Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search
Journal : Kertha Semaya

URGENSI KRIMINALISASI BENTUK KORUPSI TRADING IN INFLUENCE DALAM HUKUM POSITIF INDONESIA Adam Ilyas; Hervina Puspitosari
Kertha Semaya : Journal Ilmu Hukum Vol 10 No 2 (2022)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (230.287 KB) | DOI: 10.24843/KS.2022.v10.i02.p11

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan mengetahui urgensi pengaturan perbuatan memperdagangkan pengaruh dalam hukum positif Indonesia. Metode penelitian dalam tulisan ini seluruhnya menggunakan metode penelitian hukum normatif. Hasilnya adalah terjadi kekosongan hukum terkait pengaturan Trading in influence di Indonesia, disisi lain ditemukan bahwa telah ada kasus-kasus yang merupakan perbuatan korupsi dengan bentuk trading in influence. Tidak adanya pengaturan mengenai bentuk korupsi trading in influence dalam hukum positif Indonesia menyebabkan aparat penegak hukum kerap kali menggunakan delik suap. Padahal antara Suap dan trading in influence merupakan dua bentuk tindak pidana korupsi yang berbeda. Jika suap subyek pelakunya harus pegawai negeri atau penyelenggara negara dan harus berkaitan dengan kewenangannya, sedangkan Trading in Influence subyek pelakunya tidak harus penyelenggara negara, asal dalam melakukan perbuatannya pelaku menggunakan pengaruh yang dimilikinya untuk mempengaruhi pengambil kebijakan. Pada hakikatnya Trading in Influence merupakan delictum sui generis (tindak pidana yang berdiri sendiri) sehingga seharusnya jika dalam satu rangkaian melakukan trading in influence, maka seluruh pelaku harus masuk dalam kualifikasi melakukan tindak pidana memperdagangkan pengaruh dan bukan merupakan bagian dari suap. Dengan kekosongan hukum tersebut, maka diperlukan pengaturan trading in influence melalui revisi Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. This study aims to analyze and determine the urgency of regulating the act of trading influence in Indonesian positive law. The research method in this paper entirely uses normative legal research methods. The result is a legal vacuum regarding the regulation of Trading in influence in Indonesia, on the other hand it was found that there have been cases of corruption in the form of trading in influence. The absence of regulation regarding the form of corruption trading in influence in Indonesia's positive law causes law enforcement officers to often use bribery offenses. In fact, bribery and trading in influence are two different forms of corruption. If the subject of bribery, the perpetrator must be a civil servant or state administrator and must be related to his authority, while the subject of Trading Influence, the perpetrator does not have to be a state administrator, as long as in carrying out his actions the perpetrator uses his influence to influence policy makers. In essence, Trading Influence is a delictum sui generis (a standalone crime) so that if in a series of trading in influence, all actors must be qualified to commit a criminal act of trading influence and not be part of bribery. With this legal vacuum, it is necessary to regulate trading in influence through the revision of the Corruption Eradication Act.
ANALISIS PELAKSANAAN PEMBERIAN PEMBEBASAN BERSYARAT TERHADAP NARAPIDANA: PERSPEKTIF TEORI PEMIDANAAN Rintis Uthita Hernanda; Hervina Puspitosari
Kertha Semaya : Journal Ilmu Hukum Vol 11 No 8 (2023)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24843/KS.2023.v11.i08.p09

Abstract

Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui melalui pengamatan langsung dan menganalisis melalui penelitian di tempat dengan menggunakan Undang-undang pemasyarakatan dan teori pemidanaan kemudian melahirkan informasi baru. Studi ini menerapkan metode Yuridis empiris untuk menggambarkan Pemberian Pembebasan Bersyarat terhadap Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Surabaya secara yuridis dan empiris. Pendekatan penelitian ini menggunakan pendekatan konseptual yaitu menggunakan konsep pemidanaan. Dalam studi ini, penulis mengaitkan pelaksanaan pemberian pembebasan bersyarat di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Surabaya dengan teori pemidanaan di Indonesia yang tidak terlepas dari tujuan pemidanaan. Pemberian Pembebasan Bersyarat adalah hak bagi tahanan untuk kebebasan dengan syarat menjalani 2/3 masa penahanan selama tidak kurang dari 9 (Sembilan) bulan. Pembebasan bersyarat dapat diberikan kepada tahanan yang memenuhi kriteria tertentu yang diatur dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 7 Tahun 2022. Pemenuhan persyaratan administrative dan substantive merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk memperoleh pembebasan bersyarat sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 dan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 7 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan. The purpose of this research is to find out through direct observation and analyze through on-site research using the correctional law and the theory of punishment then give birth to new information. This study applies the empirical juridical method to describe the granting of parole to prisoners at the Surabaya Class I Correctional Institution juridically and empirically. This research approach uses a conceptual approach, namely using the concept of punishment. In this study, the author relates the implementation of the granting of parole at the Surabaya Class I Penitentiary with the theory of punishment in Indonesia which is inseparable from the purpose of punishment. The granting of parole is the right for prisoners to freedom on the condition of serving 2/3 of the detention period for not less than 9 (nine) months. Parole can be granted to prisoners who meet certain criteria stipulated in the Regulation of the Minister of Law and Human Rights Number 7 of 2022. Fulfillment of administrative and substantive requirements is a condition that must be met to obtain parole in accordance with the provisions stipulated in Law Number 22 of 2022 and Regulation of the Minister of Law and Human Rights Number 7 of 2022 concerning Corrections.