Claim Missing Document
Check
Articles

Found 31 Documents
Search

RASA MALU DAN PRESENTASI DIRI REMAJA DI MEDIA SOSIAL Kusumasari, Herdyani; Hidayati, Diana Savitri
Jurnal Psikologi Teori dan Terapan Vol 4, No 2 (2014): Jurnal Psikologi Teori dan Terapan
Publisher : Jurusan Psikologi Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Surabay

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

An individual will perform self-impression to be accepted by society and can establish a social relationship. Someone do the self presentation so they can be accepted by the environment. However, there are some people which have obstacle to do their self presentation to make a social relationship.  We can called that condition with shyness. Social media can be well accepted a mediator for shy person to presented their self. The purpose of this research is to find out the correlation between shynees with self presentation on adolosence in social media. This research has done to 96 sample of 13 – 16 years old active user of social media like Facebook, Twitter, Path, Instagram, Blog, and Youtube. The result with Pearson Product Moment test says the coeficient correlation (r) between two variables is 0,281. That is shows that between the two variables have a positive correlation with the signification level is 0,006 (p < 0,05) which says that the two variables have a significant correlation.Abstrak: Individu akan melakukan pengelolaan kesan agar dapat diterima oleh masyarakat dan dapat menjalin sebuah hubungan sosial. Presentasi diri dilakukan agar individu dapat diterima dengan baik oleh lingkungan sekitarnya. Namun, beberapa orang akan mengalami suatu hambatan dalam melakukan presentasi dirinya secara langsung untuk melakukan suatu hubungan sosial. Kondisi tersebut dapat dikatakan sebagai rasa malu (shyness). Media sosial merupakan salah satu perantara bagi orang pemalu untuk melakukan presentasi dirinya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara rasa malu dengan presentasi diri remaja melalui media sosial. Penelitian ini dilakukan pada 96 orang remaja berusia 13 – 16 tahun yang aktif di media sosial yaitu Facebook, Twitter, Path, Instagram, Blog, dan Youtube. Hasil yang diperoleh dengan uji Pearson Product Moment menunjukkan koefisien korelasi (r) antara kedua variabel sebesar 0,281 dengan taraf signifikasinya adalah 0,006 (p < 0,05), hal tersebut menunjukkan bahwa antara kedua variabel memiliki hubungan positif yang signifikan.   
PENINGKATAN RELASI SOSIAL MELALUI SOCIAL SKILL THERAPY PADA PENDERITA SCHIZOPHRENIA KATATONIK Hidayati, Diana Savitri
Cognicia Vol 2, No 1 (2014)
Publisher : Faculty of Psychology, University of Muhammadiyah Malang, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22219/cognicia.v2i1.1816

Abstract

Angka penderita Schizophrenia di Indonesia pada 25 tahun yang lalu diperkirakan 1/1000 penduduk dengan proyeksi 25 tahun mendatang mencapai 3/1000 penduduk. Seorang penderita schizophrenia harus didorong untuk bergaul dengan orang lain dengan maksud agar ia tidak mengasingkan diri lagi, karena bila menarik diri penderita dapat membentuk kebiasaan yang kurang baik. Social skills therapy berguna untuk meningkatkan kemampuan sosial, kemampuan memenuhi diri sendiri, latihan praktis dan komunikasi interpersonal. Penelitian ini bertujuan untuk melihat efek dari penerapan Social skills therapy kepada penderita Schizophrenia katatonik terutama terhadap relasi sosialnya. Penelitian ini menggunakan metode penelitian berupa studi kasus. Hasil pelaksanaan social skills therapy adalah subyek penelitian mampu menunjukkan respon berupa uluran tangan untuk berjabat tangan dan subyek mampu mengadakan interaksi timbal balik berupa senyuman ketika diberi pertanyaan. Sessi terapi yang sempat terhenti menyebabkan perubahan yang telah terbentuk pada subyek kembali seperti semula saat terapi belum dilaksanakan. Hasil dari intervensi berupa social skills therapy akan lebih baik bila sessi terapi dilaksanakan secara berkesinambungan dan pihak keluarga juga ikut berperan aktif dalam pelaksanaan terapi. Kata kunci: Relasi sosial, social skill therapy, penderita schizophrenia katatonik. Number of people with Schizophrenia in Indonesia in the last 25 years is estimated to 1/1000 with a projected population of 25 years reaches 3/1000 population. A person with schizophrenia should be encouraged to get along with others with the intention that he does not alienate himself, because when he pulled away he can form bad habits. Social skills therapy is useful for improving social skills , ability to meet yourself, practical exercises and interpersonal communication. This study aimed to examine the effects of the adoption of the Social skills therapy to patients with catatonic schizophrenia , especially the social relations . This study uses a case study research . The results of the implementation of social skills therapy are able to study subjects showed a response in the form of a helping hand to shake hands and the subjects were able to hold a reciprocal interaction in the form of a smile when asked a question . Therapy session was stopped cause changes that have formed on the subject back to normal when therapy has not been implemented . Results of a social skills intervention therapy would be better if the therapy sessions conducted continuously and the family also play an active role in the implementation of the therapy . Keyword: Job satisfaction,  adaptability, employees
Hubungan Pengungkapan Diri dan Stres Remaja Penyintas Gempa Bumi Kota Palu Fadlunnida, Fadlunnida; Karmiyati, Diah; Hidayati, Diana Savitri
Cognicia Vol 7, No 4 (2019)
Publisher : Fakultas Psikologi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (279.096 KB) | DOI: 10.22219/COGNICIA.Vol7.No4.%p

