Articles
PENERAPAN PIDANA PASAL 92 AYAT (1) HURUF A JO PASAL 17 AYAT (2) HURUF B UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENGRUSAKANHUTAN (ANALISIS PUTUSAN PENGANDILAN NEGERI SAROLANGUN NOMOR: 16/PID.SUS/2015/PN.SRL)
Lasmadi, Sahuri;
Sudarti, Elly
Jurnal Komunikasi Hukum (JKH) Vol 4, No 2 (2018): Jurnal Komunikasi Hukum
Publisher : Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (1026.965 KB)
|
DOI: 10.23887/jkh.v4i2.15451
Penelitianini bertujuan: (1)Untuk menganalisis putusan hakim dalam menentukan unsur Pasal92 ayat (1) Huruf a Jo Pasal 17 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013  untuk dapat diterapkan kepada pelaku Pengrusakan Hutan (Analisis Putusan pengadilan Negeri sarolangun Nomor: 16/PID.SUS/2015/PN.SRL); (2) Untuk menganalisis pertanggungjawaban pidana  pelaku tindak pidana pengrusakan hutan sebagaimana diatur pada Pasal92 ayat (1) Huruf a Jo Pasal 17 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013.Hasil penelitian:(1) Majelis Hakim untuk membuktikan unsur objektif dan unsur subjektif  dari Pasal92 ayat (1) Huruf a Jo Pasal 17 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 berdasarkan fakta di persidangan dan fakta yuridis serta hal-hal yang memberatkan dan meringankan secara sosiologis dari  terdakwa. Unsur objektif dan unsur subjektif diuraikan oleh Hakim secara detail dan atas pertimbangan tersebut Majelis Hakim yakin bahwa subyek hukum (terdakwa) bersalah, sehingga dijatuhkan pidana; (2) Penentuan pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana pengrusakan hutan pada Pasal92 ayat (1) Huruf a Jo Pasal 17 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 pada Putusan Pengadilan Negeri Sarolangun Nomor: 16/PID.SUS/2015/PN.SRL yaitu dengan memperhatikan  Actus Reus dan guilty   mind  atau  mens rea,yaitu adanya hubungan batin dengan perbuatan  dan menurut ukuran yang biasa dipakai masyarakat sebagai ukuran untuk menetapkan ada tidaknya hubunganbatin antara pelakudengan perbuatannyayang diatur dalam ketentuan pidana Pasal92 ayat (1) Huruf a Jo Pasal 17 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013. Â
MODUS OPERANDI PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI YANG DILAKUKAN ANGGOTA DPR DALAM PELEPASAN KAWASAN HUTAN LINDUNG PANTAI AIR TELANG KABUPATEN BANYUASIN SUMATERA SELATAN
Lasmadi, Sahuri;
H. Usman, H. Usman;
Sudarti, Elly
Jurnal Komunikasi Hukum (JKH) Vol 5, No 1 (2019): Jurnal Komunikasi Hukum
Publisher : Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.23887/jkh.v5i1.16748
Penelitian ini bertujuan untuk  menganalisis  pengaturandan pembuktian Modus Operandi Pelaku Tindak Pidana korupsi yang dilakukan anggota DPR dalam pelepasan kawasan hutan lindung Pantai Air Telang KabupatenBanyuasin Sumatera Selatan. Metode penelitianyang digunakan adalah yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan, pendekatan konsep dan pendekatan kasus. Kesimpulan: (1) Perbuatan tindak pidana korupsi dengan modus operandi ucapan terima kasih memberikan hadiah uang dalam bentuk Mandiri Traveller Cheque (MTC) keseluruhannya senilai Rp 5 milyar termasuk dalam tindak pidana korupsi “pegawai negeri menerima suap†(Pasal 12 huruf a UU No  31 tahun 1999) dan “pegawai negeri menerima hadiah yang berhubungan dengan jabatannya†(Pasal 11 UU No 31 Tahun 1999); (2) Pembuktian modus operandi dengan cara menerima hadiah, merupakan unsur Pasal 12 huruf a maupun Pasal 11 meskipun unsur menerima hadiah telah  terpenuhi, unsur  lainnya dari pasal tersebut juga harus terpenuhi, sehingga majelis hakim sampai pada kesimpulan  terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan Tindak Pidana Korupsidan dapat dipertanggungjawabkan atas kesalahannya. Saran:Majelis hakim diharapkan terus ditingkatkan dalam pengkajian aspek hukum materil berkaitan dengan konsep-konsep hukum yang harus dibuktikan dipersidangan.  Kata kunci: Modus Operandi, tindak pidana korupsi, kesalahan.
