Sunny Wangko
University of Sam Ratulangi Manado, Indonesia

Published : 56 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

HUBUNGAN KINERJA OTAK DENGAN SPIRITUALITAS MANUSIA DIUKUR DENGAN MENGGUNAKAN INDONESIA SPIRITUAL HEALTH ASSESSMENT PADA DOSEN STAIN MANADO Dalili, Fitria Angraini; Pasiak, Taufiq F.; Wangko, Sunny
e-Biomedik Vol 1, No 1 (2013): eBiomedik
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/ebm.v1i1.4358

Abstract

Abstract: Neuroscience is a science about the nervous system especially the brain. According to Daniel Amen who used SPECT to watch brain activity that was associated with the soul, brain was  divided into five main systems: prefrontal cortex, limbic system, ganglia basalis, gyrus cingulatus, and temporal lobe. A person’s spirituality is related to the purpose and meaning of his/her life as a manifestation of one’s relationship with God. Spirituality has four dimensions, namely the meaning of life, positive emotions, spiritual experiences and rituals. In Indonesia, Indonesia Spiritual Health Assessment (ISHA) is used to assess a person’s spirituality. The purpose of this research was to determine the relationship of spirituality with the human brain among Manado STAIN lecturers. This was a descriptive analytic study with 30 respondents. The results were analyzed by using the Spearmen correlation analysis. There was a significant correlation between the performance of the human brain and spirituality, in this case the relationship was between the prefrontal cortex and the meaning of life. Conclusion: There was a strong relationship between the human brain and spirituality. Keywords: brain, ISHA, spirituality.  Abstrak: Neurosains adalah ilmu yang mempelajari tentang semua hal yang berkaitan dengan sistem saraf, dalam hal ini otak. Daniel Amen yang menggunakan SPECT dalam mengamati aktivitas otak yang berhubungan dengan jiwa, membagi otak ke dalam lima sistem utama: cortex prefrontalis, sistem limbik, ganglia basalis, gyrus cingulatus, dan lobus temporalis. Spiritualitas seseorang berkaitan dengan tujuan dan makna hidup kehidupan secara keseluruhan, sebagai manifestasi hubungannya dengan Tuhan. Spiritualitas mempunyai empat dimensi yaitu makna hidup, emosi positif, pengalaman spiritual, dan ritual. Di Indonesia, alat ukur spiritual yang digunakan yaitu Indonesia Spiritual Health Assessment (ISHA). Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan kinerja otak dengan spiritualitas manusia pada dosen STAIN Manado. Penelitian ini bersifat deskriptif analitik dengan jumlah responden 30 orang. Hasil penelitian dianalisis dengan analisis korelasi Spearmen yang menunjukkan adanya korelasi bermakna antara kinerja otak dan spiritualitas manusia, dalam hal ini hubungan antara cortex prefrontalis dan makna hidup. Simpulan: Terdapat hubungan bermakna antara kinerja otak dan spiritualitas manusia. Kata kunci: otak, ISHA, spiritualitas.
Gambaran struktur kulit hewan coba pada beberapa interval waktu postmortem Abeng, Kartika A.; Kalangi, Sonny J. R.; Wangko, Sunny
e-Biomedik Vol 4, No 1 (2016): eBiomedik
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/ebm.v4i1.10820

