Claim Missing Document
Check
Articles

Found 18 Documents
Search

The Politics of Islamic Criminal Law in Indonesia(A Critical Analysis) Mohamad Rapik
International Conference On Law, Business and Governance (ICon-LBG) Vol 1 (2013): 1st ICon-LBG
Publisher : UBL

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (479.902 KB)

Abstract

Indonesia is well known as the country where Muslims are the majority. However, never has Islamic lawbecome the priority especially after the Indonesian independence. Therefore, the uproar calls for theapplication of Islamic are law still echoing until today. Though the state has answered those calls andsuccessfully applied Islamic law as part of the national legislation as seen, for example, in marriage law,Islamic banking law, law on hajj etc, it still fails to acknowledge the Islamic penal law to some extent.The paper would elaborate the problem of the politics of Islamic penal law in Indonesia. By analyzing thepolitics of Islamic penal law critically, this paper hopes to expose the problem behind the phenomenon.For this purpose, Islamic methodology through “maqashid syari’ah” (purposes of Islamic syariah) isneeded in order to see how Islamic law should work in the modern era and contextually stand side-by-sidewith the local need.
Studi Komparasi Perihal Perumusan Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Anak Mufan Nurmi; Andi Najemi; Mohamad Rapik
PAMPAS: Journal of Criminal Law Vol. 2 No. 3 (2021)
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22437/pampas.v2i3.16328

Abstract

The formulation of a crime is a way for every country in tackling crimes with a legal approach. Despite the similariteis of the child abuse and culture Indonesia and Malaysia might share, they also have different concepts regarding the formulation of criminal acts against children. Applying a comparative approach, this article explores the laws and regulations in the two countries and analyzes the regulatory concepts they provide. The objective is to look at the similarities and differences of each concept. The article demonstrates that the regulation of acts and sanctions in Indonesia and Malaysia has several similarities, such as the regulation regarding the age limit for children, as well as several differences, such as in the clarity of the formulation of offenses against children. The study of this matter is important, especially for Indonesia. The results of this comparative approach have allowed both countries, especially Indonesia, to borrow a number of important ideas regarding the formulation of violent crimes against children.   ABSTRAK Perumusan tindak pidana merupakan cara setiap negara dalam menanggulangi kejahatan dengan pendekatan hukum. Sekalipun peristiwa kekerasan anak itu bisa sama dan dengan kultur yang serupa, Indonesia dan Malaysia bisa memiliki konsep yang berbeda mengenai perumusan tindak pidana kekerasan terhadap anak. Dengan melakukan pendekatan kompratif, artikel ini menelusuri peraturan perundang-undang di kedua negara itu serta menganalisis konsep-konsep pengaturan yang mereka berikan. Tujuannya adalah untuk melihat kelebihan dan kekurangan masing-masing konsep. Hasilnya, dalam artikel ini ditunjukkan bahwa pengaturan perbuatan dan sanksi di Indonesia dan di Malaysia memiliki beberapa persamaan seperti pengaturan mengenai batas usia anak, di samping juga memiliki beberapa perpedaan seperti dalam masalah kejelasan rumusan delik tindak kekerasan terhadap anak. Studi terhadap masalah ini menjadi penting, terutama bagi Indonesia. Hasil penelitian dengan pendekatan kompratif ini memungkinkan kedua negara, terutama Indonesia, meminjam sejumlah ide penting terkait perumusan tindak pidana kerasan terhadap anak. 
Penanganan Anak ISIS dalam Perspektif Hukum Indonesia Mohamad Rapik; Bunga Permatasari
Undang: Jurnal Hukum Vol 3 No 2 (2020)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22437/ujh.3.2.289-314

