mei 2012. Disain penelitian ini menggunakan metode klinis acak terkontrol buta tunggal. Data hasil penelitian dianalisis menggunakan uji-t, chi-kuadrat, dan Mann-Whitney dengan tingkat kepercayaan 95% dan dianggap bermakna bila p<0,05. Teknik injeksi satu titik dapat menurunkan skor VAS paling banyak rata-rata dari 85,40 (4,3) menjadi 47,60 (7,2) dibandingkan dengan menggunakan teknik injeksi empat titik, yaitu rata-rata 84,60 (4,3) menjadi 48,4 (8,5) pada menit ke-10. Simpulan penelitian ini tidak terdapat perbedaan penurunan skor VAS antara teknik injeksi air steril intrakutan secara empat titik dibandingkan dengan teknik injeksi satu titik.Kata kunci: Injeksi air steril intrakutan, nyeri persalinan, visual analog scaleComparison of Visual Analogue Score (VAS) between One Point and Four Points Sterile Intracutaneous Water Injection Technique to Reduce Spontaneous Delivery PainAlmost one third of women suffer from continuous lower back pain during labour. Therefore, the aim of this study was to compare the effectivity between single and four injections in reducing labour pain measured by visual analogue scale (VAS). The study was conducted in collaboration with Obstetry and Gynaecology Department in Dr. Hasan Sadikin Hospital Bandung on 50 primipara women presenting at term. This study was a single blind randomised controlled trial. Study data was analyzed using t-test, chi-square test and Mann Whitney U test with 95% confidence interval and p<0.05 as statistically significant. One point injection technique can lower VAS scores from an average of 85.40 (4.3) to 47.60 (7.2) as compared to using four-point injection technique, from an average 84.60 (4.3) to 48.4 (8.5) at the 10th minute. In conclusion, there is no difference between one and four points sterile intracutaneous water injection technique in reducing pain as measured by VAS score.Key words: Intradermal sterile water injections, labour pain, visual analogue scale DOI: 10.15851/jap.v2n1.233
Lactate Clearance sebagai Prediktor Mortalitas pada Pasien Sepsis Berat dan Syok Septik di Intesive Care Unit Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung Muhammad Budi Kurniawan; Erwin Pradian; Muthalib Nawawi
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 5, No 1 (2017)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (599.202 KB) | DOI: 10.15851/jap.v5n1.1003

Abstract

Tingkat mortalitas pasien sepsis berat di Intensive Care Unit (ICU) dihitung dengan menggunakan skor acute physiology and chronic health evaluation (APACHE II), namun memerlukan pemeriksaan yang banyak serta kompleks. Penurunan lactate clearance berhubungan dengan kondisi mikrosirkulasi yang buruk. Lactate clearance diharapkan memiliki kemampuan untuk menentukan tingkat mortalitas pasien sepsis berat dan syok septik. Penelitian ini bertujuan mengetahui kegunaan lactate clearance sebagai prediktor mortalitas pasien sepsis berat dan syok sepsis di ICU Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin (RSHS) Bandung yang lebih mudah dan efisien. Penelitian ini dilakukan secara prospektif observasional cohort terhadap 51 orang. Penelitian dilakukan di ICU RSHS Bandung dari bulan September–November 2015 dengan uji Mann Whitney pada data numerik dan Exact Fisher pada data kategorik. Setiap subjek penelitian diperiksa nilai laktat secara berkelanjutan pada jam pertama (H0) dan jam ke-24, kemudian dihitung nilai lactate clearance dengan rumus laktat awal-laktat serial/laktat awal x 100%. Subjek dibagi menjadi 2 kelompok berdasar atas nilai lactate clearance rendah (<40%) dan nilai lactate clearance tinggi (>40%). Hasil penelitian menunujukkan bahwa lactate clearance memiliki sensisitivitas 100%; spesifisitas 88,4%; nilai duga positif 89,2%; nilai duga negatif 100%; rasio kemungkinan positif 86,6%; rasio kemungkinan negatif 0 dan akurasi 94,11%. Simpulan penilitian adalah lactate clearance dapat digunakan sebagai prediktor mortalitas pada pasien sepsis berat dan syok septik di ICU RSHS Bandung.Kata kunci: Lactate clearance, mortalitas, sepsisLactate Clearance as Mortality Predictor in Severe Sepsis and Septic Shock Patient in Intensive Care Unit Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung Mortality incidence predictor used for sepsis and shock septic in Intensive Care Unit (ICU) were measured using Acute Physiology and Chronic Health Evaluation (APACHE) II score, which needs many complex examinations. The purpose of this study was to examine lactate clearance as an alternative mortality predictor. Decreased percentage of lactate clearance is related to poor perfusion in microcirculation which leads to the possibility that lactate clearance can be used to predict mortality incidence in severe sepsis and shock septic patients in the ICU of Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung. This was a prospective observational cohort study involving 51 patients who met sepsis and shock septic criteria during the period of September to November 2015. Lactate was examined continuously in all patients at first hour (H0) and H24 and then the lactate clearance value was measured using the following formula: lactate initial–lactate delayed/lactate initial x100%. Subjects were divided into two groups according to the low lactate clearance(<40%) and high lactate clearance (>40%). The Mann Whitney test was used for numeric data and exact Fisher test was used for categorical data. Results showed that the lactate clearance had a sensitivity of 100%, specificity of 88.4%, positive predictive value of 89.2%, negative predictive value of 100%, likelihood ratio positive of 86.6%, likelihood ratio negative of 0% and accuracy of 94.11%. Thus, lactate clearance can be used to predict mortality incidence in severe sepsis and shock septic patients.Key words: Lactate clearance, mortality, sepsis 
Pemberian Bolus 7,5 mL Poligelin pada Ruang Epidural untuk Menurunkan Kejadian Postdural Puncture Headache pada Anestesi Spinal I. B. Krisna Jaya Sutawan; Erwin Pradian; Tinni T. Maskoen
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 1, No 3 (2013)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1104.434 KB)