Abstract

The earthquake that took place in Palu certainly caused psychological injuries to the survivors, especially teenager. They were required to accepted the situation in an instant. However, if the demands cannot be fulfilled, they will be in a stressful situation. Self disclosure can be used to deal with stress. Feelings of relief  and emotional support will help teens to overcome the problems. This study aimed to investigate the correlation between self disclosure and stress among teenager who survived the earthquake in Palu. The instrument that researcher used were a scale compiled by Khoyroh (2016) and Bunda (201) that had been modified. The subjects were 129 respondents. This study used correlational design with purposive sampling. Subjects were teenagers between the age of 12-21 who survived from the earthquake happened in Palu. The instrument used were Data were analysed using the Pearson Product Moment. Correlation results showed that there was negative correlation between self disclosure and stress among teenagers. Coefficient value of the correlation (r) was -0,246 with p = 0,005 (< 0,0)1. It can be conclude,  the higher the teenagers disclose themselves, the lower risk of stress they will perceived.  The contribution of the self disclosure to the stress was 6,1%.
KESEPIAN PEMILIK HEWAN PELIHARAAN YANG TINGGAL TERPISAH DARI KELUARGA Nurlayli, Rizqi Khoirunnisa; Hidayati, Diana Savitri
Jurnal Ilmiah Psikologi Terapan Vol 2, No 1 (2014)
Publisher : University of Muhammadiyah Malang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (517.296 KB) | DOI: 10.22219/jipt.v2i1.1767

Abstract

Kesepian merupakan fenomena yang sering terjadi pada manusia namun memiliki dampak buruk bagi kesejahteraan hidup.Mahasiswa pada tahap perkembangan dewasa awal rentan mengalami kesepian jika tidak mampu menyelesaikan tugas perkembangannya yaitu membangun hubungan dekat (intim) dan membangun afiliasi.Peluang itu bertambah pada mahasiswa yang harus berpisah dengan keluarganya.Melihat manfaat aktivitas memelihara hewan dari beberapa penelitian dan perkembangan ketertarikan masyarakat untuk memelihara hewan yang semakin meningkat, penelitian ini mencoba untuk melihat gambaran kesepian pada mahasiswa pemiliki hewan peliharaan yang tinggal terpisah dengan keluarga.Jenis penelitian ini adalah kuantitatif deskriptif dengan menggunakan Revised University of California, Los AngelesLoneliness Scale (R-UCLALoneliness Scale).Jumlah subjek pada penelitian ini sebanyak 50 mahasiswa pemilik hewan peliharaan dan tinggal terpisah dengan keluarga.Hasil penelitian ini menggambarkan 36 orang mengalami kesepian pada kategori rendah dan 14 orang mengalami kesepian pada kategori tinggi. Katakunci: Kesepian, hewan peliharaan   Loneliness is a phenomenon often occurs in humans. It has negative effects on welfare. Students in the early stages of adult development are to build close relationships (intimate) and build affiliations that make susceptible to loneliness if they cannot able to complete the task of development. The susceptibility increases by being apart of family during adult development. Many researchs showed that public interest in raising pet inclined. This research was aimed to describe loneliness feature of students who raising pet and living apart from their family. This was qualitative and descriptive research and used Revised University of California, Los AngelesLoneliness Scale(R-UCLALoneliness Scale). It involved 50 students who raising pet and living apart from their family. Here we showed that 36 students experienced low categoric loneliness while 14 students had high category. Keywords: Loneliness, pet
SELF COMPASSION DAN LONELINESS Hidayati, Diana Savitri
Jurnal Ilmiah Psikologi Terapan Vol 3, No 1 (2015)
Publisher : University of Muhammadiyah Malang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (477.826 KB) | DOI: 10.22219/jipt.v3i1.2136

