Claim Missing Document
Check
Articles

Found 19 Documents
Search

E-money Analysis Of Debt Receivables Based on Sharia Perspective Tapi Rumondang Sari Siregar; Tuti Anggraini; Asmuni Asmuni
AL-MASHARIF: JURNAL ILMU EKONOMI DAN KEISLAMAN Vol 10, No 1 (2022)
Publisher : Institut Agama Islam Negeri Padngsidimpuan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24952/masharif.v10i1.5775

Abstract

The development of receivable transactions is currently increasingly complex. E-money is a transaction related to receivables or deposits. Every transaction that gives rise to receivables should be recorded (mahkum fiih) by the transacting party (mahkum alaih). This command is contained in the letter Al-Baqarah verse 282, this verse is the legal basis for recording. Transactions in e-money are always recorded by the issuer. The lawful use of electronic money creates differences of opinion. The Indonesian Ulema Council issued a fatwa allowing the use of Islamic electronic money as long as it did not violate the stipulated provisions. Some scholars believe that giving discounts (discounts) in e-money is haram because it provides benefits or advantages, and any credit that provides benefits or advantages for creditors is usury. This type of research is a literature study by collecting documentation from articles, journals, books, or other sources. The data processing and analysis technique in this research is descriptive analysis.
FENOMENA QIYAS TENTANG RIBA DAN BUNGA BANK DILIHAT DARI PANDANGAN MUHAMMADIYAH DAN NAHDLATUL ULAMA Baihaqi Ammy; Asmuni Asmuni; Tuti Anggraini
-
Publisher : Fisarrearch

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (514.327 KB)

Abstract

Bunga bank perbankan di Indonesia masih tetap menjadi perdebatan di kalangan umat Islam dengan status hukum: haram mutlak, dapat dibenarkan, atau status hukum yang lain. Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah sebagai 2 (dua) organisasi Islam terbesar di Indonesia berusaha memberikan status hukum bunga bank. Analisis dalam artikel ini difokuskan pada pola ijtihad yang dilakukan oleh kedua organisasi Islam tersebut. Hasil analisis menunjukkan bahwa NU melakukan ijtihad Jama’I dalam menetapkan hukum bunga bank dengan tetap menyandarkan pendapat ulama (Syafi’iyah). NU berpendapat bahwa bunga adalah riba baik sedikit atau banyak, ada kategori ad’afan muda’afah atau tidak. NU tidak membedakan bank yang dimiliki oleh Negara atau swasta. Bahkan nasabah yang menerima bunga bank sebagai penabung juga diharamkan karena dianggap memperoleh tambahan atas harta pokok tanpa berusaha. Muhammadiyah menggunakan qiyas sebagai metode ijtihad dalam merespon bunga bank. Bagi Muhammadiyah ‘illat diharamkan riba adalah adanya penganiayaan (az-Zulm) terhadap peminjaman dana. Konsekuensinya adalah jika ‘illat itu ada pada bunga bank maka bunga bank sama dengan riba dan hukumnya riba. Sebaliknya, jika ‘illat itu tidak ada pada bunga bank maka bunga bank bukan riba, karena itu tidak haram. Bagi Muhammadiyah ‘illat diharamkannya riba disinyalir juga ada pada bunga bank, sehingga bunga bank disamakan dengan riba dan hukumnya haram. Meskipun NU dan Muhammadiyah sama-sama sependapat bahwa riba hukumnya adalah haram, tetapi NU dan Muhammadiyah memiliki cara pandang atau berpikir yang berbeda. Bagi NU hukum bunga bank haram, baik bank Negara maupun swasta. Bagi Muhammadiyah, bunga bank dibolehkan dalam keadaan darurat yang merujuk pada pendapat Mustafa az-Zarqani.
llat Sebagai Rukun Qiyas Dani Iskandar; Asmuni Asmuni; Tuti Anggraini
-
Publisher : Fisarrearch

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (740.497 KB)