Abstract

Abstract: This study aimed to obtain the postmortem histological changes of the skin. This was an experimental-descriptive study using one pig as model. Samples were taken at several time intervals during 24 hours postmortem: 0 hour; 1 hour; 2 hours; 3 hours; 4 hours; 5 hours; 6 hours; 7 hours; 8 hours; 9 hours; 10 hours; 11 hours; 11 hours; 12 hours; and 24 hours. The results showed that histological changes of the skin began to occur in 4 hours postmortem in the form of epidermal congestion. In 5 hours postmortem Meissner corpuscles could not be identified anymore. In 7 hours postmortem most cells of epidermis showed karyolysis. In 8 hours postmortem Langerhans cells could not be identified anymore. In 9 hours postmortem structure epidermal cells can not be identified. In 24 hours postmortem, borders of the epidermis and dermis could not be identified. Conclusion: Postmortem changes in the histological structure of the skin were consecutively: epidermal congestion, Meissner corpuscles and Langerhans cells could not be identified, and karyolysis of epidermal cells. In 24 hours postmortem, most of the skin architecture was unidentified. It is expected that these postmortem histological changes of the skin could be applied in the medicolegal investigation especially for death cases of less than 24 hours postmortem, therefore, further studies are needed.Keywords: structure, skin, postmortemAbstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan perubahan gambaran histologik kulit postmortem. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif eksperimental dengan babi sebagai hewan coba. Sampel jaringan kulit diambil pada interval waktu 0 jam; 1 jam; 2 jam; 3 jam; 4 jam; 5 jam; 6 jam; 7 jam; 8 jam; 9 jam; 10 jam; 11 jam; 12 jam; dan 24 jam postmortem. Hasil penelitian memperlihatkan perubahan struktur mulai tampak 4 jam postmortem berupa kongesti epidermis kulit. Pada 5 jam postmortem badan Meissner tidak dapat diidentifikasi lagi. Pada 7 jam postmortem sebagian sel-sel epidermis mulai kariolisis. Pada 8 jam postmortem sel Langerhans tidak dapat diidentifikasi lagi. Pada 9 jam postmortem struktur sel-sel epidermis tidak dapat diidentifikasi. Pada 24 jam postmortem batas epidermis dan dermis tidak dapat diidentifikasi. Simpulan: Perubahan struktur kulit postmortem yang dimulai pada 4 jam postmortem ialah sebagai berikut: kongesti epidermis, badan Meissner dan sel Langerhans tidak dapat diidentifikasi, dan kariolisis sel-sel epidermis. Pada 24 jam postmortem arsitektur kulit telah menjadi tidak tegas. Penelitian ini diharapkan dapat diaplikasikan untuk kepentingan medikolegal, terutama pada kematian ≤24 jam.Kata kunci: struktur histologik kulit, postmortem
PROFIL MUSCULI FACIALIS PADA EKSPRESI WAJAH DAN EMOSI DENGAN MENGGUNAKAN FACIAL ACTION CODING SYSTEM PADA CALON PRESIDEN PRABOWO ., Supriadi; Pasiak, Taufiq F.; Wangko, Sunny
e-Biomedik Vol 3, No 1 (2015): eBiomedik
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/ebm.v3i1.6504

Abstract

Abstract: Limbic system consists of several subsystems with their own roles to back-up human emotion. Human emotion can be observed through facial expression which is controlled by musculi facialis. One of the tools that are used to determine basic emotion of human through facial expression is Facial Action Coding System (FACS) and its action units (AUs). This study aimed to obtain musculi facialis that oftenly and rarely be used by Prabowo and his emotion duringthe first session of 2014-Presidential election debate. This was a retrospective descriptive study. Samples were 30 photos of Prabowo’s emotional expression. The observation was performed by using FACS. The results showed that the most commonly used AU was AU 4 (26.92%), meanwhile the most rarely used AUs were AU 9 and AU 29, both were 0.96%. The obtained emotional expressions were happy (6.67%), sad (6.67%), fear (6.67%), angry (46.67%), surprised (3.33%), and disgusted (3.33%). Conclusion: The most commonly used musculus facialis was corrugator supercilii whereas the most rarely used ones were levator labii superioris alaquae nasi and masseter. The emotional expressions, consecutively from the most commonly to the most rarely observed, were angry; happy, as well as sad and fear, and surprised as well as disgust.Keywords: emotion, facial expression, musculi facialis, FACS, AUAbstrak: Sistem limbik terdiri dari sejumlah subsistem dengan peranannya masing-masing untuk mem-back up emosi manusia. Emosi manusia dapat diketahui melalui ekspresi wajah yang dihasilkan oleh kontraksi musculi facialis. Salah satu alat yang digunakan untuk menentukan emosi dasar manusia melalui ekspresi wajah ialah Facial Action Coding System (FACS) dan action units (AUs). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui musculi facialis yang paling sering dan paling jarang digunakan serta ekspresi emosi Prabowo pada debat calon presiden putaran pertama 2014. Penelitian ini bersifat deskriptif melalui pendekatan retrospektif dengan sampel penelitian berjumlah 30 foto ekspresi wajah Prabowo. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa dengan menggunakan FACS didapatkan AU yang paling sering digunakan ialah AU 4 (26,92%), sedangkan yang paling jarang digunakan ialah AU 9 dan AU 26 masing-masing 0,96%. Ekspresi emosi yang didapatkan ialah bahagia (6,67%), sedih (6,67%),takut (6,67%), marah (46,67%), terkejut (3,33%), dan jijik (3,33%). Simpulan: Musculi facialis yang paling sering digunakan ialah corrugator supercilii dan yang paling jarang ialah levator labii superioris alaquae nasi dan masseter. Ekspresi emosi dari yang paling sering sampai paling jarang tampak secara berturut-turut ialah marah; bahagia, sedih, dan takut; dan terkejut dan jijik.Kata kunci: emosi, ekspresi wajah, musculi facialis, FACS.
Gambaran makroskopik dan mikroskopik ureter pada hewan coba postmortem Savalina, Dinda N.S.; Ticoalu, Shane H.R.; Wangko, Sunny
e-Biomedik Vol 4, No 2 (2016): eBiomedik
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/ebm.v4i2.14725