Abstract

Banyak hal yang menyebabkan seseorang mengalami kesepian, salah satu penyebabnya adalah kondisi di mana harus tinggal jauh dari orang tua dan keluarga,  yang juga dialami oleh remaja yang tinggal di pondok pesantren. Self-compassion merupakan salah satu bahasan yang bisa menjelaskan bagaimana individu mampu bertahan, memahami dan menyadari makna suatu kesulitan sebagai hal yang positif, termasuk kesulitan ketika harus tinggal jauh dari orang tua dan keluarga. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara self compassion  dengan lonelines. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif korelasional dengan subyek penelitiannya berjumlah 254 siswi yang tinggal di pondok pesantren. Metode pengumpulan data menggunakan dua skala yaitu skala Self  Compassion Scale (SCS) dan R-UCLA Loneliness Scale yang masing-masing telah diterjemahkan ke Bahasa Indonesia dan telah melalui proses validasi dan reliabilitas. Hasil penelitian diperoleh hasil bahwa hipotesa penelitian ditolak yang berarti bahwa tidak ada hubungan antara self compassion dan loneliness (r = 0.776; p = 0.001; 0.776 > 0.001).             Kata kunci: Self compassion, loneliness Loneliness is caused by many thing, one of them is the condition when tenager should life without parents and family because of their study at a boarding school. Self compassion is a new concept that explain about how to defend, understand and realize the meaning of suffering as a positive thing; for example when some one should life without their parents and families. The aim of this study is to determine relationships of  self compassion and loneliness. Methode research is a quantitative approach to correlation with number of subjects were 254 girls who were life at a boarding school. Methode of data collecting  in this study by self compassion scale and R-UCLA loneliness scale. The results showed that there is no correlations between self compassion and loneliness (r = 0.776; p = 0.001; 0.776 > 0.001).             Keywords: Self compassion, loneliness
LATAR BELAKANG PSIKOLOGIS KECEMASAN IBU HAMIL USIA 35 TAHUN KE ATAS Hidayati, Diana Savitri
Jurnal Ilmiah Psikologi Terapan Vol 2, No 2 (2014)
Publisher : University of Muhammadiyah Malang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (386.433 KB) | DOI: 10.22219/jipt.v2i2.2006

Abstract

Kehamilan merupakan salah satu yang menjadi harapan bagi suami istri. Pada peristiwa hamil dengan usia 35 tahun ke atas umumnya bukan pengalaman pertama bagi seorang wanita tetapi seringkali tidak direncanakan. Meskipun pada usia tersebut wanita telah siap menerima anak dan bertugas sebagai ibu, muncul pertanyaan apakah kehamilan tersebut tetap akan menimbulkan kecemasan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui latar belakang psikologis kecemasan ibu hamil usia 35 tahun ke atas. Metode penelitian ini menggunakan metode  deskriptif kualitatif, dimana pengumpulan data menggunakan wawancara, observasi dan tes psikologi. Subyek penelitian adalah dua orang ibu hamil yang usianya diatas 35 tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa latar belakang  psikologis kecemasan subyek penelitian adalah : (1) bayangan ibu tentang proses persalinan, (2) bayangan tentang terjadinya keguguran, bayi cacat, bayi prematur dan anak kembar, (3) kesehatan ibu, (4) pengambilan keputusan untuk mempunyai bayi lagi, (5) pengalaman pada kehamilan sebelumnya. Kata kunci : Latar belakang psikologis, kecemasan Pregnancy is one of the expectations for husband and wife. The pregnant women who is above 35 years old usually is not the first pregnant for her and sometimes is not planned too. Even women at that age has ready to become a mother, there is a question, Is the pregnant still causes the anxiety for them. The purpose of this research is what is the psychological factor which causes of anxiety inpregnant women who is above 35 years old. Methods this research used a qualitative descriptive method, where data collection using interviews, observation and psychological tests. Methods this research used a qualitative descriptive method, where data collection using interviews, observation and psychological tests. Subjects were two pregnant women whose age is above 35 years. The result of this research shows that the psychological factor which causes of anxiety in pregnant women who is above 35 years old are : 1) mother's imagine of the born, 2) the imagine about abortus, the disables baby, premature and twins, 3) mother's health, 4) the decision to have a baby ones again, 5) the experience of the last pregnant. Keywords : Psychological factor, anxiety
PARENTING SELF EFFICACY AYAH PADA NUCLEAR DAN EXTENDED FAMILY Hardyanti, Sri; Karmiyati, Diah; Hidayati, Diana Savitri
Jurnal Ilmiah Psikologi Terapan Vol 5, No 2 (2017)
Publisher : University of Muhammadiyah Malang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (665.863 KB) | DOI: 10.22219/jipt.v5i2.4939