Abstract

Dalam menyingkap dan menerangkan kepastian hukum dari bermacam permasalahan yang tidak terdapat dalam nash nya."Illat sebagian sifat yang terdapat pada ashl (pokok) yang menjadi dasar  hukumnya dengan sifat yang dapat diketahui dari hukum tersebut melalui cabangnya merupakan bagian dari qiyas.Berdasarkan  pada pengertian di atas, penulis tertarik untuk mengkaji rukun-rukun dari Qiyas yaitu "Illat yang digunakan untuk mengkaji cara-cara penggalian "illat tersebut.PEMBAHASAN Pengertian  'Illat"Illat adalah salah satu rukun atau unsur qias, yang merupakan unsur  yang sangat penting karena dengan adanya "Illat dapat menentukan adanya qias atau menentukan suatu hukum.Pada dasarnya hukum ditetapkan oleh suatu  nash mengandung maksud tertentu sehingga bila seseorang melaksanakan hukum tersebut maka apa yang dituju dengan ketetapan hukum tersebut dapat tercapai. Berdasarkan pendapat tersebut, maka hukum ashal itu berlaku dengan adanya sifat tersebut bukan dengan adanya nash. Namun pengaruh dari "Illat terhadap hukum tersebut tidak berlaku dengan sendirinya.Al-Amidi  berpendapat bahwa "Illat adalah pendorong terhadap suatu hukum
Kaidah-Kaidah Kebahasaan (Al-Qawaid Al-Lughawiyyah) Muhammad Arif; Rakhmad Bahagia; Asmuni Asmuni; Tuti Anggraini
-
Publisher : Fisarrearch

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (826.886 KB)

Abstract

Walaupun teks alquran dan al-hadits telah terputus namun eksistensi keduanya sebagai sumber hukum tidak ada perdebatan di kalangan para ulama. Nash Al-quran dan hadis berbahasa Arab. Untuk mengetahui dan memahami nash tersebut dengan sempurna harus memahami pemakaian kaidah-kaidah kebahasaan sesuai dengan pemahaman orang Arab itu sendiri. Oleh sebab itu, para ulama ushul telah menetapkan beberapa metode dalam menggali kepastian hukum dari kedua sumber tersebut. Di antara metode penting dalam memahami kedua sumber tersebut adalah kaidah kebahasaan. Melalui bahasa, manusia dapat menyampaikan pesan-pesannya kepada manusia dengan cara yang efektif dan efisien. Allah mengutus Rasul-Nya yang terakhir dari Bangsa Arab dan menurunkan alquran sebagai kitab sucinya dalam bahasa Arab juga. Maka dari itu bisa disimpulkan terdapat hubungan yang signifikan antara bahasa Arab dengan alquran. Dua hal ini menunjukkan bahwa mustahil bagi seorang muslim dapat mengetahui pesan-pesan Allah yang terdapat dalam alquran tanpa mengetahui tata bahasa Arab. Para ulama ushul Fiqh telah merumuskan beberapa qawaid lughawiyah dalam mengetahui dilalah (petunjuk) hukum yang terdapat dalam ayat-ayat alquran. Melalui penguasaan terhadap kaidah-kaidah kebahasaan diharapkan para fuqaha akan mendapat pemahaman yang benar dalam mengambil istinbat hukum. Oleh sebab sebab itu, merupakan sebuah keharusan untuk mengaplikasikan kaidah bahasa tersebut ke dalam beberapa praktik ekonomi pada zaman sekarang.
Perbedaan Fiqh Dan Ushul Fiqh Serta Hubungan Keduanya Lufriansyah Lufriansyah; Asmuni Asmuni; Tuti Anggraini
-
Publisher : Fisarrearch

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (429.433 KB)

Abstract

Islam sebagai agama yang menjadi rahmat bagi seluruh alam, memiliki cakupan ruang lingkup atau pokok-pokok pendidikan Islam yang saling terkait satu sama lain dan tidak terpisahkan. Adapun beberapa garis besar ruang lingkup pendidikan islam diantaranya Aqidah, Akhlak , Ibadah dan Muamalah Dunaiwiyah. Ilmu yang mempelajari tentang hukum-hukum syara’ yang berhubungan dengan pelaksanaan kehidupan kepada umat islam dikenal dengan ilmu fiqh.  Fiqih didefinisikan sebagai Ilmu tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat praktis yang digali dari dalil-dalil yang terperinci. Fiqih merupakan pengetahuan yang dihasilkan melalui proses penelitian dalil-dalil rinci dengan menggunakan metodologi ushul fiqh. Ushl fiqh berfungsi untuk memahami dalil-dalil rinci agar terhindar dari kesalahan penempatan dan pemakaian dalil-dalil tersebut. Hubungan antara fiqh dan ushul fiqh sangat berkaitan erat karena fiqh berhubungan dengan persoalan islam yang praktis, sedangkan ushul fiqh berhubungan dengan ilmu tentang metode penggalian bagaimana hukum islam tersebut bisa di tetapkan dan cara penafsiran akan keadaan saat ini.
Mazhab Shahabi Dan Aplikasinya Dalam Ekonomi Kontemporer Nuri Aslami; Asmuni Asmuni; Tuti Anggraini
Mumtaz: Jurnal Ekonomi dan Bisnis Islam Vol. 1 No. 1 (2022): Januari 2022
Publisher : Ali Institute of Research and Publication

