Claim Missing Document
Check
Articles

Found 9 Documents
Search

URGENSI PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERLANDASKAN KEARIFAN LOKAL Ahmad Redi; Tundjung Herning Sitabuana; Fakhrana Izazi Hanifati; Putri Nabila Kurnia Arsyad
Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni Vol 3, No 1 (2019): Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Tarumanagara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/jmishumsen.v3i1.3517

Abstract

Indonesia memiliki kekayaan sumber daya alam melimpah yang tersebar di 17.504 pulau salah satunya adalah hutan mangrove. Hutan mangrove sebaga bagian dari ekosistem memiliki banyak manfaat, diantaranya adalah sebagai penyerap karbon terbesar untuk melawan pemanasan global dan pemecah ombak sehingga meminimalisir abrasi. Salah satu wilayah Indonesia yang memiliki banyak hutan mangrove adalah Provinsi Bali. Namun, perlindungan dan pengelolaan hutan mangrove di Provisi Bali belum terlaksana dengan baik. Seperti adanya penyerobotan lahan kawasan hutan mangrove, pemanfaatan lahan untuk keperluan yang tidak sesuai peruntukkannya, perambahan, pencemaran, dan lain sebagainya. Meskipun terdapat regulasi yang membahas mengenai pengelolaan dari hutan mangrove, namun belum ada suatu payung hukum yang khusus membahas pemulihan ekosistem hutan mangrove yang mulai rusak. Sehingga diperlukan adanya suatu payung hukum dengan memperhatikan kearifan lokal masyarakat Provinsi Bali guna melindungi ekosistem hutan mangrove yang tetap sejalan dengan prinsip Tri Hita Karana. Tujuan penelitian ini adalah untuk memaparkan bagaimana urgensi pembentukan Peraturan Daerah Provinsi Bali tentang perlindungan dan pengelolaan hutan mangrove dengan menyesuaikan dengan kearifan lokal masyarakat Bali. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif empiris dengan studi literatur dan teknik wawancara In-Depth Interview. Hasil dari penelitian ini adalah telah terdapat berbagai regulasi nasional untuk melindungi dan mengelola hutan mangrove namun belum terdapat peraturan ditingkat daerah Provinsi Bali yang mengatur secara khusus padahal pada Tahun 2015 sebanyak 172 Ha Hutan Mangrove pada Kabupaten Badung telah rusak, kemudian pada Kabupaten Buleleng sebanyak 128,5 Ha Hutan Mangrove telah rusak yang dalam hal ini lebih banyak daripada jumlah hutan mangrove yang tidak rusak yakni 114,5 Ha, lalu pada Kota Denpasar hutan mangrove yang telah rusak adalah sebanyak 81,4 Ha, kemudian 63,5 Ha hutan mangrove di Jembrana juga telah rusak, dan Di Kabupaten Klungkung sebanyak 9,5 Ha telah rusak. Urgensi pembentukan peraturan daerah ini dapat dinilai sebagai realisasi Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kesimpulan penelitian ini adalah diperlukan untuk adanya suatu peraturan daerah yang mengatur mengenai pengelolaan dan pengawasan hutan mangrove di Bali dengan melibatkan masyarakat hukum adat, memuat ketentuan pidana, dilandaskan pada kearifan lokal Bali seperti Tri Hita Karana yang berarti tiga penyebab keharmonisan, terdiri dari parahyangan, pawongan dan palemahan. Indonesia possesses a wealth of abundant natural resources spread over 17,504 islands, one of which is mangrove forests. Mangrove forests as part of an ecosystem provides many benefits, including being the most effective carbon sink to combat global warming, and breaking incoming waves so as to minimize abrasion. One area of Indonesia with plenty of mangrove forests is the Province of Bali. However, the protection and management of mangrove forests in the Province of Bali has not been implemented well. Examples of which include land grabbing of the mangrove forest area, clearing said forest for uses that are not in accordance with its purpose, encroachment, pollution, and so forth. Despite regulations that discuss the management of mangrove forests, there is not yet a legal protection that specifically addresses the restoration of damaged mangrove forest. Therefore, legal protection with regards to the local wisdom of the people of Bali Province is necessary in order to protect the mangrove forest ecosystem which remains in line with the principles of Tri Hita Karana. The purpose of this study is to explain the urgency of the formation of the Bali Provincial Regulation concerning the protection and management of mangrove forests with regards to the local wisdom of the Balinese people. This research used empirical normative legal research method with literature studies and in-depth interview. The result of this study is that there have been various national regulations to protect and manage mangrove forests, however there is no regulation at the provincial level in Bali for similar purposes, whereas in 2015 as many as 172 Ha of Mangrove Forest in Badung Regency was damaged, and then in Buleleng Regency 128 5 Ha of mangrove forest was damaged, which is more than the 114.5 Ha of mangrove forest that is still undamaged. Then, in Denpasar, 81.4 Ha of mangrove forest, in Jembrana, 63.5 Ha of mangrove forest, and in Klungkung Regency 9.5 Ha was damaged. The urgency of establishing this regional regulation can be seen as the realization of Article 28H paragraph (1) of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia. The conclusion of this study is that it is necessary for a regional regulation governing the management and supervision of mangrove forests in Bali by involving the customary law community, which contains criminal provisions, and based on Balinese local wisdom such as Tri Hita Karana which means three sources of harmony, consisting of parahyangan, pawongan and palemahan.
PERLINDUNGAN BAGI PEKERJA ATAS TINDAKAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK) DI MASA PANDEMI COVID-19 Silvia Cahyadi; Tundjung Herning Sitabuana
SIBATIK JOURNAL: Jurnal Ilmiah Bidang Sosial, Ekonomi, Budaya, Teknologi, dan Pendidikan Vol. 1 No. 6 (2022): May
Publisher : Lafadz Jaya Publisher