Abstract

Post dural puncture headache (PDPH) mengakibatkan morbiditas pada ibu yang menjalani seksio sesarea dengan anestesi spinal. PDPH disebabkan karena penurunan tekanan intratekal akibat kebocoran cairan serebrospinalis. Bolus poligelin pada ruang epidural diharapkan secara sementara meningkatkan tekanan ruang epidural dan mengurangi kebocoran cairan serebrospinalis sehingga dapat menurunkan kejadian PDPH. Penelitian dilakukan dengan uji klinis single blind randomized controled trial pada 90 wanita hamil yang menjalani seksio sesarea dengan anestesi spinal pada Oktober sampai Desember 2011 Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung. Sampel dikelompokkan secara random menjadi kelompok bolus 7,5 mL poligelin dan kelompok kontrol, selanjutnya dilakukan penilaian PDPH sampai hari kelima pascaanestesi spinal. Analisis statistik berdasarkan Uji Eksak Fisher, memperlihatkan bahwa angka kejadian PDPH pada kedua kelompok perlakuan menunjukkan perbedaan bermakna secara statistik (p<0,05). Simpulan dari penelitian ini adalah bolus poligelin pada ruang epidural dapat menurunkan angka kejadian PDPH pada pasien yang menjalani operasi seksio sesarea dengan anestesi spinal.Kata kunci: Anestesi spinal, poligelin, post dural puncture headache, ruang epidural  Bolus 7.5 mL Polygeline into the Epidural Space in Reducing the Incidence of Postdural Puncture Headache on Spinal AnesthesiaAbstractPost dural puncture headache (PDPH) may cause morbidity in women undergoing caesarean section with spinal anesthesia. PDPH is caused by a reduction of intrathecal pressure due to leakage of cerebrospinal fluid. Polygeline bolus into the epidural space is expected to temporarily increase the pressure of the epidural space therefore reduces cerebrospinal fluid leakage so that it may reduce the incidence of PDPH. The study conducted was a single-blind randomized clinical trial on 90 pregnant women undergoing caesarean section with spinal anesthesia from October until December 2011 in Dr. Hasan Sadikin Hospital Bandung. Samples were randomly divided into the bolus of 7.5 mL polygeline group and the control group. Evaluation of PDPH was performed until 5th day post-spinal anesthesia. Statistical analysis using Fisher's Exact Test, showed that the incidence of PDPH in both treatment groups showed a statistically significant difference (p<0.05). The conclusion of this study is polygeline bolus into the epidural space may decrease the incidence of PDPH in patients undergoing caesarean section with spinal anesthesia.Key words: Epidural space, polygeline, post dural puncture headache, spinal anesthesia DOI: 10.15851/jap.v1n3.193
Perbandingan Antiseptik Chlorhexidine Alkohol dengan Povidone Iodine terhadap Penurunan Pertumbuhan Koloni Bakteri pada Kateter Epidural yang Dipasang di Kamar Operasi Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung Andie Muhari Barzah; Erwin Pradian; Tatang Bisri
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 4, No 1 (2016)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (569.915 KB) | DOI: 10.15851/jap.v4n1.742