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (861.448 KB) | DOI: 10.55537/mumtaz.v1i1.75

Abstract

Perubahan hukum Islam dalam banyak hal erat kaitannya dengan disiplin ushul fiqh, yang menjadi dalil dan dasar berijtihad. Mazhab shahabi merupakan dalil para ulama hukum fiqh untuk mengatasi permasalahan yang ada di kalangan umat Islam. Mazhab shahabi berarti pendapat seorang sahabat, dan pendapat itu menyebar ke sahabat lain tanpa ada sahabat yang menentangnya. Mazhab shahabi adalah salah satu dari referensi aturan Islam dari zaman Tabi’in. Di kalangan ulama berbeda pendapat mengenai kehujjahan mazhab shahabi. Imam Malik, Ar-Razi, Hanafiyyah, Asy-Syafi’i dengan Qaul Qadimnya serta Ahmad bin Hanbal menerima Mazhab shahabi menjadi hujjah. Asya`irah, Mu`tazilah, Asy Syafi`i dengan Qaul Jadidnya, Ulama Syi`ah, ulama Al Karkhi, Madzhab Maliki, Hanafi, dan Ibn Hazm menolak mazhab shahabi sebagai hujjah. Seperti pembahasan lainnya, Mazhab shahabi dapat menjadi sumber berita terbaru. Ketidaksepakatan di kalangan ulama tentang penggunaan Mazhab shahabi menjadi perdebatan yang mempengaruhi penerapannya dalam perekonomian saat itu. Keyword : Mazhab shahabi, Kehujjahan, Ekonomi
Maqashid Sharia Perspective of Legal Sanction for Khalwat Actors in Aceh Mulizar Mulizar; Asmuni Asmuni; Dhiauddin Tanjung
AL-ISTINBATH : Jurnal Hukum Islam Vol 7 No 1 May (2022)
Publisher : Institut Agama Islam Negeri Curup

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (896.42 KB) | DOI: 10.29240/jhi.v7i1.3587

Abstract

This paper discusses the dynamics of punishment for khalwat perpetrators which is habitually inclined to implement the rule of law underlined in Aceh. The aim of this research is to analyze the provision of legal sanctions carried out by Acehnese for khalwat perpetrators based on the maqashid sharia perspective. This study was conducted by using empirical juridical research with law sociology approach, and the source of the main data was an interview which was completed by supporting data such as significant articles related to the khalwat cases in Aceh. The results of this study point out that normatively the provision of sanctions for khalwat perpetrators in Aceh are regulated into two forms, namely Jinayat Law Qanun, and the Development of Traditional Life and Custom Qanun. Each of these regulations has differences in the provision of law sanctions for the khalwat perpetrators that cause law dualism. Practically, the sanctions determined by Acehnese for the khalwat perpetrators are various depending on each region. There are four kinds of sanctions enforcement, namely; First: Jinayat Law Qanun, Second: Customary Law, Third: the sanction of punishment in the name of customary law, Fourth: persecution. Based on maqashid al sharia aspect, some of these punishments are considered not in accordance with sharia principles, law of persecution, and in the name of customary law. Indeed, these regulations tend to be decided arbitrarily and even followed by torture.
The Majelis Ulama’s Fatwa on Freedom of Expression On Social Media: The Perspective of Maqashid Sharia Danil Putra Arisandy; Asmuni Asmuni; Muhammad Syukri Albani Nasution
AL-ISTINBATH : Jurnal Hukum Islam Vol 7 No 2 November (2022)
Publisher : Institut Agama Islam Negeri Curup

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (742.735 KB) | DOI: 10.29240/jhi.v7i2.5235