Abstract

Bentuk keluarga di Indonesia cukup beragam, namun secara garis besar bentuk keluarga tersebut dibagi menjadi nuclear family dan extended family. Kedua bentuk keluarga ini memiliki perbedaan mendasar dari anggota keluarga yang ada dalam keluarga tersebut, dimana keduanya mampu menimbulkan dinamika yang berbeda  khususnya dari ketersediaan dukungan sosial dan berdampak terhadap Parenting Self-Efficacy (PSE) ayah. Penelitian ini bertunjuan untuk mengetahui apakah ada perbedaan PSE ayah pada nuclear dan extended family yang diukur dengan menggunakan Fathering Self-Efficacy Scale (FSES), dimana desain penelitian yang digunakan adalah penelitian kuantitatif. Teknik sampling dalam penelitian ini adalah snowball dengan jumlah subjek sebesar 200 orang dan data yang didapatkan dari subjek dianalisis dengan menggunakan uji Mann Whitney. Hasil penelitian menunjukkan nilai Z= -1.273 dan p=0.216 (p>0.05) sehingga dapat diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan terhadap PSE ayah pada nuclear dan extended family.  Kata Kunci: Parenting Self-Efficacy,  nuclear family, extended family There are a lot of family form in Indonesia, but the outline of that form devides into nuclear family and extended family. The basic difference of both of them is family member who existing in and causes a different dynamic spesifically the availibilty of social support, so at the end of the day it will affect on father’s Parenting Self-Efficacy (PSE). The aim of this study is identying the differences of PSE level between father in nuclear family and extended family by using a Fathering Self-Efficacy Scale (FSES) with  quantitative as a research design. Snowball is a sampling technique with 200 subjects and the data is analyzed by using Mann Whitney test. The result shows Z score=-1.273 and p=0.216 (p>0.05), therefore there is no significant differences of PSE level between father in nuclear and extended family. Keywords:  PSE, nuclear family, extended family
Family Function dan Loneliness pada Remaja dengan Orang Tua Tunggal Hidayati, Diana Savitri
Jurnal Ilmiah Psikologi Terapan Vol 6, No 1 (2018)
Publisher : University of Muhammadiyah Malang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (583.592 KB) | DOI: 10.22219/jipt.v6i1.5432

