Erwin Pradian
Departemen Anestesiologi Dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung

Published : 67 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Perbandingan Pemberian Metoprolol Tartrat dengan Lidokain secara Intravena terhadap Perubahan Tekanan Darah dan Laju Nadi Akibat Tindakan Laringoskopi dan Intubasi Yovita Koswara; Erwin Pradian; Ike Sri Redjeki
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 2, No 2 (2014)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (395.974 KB)

Abstract

Tindakan laringoskopi dan intubasi endotrakeal dapat menyebabkan tekanan darah dan laju nadi naik secara mendadak akibat rangsangan terhadap sistem simpatis. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh pemberian metoprolol 5 mg intravena dibandingkan dengan lidokain 1,5 mg/kgBB untuk mengurangi lonjakan hemodinamik akibat laringoskopi intubasi. Penelitian ini dilakukan secara uji klinis acak terkontrol buta ganda terhadap 40 pasien dengan status fisik American Society of Anesthesiologist (ASA) I−II yang menjalani operasi dengan teknik anestesi umum di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung dari bulan Juli−Agustus 2013. Subjek dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok yang diberikan metoprolol 5 mg intravena atau lidokain 1,5 mg/kgBB 3 menit sebelum tindakan laringoskopi dan intubasi. Data penelitian dianalisis dengan uji-t, dengan nilai p<0,05 dianggap bermakna. Analisis statistik menunjukkan bahwa pada 2 menit dan 3 menit setelah intubasi antara kedua kelompok didapatkan perbedaan bermakna pada seluruh  parameter hemodinamik dengan nilai  p<0,05. Simpulan dari penelitian ini adalah metoprolol 5 mg secara intravena memberikan hasil lebih baik dibandingkan dengan lidokain 1,5 mg/kgBB dalam hal mengurangi lonjakan hemodinamik akibat tindakan laringoskopi intubasi.Kata kunci: Intubasi, laringoskopi, lidokain, metoprololComparison of Intravenous Metoprolol Tartrate and Lidocaine on Changes of Blood Pressure and Heart Rate During Laryngoscopy and IntubationLaryngoscopy and endotracheal intubation associated with a sudden rise in blood pressure and pulse rate due to stimulation of sympathetic activity. The aim of this study was to compare effectiveness of metoprolol 5 mg intavenously and lidocaine 1.5 mg/kgBW to attenuate hemodynamic response evoked by laryngoscopy and intubation. This was an experimental randomized double blind controlled trial study was conducted in 40 patients with American Society of Anesthesiologist (ASA) physical status I or II who will have surgery with general anesthesia techniques in Hasan Sadikin Hospital Bandung from July−August 2013. Subjects were divided into two groups wich received metoprolol 5 mg intravenously or lidocaine 1.5 mg/kgBW 3 minutes before laryngoscopy and intubation. All data were analysed using t-test, with  p value < 0.05 considered significant. Statistical analysis showed that on second and third minutes after intubation and laryngoscopy showed a significant differences on hemodynamic parameter between two groups with  p value <0.05. The conclusions of this study are intravenous 5 mg of metoprolol found to be better than lidocaine 1.5 mg/kgBW to attenuate hemodynamic response evoked by laryngoscopy and  intubation.Key words: Intubation, laryngoscopy, lidocaine, metoprolol DOI: 10.15851/jap.v2n2.309
Penambahan Natrium Bikarbonat 8,4% pada Lidokain 2% untuk Mengurangi Nyeri Saat Infiltrasi Anestetik Lokal Doni Arief Rahmansyah; A. Muthalib Nawawi; Erwin Pradian
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 2, No 1 (2014)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1093.211 KB)

