Claim Missing Document
Check
Articles

Found 34 Documents
Search

Penal Sanctions for Psychological Domestic Violence under Utilitarianism Theory: A New Sentencing Paradigm in the 2023 Indonesian Criminal Code Nasyi'ah, Iffaty; Saifullah, Saifullah; Hidayah, Khoirul; Roibin, Roibin; Adityo, Rayno Dwi
El-Usrah: Jurnal Hukum Keluarga Vol. 8 No. 1 (2025): EL-Usrah: Jurnal Hukum Keluarga
Publisher : Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/3km2wr98

Abstract

Article 45 of the Law on the Elimination of Domestic Violence (UU PKDRT) regulates the penal sanctions for the criminal act of psychological violence, stipulating a maximum imprisonment of four months for minor offenses and up to three years for serious offenses. However, custodial sentences are deemed less effective, as they do not fully provide benefits to the parties involved, namely the victim, the perpetrator, the household, and society at large. Meanwhile, the 2023 Indonesian Criminal Code (KUHP 2023) introduces a new paradigm of sentencing that emphasizes restorative and rehabilitative justice, shifting from a solely punitive orientation to one that also considers victim recovery and offender rehabilitation. This study aims to analyze the implementation of the sentencing system under KUHP 2023 through the lens of Jeremy Bentham’s utilitarianism theory. The research employs a normative juridical method, utilizing statutory, conceptual, and case-based approaches. Primary legal materials include the UU PKDRT and KUHP 2023, while the conceptual framework is grounded in Bentham's utilitarianism. As tertiary support, interviews were conducted with three judges from the court of first instance. The findings indicate that alternative sanctions such as rehabilitation, probation, or community service are more effective in preventing recidivism and promoting social balance. The role of judges is pivotal in applying more proportionate sentencing, including through the mechanism of rechterlijk pardon (judicial pardon) in certain cases that meet legal and humanitarian considerations. Through this approach, the new sentencing system is expected to be more justice-oriented, to provide better protection for victims, and to serve as a more effective means of preventing psychological violence in domestic settings
The Effectiveness of Fulfilling Children's Educational Rights in the Legal Development Process Anggraeni, Afifah Dhaninta; Adityo, Rayno Dwi
Sakina: Journal of Family Studies Vol 9 No 3 (2025): Sakina: Journal of Family Studies
Publisher : Islamic Family Law Study Program, Sharia Faculty, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18860/jfs.v9i3.18078

Abstract

This study investigates the legal effectiveness of fulfilling the right to education for children in conflict with the law at the Child Special Development Institution (LPKA) Class I Blitar, Indonesia, applying Soerjono Soekanto’s framework of legal effectiveness. Using a juridical-empirical approach, data were collected through semi-structured interviews with institutional staff, analysis of official documentation, and review of relevant laws and regulations. Addressing a gap in existing scholarship, which largely centers on child victims, this research focuses on convicted juveniles as legal subjects entitled to educational rights. The findings reveal that the fulfillment of educational rights at LPKA Class I Blitar can be categorized as “quite effective,” supported by structured formal and non-formal programs, the operation of a self-managed primary school, diverse life skills training, and collaboration with 40 stakeholder institutions. Nevertheless, significant obstacles persist, including the heterogeneity of educational backgrounds among fostered children, limited adaptive learning facilities, and insufficient community engagement. These factors undermine the community and cultural dimensions of legal effectiveness, despite strong performance in legal substance, law enforcement, and facilities. Theoretically, the study validates Soekanto’s framework in the context of juvenile justice, emphasizing the interplay between legal, institutional, community, and cultural dimensions. Practically, it proposes a scalable multi-stakeholder cooperation model to enhance educational quality and sustainability in correctional settings. These findings suggest that legal effectiveness should be evaluated not only through institutional compliance but also through the extent to which education fosters genuine rehabilitation and social reintegration, aligning national practices with international child rights standards.
Kenaikan Nafkah Anak Setiap Tahun Pasca Perceraian Perspektif SEMA Nomor 03 Tahun 2015 Adiningrum, Nuriyah Wulan; Adityo, Rayno Dwi
MORALITY: Jurnal Ilmu Hukum Vol 10 No 1 (2024): Morality : Jurnal Ilmu Hukum
Publisher : Fakultas Hukum Universitas PGRI Palangkaraya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.52947/morality.v10i1.343