KEBIJAKAN PERBAIKAN NORMA DALAM MENJANGKAU BATASAN MINIMAL UMUR PERKAWINAN
Lasmadi, Sahuri;
Wahyuningrum, Kartika Sasi;
Disemadi, Hari Sutra
Gorontalo Law Review Volume 3 No. 1 April 2020, Gorontalo Law Review
Publisher : Universitas Gorontalo
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (302.025 KB)
|
DOI: 10.32662/golrev.v3i1.846
Tujuan artikel ini untuk mengetahui reformasi kebijakan pengaturan perkawinan dan perubahan batasan minimal umur perkawinan di Indonesia. Penelitian ini merupakan doktrinal, metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif yaitu metode penelitian hukum yang mendasarkan pada pendekatan perundang-undangan dengan menggunakan analisis deskritif analitis. Hasil penelitian ini menunjukan adanya reformasi atau perubahan terkait pengaturan perkawinan di Indonesia, melalui perubahan UU Perkawinan tahun 1974 menjadi UU Perkawinan tahunn 2019. Subtansi perubahan UU Perkawinan ini berfokus pada perubahan batasan minimal umur perkawinan umur untuk perempuan menjadi 19 tahun. Karena pengaturan batasan umur sebelumnya (16 tahun) tidak sejalan dengan ketentuan yang ada dalam UU Perlindungan Anak yang menyatakan anak adalah seseorang yang berusia belum 18 tahun. Selain itu adanya fakta bahwa perempuan yang menikah diusia 16 tahun lebih rentan mengalamin gaguan kesehatan serta mental. Perubahan ini juga merupakan uapaya pemenuhan hak dasar anak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, hak sipil, haka kesehatan, hak pendidikan dan hak sosial anak yang sulit terpenuhi akibat pernikahan di usia dini.
Harmonisasi Sistem Pemidanaan dan Tujuan Pemidanaan Pada Tindak Pidana Korupsi Suap
Sudarti, Elly;
Lasmadi, Sahuri
Pandecta Research Law Journal Vol 16, No 1 (2021): June
Publisher : Universitas Negeri Semarang
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.15294/pandecta.v16i1.27516
Sistem pemidanaan tindak pidana korupsi suap di Indonesia belum dapat mencapai tujuan pemidanaan, baik dari sisi kerugian negara maupun dari sisi moralitas. Penelitian ini bertujuan: (1) Untuk menganalisis dan menemukan keselarasan sistem pemidanaan tindak pidana korupsi suap dengan tujuan pemidanaan menurut hukum pidanaIndonesia dan hukum pidana Malaysia; (2) Untuk menemukan formulasi ideal sistem pemidanaan tindak pidana korupsi suap dalam rangka mewujudkan tujuan pemidanaan. Metode penelitian menggunakan tipe yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan; konseptual; perbandingan dan pendekatan kasus. Kesimpulan dari Penelitian ini: (1) Sistem pemidanaan tindak pidana korupsi suap di Indonesia belum selaras dengan tujuan pemidanaan, karena pengaturan sistem perumusan sanksi pidana yang belum tepat dan belum berdaya guna. Di Malaysia, sistem pemidanaan pada tindak pidana korupsi suap telah selaras dengan tujuan pemidanaan. Sistem pemidanaan yang lebih menitikberatkan pada pidana denda, Malaysia mendapatkan nilai lebih dari nilai kerugian yang menjadi perkara. (2) Sistem pemidanaan yang selaras dengan tujuan pemidanaan apabila pidana yang diberikan bisa menutupi kerugian yang ditimbulkan tindak pidana suap baik dari segi keuangan maupun dari segi moralitas. Sistem pemidanaan ke depan harus dirumuskan dengan penguatan pada pidana denda yang ditentukan berdasarkan besarnya nilai suap dikalikan minimal duakali atau maksimal limakali dalam pengaturan sistem pemidanaan di Indonesia yang akan datang.