Abstract

Chlorhexidine alkohol dan povidone iodine digunakan sebagai zat antiseptik pada anestesi epidural. Aseptik dan antiseptik sebelum tindakan epidural harus dilakukan secara optimal untuk menurunkan komplikasi infeksi pascatindakan. Tujuan penelitian ini menilai perbedaan penurunan pertumbuhan koloni bakteri pada kateter epidural di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung. Penelitian single blind randomized controlled trials pada 76 pasien yang dilakukan anestesi epidural di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung pada bulan November 2014–Februari 2015. Subjek penelitian dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu chlorhexidine alkohol dan povidone iodine. Dilakukan pemeriksaan kultur apus kulit sebelum dan sesudah tindakan aseptik dan antiseptik kemudian dilakukan pemeriksaan kultur kateter epidural pada hari ke-3 setelah pemasangan. Data hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan uji-t, chi-kuadrat, dan Uji Mann-Whitney. Hasil penelitian ini didapatkan kultur positif bakteri dari pemeriksaan sebelum tindakan aseptik dan antiseptik 33 dari 38 pada chlorhexidine alkohol dan 35 dari 38 pada povidone iodine. Kultur positif bakteri menjadi 4 dari 38 pada chlorhexidine alkohol dan povidone iodine setelah pemberian aseptik dan antiseptik. Kultur pascapemasangan kateter epidural positif bakteri 7 dari 38 pada chlorhexidine alkohol dan 5 dari 38 pada povidone iodine (p<0,05). Simpulan penelitian ini menunjukkan zat antiseptik chlorhexidine alkohol lebih lebih rendah pertumbuhan kumannya bila dibanding dengan povidone iodine pada kateter epidural.Kata kunci: Antiseptik, chlorhexidine alkohol, povidone iodineComparison between Chlorhexidine-Alcohol and Povidone Iodine in Reducing Catheter Tip Bacterial Colonization in Dr. Hasan Sadikin General Hospital BandungAbstractChlorhexidine-alcohol and povidone iodine are commonly used as antiseptic solutions in epidural anesthesia. Aseptic and antiseptic procedures must be performed before any epidural procedure to lower infection complications after the procedure. The objective of this study was to investigate the lowest bacterial growth on epidural catheter after chlorhexidine-alcohol or povidone iodine application as the antiseptic solution in Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung. This was a single blind randomized controlled trial on 78 patients underwent epidural anesthesia in the period of November 2014–February 2015. The subjects were divided in to 2 groups, each consisted of 38 patients. Aseptic and antiseptic procedures were performed using chlorhexidine-alcohol or povidone iodine with skin swab culture collected before and after the procedure. Epidural catheter culture was performed in the 3rd days after the installment. Data were analyzed using t-test, chi-square test, and Mann Whitney test. The result of this study showed positive bacterial cultures prior to aseptic and antiseptics, 33 from 38 in chlorhexidine-alcohol and 35 from 38 in povidone iodine. Positive bacterial cultures became 4 from 38, both in chlorhexidine-alcohol and povidone iodine. Positive bacterial culture on the 3rd days after epidural catheter placement was 7 from 38 after chlorhexidine-alcohol and 5 from 38 after povidone iodine (p< 0.05). It is concluded that the ability of chlorhexidine-alcohol to reduce bacterial growth on epidural catheter is lower than povidone-iodine with regards to reducing infection after catheter epidural installment.Key words: Antiseptic, chlorhexidine-alcohol, povidone iodine DOI: 10.15851/jap.v4n1.742
Perbandingan Bupivakain 0,25% dengan Kombinasi Bupivakain 0,25% dan Deksametason 8 mg pada Blok Transversus Abdominis Plane dengan Panduan Ultrasonografi sebagai Analgesia Pascahisterektomi Eddo Alan Delis; Erwin Pradian; Dedi Fitri Yadi
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 6, No 2 (2018)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (50.921 KB) | DOI: 10.15851/jap.v6n2.1240