Abstract

Infiltrasi anestesi lokal di daerah penyuntikan jarum epidural menggunakan lidokain menimbulkan nyeri. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keefektifan penambahan natrium bikarbonat 8,4% pada lidokain HCl 2% dengan perbandingan 1:10 untuk mengurangi nyeri saat infiltrasi. Penelitian dilakukan pada bulan Juni hingga Juli 2013 di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Hasan Sadikin Bandung. Penelitian dilakukan dengan uji klinis acak tersamar ganda pada 44 pasien yang menjalani operasi dengan teknik anestesi epidural. Subjek dibagi 2 kelompok, kelompok eksperimen (LB) mendapatkan infiltrasi lidokain HCl 2% alkalin dengan menambahkan natrium bikarbonat 8,4% dengan perbandingan 1:10, kelompok kontrol (L) mendapatkan lidokain HCl 2%. Pada kedua kelompok dinilai numeric rating scale (NRS) saat infiltrasi lidokain HCl 2%. Hasil penelitian diuji dengan uji chi-kuadrat, uji-t, dan Uji Mann-Whitney, tingkat kepercayaan 95% dan kekuatan uji 94%, dianggap bermakna bila nilai p<0,05. Analisis statistik menunjukkan perbedaan bermakna nilai median NRS pada kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol saat infiltrasi anestesi lokal (5 vs 3), dengan nilai rentang (3–6 vs 1–4) dengan nilai p<0,05. Simpulan penelitian ini adalah alkalinisasi lidokain HCl 2% dengan penambahan natrium bikarbonat 8,4% dengan perbandingan 1:10 mempunyai efek mengurangi nilai NRS.Kata kunci: Alkalinisasi, lidokain HCl 2%, natrium bikarbonat 8,4%Addition of 8.4% Sodium Bicarbonate to 2% Lidocaine in Reducing Pain During Local Anaesthetic InfiltrationLocal anesthetic infiltration in the area of epidural injections using lidocaine can cause pain. This research was done in June–July 2013, in Dr. Hasan Sadikin Hospital, to determine the effectiveness of adding 8.4% sodium bicarbonate to lidocaine HCl 2 % with 1:10 ratio. This was a double-blind randomized control study involving 44 patients undergoing surgery with epidural techniques. Subjects were divided into two groups, the experimental group ( LB ) was given 2% lidocaine HCl with sodium bicarbonate 8.4% 1:10 ratio as a local anestetich while the control group (L) was given lidocaine 2%. Numeric rating scale (NRS) was assessed during infiltration. Data was analyzed using chi-squere test, t-test and Mann-Whitney Test , with 95% confidence level and 94% strength tes and considered significant if p<0.05. Statistical anaylsis showed a significant difrerence in median of NRS in the experiment compared to control group during local anaesthetic infiltration (5 versus 3), with range of 3–6 versus 1–4 with p>0.05. In conclusion, alkalinization of 2% lidocaine HCl by addition of 8.4% sodium bicarbonate with 1:10 ratio has an effect in reducing NRS.Key words: Alkalinization, lidocaine HCl 2%, sodium bicarbonate 8.4% DOI: 10.15851/jap.v2n1.234
Perbandingan Penambahan Klonidin Intratekal 15 µg dan 30 µg pada 12,5 mg Bupivakain 0,5% terhadap Kejadian Menggigil Pascaanestesi Spinal pada Seksio Sesarea Iman Muhammad Yusup Mansur; Erwin Pradian; Tatang Bisri
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 3, No 1 (2015)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1185.767 KB)

Abstract

Menggigil pascaanestesi spinal merupakan efek samping yang sering terjadi. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan penambahan klonidin intratekal antara 15 µg dan 30 µg pada 12,5 mg bupivakain. Penelitian adalah eksperimental dengan uji klinis rancangan acak lengkap terkontrol buta tunggal pada 80 wanita yang menjalani seksio sesarea dengan anestesi spinal,  status fisik American Society of Anesthesiologist (ASA) II, berusia 18–42 tahun, dibagi secara random menjadi dua kelompok, kelompok I menggunakan 12,5 mg bupivakain 0,5 % dan klonidin 15 µg, sedangkan kelompok II mendapat penambahan klonidin 30 µg. Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung pada periode Oktober–Desember 2011. Perbandingan proporsi kejadian kedua kelompok dianalisis secara statistik menggunakan uji chi-kuadrat, sedangkan derajat menggigil dengan Uji Mann-Whitney. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kejadian menggigil pascaanestesi pada kelompok II sebanyak 2 pasien, sedangkan pada kelompok I adalah 10 pasien. Simpulan, penambahan klonidin intaratekal 30 µg pada bupivacain 0,5% untuk mencegah menggigil pascaanestesi spinal lebih baik dibandingkan dengan klonidin intratekal 15 µg. Kata kunci: Klonidin intratekal, menggigil pascaanestesi, mencegah menggigil, suhu intiComparison of  15 µg  and 30 µg Intrathecal Clonidine in 12.5 mg 0.5% Bupivacain for Post Spinal Anesthesia Shivering in Caesarean SectionAbstractShivering is a frequently experienced side effect of post-subarachnoid block. This study aimed to determine the which of 15 µg  dose and 30 µg dose of intrathecal Clonidine is better prevents Post anaesthesia shivering. The research was conducting by clinical trials of a single blind randomized controlled design. Eighty pregnant female patients with ASA physical status II, aged 18–42 years, who underwent a caesarean section were randomly divided into two groups, spinal anesthesia performed by using 12.5 0.5% mg bupivacain and 15 µg clonidine in Group I and the same dose of bupicavain but with 30 µg clonidine in group II. The incidence proportion of both groups were statistically compared using chi square test, while the degree of shivering was analyzed using Mann-Whitney test. The results showed that the characteristics of patient data and the core temperature did not statistically different between the two groups. The incidence and degree of shivering were different between the two groups,  with were 2 patients experienced shivering incidence in group II and 10 patients experienced the incidence in group I. It is concluded that the addition of intrathecal 30 µg clonidine to 0.5% bupivacain prevents post-subarachnoid spinal block shivering better than in trathecal clonidine 15 µg.   Key words: Core temperature, intrathecal clonidine post anaesthesia shivering, prevent shivering
Reliabilitas dan Validitas Penilaian Skala Sedasi Richmond Agitation Sedation Scale (RASS) dan Ramsay pada Pasien Kritis dengan Ventilasi Mekanik di Ruang Perawatan Intensif - Suhandoko; Erwin Pradian; Tinni T. Maskoen
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 2, No 3 (2014)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1136.049 KB)