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.54443/sibatik.v1i6.98

Abstract

Pandemi Covid-19 telah merugikan perekonomian masyarakat dan negara. Banyak perusahaan yang terdampak Covid-19 terpaksa memberhentikan karyawannya dan melakukan pemutusan hubungan kerja. Persoalannya, apakah perusahaan boleh berhenti bekerja karena Covid-19 dan apakah perusahaan bisa bangkrut karena tidak bisa menjalankan kewajibannya kepada pekerjanya. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kepustakaan dengan menggunakan data sekunder dan jenis penelitiannya adalah kualitatif. Kesimpulannya, perusahaan dapat melakukan pemutusan hubungan kerja selama Covid-19 dengan alasan Overmacht apabila perusahaan dapat membuktikan bahwa akibat pandemi Covid-19 tidak mampu lagi menjalankan kewajibannya terhadap pekerja/buruh.
JAMINAN KESEHATAN BAGI RAKYAT INDONESIA MENURUT HUKUM KESEHATAN Valen Nainggolan; Tundjung Herning Sitabuana
SIBATIK JOURNAL: Jurnal Ilmiah Bidang Sosial, Ekonomi, Budaya, Teknologi, dan Pendidikan Vol. 1 No. 6 (2022): May
Publisher : Lafadz Jaya Publisher

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.54443/sibatik.v1i6.109

Abstract

Permasalahan hukum dalam lingkup kesehatan dan jaminan kesehatan bagi masyarakat sangat diperhatikan dengan baik dan peranan pemerintah dalam bertanggung jawab memenuhi pelayanan tersebut sangat berdampak bagi masyarakat sekitar. Program-program kesehatan yang disediakan mampu diterima dengan baik oleh masyarakat. Melalui program yang ada masyarakat kota dan daerah mendapatkan jaminan kesehatan yang dinilai baik dan mampu menyesuaikan dengan pendapatan masyarakat. Beberapa program jaminan kesehatan menerapkan prinsip gotong-royong dimana prinsip tersebut diartikan dengan yang sehat membantu yang sakit. Jaminan tersebut juga sudah diatur dalam undang-undang hukum kesehatan dan juga terdapat dalam pasal UUD NRI yang mengatur mengenai pelayanan kesehatan yang diberikan pemerintah, dan dalam pasal tersebut pemerintah menjamin terlaksananya dengan pelayanan kesehatan, tenaga kesehatan dan sarana kesehatan. Selain daripada itu, ada beberapa pedoman serta aturan hukum yang terdapat juga di dalam hukum kesehatan sebagai acuan dari penerapan sistem jaminan kesehatan tersebut. Dalam pelaksaan pelayanan kesehatan ini masyarakat bisa menjadi peduli akan pentingnya hidup sehat.
Peran Hukum dalam Perlindungan Korban Pelecehan Seksual Glen Clifford Mambo Jr; Gerald Febrian Setyawan; Chanandika Dafri Widagdo; Tundjung Herning Sitabuana
Jurnal Pendidikan dan Konseling (JPDK) Vol. 4 No. 6 (2022): Jurnal Pendidikan dan Konseling
Publisher : Universitas Pahlawan Tuanku Tambusai