Abstract

Abstract: Postmortem changes provide a lot of valuable information about the time, causes, and mechanisms of death. This study was aimed to obtain an overview of the macroscopic and microscopic postmortem changes of ureter at several time intervals during 48 hours postmortem. This was a descriptive study using pigs as samples. The results showed that macroscopic postmortem changes of ureters began to appear at 5 hours postmortem marked by changes in color, consistency, and length of the ureters. Meanwhile, the microscopic postmortem changes of the ureters began to appear at 4 hours postmortem characterized by congestion, however, the transitional epithelial cell could be identified. At 5 hours postmortem, a number of transitional cells showed pycnotic nuclei. At 15 hous postmortem, the transitional layer began to detach from the lamina propria; cells with pycnotic nuclei increased in number. At 30 hours postmortem, the transitional layer was detached from the lamina propria and in general the structure of ureter layers could not be identified. Conclusion: Macroscopic changes in color, consistency and length of ureter could be observed the earliest at 5 hours postmortem Microscopic changes could be identified at 4 hours postmortem characterized by congestion, however, the transitional cells could be idemtified. At 5 hours postmortem, the early necrosis of transitional cells occured. At 30 hours postmortem the structure of ureter layers could not be identified.Keywords: macroscopic and microscopic description, ureter, postmortem. Abstrak: Perubahan postmortem banyak memberikan informasi baik mengenai waktu, penyebab, maupun mekanisme kematian. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran makroskopik dan mikroskopik ureter postmortem berdasarkan variasi waktu sampai 48 jam postmortem. Jenis penelitian ialah deskriptif dengan menggunakan babi sebagai hewan coba. Hasil penelitian menunjukkan perubahan makroskopik ureter hewan coba, mulai tampak pada 5 jam postmortem ditandai dengan perubahan warna, konsistensi dan panjang ureter sampai 30 jam postmortem. Perubahan mikroskopik ureter hewan coba postmortem mulai tampak pada 4 jam postmortem ditandai dengan adanya kongesti, sel epitel transisional masih dapat diidentifikasi. Pada 5 jam postmortem sebagian inti sel transisional tampak piknotik. Pada 15 jam postmortem sebagian lapisan epitel transisional telah terlepas dari lamina propia dan sel-sel dengan inti piknotik makin jelas. Pada 30 jam postmortem lapisan epitel transisional dengan inti sel piknotik telah terlepas dari lamina propria dan secara keseluruhan struktur lapisan ureter telah sulit diidentifikasi. Simpulan: Perubahan makroskopik mulai terlihat pada 5 jam postmortem ditandai dengan perubahan warna, konsistensi, dan panjang ureter. Perubahan mikroskopik dapat diidentifikasi pada 4 jam postmortem ditandai adanya kongesti, pada 5 jam postmortem dimulainya nekrosis sel epitel transisional, dan pada 30 jam struktur lapisan ureter telah sulit diidentifikasi.Kata kunci: gambaran makroskopik dan mikroskopik, ureter, postmortem
PERAN KOMPLEKS JUKSTAGLOMERULUS TERHADAP RESISTENSI PEMBULUH DARAH Toreh, Renny M.; Kalangi, Sonny J.R.; Wangko, Sunny
Jurnal Biomedik : JBM Vol 4, No 3 (2012): JURNAL BIOMEDIK : JBM Suplemen
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.4.3.2012.1213