Abstract

Perceraian mengakibatkan adanya hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh kedua orang tua terhadap anaknya, salah satunya adalah nafkah anak. Secara garis besar hukum yang berlaku membenarkan terkait mengenai pemenuhan pembayaran nafkah anak menjadi kewajiban dari seorang ayah terhadap anaknya. Akan tetapi, Hakim menetapkan adanya penambahan biaya sebesar 10% setiap tahunnya dalam penetapan tersebut dianggap sudah sesuai dengan SEMA No. 3 Tahun 2015. Adapun jenis penelitian yang digunakan oleh penulis adalah penelitian yuridis normatif, dengan menggunakan pendekatan penelitian berupa peraturan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach). Dalam hal ini penulis melakukan penelitian yuridis normatif terhadap penetapan No. 319/Pdt.G/2022/PA.Kdr. Hasil penelitian ini adalah konteks hukum tidak menyebutkan secara spesifik mengenai besaran nafkah yang harus diberikan, melainkan pemenuhan nafkah anak hendaknya diberikan secara proporsional dengan melihat 2 batasan, yaitu kemampuan sang ayah dan kebutuhan dari anak tersebut. Jika dilihat dari aspek keterbatasan dan kemampuan dari sang ayah yang termuat dalam peraturan perundang-undangan, maka menurut peneliti Hakim belum tepat untuk menerapkan SEMA No. 3 Tahun 2015 terhadap putusan tersebut.
Kewenangan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Kota Denpasar dalam Menangani Kasus Perebutan Hak Asuh Anak Safitri, Retno Kurnia; Adityo, Rayno Dwi
Sakina: Journal of Family Studies Vol 6 No 4 (2022): Sakina: Journal of Family Studies
Publisher : Islamic Family Law Study Program, Sharia Faculty, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18860/jfs.v6i4.2416

Abstract

Pada tahun 2020 tercatat 5 besar kasus di UPTD PPA Kota Denpasar, termasuk kasus perebutan hak asuh anak yang menduduki peringkat kedua dengan 47 kasus, penyebabnya antara lain kekerasan psikis, perebutan hak asuh anak, kekerasan fisik, kekerasan seksual, dan pelantaran. Sedangkan penerimaan kasus pada tahun 2021 di UPTD PPA Kota Denpasar, kasus perebutan hak asuh anak mengalami penurunan sebanyak 39 kasus, tetapi tetap menempati peringkat kedua. UU RI Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah menyebutkan bahwa urusan perlindungan anak tidak hanya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat saja, tetapi juga menjadi kewenangan Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota. Penelitin ini melihat kewenangan UPTD PPA Kota Denpasar terkait penanganan perebutan hak asuh anak di kota itu. Artikel ini termasuk dalam jenis penelitian empiris dengan pendekatan deskriptif-kualitatif. Hasil riset menunjukkan bahwa terdapat beberapa penyebab terjadinya kasus perebutan hak asuh anak yaitu kurangnya komitmen dalam berkeluarga, lingkungan keluarga, penerapan pola asuh yang kurang baik serta permasalahan ekonomi, sedangkan apa yang sudah dilakukan oleh UPTD PPA Kota Denpasar terhadap pelayanan kepada pihak yang bersengketa hak asuh anak sejalan dengan Perda Kota Denpasar Nomor 4 Tahun 2014 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan Pasal 9 ayat 3, telah dilaksanakan secara optimal seperti mediasi, namun ada catatan sendiri dimana di dalam Perda terdapat keistilahan reintegrasi sosial yang dimaknai sebagai mediasi padahal keistilahan mediasi tidak ditemukan dalam penjelasan Perda tersebut sehingga memunculkan potensi bias. Selain itu, UPTD PPA Kota Denpasar kewenanganannya hanya sebatas pada upaya reintegrasi sosial saja, tidak memiliki kewenangan lebih. Dalam hal menetapkan pengasuhan anak ditentukan oleh Undang-Undang dan ditetapkan oleh Pengadilan.