THE LEGAL ACT ON COUNTERFEITING THE COVID-19 VACCINE IN INDONESIAN HEALTH LAW
Sahuri Lasmadi
International Journal of Law Reconstruction Vol 5, No 2 (2021): International Journal of Law Reconstruction
Publisher : UNISSULA
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.26532/ijlr.v5i2.17545
The International Criminal Police Organization has officially issued a global warning to law enforcement officials in 194 member countries to prepare to prevent and deal with various world criminal networks that will seek to utilize the Covid-19 vaccine, both physically. The online form is counterfeiting the Covid-19 vaccine. This study aims to analyze the criminal act of counterfeiting the Covid-19 vaccine from the Health Law in Indonesia. The research method used is the Normative Law research method, which examines library materials or secondary data. Normative legal research is also called doctrinal legal research. The criminal act of counterfeiting the Covid-19 vaccine is generally regulated in Article 386 Paragraph 1 of the Criminal Code relating to acts of fraud and forgery. However, it is specifically regulated in the provisions regarding penalties for distributing fake vaccines in Indonesia as regulated in Articles 196, 197, 198, and 201 Act No. 36 of 2009 concerning health. The ingredients are everyone deliberately and producing and circulating counterfeit vaccine preparations. For the criminal act ofCovid-19 vaccine counterfeiting corporate, the corporation can be subject to additional penalties in the form of revocation of business licenses and revocation of legal entity status.
Restorative Justice as an Alternative for The Settlement of Corruption Crimes That Adverse State Finances in The Perspective of The Purpose of Conviction
Sahuri Lasmadi;
Elly Sudarti
Jurnal IUS Kajian Hukum dan Keadilan Vol 9, No 2: August 2021 : Jurnal IUS Kajian Hukum dan Keadilan
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Mataram
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.29303/ius.v9i2.904
This research was motivated by the rampant corruption crimes committed by state officials. The problem is that the restoration of the state’s financial losses due to the corruption crimes with the current system has not met a profitable solution. This research was doctrinal with a normative legal research method, which was a legal research method based on the statutory and conceptual approaches using analytical descriptive analysis. Settlement of corruption crimes concerning state financial losses is currently carried out through a criminal justice system that priorities a retributive justice approach so that it does not achieve the objective of punishment of un optimal returns to state financial losses. Therefore, a new settlement concept is needed. The concept of restorative justice focuses more on the settlement of criminal cases by emphasizing restoration to its original state, not retaliation. Restorative justice also fulfills the value of justice and legal benefits in order to meet the value of legal certainty. In the future, it is necessary to formulate specific regulations regarding the concept of restorative justice in resolving corruption crimes concerning losses on state finances.
THE SANCTION FORMULATION IN CORRUPTION CRIME DUE TO INDONESIAN CRIMINAL LAW SYSTEM TO REALIZE THE PUNISHMENT GOALS
Elly Sudarti;
Sahuri L
Ganesha Law Review Vol 1 No 2 (2019): November
Publisher : Program Studi Ilmu Hukum, Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan, Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial, Universitas Pendidikan Ganesha
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.23887/glr.v1i2.54
The Formulation of Criminal Sanctions holds a strategic position in an effort to decrease corruption crime. Until now, the application of criminal sanctions in Indonesia has not provided a direction for the occurrence of a significant decrease in corruption. This can be seen from the issued by Transparency International 2017 about the ranking of the most corrupt countries in the world, where Indonesia still in the 5thranks in ASEAN. This research purposes to analyze and to formulate the harmony in the formulation of criminal sanctions for corruption, with the goal of Indonesian criminalizing law system so that the ultimate goal is suppressing the level of corruption in Indonesia can be achieved. This study is used the statute, conceptual and case approach as a method to analyze the legal substances and the results of this research had been shown, there are several weaknesses in the criminal punishment system according to The Act Number 31 on 1999 andThe Act Number 20 on 2001; where, the system of corruption criminalizing is complicated that make the punishment for corruption cannot reach the goal of punishment. For the better law system in the future, it is more appropriate criminal sanctions needed to be formulated, so that the purpose of criminal penalties for corruption can be achieved, used by conducting a plea bargaining in the beginning, that the perpetrator must return state losses and pay fines but still be found guilty through the determination of the judge.
Pengembalian Kerugian Negara Melalui Pembayaran Uang Pengganti
Sintia Febriani;
Sahuri Lasmadi
PAMPAS: Journal of Criminal Law Vol. 1 No. 1 (2020)
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Jambi
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.22437/pampas.v1i1.8277
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis mekanisme pengembalian kerugian negara yang diakibatkan oleh tindak pidana korupsi melalui pembayaran uang pengganti. Tipe penelitian ini adalah penelitian normatif. Hasil penelitian menunjukkan: Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak mengatur secara tegas mengenai pembayaran uang pengganti. Mekanisme pembayaran uang pengganti tidak diatur secara konkrit dalam undang-undang dan tidak ada aturan yang lebih jelas mengenai pidana penjara pengganti ketika terpidana tidak membayar pidana uang pengganti. Saran: Harus ada pengaturan mengenai mekanisme pembayaran uang pengganti. ABSTRACT This article aims to analyze the mechanism of restoring state losses due to corruption through payment of financial compensation. This research is normative. The results show The basic ground of the failure of the mechanism of payment for financial compensation is not regulated concretely in Indonesia legal system. Law Number 31 of 1999 concerning Eradication of Corruption Crimes Jo. Law Number 20 Year 2001 does not explicitly regulate payment of financial compensation. Suggestion: there shall be regulatioan regarding the mechanism for payment of financial compensation.