Abstract

Abstract: As the main structural component of the renin-angiotensin-aldosterone system (RAAS), the juxtaglomerular complex plays a very important role in the regulation of vascular resistance. The synthesis and release of renin into the circulation occurs due to the decrease of blood pressure, loss of body fluid, and a decrease of sodium intake. Renin converts angiotensinogen into angiotensin I, which is further converted by the angiotensin converting enzyme (ACE) into angiotensin II. This angiotensin II causes vasoconstriction of blood vessels, resulting in an increase of vascular resistance and blood pressure. The ACE inhibitors and the angiotensin receptor blockers (ARBs) do not inhibit the RAAS completely since they cause an increase of renin activity. The renin blockers are more effective in inhibiting RAAS activity; therefore, these renin blockers can be applied as antihypertensive agents with fewer side effects. The RAAS activity can be inhibited by a decrease of renin synthesis in the juxtaglomerular complex by blocking the signals in the juxtaglomerular complex that stimulate renin synthesis, and by blocking the gap junctions in the juxtaglomerular complex. Keywords: juxtaglomerular complex, vascular resistance, RAAS.   Abstrak: Kompleks jukstaglomerulus sebagai komponen struktural utama sistem renin angiotensin berperan penting dalam pengaturan resistensi pembuluh darah. Sintesis dan pelepasan renin ke sirkulasi terjadi karena tekanan darah yang rendah, kehilangan cairan tubuh, dan kurangnya intake natrium. Renin akan memecah angiotensinogen menjadi angiotesin I yang kemudian secara cepat dikonversi oleh enzim pengonversi angiotensin  menjadi angiotensin II. Angiotensin II menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah sehingga meningkatkan resistensi pembuluh darah yang pada akhirnya akan meningkatkan tekanan darah. ACEinhibitor dan ARB kurang sempurna dalam menghambat kerja SRAA oleh karena keduanya memutuskan rantai mekanisme timbal balik sehingga meningkatkan aktifitas renin. Penghambat renin lebih efektif digunakan untuk menghambat aktifitas SRAA sehingga penghambat renin dapat digunakan sebagai obat anti-hipertensi dan memiliki efek samping yang rendah. Metode penghambatan SRAA yang juga dapat dikembangkan ialah penghambatan sintesis renin dalam kompleks jukstaglomerulus dengan cara menekan sinyal-sinyal dalam kompleks jukstaglomerulus yang merangsang sintesis renin dan menghambat fungsi taut kedap yang terdapat dalam kompleks jukstaglomerulus. Kata kunci: kompleks juksta glomerulus, resistensi vaskular, SRAA.
JARINGAN OTOT RANGKA Sistem membran dan struktur halus unit kontraktil Wangko, Sunny
Jurnal Biomedik : JBM Vol 6, No 3 (2014): JURNAL BIOMEDIK : JBM Suplemen
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.6.3.2014.6330

Abstract

Abstract: There are three main components of skeletal muscle: connective tissue, muscle tissue, and membrane system. The connective tissue protects the muscle fibers and separate them into fasicles. The skeletal muscle consists of paralel muscle fibers with their myofibrils which are composed by smaller contractile units, thick myofilaments and thin myofilaments. The membrane system consists of sarcolemma, transverse tubules (TT), foot structure, and sarcoplasmic reticulum (SR) with its cisternae. Depolarization of the sarcolemma spreads to TT, foot structure, and SR, resulting in the release of Ca2+ ions from SR. These ions trigger the formation of cross bridges to begin a contraction.Keywords: sarcolemma, T tubule, sarcoplasmic reticulum, thick myofilament, thin myofilamentAbstrak: Terdapat tiga komponen utama jaringan otot rangka, yaitu: jaringan ikat, jaringan otot seran lintang, dan sistem membran. Jaringan ikat berfungsi melindungi serat-serat otot dan memisahkannya atas berkas-berkas otot. Jaringan otot rangka tersusun atas serat-serat otot yang bherjalan sejajar dengan miofibrilnya yang terdiri atas unit kontraktil yang lebih kecil yaitu miofilamen tebal dan tipis. Sistem membran terdiri atas sarkolema dimana terjadinya depolarisasi yang paling awal dan dihantarkan ke dalam serat otot melalui tubulus T, struktur kaki pada daerah triad, dan sisterna terminalis yang selanjutnya memicu pelepasan ion Ca2+ dari retikulum sarkoplasma. Ion Ca2+ merupakan pemicu untuk pembentukan jembatan silang yang mengawali suatu kontraksi otot.Kata kunci: sarkolema, tubulus T, retikulum sarkoplasma, filamen tebal, filamen tipis
HISTOFISIOLOGI RETINA Wangko, Sunny
Jurnal Biomedik : JBM Vol 5, No 3 (2013): JURNAL BIOMEDIK : JBM Suplemen
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.5.3.2013.4342