Abstract

Analgesia dinding abdomen anterior dan lateral dapat dilakukan dengan blok transversus abdominis plane (TAP). Penelitian ini bertujuan menilai waktu kebutuhan analgesik pertama dan skor nyeri 2, 4, 6, 12, 24 jam pascahisterektomi antara bupivakain 0,25% dengan kombinasi bupivakain 0,25% dan deksametason 8 mg pada blok TAP. Penelitian menggunakan uji klinis acak terkontrol buta tunggal, dilakukan di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin (RSHS) Bandung pada bulan Oktober–Desember 2017. Pasien dibagi menjadi grup bupivakain 0,25% (grup B, n=20) dan grup kombinasi bupivakain 0,25% deksametason 8 mg (grup BD, n=20). Uji statistik menggunakan uji-t berpasangan, Uji Wilcoxon, dan uji chi-square. Hasil penelitian mengungkapkan waktu kebutuhan analgesik pertama lebih lama pada grup BD (866,45±98,11 menit) dibanding dengan grup B (352,75±43,32 menit) dengan perbedaan signifikan (p<0,05). Median skor nyeri  pascahisterektomi grup BD pada 4 jam (1), 6 jam (2), 12 jam (2), dan 24 jam (2) lebih rendah dibanding dengan grup B dengan median skor nyeri 4 jam (2), 6 jam (3), 12 jam (4), dan 24 jam (3), dengan perbedaan signifikan (p<0,05). Simpulan penelitian ini adalah kombinasi bupivakain 0,25% dan deksametason 8 mg pada blok TAP menghasilkan waktu kebutuhan analgesik pertama lebih lama dan skor nyeri pascahisterektomi lebih rendah dibanding dengan bupivakain 0,25%.Kata kunci: Blok transversus abdominis plane, deksametason, skor nyeri, waktu kebutuhan analgesik pertamaComparison between 0.25% Bupivacaine  and Combination of 0.25% Bupivacaine and 8 mg Dexamethasone  on Transversus Abdominis Plane Block Ultrasound-guided as Post- Hysterectomy Analgesia Analgesia for  anterior and lateral abdominal walls can be provided through transversus abdominis plane (TAP) block. This study aimed to evaluate the timing of first analgesic requirement and post- hysterectomy pain scores at 2, 4, 12, 24 hours between 0.25% bupivacaine and combination of 0.25% bupivacaine and 8 mg dexamethasone on TAP block. This was a randomized single-blind controlled trial study on patients Dr. Hasan Sadikin Hospital (RSHS) Bandung in the period of October–December 2017. Patients were randomly divided into 0.25% bupivacaine (B group, n=20) and o0.25% bupivacaine 8 mg dexamethasone combination (BD group, n=20). Statistical test was performed using paired t test, Wilcoxon test, and chi-square test. It was revealed that the time to first analgesic requirement was longer in BD group (866.45±98.11 minutes) than in B group (352.75±43.32 minutes) with a significant difference (p<0.05). The post-hysterectomy pain score medians in BD group at 4 hours (1), 6 hours (2), 12 hours (2), and 24 hours (2) were lower than those of B group with a significant difference (p<0.05). Therefore, 0.25% bupivacaine and 8 mg dexamethasone combination for ultrasound-guided TAP block presents longer time to first analgesic requirement and lower pain score compared to  0.25%. bupivacaine Key words:  Dexamethasone, pain  score, time  to  first  analgesic requirement,   transversus abdominis plane  block 
Co-Authors , Rizki - Irwan - Irwan, - - Suhandoko - Suhandoko A. Muthalib Nawawi A. Muthalib Nawawi Adhitya Pratama Agung Ari Budy Siswanto Agung Hujjatulislam Agung Hujjatulislam, Agung Andie Muhari Barzah Andie Muhari Barzah, Andie Muhari Ardi Zulfariansyah Ardi Zulfariansyah Aris Gunawan Baginda Aflah Bahtiar Susanto Bramantyo Pamugar Budi Fitriyana Budi Fitriyana Budi Santosa Budi Santosa Cindy Elfira Boom Dedi Fitri Yadi Delis, Eddo Alan Destiara, Andy Pawana Dhany Budipratama Doni Arief Rahmansyah Doni Arief Rahmansyah Eddo Alan Delis Emvina Husni Syam Emvina Husni Syam Eri Surahman Eri Surahman Erlangga, Erias Ezra Oktaliansah Faisal Rachman Faisal Rosady Faisal Rosady Fatima Fatima Ferawati Ferawati Gunawan, Aris Hendro, Rachmad Try Hidayat Hidayat Ida Bagus Krisna Jaya Sutawan Ike Sri Redjeki Ike Sri Redjeki Iman Muhammad Yusup Mansur Iman Muhammad Yusup Mansur Indra Wijaya Indriasari Indriasari Irwan Setiadi Iwan Fuadi Jonathan Jonathan Kurnia Ricky Ananta Kurniawan, Muhammad Budi Listiana Dewi Sartika M. Andy Prihartono M. Erias Erlangga Maransdyka Purnamasidi Maransdyka Purnamasidi Marrylin Tio Simamora Mohamad Andy Prihartono Mohamad Andy Prihartono Muhammad Budi Kurniawan Muthalib Nawawi Nawawi, Muthalib Nurita Dian Nurita Dian Kestriani Nurita Dian Kestriani Nurita Dian Kestriani Pamugar, Bramantyo Permana, Sendy Setiawan Rachmad Try Hendro Rahmat Rahmat Reza Indra Putra Reza Indra Putra, Reza Indra Reza W Sudjud Ricky Aditya Rudi Kurniadi Kadarsah Ruli Herman Sitanggang Selly Oktarina Rosita Selly Oktarina Rosita Sendy Setiawan Permana Sobaryati Supandji, Mia Susanto, Bahtiar Suwarman Suwarman Suwarman Tanto, Dedi Tatang Bisri Tatang Bisri Tatang Bisri Tinni T. Maskoen Tinni T. Maskoen Tinni T. Maskoen Tinni Trihartini Maskoen Yovita Koswara Yovita Koswara