Abstract

The involvement of children in the ISIS network has left a complex problem in the legal discourse in Indonesia, including how to deal with children involved in this terrorism network. This article aims to expose the problem of children in conflict with the law in the crime of terrorism. Due to this problem, the Indonesian government is often faced a dilemma between the neccessity to apply serious efforts to eradicate terrorism and the obligation to guarantee a protection to the children. Through a juridical-normative approach, focusing on ISIS children, this article demonstrates that one of the problems in dealing with children involved in terrorism networks lies in the vagueness of the rules addressing the children involved in this terrorism network as well as its implementation by the government. Therefore, this article argues that in order to be able to deal with children involved in terrorism networks, some of the legal instruments concerning the issue, especially the law on terrorism and the laws of children in conflict with the law as long as terrorism is concerned needs to be revised just to accommodate this issue in a more obvious normsto actually maintain a balance between the responsibility to protect the children and the need to preserve stability of the nation and state. Under the new revised laws, the government is hoped to work with and apply the provisions regarding children in conflict with the law in the case of terrorism crimes in the frame of justice and protection for children. Abstrak Keterlibatan anak dalam jaringan ISIS menyisakan permasalahan yang kompleks dalam wacana hukum di Indonesia berikut penanganan anak yang terlibat dalam jaringan terorisme ini. Artikel ini bertujuan untuk memaparkan masalah penangangan anak yang berkonflik dengan hukum dalam tindak pidana terorisme. Terkait hal ini, pemerintah Indonesia seringkali dihadapkan pada dilema antara upaya serius untuk memberantas tindak pidana terorisme dan kewajiban untuk memberikan perlindungan kepada anak. Melalui pendekatan yuridis-normatif, dengan mengambil kasus anak-anak ISIS, artikel ini memperlihatkan bahwa salah satu masalah yang ditemui dalam penanganan anak yang terlibat dalam jaringan terorisme terletak pada ketidakjelasan aturan sejauh menyangkut masalah penangangan anak tersebut berikut pelaksanaannya di lapangan oleh negara. Oleh karena itu, artikel ini berargumen bahwa untuk bisa menangani anak-anak yang terlibat dalam jaringan terorisme, beberapa instrumen hukum yang mengatur masalah ini, utamanya undang-undang terorisme dan undang-undang yang berhubungan dengan anak yang berkonflik dengan hukum harus direvisi guna mengakomodasi permasalahan ini secara lebih jelas yang benar-benar menjaga keseimbangan antara kepentingan anak dan kepentingan bangsa dan negara. Selanjutnya, pemerintah sejatinya mampu mengacu dan menerapkan segala ketentuan hukum yang berlaku mengenai anak yang berkonflik dengan hukum dalam kasus tindak pidana terorisme sebagaimana yang diakomodasi dalam undang-undang tersebut.
Pembelajaran Mata Kuliah Perbandingan Hukum Pidana (Pendekatan Berbasis Masalah) Mohamad Rapik
RIO LAW JURNAL Vol 3, No 1 (2022): Mei
Publisher : Universitas Muara Bungo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36355/rlj.v3i1.674

Abstract

Artikel ini membahas tentang pembelajaran mata kuliah Perbandingan Hukum Pidana. Dengan menerapkan penelitian empirik, penelitian ini berupaya untuk menganlisis bagaimana praktek pembelajaran mata kuliah Perbandingan Hukum Pidana di kalangan mahasiswa. Metode klasik pengajaran hukum perbandingan menghasilkan siswa yang hanya bergantung pada materi pelajaran. Umumnya mahasiswa tersebut memperoleh pengetahuan tentang aspek yang berbeda dari hukum dan sistem hukum dari berbagai negara lain, tetapi merasa sulit untuk melakukan penelitian dan menulis tentang hukum perbandingan secara mandiri. Meskipun dulu cukup bagi mahasiswa untuk memahami hukum perbandingan dan beberapa aspek hukum pidana, hasil belajar mata kuliah tersebut telah berubah: mahasiswa juga diharapkan memiliki kemampuan untuk melakukan penelitian dan menulis tentang hukum perbandingan setelah menyelesaikan mata kuliah ini. Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan pendekatan berupa pengkajian terhadap kasus-kasus yang hidup agar setiap mahasiswa dapat menikmati pembelajarna ini. Untuk itu diperlukan beberapa perubahan: pertama, mahasiswa harus lebih aktif dalam belajar dan melakukan lebih dari sekadar menerima pengetahuan secara pasif dari materi kuliah yang diberikan oleh dosennya; kedua, siswa harus mencari lebih banyak bahan referensi di luar silabus dan belajar menggunakan perpustakaan dan database online secara lebih efektif; dan ketiga, siswa harus meningkatkan penguasaan bahasa Inggris dan bahasa lainnya, jika memungkinkan
DISKURSUS FILSAFAT ILMU: DARI PERADABAN MANUSIA KE PERADABAN TUHAN Mohamad Rapik
Titian: Jurnal Ilmu Humaniora Vol. 1 No. 2 (2017): Desember
Publisher : Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (166.491 KB) | DOI: 10.22437/titian.v1i2.4225