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31004/jpdk.v4i6.9358

Abstract

Pelecehan seksual merupakan isu yang sudah lama diperbincangkan di Indonesia, Pelecehan seksual tidak hanya terjadi di Indonesia saja, melainkan hampir diseluruh negara. Kejahatan seksual dapat terjadi pada siapa saja, baik perempuan maupun laki-laki tanpa melihat situasi baik itu ditempat sepi maupun tempat ramai sekalipun. Kejahatan seksual bisa dikatakan sebagai kejahatan yang sangat berbahaya dikarenakan dampak yang akan diterima korban akibat kejahatan ini tidak hanya menyerang fisik korban melainkan yang utama ialah mental dan psikologi korban. Seiring dengan majunya perkembangan jaman, bentuk bentuk kejahatan seksual pun berkembang juga. Oleh karena itu diperlukanlah sebuah hukum yang dapat mengatur secara tegas mengenai tindak pidana kejahatan seksual serta jaminan perlindungan bagi korban kejahatan seksual.
Wacana Memperpanjang Masa Jabatan Presiden: Inkonstitusional Atau Tidak? Tundjung Herning Sitabuana; Patricia Kimberly Elias
Jurnal Pendidikan Tambusai Vol. 7 No. 1 (2023): April 2023
Publisher : LPPM Universitas Pahlawan Tuanku Tambusai, Riau, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (114.354 KB)

Abstract

Hampir semua negara di dunia memiliki konstitusi, baik secara tertulis maupun tidak tertulis. Konstitusi merupakan keseluruhan sistem ketatanegaraan suatu negara yang berisikan mengenai kumpulan peraturan yang membentuk dan mengatur dalam pemerintahan suatu negara. Konstitusi mengatur antara lain pemisahan tugas dan wewenang dari masing-masing lembaga negara, pembatasan masa tugas eksekutif, masa tugas presiden dan wakilnya, serta perlindungan akan hak asasi manusia. Akhir ini, muncul sebuah wacana perpanjangan masa jabatan presiden menjadi 3 periode di Indonesia. Terdapat berbagai macam kritik terhadap permasalahan terkait ini. Beberapa mengutarakan pendapatnya bahwa setiap periode dibuat dengan jangka waktu lebih panjang, sedangkan yang lainnya berpendapat bahwa sebaiknya untuk menunda pemilihan umum dengan alasan Indonesia sedang dalam masa pemulihan Covid-19. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode normatif dengan menggunakan bahan hukum primer dan sekunder. Dari hasil penelitian ini, tanggapan masyarakat terkait wacana perpanjangan masa jabatan presiden, terdapat 64,4 persen suara masyarakat yang tidak menyetujui terkait wacana tersebut. Alasan yang mendasar atas ketidaksetujuan ini adalah, karena perpanjangan masa jabatan presiden 3 periode merupakan tindakan inkonstitusional.
Review of the Authority of the House of Representatives in Removing Constitutional Court Judges Carissa Patricia Hong; Luverne Pujian Quinn; Jelita Safitri Ananda; Omega Kharisma; Tundjung Herning Sitabuana
QISTINA: Jurnal Multidisiplin Indonesia Vol 2, No 1 (2023): June 2023
Publisher : CV. Rayyan Dwi Bharata

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.57235/qistina.v2i1.472

Abstract

The Constitutional Court of the Republic of Indonesia is a high state institution in the Indonesian constitutional system which is the holder of judicial authority together with the Supreme Court. In the dismissal of the Constitutional Court Judges it is very urgent to decide because it relates to the independence of the Constitutional Court Judges. The longer the case, the political pressure from the DPR as a fellow state high institution will result in the instability of the legal system in Indonesia. Moreover, at this time the DPR has confirmed that it will not annul the replacement of Constitutional Justice Aswanto, so it is important that the DPR's actions be immediately tried by the judicial authority, in casu the Constitutional Court. The formulation of the problem in this study is what is the authority of the DPR in removing Constitutional Court judges? This study uses normative research with descriptive research specifications. The province's request for an examination is very priority and also so that the Court suspends all actions aimed at replacing a serving Constitutional Justice in a manner or procedure outside of the provisions in Article 23 of the Constitutional Court Law, and it is also not justified to issue a stipulation that legalizes the action as the applicant requested in the petitum provision. The petition of the applicant is based on strong reasons which are non-nobis solum sed omnibus (not for us alone, but for everyone), because the independence of the MK as guardian of constitutional rights is at stake.
URGENSI PENERAPAN PAJAK KARBON BERDASARKAN UNDANG-UNDANG HARMONISASI PERATURAN PERPAJAKAN Ardhelia Putri Salsabila; Tundjung Herning Sitabuana
NUSANTARA : Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial Vol 10, No 5 (2023): NUSANTARA : Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial
Publisher : Universitas Muhammadiyah Tapanuli Selatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31604/jips.v10i5.2023.2342-2351