Abstract

Penggunaan secara rutin skala subjektif untuk nyeri, agitasi, dan sedasi akan mendorong penatalaksanaan yang lebih efektif pada pasien untuk mencapai titik akhir yang spesifik. Setiap metode subjektif skala sedasi harus dievaluasi dalam hal reliabilitas dan validitas. Tujuan penelitian untuk mengetahui reliabilitas dan validitas skala Richmond Agitation Sedation Scale (RASS) dan Ramsay pada pasien kritis yang dirawat dengan ventilasi mekanik di ruang perawatan intensif. Jumlah subjek penelitian 82 pasien yang dinilai dengan skala sedasi RASS dan Ramsay setelah diberikannya obat analgesia dan sedasi. Penelitian observasional deskriptif yang dilakukan berdasarkan urutan datang pasien selama 4 bulan penelitian dari Mei–Agustus 2014. Metode Alpha Cronbach untuk menentukan reliabilitas dan Rank Spearman untuk menentukan validitas. Hasil penelitian ini didapatkan Skala RASS dengan nilai reliabilitas tertinggi Alpha Cronbach (α):0,951, serta nilai validitas tertinggi dengan Rank Spearman (rs):0,743. Skala Ramsay dengan nilai reliabilitas tertinggi Alpha Cronbach (α):0,921, serta nilai validitas tertinggi dengan Rank Spearman (rs):0,922. Simpulan dari penelitian ini adalah skala RASS menunjukkan keandalan dan koefisien validitas lebih tinggi daripada skala Ramsay. Kata kunci: Penilaian skala sedasi, reliabilitas, validitasRichmond Agitation Sedation Scale (RASS) and Ramsay Assessment Reliability and Validity in Critically Ill Patients with Mechanical Ventilation Support in Intensive Care Unit Routine use of subjective scales for pain, agitation, and sedation promotes more effective patient management in order to reach specific end-points. Each subjective sedation scale method should be evaluated in terms of its reliability and validity. The purpose of this study was to fassess the reliability and validity of Richmond Agitation Sedation Scale (RASS) and Ramsay scale. Subjects were 82 (eighty two) patients assessed using RASS and Ramsay sedation scale after receiving analgesia and sedation drug. This study was an observational study with cross sectional descriptive sampling conducted in consecutive patients sampling within a period of 4 months during May–August 2014. The results of the assessment were analyzed using Alpha Cronbach to determine the reliability and Rank Spearman to test the validity. It was revealed that  RASS scale had the highest reliability value with Alpha Cronbach (α):0.951 and the highest validity with Rank Spearman (rs):0.743 while the highest reliablity value achieved using the Ramsay scale was Alpha Cronbach (α):0.921 with Rank Spearman (rs): 0.922 as the highest validity score. It is concluded, therefore, that the RASS scale shows higher reliability and validity coefficients than the Ramsay scale. Key words: Assessment sedation scale, reliability, validity DOI: 10.15851/jap.v2n3.330
PERBANDINGAN EFEK FENTANYL DENGAN KETAMIN TERHADAP SKOR PEMULIHAN PASCAANESTESI UMUM PADA OPERASI ODONTEKTOMI DIUKUR DENGAN QoR-40 DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT Dr HASAN SADIKIN BANDUNG Adhitya Pratama; Erwin Pradian; M. Erias Erlangga
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 8, No 3 (2020)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15851/jap.v8n3.2096