Cyber Crime dalam Bentuk Phising Berdasarkan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik
Ardi Saputra Gulo;
Sahuri Lasmadi;
Khabib Nawawi
PAMPAS: Journal of Criminal Law Vol. 1 No. 2 (2020)
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Jambi
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.22437/pampas.v1i2.9574
ABSTRAK Artikel ini membahas cyber crime dalam bentuk phising berdasarkan Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Penelitian yang digunakan yakni penelitian hukum normatif. Hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukan: 1) Pengaturan hukum terhadap cyber crime dalam bentuk phising berdasarkan Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik tidak dapat dikenakan Pasal 35 jo Pasal 51 Ayat (1) dan Pasal 28 Ayat (1) jo Pasal 45A Ayat (1). 2) Kebijakan hukum terhadap cyber crime dalam bentuk phising berdasarkan Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik adalah dilakukannya perubahan terhadap Undang-Undang tentang ITE dengan merumuskan konsep phising dan merubah isi Pasal 35. ABSTRACT This article discusses cyber crime in the form of phishing based on the Law on Electronic Information and Transactions. The research used is normative legal research. The results of the research that have been conducted demonstrated that: 1) Legal regulations on cyber crime in the form of phishing based on the Law on Electronic Information and Transactions cannot be subject to Article 35 in conjunction with Article 51 Paragraph (1) and Article 28 Paragraph (1) in conjunction with Article 45A Paragraph ( 1). 2) the criminal law policy against cyber crime in the form of phishing based on the Law on Electronic Information and Transactions is the amendment of the Law on ITE by formulating the concept of phishing and amending the contents of Article 35.
Tinjauan Yuridis Terhadap Tugas dan Kewenangan Jaksa sebagai Penyidik dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi
Vani Kurnia;
Sahuri Lasmadi;
Elizabeth Siregar
PAMPAS: Journal of Criminal Law Vol. 1 No. 3 (2020)
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Jambi
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.22437/pampas.v1i3.11084
ABSTRAK Artikel ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana tugas dan kewenangan jaksa sebagai penyidik dalam tindak pidana korupsi dan menganalisis bagaimana tugas dan kewenangan jaksa sebagai penyidik dalam Tindak Pidana Korupsi di masa yang akan datang. Metode Penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif. Hasil dari penelitian ini adalah 1)Bahwa dari segi yuridis, jaksa memiliki wewenang dalam melakukan penyidikan tindak pidana korupsi, namun kewenangan masing-masing sub sistem dalam sistem peradilan pidana tindak pidana korupsi harus diperjelas karena sangat menentukan sekali agar kepastian hukum dan kesebandingan hukum dapat tercapai. 2)Bahwa kewenangan penyidikan tindak pidana korupsi yang dimiliki oleh jaksa saat ini berbenturan dengan sistem peradilan pidana yang berlaku di Indonesia. Jika kewenangan penyidikan oleh kejaksaan masih dipertahankan maka terkesan tidak adanya koordinasi antar lembaga penegak hukum karena hampir dalam setiap tahapan penegakan hukum tindak pidana korupsi yaitu tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pelaksanaan putusan pengadilan atau eksekusi, dimiliki oleh lembaga kejaksaan. ABSTRACT This article aims to find out and analyze how the duties and powers of prosecutors as investigators in criminal acts of corruption and analyze the duties and powers of prosecutors as investigators in corruption in the future. The research method used is normative juridical. The results are 1) Whereas from a juridical perspective, the prosecutor has the authority to carry out investigations into criminal acts of corruption, however, the authority of each sub-system in the criminal justice system for corruption must be clarified because it is very decisive so that legal certainty and legal equivalence can be achieved. 2) Whereas the prosecutor's current authority to investigate criminal acts of corruption clashes with the criminal justice system in force in Indonesia. If the investigative authority is maintained by the prosecutor's office, it seems that there is no coordination between law enforcement agencies because almost every stage of law enforcement on corruption, namely the investigation, investigation, prosecution and implementation of court decisions or executions, is owned by the prosecutor's office.