Abstract

Artikel ini membahas tentang diskursus filsafat ilmu dalam sudut pandang Barat dan filsafat Islam. Hubungan antara filsafat (ilmu) Barat dan filsafat (ilmu) Islam bisa dengan berbagai cara; saling melengkapi, saling bersaing, atau saling mengeliminasi. Filsafat Barat selalu bertumpu pada dialektika akal, sedangkan filsafat Islam, sekalipun adalah kerja akal budi, bertumpu pada norma-norma Ilahiah.
Dinamika Status Hukum Perkawinan Beda Agama dalam Perspektif Fikih Indonesia Sulhi M. Daud; Mohamad Rapik; Yulia Monita
Undang: Jurnal Hukum Vol 5 No 2 (2022)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22437/ujh.5.2.357-391

Abstract

Interfaith marriage is still a complex issue in Indonesia. This is due to the fact that not only does it provoke legal debates but also creates a conflict of interest such as interpretation, psychology, culture, economy, including human rights, and so on. In the Indonesian context, where Muslims are the majority, the influence of Islamic jurisprudence (fiqh) is very significant in influencing legal decisions regarding interfaith marriages. This study aims to portray and exhibit the reasoning of Indonesian fiqh regarding this issue. Tracing scientific sources from a number of articles and academic works, including fatwas from several Islamic organizations and bodies in Indonesia, this article presents discourses behind the dynamics of Indonesian fiqh. While many might believe that Indonesian fiqh is nothing but mono-style, this article demonstrates that the term of the so-called Indonesian fiqh itself would be more complex and ideological in nature. It focuses on the dialectics or dynamics of fiqh growing and developing in Indonesia as well as the legal perspectives vis a vis the political stance as long as the issue of interfaith marriage is concerned. For this reason, the article investigates the common understanding of Islamic law by referring to the Indonesian marriage law, which leads to an account of the legal vacuum concerning the regulations on interfaith marriage, and subsequently to a mapping of Indonesian fiqh ideology. Abstrak Perkawinan beda agama masih merupakan persoalan yang kompleks di Indonesia. Hal itu karena ia tidak hanya melibatkan masalah hukum melainkan masalah lain seperti tafsir, psikis, budaya, ekonomi, termasuk hak asasi manusia dan sebagainya. Dalam konteks negara Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah muslim, pengaruh fikih Islam sangat signifikan dalam memengaruhi keputusan hukum mengenai perkawinan beda agama. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan menyingkap nalar fikih Indonesia terkait masalah ini. Dengan menelusuri sumber-sumber ilmiah dari sejumlah artikel dan karya ilmiah, termasuk fatwa dari sejumlah ormas dan istitusi Islam di Indonesia, artikel ini mendemonstrasikan sebuah diskursus mengenai dinamika fikih Indonesia. Alih-alih menganggap fikih Indonesia bercorak tunggal, artikel ini ingin membuktikan bahwa istilah fikih Indonesia itu sendiri bersifat kompleks dan ideologis. Kajian ini memfokuskan pada dialektika atau dinamika fikih yang berkembang di Indonesia berikut argumen hukum yang ditampilkan serta sikap politis yang diambil terkait masalah perkawinan beda agama. Untuk itu kajian memaparkan pemahaman hukum Islam secara umum dengan merujuk pada UU perkawinan yang menimbulkan pemahaman kekosongan hukum, serta memetakannya dalam ideologi fikih Indonesia.
Plagiarisme Karya Ilmiah Dalam Kacamata Hukum Pidana Andika Rifqi Fadilla; Haryadi Haryadi; Mohamad Rapik
PAMPAS: Journal of Criminal Law Vol. 4 No. 1 (2023)
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22437/pampas.v4i1.24074

Abstract

Plagiarism has been recognized as a disapproved act and contrary to the scientific spirit and the academic environment in the university. Therefore, anyone who commits such an act shall usually get administrative sanctions. This article questions the possibility of imposing a criminal sanction upon anyone who commits an act of plagiarism. It is argued that in such action there is an element of a guilty mind with the intention of claiming scientific works belonging to others in an illegal way. Employing a normative-legal approach, this article operates a legal-positivistic interpretation to address the problem. It is found through the research a number of articles identified as a basis for criminalizing the act of plagiarism. This article also elaborates on studies related to the prevention of plagiarism of scientific work in universities to contribute to achieving national education goals.   ABSTRAK   Tindakan plagiarisme diakui telah menjadi sebuah perbuatan yang dicela dan bertentangan dengan semangat ilmiah dalam dunia akademik di perguruan tinggi. Karena itu, setiap orang yang melakukannya biasanya akan mendapatkan sanksi administratif. Artikel ini mempertanyakan kemungkinan diberikan sanksi berupa pidana bagi barang siapa yang melakukan tindakan plagiarism. Hal ini mengingat adanya unsur-unsur niat jahat dengan maksud mengambil karya orang lain secara tidak sah. Dengan melakukan pendekatan yuridis-normatif, artikel ini melakukan penafsiran hukum secara legal positivistik terkait masalah yang dikaji. Hasilnya, ditemukan sejumlah pasal yang dapat dijadikan dasar untuk memidanakan tindakan plagiarisme. Artikel ini juga memaparkan kajian terkait pencegahan tindakan plagiarisme karya ilmiah di perguruan tinggi. Hal ini dilakukan demi tercapainya tujuan pendidikan nasional.
Pembelajaran Mata Kuliah Perbandingan Hukum Pidana (Pendekatan Berbasis Masalah) Mohamad Rapik; Hafrida Hafrida
RIO LAW JURNAL Vol 3, No 1 (2022): Mei
Publisher : Universitas Muara Bungo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36355/rlj.v3i1.674