Abstract

Penggunaan fentanil pada anestesi umum memiliki pengaruh terhadap pemulihan pascaoperasi danpenurunan hemodinamik saat induksi. Metode anestesi umum menggunakan analgetik nonopioiddiharapkan meningkatkan kualitas pemulihan pascaoperasi. Pemberian ketamin dosis subanestesi memberi efek analgetik dengan efek samping minimal serta perubahan tekanan darah dan nadi lebih stabil. Tujuan penelitian ini membandingkan efek fentanil dengan ketamin terhadap kualitas pemulihan serta perubahan tekanan darah dan nadi saat induksi. Penelitian ini merupakan uji klinis tersamar ganda pada 30 pasien yang menjalani operasi odontektomi dengan anestesi umum di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Hasan Sadikin Bandung dari Januari–Maret 2020. Pasien dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok ketamin, diinduksi menggunakan ketamin 0,5 mg/kgBB dan kelompok fentanil, diinduksi menggunakan fentanil 1,5 mcg/kgBB. Data dianalisis dengan uji-t tidak berpasangan, Uji Mann Whitney, dan Uji Kolmogorov-smirnov dengan nilai p<0,05 dianggap bermakna. Terdapat penurunan tekanan darah dan nadi yang signifikan (p<0,05) di menit ke-1, 3, dan 5 pada grup fentanil. Penilaian QoR-40 pada kelompok ketamin memiliki angka lebih tinggi (181,07±5,32) dibanding dengan kelompok fentanil (176,60±2,59) secara bermakna (p<0,05). Simpulan, skor pemulihan pascaanestesi umum dengan ketamin lebih tinggi dibanding dengan fentanil pada operasi odontektomi yang dinilai dengan QoR-40 dan ketamin dengan dosis subanestesi saat induksi menunjukkan hemodinamik yang lebih stabil dibanding dengan induksi menggunakan fentanil. Comparison of Fentanyl and Ketamine’s Effects on Post-General Anesthesia Recovery Scores Measured by QoR-40 and Changes in Blood Pressure and Pulse in Odontectomy SurgeryThe use of fentanyl in general anesthesia has side effects that may prolong postoperative recovery and hemodynamic decline when induction. Methods of general anesthesia without fentanyl may improve the quality of postoperative recovery. Ketamine in subanesthetic doses has analgesic effects with minimal side effects and more stable blood pressure and pulse changes. This study aimed to compare fentanyl and ketamine’s effects on quality of recovery and changes in blood pressure and pulse. This was a double-blinded clinical study in 30 patients with odontectomy under general anesthesia in Dr. Hasan Sadikin General Hospital from January–March 2020. Patients were divided into two groups, a ketamine group, induced using 0.5 mg/kgBW ketamine, and a fentanyl group, induced using 1,5 mcg/kgBW fentanyl. Data were analyzed using the unpaired t-test, Mann Whitney, and Kolmogorov-Smirnov test, a p-value of <0.05 was considered significant. Values of QoR-40 in the ketamine group had a significantly (p<0.05) higher value (181.07±5.32) compared to the fentanyl group (176,60±2,59). In conclusion, the quality of post-general anesthesia recovery using ketamine is higher than fentanyl in odontectomy evaluated using QoR-40. Induction using subanesthetic  doses of ketamine shows more stable hemodynamic than fentanyl.
Perbandingan Granisetron 0,01 mg/KgBb dengan Ondansetron 0,08 Mg/Kg.Bb Untuk Mencegah Mual Muntah Pascaoperasi Dini Mastektomi Radikal Modifikasi Budi Fitriyana; Erwin Pradian; A. Muthalib Nawawi
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 1, No 1 (2013)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Mual muntah pascaoperasi tidak hanya menyebabkan ketidaknyamanan bagi pasien, namun juga menyebabkan terjadinya gangguan keseimbangan elektrolit, regurgitasi dan aspirasi, perdarahan serta lepasnya jahitan pembedahan. Pasien yang mengalami mual muntah pascaoperasi akan membutuhkan perhatian dan pengobatan lebih lanjut yang tentu saja meningkatkan biaya pelayanan medis. Wanita yang menjalani mastektomi dengan disertai pengambilan kelenjar getah bening ketiak mempunyai resiko tinggi terjadinya mual muntah pasca operasi. Banyak anti muntah yang diberikan termasuk diantaranya antihistamin, butyrophenon, dan antagonis reseptor dopamin telah dilaporkan mempunyai efek samping yang tidak diinginkan antara lain sedasi yang berlebihan, hipotensi, mulut kering, dysphoria, halusinasi dan efek ekstrapiramidal. Antagonis reseptor 5 HT3 memberikan kemajuan yang besar sebagai penanganan mual muntah pascaoperasi karena efek sampingnya yang sedikit bila dibandingkan dengan obat-obat anti muntah sebelumnya. Penelitian ini akan membandingkan dua obat antagonis reseptor 5 HT3 yaitu granisetron dengan ondansetron dalam mencegah mual muntah pascaoperasi dini mastektomi radikal modifikasi. Dilakukan penelitian pada 58 pasien ASA I dan II yang dilakukan mastektomi radikal modifikasi dengan anestesi umum. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan uji klinis acak terkontrol buta ganda. Sampel dibagi menjadi dua kelompok dengan randomisasi blok. Kelompok G diberikan granisetron 0,01 gr/kg.bb dan kelompok O diberikan ondansetron 0,08 mg/kg.bb. Obat perlakuan diberikan intravena 30 menit sebelum operasi selesai Evaluasi dilakukan pada tekanan darah, denyut jantung, saturasi oksigen dan lama pembedahan. Mual muntah pascaoperasi dinilai segera setelah operasi tiap jam sampai 6 jam pascaoperasi (mual muntah pascaoperasi dini) dengan 4 skala (0-3). Data dianalisis dengan uji-t, uji Chi-square, uji Mann-Whitney, dan uji Exact Fisher pada program SPSS ver.16 Windows. Hasil penelitian menunjukkan terdapat kecenderungan keluhan mual muntah pascaoperasi lebih banyak terjadi pada kelompok O (27,6%) dibandingkan dengan kelompok G (6,9%). Pada analisis statistik yang dilakukan dengan uji Chi-square didapatkan hasil perbedaan yang bermakna (p <0,05). Simpulan pemberian granisetron 0,01 gr/kg.bb intravena lebih baik dibandingkan dengan ondansetron 0,08 mg/kg.bb. intravena dalam dalam menurunkan kejadian mual muntah pascaoperasi dini mastektomi radikal modifikasi.Kata kunci: Mual muntah pascaoperasi dini, granisetron, ondansetron, mastektomi radikal modifikasi Comparison Granisetron 0.01 Mg / Kg.Bb With Ondansetron 0.08 Mg / Kg.Bb To Prevent Early Postoperative Nausea Vomiting Modified Radical MastectomyPostoperative nausea and vomiting not only cause discomfort to the patient, but also lead to electrolyte imbalance, regurgitation and aspiration, bleeding and loss of surgical sutures. Patients who experience postoperative nausea and vomiting will require further attention and treatment which of course increases the cost of medical services. Women who underwent mastectomy with accompanying decision underarm lymph nodes have a high risk of postoperative nausea and vomiting. Many anti-vomiting are given including antihistamines, butyrophenon, and dopamine receptor antagonists have been reported to have undesirable side effects including excessive sedation, hypotension, dry mouth, dysphoria, hallucinations and extrapyramidal effects. 5 HT3 receptor antagonists provide a major advancement for treatment of postoperative nausea and vomiting due to fewer side effects when compared with anti-vomiting medications before. This study will compare the two drugs 5 HT3 receptor antagonist granisetron with ondansetron in preventing postoperative nausea and vomiting modified radical mastectomy early. Conducted research on 58 patients ASA I and II modified radical mastectomy is performed under general anesthesia. Sampling was carried out using double-blind randomized controlled trial. Samples were divided into two groups by block randomization. Group G is given granisetron 0.01 gr / kg.bb and group O is given ondansetron 0.08 mg / kg.bb. Drug treatment is administered intravenously 30 minutes before the surgery ended on a complete evaluation of blood pressure, heart rate, oxygen saturation and length of surgery. Postoperative nausea and vomiting shortly after surgery assessed every hour until 6 hours after surgery (early postoperative nausea and vomiting) to 4 scale (0-3). Data were analyzed by t-test, Chi-square test, Mann-Whitney test and Fisher's Exact test on Windows SPSS ver.16 The results suggest there is a tendency complaints of postoperative nausea and vomiting occurs more frequently in group O (27.6%) compared with group G (6.9%). In the statistical analysis performed with Chi-square test results obtained were significant differences (p <0.05). Conclusion that the provision of granisetron 0.01 mg / kg.bb better than intravenous ondansetron 0.08 mg / kg.bb. intravenously in lowering the incidence of early postoperative nausea and vomiting modified radical mastectomy.Keywords: early postoperative nausea and vomiting, granisetron, ondansetron, modified radical mastectomy DOI: 10.15851/jap.v1n1.158
Perbandingan Pemberian Lidokain 2% 1,5 mg/kgBB Intravena dengan Propofol 0,3 mg/kgBB Intravena Setelah Anestesi Umum Dihentikan terhadap Kejadian Batuk Saat Ekstubasi Bangun Aris Gunawan; Erwin Pradian; Ruli Herman Sitanggang
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 5, No 2 (2017)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (690.983 KB) | DOI: 10.15851/jap.v5n2.1110