Abstract

This article criticizes MUI Fatwa Number 24 of 2017 concerning guidelines for naming through social media, wherein the decision of its legal provisions the fatwa has given many restrictions that can be understood as an effort to close the space for freedom of expression and opinion on social media, the impact of which social media users feel afraid and restrained to views. The existence of this fatwa is fundamental because it provides clues regarding the rights of free speech for social media users from an Islamic perspective. This paper uses Jasser Auda's maqasheed sharia approach, namely system theory, as a normative analysis in criticizing fatwas against the interpretation of ghibah behavior, the concept of tabayyun, the public domain in the torso of the general provisions of fatwas. This article argues that the performance of the behavior of the ghibah, the concept of tabayyun, the public domain, in the general conditions of the fatwa body is very influential in the understanding of Islamic law itself towards a direction that is contrary to the purpose of maqasheed sharia, namely the law for the benefit of the people. This is because the interpretation of the fatwa is not ideal for realizing the goal of protecting the human right to opinion for social media users in a country that applies the concept of democracy. This argument is based on the researchers' reading of the MUI Fatwa using a system theory that says the purpose of the law is to achieve the universal benefit, which is inseparable from all points of view of Islamic law. In the end, this article concludes that there is a need to reconstruct the interpretation of the ghibah concept of tabayun, the public domain in the Majelis Ulama’s fatwa.
JARIMAH KHALWAT ARRANGEMENTS IN QANUN NUMBER 6 OF 2014 CONCERNING JINAYAT AND ITS POLYMICS IN ACEH Bukhari Bukhari; Asmuni Asmuni; Muhammad Hatta; Anwar Anwar
istinbath Vol. 21 No. 2 (2022): Desember 2022
Publisher : Universitas Islam Negeri Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20414/ijhi.v21i2.567

Abstract

This study aims to determine the punishment for various polemics regarding jinayat khalwat in the province of Aceh, especially in the cities of Banda Aceh, Lhoksukon and Langsa. This study uses a normative-empirical method with a statutory approach and a case approach. The data source in this research is the Al-Qur`an; the 1945 Constitution; Law No. 1 of 1946 concerning the Criminal Code; Law No. 8 of 1981 concerning the Criminal Procedure Code; Aceh Qanun No. 6 of 2014 concerning Jinayat Law; and Aceh Qanun No. 7 of 2013 concerning Jinayat Procedural Law. The results of the study show that the background to the regulation on the prohibition of khalwat crimes in Qanun No. 6 of 2014 concerning the Law of Jinayat is to prevent the occurrence of a larger jinayat, namely adultery, both adultery muhsan and ghairu muhsan. The formation of the nomenclature of jinayat khalwat in this Qanun is a form of concern for the Government of Aceh towards “decency” regulations relating to actions that lead to jinayat of adultery. The community fully supports the formation of jinayat khalwat rules that aim for the good and benefit of the ummah even though there is polymic in this finger khalwat arrangement.
Analisis maqashid dan maslahah transaksi e-commerce di Indonesia Sri Wahyuni; Asmuni Asmuni; Tuti Anggraini
Jurnal Riset Pendidikan Ekonomi Vol. 8 No. 2 (2023): OKTOBER
Publisher : Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Kanjuruhan Malang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21067/jrpe.v8i2.8703

Abstract

This study aims to analyze the relevance and implications of Maqashid Syariah and Muamalah in e-commerce transactions in Indonesia. The aim of this study is to understand how the principles of Maqashid Sharia and Muamalah can be applied in the context of e-commerce transactions, as well as to identify the benefits and challenges that arise in applying those principles. This research method uses a qualitative approach by conducting a literature review involving the study of scientific literature, official documents, and practice guidelines related to e-commerce and Islamic economics. Qualitative analysis was conducted to explore and understand the implications of Maqashid Sharia and Muamalah principles in e-commerce transactions in Indonesia. The results showed that Maqashid Syariah and Muamalah have significant relevance in the context of e-commerce in Indonesia. The application of these principles can ensure halal in transactions, maintain fairness, protect consumers, and create a business environment with integrity. However, there are challenges in implementing these principles, including a lack of awareness and understanding of the principles of Islamic economics, differences in interpretation, and limitations in monitoring and enforcing the rules. Therefore, collaborative efforts are needed between the government, business actors, and related institutions to increase understanding, develop codes of practice, and increase supervision in e-commerce transactions in accordance with Maqashid Syariah and Muamalah.