Abstract

Perubahan struktur keluarga pada keluarga dengan orang tua tunggal akibat perceraian sedikit banyak akan mempengaruhi family functioning keluarga tersebut. Kondisi family functioning tersebut diduga mempunyai korelasi dengan terjadinya loneliness pada remaja sebagai salah satu anggota keluarga dari keluarga dengan orang tua tunggal. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui hubungan antara family functioning dan loneliness pada remaja dengan orang tua tunggal. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif korelasional dengan subyek penelitiannya berjumlah 106 remaja berusia 15-18 tahun yang tinggal dengan orang tua tunggal karena perceraian. Metode pengumpulan data melalui skala yaitu skala Family Asessment Device (FAD) dan R-UCLA Loneliness Scale yang masing-masing telah diterjemahkan ke Bahasa Indonesia dan telah melalui uji validasi. Hasil penelitian menyatakan bahwa hipotesa penelitian yang diajukan diterima yang berarti bahwa ada hubungan negatif antara family functioning dan loneliness yang dibuktikan oleh perhitungan statistik dengan nilai signifikansi (p) sebesar 0,038.Kata kunci : family functioning, lonelinessWhen parents get divorced, so there will be a change into a family functioning of  this new family. A family functioning  will be predicted to rise loneliness in a teenage. The aim of this study is to determine the relationships of family functioning and loneliness in teenage who live with singgle parents after divorced.  Methode research is a quantitative approach to correlation with number of subjects were 106 teenage who 15-18 years old. Methode of data collecting  in this study by Family Asessment Device (FAD) and R-UCLA loneliness scale. The results showed that there is a significant correlations  between family functioning  and loneliness (r = -0.202; p = 0.038; Correlation is significant at the 0.05 level).Keywords : family functioning, loneliness
RASA MALU DAN PRESENTASI DIRI REMAJA DI MEDIA SOSIAL Kusumasari, Herdyani; Hidayati, Diana Savitri
Jurnal Psikologi Teori dan Terapan Vol 4, No 2 (2014): Jurnal Psikologi Teori dan Terapan
Publisher : Universitas Negeri Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1069.724 KB) | DOI: 10.26740/jptt.v4n2.p91-105

Abstract

An individual will perform self-impression to be accepted by society and can establish a social relationship. Someone do the self presentation so they can be accepted by the environment. However, there are some people which have obstacle to do their self presentation to make a social relationship.  We can called that condition with shyness. Social media can be well accepted a mediator for shy person to presented their self. The purpose of this research is to find out the correlation between shynees with self presentation on adolosence in social media. This research has done to 96 sample of 13 – 16 years old active user of social media like Facebook, Twitter, Path, Instagram, Blog, and Youtube. The result with Pearson Product Moment test says the coeficient correlation (r) between two variables is 0,281. That is shows that between the two variables have a positive correlation with the signification level is 0,006 (p < 0,05) which says that the two variables have a significant correlation.Abstrak: Individu akan melakukan pengelolaan kesan agar dapat diterima oleh masyarakat dan dapat menjalin sebuah hubungan sosial. Presentasi diri dilakukan agar individu dapat diterima dengan baik oleh lingkungan sekitarnya. Namun, beberapa orang akan mengalami suatu hambatan dalam melakukan presentasi dirinya secara langsung untuk melakukan suatu hubungan sosial. Kondisi tersebut dapat dikatakan sebagai rasa malu (shyness). Media sosial merupakan salah satu perantara bagi orang pemalu untuk melakukan presentasi dirinya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara rasa malu dengan presentasi diri remaja melalui media sosial. Penelitian ini dilakukan pada 96 orang remaja berusia 13 – 16 tahun yang aktif di media sosial yaitu Facebook, Twitter, Path, Instagram, Blog, dan Youtube. Hasil yang diperoleh dengan uji Pearson Product Moment menunjukkan koefisien korelasi (r) antara kedua variabel sebesar 0,281 dengan taraf signifikasinya adalah 0,006 (p < 0,05), hal tersebut menunjukkan bahwa antara kedua variabel memiliki hubungan positif yang signifikan.   
Psychoeducation of preventive action against bullying behavior in MIN 1 Blitar Istiqomah, I.; Hidayati, Diana Savitri
Journal of Community Service and Empowerment Vol. 1 No. 3 (2020): December
Publisher : Universitas Muhammadiyah Malang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22219/jcse.v1i3.12307

Abstract

Bullying in schools is one or a factor that becomes a problem / obstacle in achieving the Sustainable Development Goals (SDGs), so that campaigns and enlightenment to the public about the various impacts and efforts to overcome bullying must be encouraged. In this regard, this article aims to describe the preventive action psychoeducation service activities against bullying behavior at MIN 1 Blitar. Community service participants are Teachers and Parents of Students of MIN 1 Blitar. The target of this community service is that teachers and parents at MIN 1 Blitar are able to understand the condition of students or their children so that they are not prone to becoming victims of bullying or becoming perpetrators of bullying, creating a Peaceful school. The method used is to provide a scale of Bullying, psychoeducation and focus group discussion (FGD) to teachers and parents of students of MIN 1 Blitar. Based on the post-test results of the fifth-grade students of MIN 1 Blitar, it is known that 6.5% were identified as bullying perpetrators while 15% were identified as victims of bullying. This service activity is carried out in several forms, namely psychoeducation, FGD and self-help groups, which are preventive measures of psychoeducation against bullying behavior.