Abstract

Pipa endotrakeal (endotracheal tube; ETT) sering digunakan pada prosedur anestesi umum. Batuk saat ekstubasi merupakan komplikasi yang sering terjadi karena iritasi jalan napas akibat pelepasan ETT. Penggunaan lidokain intravena dan propofol intravena telah terbukti mampu menurunkan angka kejadian batuk saat ekstubasi. Tujuan penelitian ini membandingkan angka kejadian batuk saat ekstubasi bangun pemberian lidokain 2% 1,5 mg/kgBB intravena dengan propofol 0,3 mg/kgBB intravena dalam anestesi umum yang diberikan 3 menit setelah sevofluran dan N2O dihentikan pada akhir operasi. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Desember 2016 sampai dengan Februari  2017 di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung. Penelitian ini dilakukan dengan metode eksperimental dengan teknik acak terkontrol buta tunggal terhadap 72 subjek yang terdiri atas kelompok lidokain (n=36) dan kelompok propofol (n=36). Analisis statisika menggunakan uji chi-square dengan bantuan aplikasi statistical product and service solution (SPSS) versi 20.0 for windows taraf signifikasi 5% dan dianggap bermakna bila p<0,05. Pada hasil penelitian ini didapatkan angka kejadian batuk pada pemberian lidokain 2% 1,5 mg/kgBB lebih rendah dibanding dengan  pemberian propofol 0,3 mg/kgBB (p<0,05) dengan persentase 19,4% dan 44,4%. Simpulan penelitian ini adalah pemberian lidokain 2% 1,5 mg/kgBB intravena lebih baik dibanding dengan propofol 0,3 mg/kgBB intravena untuk menurunkan kejadian batuk pada saat ekstabasi.Kata kunci: Batuk, ekstubasi, lidokain, propofol Comparison between Intravenous Administration of 2% Lidocaine 1,5 mg/kgBW and Propofol 0,3 mg/kgBW after Discontinuation of General Anesthesia against Cough Incidence During Awake ExtubationEndotracheal tube (ETT) is often used in general anesthesia procedures. Coughing at the time of  extubation is a complication that often occurs due to respiratory irritation due to the release of ETT. The use of intravenous lidocaine and intravenous propofol has been shown to decrease the incidence of coughing at the time of extubation. This study aimed to compare the incidence of coughing during awake extubation between 2% of lidocaine 1.5 mg/kgBW intravenously with propofol administered 0.3 mg/kgBW intravenously in general anesthesia 3 minutes after sevoflurane and N2O was stopped at the end of the surgery. This study was conducted from December 2016 until February 2017 in Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung. The research was done with experimental method with a single blind  randomized controlled trial and was carried out on 72 subjects consisting of lidocaine group (n=36) and propofol group (n=36). Statistic analysis using chi-square test with statistical product and service solution (SPSS) version 20.0 for windows with significance level 5% and considered significant if p<0,05. In the results of this study, the incidence of coughing in group of 2% of lidocaine 1.5 mg/kgBW was lower than group of propofol 0.3 mg/kgBW (p<0.05) with the respective percentages of 19.4% and 44.4%. The conclusion of this study was 2% of lidocaine 1.5 mg/kgBW intravenously is better compared to propofol 0.3 mg/kgBW intravenously to decrease the incidence of coughing at the time of extubation.Key words: Coughing, extubation, lidocaine, propofol
Efek Pemberian Magnesium Sulfat 45 Mg/kgBB terhadap Kualitas Tindakan Intubasi Endotrakeal Tanpa Obat Pelumpuh Otot dan Perubahan Respons Hemodinamik Fatima Fatima; Erwin Pradian; Dedi Fitri Yadi
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 7, No 1 (2019)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (14.027 KB) | DOI: 10.15851/jap.v7n1.1590

Abstract

Intubasi endotrakeal merupakan tindakan berisiko tinggi yang menghasilkan stimulasi adrenergik. Intubasi endotrakeal menggunakan obat pelumpuh otot sebagai standar baku dapat menimbulkan efek samping berupa reaksi anafilaksis dan rekurisasi pascabedah. Intubasi endotrakeal tanpa obat pelumpuh otot ditujukan untuk prosedur pembedahan yang singkat, membutuhkan identifikasi saraf, dan terdapat kontraindikasi pemberian obat pelumpuh otot. Tujuan penelitian ini mengkaji pemberian magnesium sulfat 45 mg/kgBB terhadap kualitas intubasi dan respons hemodinamik pada tindakan intubasi endotrakeal tanpa obat pelumpuh otot. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental secara acak buta ganda yang dilakukan secara prospektif terhadap 42 subjek penelitian yang menjalani prosedur pembedahan dengan anestesi umum di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Hasan Sadikin, Bandung pada bulan April–Juli 2018. Pada penelitian ini, data numerik diuji dengan uji t tidak berpasangan, sedangkan data kategorik diuji dengan uji chi-square dan Mann Whitney. Hasil penelitian menunjukkan kualitas intubasi endotrakeal tanpa obat pelumpuh otot lebih baik dengan disertai penurunan respons hemodinamik pada kelompok yang diberikan magnesium sulfat 45 mg/kgBB dibanding dengan kelompok kontrol (p<0,05). Simpulan, pemberian magnesium sulfat 45 mg/kgBB meningkatkan kualitas tindakan intubasi endotrakeal tanpa obat pelumpuh otot yang dinilai menggunakan skor Copenhagen dan menurunkan respons hemodinamik pada tindakan intubasi endotrakeal tanpa obat pelumpuhotot.Effect of 45 mg/kgBW Magnesium Sulphate on Quality of Endotracheal Intubation without Neuromuscular Blocking Agents and Change in Hemodynamic ResponsesEndotracheal intubation is a high-risk procedure that can stimulate adrenergic response. Neuromuscular blocking agent is used to facilitate endotracheal intubation but it has undesirable effects such as anaphylactic reaction and postoperative recurarization. This technique is indicated for short surgical procedures, requires nerve identification, and is contraindicated for neuromuscular blocking agent. The purpose of this study was to review the effect of 45 mg/kgBW magnesium sulphate to the quality of intubation and hemodynamic responses in endotracheal intubation without neuromuscular blocking agent. This was a prospective double blind experimental study conducted on 42 research subjects  underwent surgical procedures under general anesthesia in Dr. Hasan Sadikin General Hospital, Bandung in the period of April–July 2018. In this study, numerical data were tested by unpaired t test. Categorical data were tested by chi-square and Mann Whitney tests. The results showed that the quality of endotracheal intubation without neuromuscular blocking agent improved with minimum hemodynamic changes in the group receiving 45 mg/kgBW magnesium sulphate (p<0.05). It is concluded that 45 mg/kgBW magnesium sulphate improves intubating quality assessed using Copenhagen score and decreases hemodynamic responses to endotracheal intubation without neuromuscular blocking agents.
Perbandingan antara Penggunaan Asam Amino dan Ringer Laktat terhadap Penurunan Suhu Inti Pasien yang Menjalani Operasi Laparotomi Ginekologi dengan Anestesi Umum Agung Hujjatulislam; Erwin Pradian; Ike Sri Redjeki
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 3, No 3 (2015)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (348.162 KB)