Abstract

Bola mata orang dewasa berdiameter sekitar 2,5 cm. Dari seluruh permukaan bola mata, hanya 1/6 bagian anterior yang tampak sedangkan 5/6 bagian posterior terletak dan terlindung di dalam ruang orbita. Secara histologik, dinding bola mata tersusun oleh 3 lapisan yaitu tunika fibrosa, tunika vaskulosa (uvea), dan tunika nervosa (retina). Retina merupakan tempat reseptor visual dengan tiga lapisan utama neuron retina yang dipisahkan oleh dua zona dimana terjadi sinaps, yaitu lapisan sinaps luar dan dalam. Ketiga lapisan ini (searah dengan input visualnya) ialah: lapisan sel fotoreseptor, lapisan sel bipolar, dan lapisan sel ganglion. Juga terdapat sel horisontal  dan sel amakrin; keduanya membentuk jalur lateral untuk mengatur sinyal yang  dihantarkan sepanjang jalur sel fotoreseptor ke sel bipolar dan ke sel ganglion.
GAMBARAN HISTOLOGIK HEPAR HEWAN COBA POSTMORTEM Pualilin, Novia K.; Wangko, Sunny; Kalangi, Sonny J. R.
Jurnal Biomedik : JBM Vol 6, No 2 (2014): JURNAL BIOMEDIK : JBM Juli 2014
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.6.2.2014.5550

Abstract

Abstract: The usage of postmortem histological changes of the liver in the medicolegal investigation is still very limited. This study aimed to obtain the histological changes of the liver postmortem. This was an experimental-descriptive study using one pig as model. Samples were taken from its liver after 0 minute; 15 minutes; 30 minutes; 45 minutes; 60 minutes; 12 hours; and 24 hours postmortem. The results showed that the first postmortem histological changes of the pig liver were observed 30 minutes postmortem. These changes were congestion of the liver parenchym and sinusoidal dilatation, which became more distinct after 45 and 60 minutes. At 12 hours postmortem, the hexagonal forms of lobuli could still be identified, however, most central veins and vessels in the portal areas could not be identified. At 24 hours  postmortem, liver lobuli and all the vessels could not be identified. Conclusion: The earliest histological changes, parenchym congestion and sinusoiodal dilatation, occured 30 minutes postmortem. At 12 hours postmortem, most ot the vessels could not be identified. Morover, at 24 hours postmortem, all liver structures could not be identified anymore. It is expected that these postmortem histological changes of the liver colud be applied in medicolegal investigation especially ≤24 hours postmortem. Keywords: postmortem interval, liver, postmortem.     Abstrak: Perubahan gambaran histologik hepar postmortem yang dijadikan dasar dalam penentuan lama kematian masih sangat terbatas. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran histologik hepar postmortem. Penelitian ini bersifat deskriptif eksperimental dengan menggunakan babi sebagai hewan coba. Sampel jaringan hepar diambil pada interval waktu 0 menit; 15 menit; 30 menit; 45 menit; 60 menit; 12 jam; dan 24 jam postmortem. Hasil penelitian memperlihatkan perubahan histologik hepar babi mulai teridentifikasi pada 30 menit postmortem berupa kongesti parenkim hepar disertai dilatasi sinusoid. Pada 45 menit dan 60 menit postmortem, perubahan-perubahan di atas makin nyata dan meluas. Pada 12 jam postmortem, bentuk lobuli heksagonal masih dapat diidentifikasi tetapi sebagian besar vena sentralis dan pembuluh-pembuluh dalam area portal tidak dapat diidentifikasi lagi. Pada 24 jam postmortem, lobuli hepar, vena sentralis serta pembuluh-pembuluh dalam area portal tidak dapat diidentifikasi lagi. Simpulan: Perubahan gambaran histologik hepar babi mulai tampak pada 30 menit postmortem ditandai kongesti parenkim hepar disertai dilatasi sinusoid. Pada 12 jam postmortem, sebagian besar pembuluh-pembuluh tidak dapat diidentifikasi lagi. Pada 24 jam postmortem seluruh struktur hepar tidak dapat diidentifikasi lagi. Penelitian ini diharapkan dapat diaplikasikan untuk kepentingan medikolegal, terutama pada kematian ≤24 jam. Kata kunci: lama kematian, hepar, postmortem.
PERAN RESEPTOR MELANOKORTIN 1 PADA MELANOGENESIS Pratama, Gunawan; Wangko, Sunny; Jacobs, Jemima N.
Jurnal Biomedik : JBM Vol 2, No 2 (2010): JURNAL BIOMEDIK : JBM
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.2.2.2010.845