Abstract

Perubahan signifikan dalam suhu permukaan bumi dan iklim dalam satu abad terakhir memiliki dampak negatif terhadap kelangsungan hidup semua makhluk hidup. Sebagai negara yang telah meratifikasi Paris Agreement, Indonesia berkomitmen untuk mengurangi produksi gas rumah kaca melalui kebijakan pajak karbon yang diatur dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan sebagai alat untuk mencapai Net Zero Emission. Namun, hingga saat ini, implementasi kebijakan pajak karbon masih tertunda karena Pemerintah belum menyiapkan peraturan pelaksananya. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi penerapan pajak karbon sebagai alat Net Zero Emission setelah pengesahan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan peraturan perpajakan dan pendekatan konseptual dengan menggunakan data sekunder. Berdasarkan temuan penelitian, implementasi pajak karbon di lembaga perpajakan nasional dianggap sangat penting dan harus dilakukan segera untuk memulihkan kerusakan lingkungan akibat emisi karbon dioksida yang disepakati untuk dikurangi sebesar 29% pada tahun 2030 dan mencapai Net Zero Emission pada tahun 2060 sesuai dengan Paris Agreement. Pemerintah perlu segera menyelesaikan peraturan pelaksana mengenai mekanisme pajak karbon agar setiap emisi karbon yang dihasilkan dapat dikenakan pajak, sehingga meningkatkan efisiensi perpajakan nasional. Selain itu, Pemerintah juga perlu melakukan pendidikan kepada masyarakat mengenai kebijakan pajak karbon sebelum kebijakan ini diberlakukan.
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERLINDUNGAN HAK PEKERJA OUTSOURCING DI INDONESIA PASCA PENGESAHAN PERPPU NOMOR 2 TAHUN 2022 Evelyn Septiana; Tundjung Herning Sitabuana
NUSANTARA : Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial Vol 10, No 5 (2023): NUSANTARA : Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial
Publisher : Universitas Muhammadiyah Tapanuli Selatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31604/jips.v10i5.2023.2406-2416

Abstract

Praktik outsourcing menjadi perhatian serius dalam pembahasan ketenagakerjaan di Indonesia karena hampir semua perusahaan mengandalkan tenaga kerja alih daya untuk menjaga daya saing mereka dalam perekonomian global yang berubah dengan cepat. Dampaknya, muncul masalah terkait perlindungan hukum bagi pekerja outsourcing setelah pengesahan Perppu Cipta Kerja. Penelitian ini menggunakan metode yuridis dengan menganalisis data sekunder yang terkait dengan perlindungan pekerja outsourcing. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hak-hak pekerja perusahaan alih daya atau outsourcing telah diatur secara ketat, termasuk perlindungan individu dan perlindungan umum, sistem pengupahan, kesejahteraan pekerja, persyaratan pelaksanaan pekerjaan, serta penyelesaian potensi perselisihan yang menjadi tanggung jawab perusahaan alih daya secara finansial, moral, dan hukum. Dalam konteks ini, pekerja outsourcing diberikan perlindungan hukum karena meskipun secara de facto mereka bekerja di perusahaan lain, secara de jure mereka tetap menjadi tanggung jawab perusahaan alih daya. Namun, ketidakpihakan, pengaturan yang logis dan rasional, serta keuntungan bagi masyarakat secara menyeluruh masih belum tercapai dalam ketentuan tersebut. Oleh karena itu, keadilan, kepastian, dan manfaat yang maksimal untuk pekerja perusahaan alih daya masih menjadi tujuan yang perlu dicapai.
Implementation of Regulation of the Minister of Law and Human Rights Number 2 of 2019 concerning the Resolution of Disharmony of Laws and Regulations through Mediation Against the Examination of Laws and Regulations in Indonesia Tundjung Herning Sitabuana; Jeane Neltje Saly; Rasji Rasji; Nada Dwi Azhari
JETISH: Journal of Education Technology Information Social Sciences and Health Vol 2, No 2 (2023): September 2023
Publisher : CV. Rayyan Dwi Bharata

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.57235/jetish.v2i2.778

Abstract

The disharmony of legislation occurs because of the existing of the selfishness at ministry/institution sector in the planning process the creation of law. The hierarchy of legislation aims to determine its own degrees in order to create the harmonic legislation system. In fact, the contradiction inter legislation still becomes one of the legal issues in Indonesia which never been closed. The other problems are many dispute resolutions of legislation not infrequently a rule under the legislation whom it must be sourced from. The existence of the regulation from Ministry of Law and Human Rights No. 2 in 2019 about the disharmony resolution of legislation is assumed as a change effort in seeking an alternative resolution out of the court if the norm conflicts happen inter legislation. This mediation comes out as an answer because of not satisfaction with dispute resolution in court that takes a long time, needs much money the decision which is resulted by the court often make dissatisfaction for the parties. They cause a case, namely how is the authority of the Ministry of Law and Human Rights in resolving the disharmony of legislation through mediation based on its legislation? The method which is used in this research is normative legal. The result shows that the mediation gives new hopes for new institutions in resolving a dispute of legislation in Indonesia. However; the delegation of ministerial regulation should be given some clear limitations to avoid overlapping rules, so it doesn’t bring confusion in its implementation.Â