Abstract

Pemberian asam amino intravena merangsang metabolisme oksidatif sekitar 20% dan mengurangi komplikasi hipotermia pascaoperasi. Tujuan penelitian ini mengetahui efek penggunaan asam amino preoperatif terhadap suhu inti tubuh. Penelitian menggunakan metode kuantitatif intervensi dengan rancangan uji klinis acak terkontrol buta tunggal pada 40 orang pasien berusia 18−57 tahun dengan status fisik American Society of Anesthesiologists (ASA) I dan II yang menjalani operasi laparotomi ginekologi di Rumah Sakir Dr. Hasan Sadikin Bandung periode Febuari–Mei 2014. Subjek dibagi menjadi 2 kelompok secara acak, yaitu kelompok yang mendapat asam amino 2 mL/kgBB/jam selama 2 jam preoperasi dan kelompok kontrol yang mendapat infus Ringer laktat. Pencatatan suhu timpani dilakukan setiap 10 menit dari awal induksi hingga akhir anestesi. Data hasil penelitian diuji dengan Uji Mann-Whitney. Hasil penghitungan statistika, didapatkan suhu inti rata-rata selama anestesi pada kelompok asam amino bermakna lebih tinggi dibanding dengan kelompok kontrol (p<0,05). Penurunan suhu rata-rata pada kelompok kontrol (0,11C) bermakna, lebih besar dibanding dengan kelompok asam amino (0,08C; p<0,05). Simpulan, pemberian cairan asam amino dua jam preoperasi dapat mencegah penurunan suhu yang lebih besar dibanding dengan kelompok kontrol selama operasi ginekologi laparotomi.Kata kunci: Asam amino, hipotermia, suhu inti tubuh Comparison between Amino Acids and Ringer Lactate Infusion on Body Core Temperature Decline in Patients Undergo Gynaecological Laparotomy Surgery under General AnesthesiaIntravenous administration of amino acids stimulates about 20% oxidative metabolism and reduces postoperative complications of hypothermia. The aim of this study was to determine the effects of preoperative amino acid infusion to core temperature. This was an observational analytic study with cross-sectional design to compare the reliability using the inter-rater reliability method. Subjects were 40 patients aged 18−57 years old with physical status ASA I and II who underwent gynaecological laparotomy at Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung during February–May 2014. Subjects were devided randomly into 2 groups; one group was given 2 mL/kgBW/hour amino acid infusion for 2 hours before laparotomy and another group was the control group given ringer lactate infusion. Tympani membrane temperature was taken every 10 minutes throughout the anesthetic procedure. Data were statistically analyzed using Mann-Whitney test.The result of this study was the average of core temperature during anesthesia in amino acid group was significantly higher than control group (p<0.05). The average of temperature decline in the control group (0.11oC) was significantly higher (p<0.05) than the amino acid group (0.08oC). This study concludes that amino acid infusion two hours before surgery will prevent greater decrease in temperature compared to the control group during gynecological laparotomy surgery.Key words: Amino acids, body core temperature, hypothermia DOI: 10.15851/jap.v3n3.606
Korelasi Penanda Anatomis Blokade Saraf Iskiadikus Pendekatan Anterior dengan Panjang Femur dan Tinggi Badan Menggunakan Ultrasonografi Maransdyka Purnamasidi; Erwin Pradian; Rudi Kurniadi Kadarsah
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 1, No 2 (2013)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (535.703 KB)