Abstract

Artikel ini membahas tentang pembelajaran mata kuliah Perbandingan Hukum Pidana. Dengan menerapkan penelitian empirik, penelitian ini berupaya untuk menganlisis bagaimana praktek pembelajaran mata kuliah Perbandingan Hukum Pidana di kalangan mahasiswa. Metode klasik pengajaran hukum perbandingan menghasilkan siswa yang hanya bergantung pada materi pelajaran. Umumnya mahasiswa tersebut memperoleh pengetahuan tentang aspek yang berbeda dari hukum dan sistem hukum dari berbagai negara lain, tetapi merasa sulit untuk melakukan penelitian dan menulis tentang hukum perbandingan secara mandiri. Meskipun dulu cukup bagi mahasiswa untuk memahami hukum perbandingan dan beberapa aspek hukum pidana, hasil belajar mata kuliah tersebut telah berubah: mahasiswa juga diharapkan memiliki kemampuan untuk melakukan penelitian dan menulis tentang hukum perbandingan setelah menyelesaikan mata kuliah ini. Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan pendekatan berupa pengkajian terhadap kasus-kasus yang hidup agar setiap mahasiswa dapat menikmati pembelajarna ini. Untuk itu diperlukan beberapa perubahan: pertama, mahasiswa harus lebih aktif dalam belajar dan melakukan lebih dari sekadar menerima pengetahuan secara pasif dari materi kuliah yang diberikan oleh dosennya; kedua, siswa harus mencari lebih banyak bahan referensi di luar silabus dan belajar menggunakan perpustakaan dan database online secara lebih efektif; dan ketiga, siswa harus meningkatkan penguasaan bahasa Inggris dan bahasa lainnya, jika memungkinkan
Extrajudicial Killing Terhadap Terduga Pelaku Tindak Pidana Terorisme Dalam Perspektif Asas Presumption of Innoncent dan HAM Rosa P.S Simarmata; Tri Imam Munandar; Mohamad Rapik
PAMPAS: Journal of Criminal Law Vol. 4 No. 2 (2023)
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