Abstract

Abstrak: Dewasa ini fenotip warna kulit secara alami maupun dengan perlakuan banyak menjadi perhatian terutama dalam aspek sosial dan kosmetik. Seiring dengan itu, berbagai penelitian dan pengembangan biomolekuler yang bertujuan mengendalikan melanogenesis telah berkembang pesat. Pada tingkat molekul, proses kompleks biosintesis polimer melanin di dalam melanosit ditentukan oleh reseptor melanokortin 1 (MC1R). Struktur proteinnya yang dikode oleh faktor genetik seseorang dapat mempengaruhi afinitas reseptor terhadap agonis atau ligan. Selanjutnya jalur lintas sinyal transduksi bergantung siklik adenosin mono-fosfat (cAMP) intrasel yang dicetuskannya akan menentukan tipe dan warna kulit. Faktor-faktor transkripsi pada lintasan sinyal cAMP berupa molekul-molekul protein akan menen-tukan sintesis enzim yang memainkan peran kunci pada arah pembentukan biopolimer mela-nin di dalam retikulum endoplasma, aparatus Golgi dan melanosom. Feomelanogenesis dengan hasil akhir polimer melanin yang berwarna kuning kemerahan adalah jalur pasti hilangnya sinyal reseptor melanokortin 1. Pemahaman pada lintasan sinyal reseptor melano-kortin 1 setidaknya dapat memberi informasi pada kelainan pigmentasi dalam terapan ilmu kedokteran klinik medik. Kata kunci: MC1R, cAMP, sinyal transduksi.     Abstract: Nowadays, natural or modified phenotype skin colors get more attention especially in social and cosmetic aspects. In fact, advanced biomolecular sciences have revealed a better understanding about controlling melanogenesis. In this molecular level, the complexity of melanin biopolymers produced in melanocytes is driven by melanocortin 1 receptors (MC1R). Coded by its genetic structure, this protein may affect receptors’ affinity to their agonists or ligands. Then the intracellular cAMP dependent signal transduction will determine consequently the hair and skin colors. Transcription factors in the cAMP signal line in protein molecule forms are involved in determining enzyme synthesis which plays the main role in directing the biopolymer melanin’s end products in endoplasmic reticulum, Golgi apparatus, and melanosome. Pheomelanogenesis is the consequense of melanocortin 1 receptors signal loss; its end product appears in yellow-red color melanin polymers. Understanding MC1R’s signal transduction gives additional information about pigmentation abnormality in medical practice. Key words: MC1R, cAMP, transduction signal.
SEL BETA PANKREAS SINTESIS DAN SEKRESI INSULIN Banjarnahor, Eka; Wangko, Sunny
Jurnal Biomedik : JBM Vol 4, No 3 (2012): JURNAL BIOMEDIK : JBM
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.4.3.2012.795

Abstract

Abstract: Insulin synthesis and secretion are done by pancreatic beta cells. Preceding the insulin synthesis, there is a gen translation in chromosome 11 that produces insulin, packed in secretory granules. Insulin secretion is induced by the alteration of blood glucose levels, resulting in the occurence of intracellular reactions preceded by changes of ATP/ADP ratios that trigger the depolarisation of plasma membranes. Furthermore, extracellular Ca2+ ions move inward to beta cells to activate exocytosis. There are still many unknown problems so far in either the synthesis or secretion of insulin that cause unfulfilled insulin needs in the body.Keywords: beta cells, insulin, synthesis, secretionAbstrak: Sintesis dan sekresi insulin dilakukan oleh sel beta pankreas. Sintesis insulin diawali oleh salinan gen pada kromosom 11, yang akan menghasilkan insulin, di kemas di dalam granul-granul sekretorik. Sekresi insulin diinduksi oleh perubahan kadar glukosa, yang berakibat terjadinya reaksi intrasel yang diikuti adanya perbedaan rasio ATP/ADP yang memicu reaksi depolarisasi membran plasma. Sebagai akibat lanjut Ca2+ ekstrasel akan masuk ke dalam sel beta yang berfungsi mengaktifkan eksositosis. Sampai saat ini masih banyak ditemui masalah baik dalam hal sintesis maupun sekresi insulin yang mengakibatkan kebutuhan insulin tubuh tidak terpenuhi.Kata kunci: sel beta, insulin, sintesis, sekresi