Abstract

Blokade saraf iskiadikus pendekatan anterior dapat digunakan untuk memfasilitasi pembedahan di bawah lutut dan sangat bermanfaat untuk pasien yang tidak dapat diposisikan lateral. Tujuan penelitian ini untuk mencari korelasi penanda anatomis blokade saraf iskiadikus pendekatan anterior dengan panjang femur dan tinggi badan menggunakan ultrasonografi pada subjek penelitian laki-laki. Metode penelitian ini adalah observasional eksperimental dengan pengambilan data secara cross sectional di ruang operasi bedah sentral Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung pada September–November 2012. Persamaan korelasi panjang femur dan tinggi badan dengan penanda anatomis blokade saraf iskiadikus pendekatan anterior dihitung berdasarkan analisis regresi linear dan uji analysis of variance (ANOVA) untuk menentukan kelayakan persamaan regresi linear, pada taraf kepercayaan 95%. Hasil penelitian menunjukkan korelasi yang kuat antara penanda anatomis blokade saraf iskiadikus pendekatan anterior dan panjang femur (r=0,784) dengan korelasi searah dan bermakna (p<0,05). Terdapat korelasi yang sangat kuat antara penanda anatomis blokade saraf iskiadikus pendekatan anterior dan tinggi badan (r=0,921) dengan korelasi searah dan bermakna (p<0,05). Berdasarkan hasil analisis regresi linear, diperoleh persamaan: Titik “P” = (0,182 x tinggi badan)–24,647cm. Titik “P” (0,275 x panjang femur)–4,764 cm. Simpulan, penelitian ini menunjukkanbahwa terdapat korelasi penanda anatomis blokade saraf iskiadikus pendekatan anterior dengan panjang femur dan tinggi badan menggunakan ultrasonografi.Kata kunci: Blokade saraf iskiadikus, pendekatan anterior, panjang femur, tinggi badan, ultrasonografiAnterior Approach to the Sciatic Nerve Block in Correlation with Femur Length and Patient’s Height Using Ultrasound As a GuidanceAnterior sciatic nerve blocks is an alternative anesthetic technique for below knee surgery and very useful for patients that cannot positioned laterally. This study was conducted to improve correlations between anterior sciatic anatomical marking with femur length and patient’s height using ultrasound as a guidance. The method of this study was a cross sectional experimental observation study in central operating theatre >Dr. Hasan Sadikin Hospital-Bandung within September–November 2012. Correlation formula between femur length or patient’s height and anterior sciatic anatomical marking was calculated using linear regression analytic and analysis of variance (ANOVA) test with interval of confidence 95%. A total of 92 subject, between 25 to 47 years studied. The results of this study showed a strong correlation between anterior sciatic anatomical marking and femur length (r=0.784) p<0.05, a very strong correlation between anterior sciatic anatomical marking and subject’s height (r= 0.921) and p<0.05). Formula based on linear regression analysis: “P” point (0.275 x femur length)–4,764 cm. “P” point = (0.182 x height)–24,647 cm. The >conclusion of this study shows correlation between anterior sciatic anatomical marking with femur length and patient’s height using ultrasound.Key words: Anterior approach, femur length, height, sciatic block, ultrasound DOI: 10.15851/jap.v1n2.118
Co-Authors , Rizki - Irwan - Irwan, - - Suhandoko - Suhandoko A. Muthalib Nawawi A. Muthalib Nawawi Adhitya Pratama Agung Ari Budy Siswanto Agung Hujjatulislam Agung Hujjatulislam, Agung Andie Muhari Barzah Andie Muhari Barzah, Andie Muhari Ardi Zulfariansyah Ardi Zulfariansyah Aris Gunawan Baginda Aflah Bahtiar Susanto Bramantyo Pamugar Budi Fitriyana Budi Fitriyana Budi Santosa Budi Santosa Cindy Elfira Boom Dedi Fitri Yadi Delis, Eddo Alan Destiara, Andy Pawana Dhany Budipratama Dian Irawati, Dian Doddy Tavianto Doni Arief Rahmansyah Doni Arief Rahmansyah Eddo Alan Delis Emvina Husni Syam Emvina Husni Syam Eri Surahman Eri Surahman Erlangga, Erias Ezra Oktaliansah Faisal Rachman Faisal Rosady Faisal Rosady Fatima Fatima Ferawati Ferawati Gunawan, Aris Hendro, Rachmad Try Hidayat Hidayat Ida Bagus Krisna Jaya Sutawan Ike Sri Redjeki Ike Sri Redjeki Iman Muhammad Yusup Mansur Iman Muhammad Yusup Mansur Indra Wijaya Indriasari Indriasari Irwan Setiadi Iwan Fuadi Jonathan Jonathan Kurnia Ricky Ananta Kurniawan, Muhammad Budi Listiana Dewi Sartika M. Andy Prihartono M. Erias Erlangga Maransdyka Purnamasidi Maransdyka Purnamasidi Marrylin Tio Simamora Mohamad Andy Prihartono Mohamad Andy Prihartono Muhammad Budi Kurniawan Muthalib Nawawi Nadya, Siti Fairuz Nawawi, Muthalib Nurita Dian Nurita Dian Kestriani Nurita Dian Kestriani Nurita Dian Kestriani Pamugar, Bramantyo Permana, Sendy Setiawan Putra, Prana Indra Rachmad Try Hendro Radian Ahmad Halimi Rahmat Rahmat Reza Indra Putra Reza Indra Putra, Reza Indra Reza W Sudjud Ricky Aditya Rudi Kurniadi Kadarsah Ruli Herman Sitanggang Selly Oktarina Rosita Selly Oktarina Rosita Sendy Setiawan Permana Sobaryati Supandji, Mia Susanto, Bahtiar Suwarman Suwarman Suwarman Tanto, Dedi Tatang Bisri Tatang Bisri Tatang Bisri Tinni T. Maskoen Tinni T. Maskoen Tinni T. Maskoen Tinni Trihartini Maskoen Yovita Koswara Yovita Koswara