This article aims to analyse regulations related to extrajudicial killing against suspected terrorists from the perspective of the principle of presumption of innocence and human rights. The fact that counter-terrorism often leaves legal problems and human rights violations is clear in the KM 50 case when 6 members of the FPI were shot to death under suspicion of terrorism, allegedly committed by the anti-terrorism of Densus 88. This article attempts to see the problem from a legal perspective which leaves a normative vagueness with regard to the use of power by the Police and the implementation of the Human Rights Principles and Standards in the administration of the Indonesian National Police. As a normative legal research, the legal issue of this research concerns the guiding principles that give authority to the police to use force against suspects of terrorism vis-à-vis the principle of presumption of innocence and the enforcement of human rights. It is found that the extrajudicial killing of suspected terrorists is a violation of human rights. However, from a normative perspective, the act is controversial due to the vagueness of the law that guides the police in carrying out their duties. It is suggested that this regulation be made clearer to avoid abuse of power by the Police in combating criminal acts of terrorism. Abstrak Artikel ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis pengaturan terkait extrajudicial killing terhadap pelaku terduga tindak pidana terorisme dilihat dari perspektif asas preassumption of innosence dan HAM. Artikel penelitian ini berangkat dari fakta bahwa upaya penanggulangan tindak pidana terorisme seringkali menyisakan isu-isu pelanggaran hukum dan HAM, terutama dilakukan oleh Densus 88 anti terorisme. Permasalahan seputar extrajudicial killing mencuat pasca kasus KM 50 dengan terbunuhnya 6 anggota laskar FPI dengan dugaan tindak pidana terorisme. Artikel ini melihat adanya permasalahan dari perspektif hukum yang secara normatif menyisakan kekaburan norma pada aturan mengenai peingguinaan keikuiatan dalam tindakan keipolisian dan impleimeintasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manuisia dalam peinyeileinggaraan Tuigas Keipolisian Neigara Indoneisia. Sebagai penelitian yuridis normatif, isu hukum penelitian ini mempermasalhakan guiding principles yang memberikan kewenangan kepolisian dalam penggunaan kekerasan dalam terhadap terduga tindak pidana terorisme vis-à-vis asas preassumtion of innocent and penegakan HAM. Ditemukan bahwa tindakan extrajudicial killing terhadap terduga teroris merupakan pelanggaran HAM. Namun secara yuridis, perbuatan tersebut bersifat kontroversial mengingat kekaburan yang terdapat pada aturan hukum yang menjadi panduan dalam menjalan tugas oleh Kepolisian. Disarankan agar pengaturan ini lebih jelas lagi agar tidak terjadi abuse of power oleh Kepolisian dalam memberantas tindak pidana terorisme.
Menantang Humanisme; Perspektif Al-Qur`an Terhadap Penerapan Pidana Mati Bagi Pengedar Narkotika Sulhi M Daud; M. Iqbal Bafadhal; Mohamad Rapik
PAMPAS: Journal of Criminal Law Vol. 4 No. 3 (2023)
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22437/pampas.v4i3.28534

Abstract

This article aims to explore the concept of humanism from the application of the death penalty against narcotics dealers and to find out the response of the Qur'ān with respect to the application of the death penalty. This article employs a literature review, namely a type of research whose legal sources are available in libraries and digital access, which is normative research with a qualitative-descriptive approach. The research results show that the textual meaning of the verses of the Qur'ān for narcotics dealers can be categorized as a form of destructive action (fasādan fī al-ardhi) belonging the ta'zīr punishment where the right to pardon and claim leniency in court is still open. However, contextually the verses for narcotics dealers can be categorized into various punishment provisions, namely based on the ḥirābah (robbery) verse where the perpetrator is sentenced to death, if the narcotics dealer does it to take wealth by deception and violence. Also based on the verse al-baghyu (rebellion) with the threat of the death penalty, if narcotics traffickers do it politically with the aim of chaos and disturbing state security and/or taking over legitimate power/government, based on the verse drinking wine (shirb al-khamr), if Narcotics dealers are sentenced to death as recidivists who have been punished several times, as are repeat al-khamr drinkers up to 4 times who are sentenced to death. With several alternative applications of punishment, a reflection of the humanism of the Qur'ān can be observed clearly. Abstrak Artikel ini bertujuan untuk mengetahui konsep humanisme dalam bentuk penerapan hukuman mati pada pengedar narkotika dan mengetahui respons al-Qur`an dalam menyikapi penerapan hukuman mati tersebut. Artikel ini menggunakan studi literatur (literature review), yaitu jenis penelitian yang sumber hukumnya sudah tersedia di perpustakaan dan akses digital, yang bersifat penelitian normatif dengan pendekatan kualitatif-deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara makna tekstual ayat al-Qur`ān untuk pengedar narkotika dapat dikategorikan sebagai makna fasādan fī al-ardhi dalam ranah hukuman ta’zīr yang masih terbuka hak grasi dan penuntutan keringanan hukuman di pengadilan. Namun secara kontektual ayat bagi pengedar narkotika dapat dikategorikan ketentuan hukumannya secara beragam yaitu berdasarkan ayat ḥirābah (perampokan) di mana pelaku dipidana mati, jika pengedar narkotika melakukannya untuk mengambil kekayaan dengan cara tipuan dan kekerasan. Juga berdasarkan ayat al-baghyu (pemberontakan) dengan ancaman pidana mati, jika pengedar narkotika melakukannya secara politis dengan tujuan kekacauan dan mengganggu keamanan negara dan/atau mengambil alih kekuasaan/pemerintahan yang sah, berdasarkan ayat peminum khamar (syirb al-khamr), jika pengedar narkotika dipidana mati sebagai residivis yang telah dihukum beberapa kali sama halnya dengan peminum al-khamr yang berulang sampai 4 kali untuk dipidana mati. Dengan beberapa alternatif penerapan hukuman itulah, refleksi humanisme al-Qur’an terlihat.