Claim Missing Document
Check
Articles

Found 6 Documents
Search

PRO DAN KONTRA SANKSI PEMISKINAN BAGI PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA (PRO AND CONTRA IMPROVERISHING PUNISHMENT TO CORRUPTOR IN INDONESIA) TEMMY HASTIAN, S.H. NPM.A2021151027, JURNAL MAHASISWA S2 HUKUM UNTAN
Jurnal NESTOR Magister Hukum Vol 1, No 1 (2017): JURNAL MAHASISWA S2 HUKUM UNTAN
Publisher : Jurnal NESTOR Magister Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRACT Corruption is a crime that has been rooted in the life of the Indonesian nations, ranging from government, senator, to law enforcement. There has no doubt if people are very disturbby this crime. Many assumptions and discourses are expressed to give and  as additional deterrent effect to the perpetrators, ranging from impoverishment to perpetrators of the Corruption Crime, as well as the death punishment. Corruption crimes is a crime that must be eradicated by an extraordinary way, it is because corruption harms for many  people, corruption caused inhibits all development, both physical and non-physical development. Basically the trigger factor of a person committing a criminal act of corruption is one of greed, as stated in a previously written paper, and the main purpose of the perpetrator of corruption crimes is wealth, and in fact perpetrators of corruption crimes are afraid of poverty. The formulation of the issues to be discussed in this paper is "Does the Poverty Method for Corruption Perpetrators Be Effective to Eradicate Corruption crime  in Indonesia?" The meaning of impoverishment in this study is not an absolute impoverishment, but a Impoverishment that has been detailed calculated. The impoverishment can be specified as follows: - Impoverishment is defined by foreclosures; - Foreclosures is carried out in accordance with applicable rules; - Foreclosures accompanied by counts of losses suffered by the State; and - The effectiveness of Prevention and Eradication of Money Laundering Act, and the Eradication of Corruption Act (Especially on Article 18 and Article 38 C).  Keywords: Sanction of Impoverishment, Corruption Perpetrators, Effectivity of  Prevention and Eradication of Money Laundering Act.     2  ABSTRAK Korupsi merupakan suatu kejahatan yang telah mengakar dalam kehidupan berbangsa di Indonesia, mulai dari pemerintah, wakil rakyat, hingga para penegak hukum. Tidak salah lagi jika masyarakat sangat gerah dengan kejahatan yang satu ini. Banyak asumsi dan wacana yang dilontarkan untuk memberi dan menambah efek jera bagi pelakunya, mulai dari pemiskinan bagi pelaku Tindak Pidana Korupsi, serta hukuman mati. Kejahatan korupsi adalah kejahatan yang harus diberantas dengan cara yang luar biasa, karena korupsi telah menyengsarakan rakyat, menghambat segala pembangunan, baik pembangunan fisik dan non fisik. Pada dasarnya faktor pemicu seseorang melakukan tindak pidana korupsi salah satunya ialah keserakahan, sebagaimana tertuang dalam makalah yang telah ditulis sebelumnya, dan yang dikejar oleh pelaku kejahatan tindak pidana korupsi adalah kekayaan, dan sesungguhnya pelaku kejahatan korupsi takut akan kemiskinan. Rumusan masalah yang akan di bahas dalam tulisan ini adalah ?Apakah dengan Metode Pemiskinan bagi Pelaku Tindak Pidana Korupsi dapat Efektif dalam Hal Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia?? Pemiskinan yang dimaksud bukanlah merupakan pemiskinan yang absolute, melainkan pemiskinan yang diperhitungkan secara matang. Pemiskinan tersebut dapat d spesifikasikan sebagai berikut: - Pemiskinan diartikan dengan penyitaan; - Penyitaan dilaksanakan sesuai dengan aturan yang berlaku; - Penyitaan disertai dengan penghitungan kerugian yang dialami Negara; dan - Pengefektifan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, serta Undang-Undang Republik Indonesia No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Khususnya Pasal 18 dan Pasal 38 C)   Kata Kunci: Sanksi Pemiskinan, Pelaku Tindak Pidana Korupsi, Efektifitas Undang-Undang TPPU
PELAKSANAAN PEMBUKTIAN TERBALIK SEBAGAI HAK TERDAKWA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DI PENGADILAN NEGERI PONTIANAK - A01109063, TEMMY HASTIAN
Jurnal Hukum Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Untan (Jurnal Mahasiswa S1 Fakultas Hukum) Universitas Tanjungpura Vol 3, No 2 (2015): JURNAL MAHASISWA S1 FAKULTAS HUKUM UNTAN
Publisher : Jurnal Hukum Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Untan (Jurnal Mahasiswa S1 Fakultas Hukum) Universitas Tanjungpura

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 37 ayat (1) berbunyi Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi. Makna dari Pasal 37 ayat (1) tersebut kemudian dikenal sebagai teori pembuktian terbalik.   Begitu banyak Perkara korupsi yang dilimpahkan di Pengadilan Negeri Pontianak selaku pengadilan yang berhak dan berwenang mengadili perkara korupsi di wilayah hukum Kalimantan Barat sejak tahun 2011 hingga september 2014, hanya 0.80% (nol koma delapan puluh persen) dari total 124 (seratus dua puluh empat) perkara tindak pidana korupsi yang diadili di Pengadilan Negeri Pontianak yang menggunakan atau menerapkan sistem pembuktian terbalik dalam persidangan.   Perkara yang menerapkan pembuktian terbalik tersebut, setelah dianalisis penulis bukan merupakan pembuktian terbalik, karena penerapannya disampaikan pada pemeriksaan saksi yang meringankan, sedangkan menurut Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 38B ayat (4) Pembuktian bahwa harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bukan berasal dari tindak pidana korupsi diajukan oleh terdakwa pada saat membacakan pembelaannya dalam perkara pokok dan dapat diulangi pada memori banding dan memori kasasi.Perkara tindak pidaka korupsi yang menerapkan pembuktian terbalik tersebut adalah perkara korupsi yang di jerat juga dengan pasal Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Sejauh ini, dalam prakteknya bahwa pembuktian terbalik dalam tindak pidana korupsi di persidangan, tidak dilaksanakan secara overall (menyeluruh), melainkan kasus-kasus tertentu (certain cases), seperti perkara terkait gratifikasi (gratification) dan suap (bribery).   Penerapan pembuktian terbalik di persidangan tindak pidana korupsi, terkendala tidak diaturnya secara khusus mengenai tata cara pelaksanaan, sehingga Pasal 37 Ayat (1) tersebut dianggap tidur, dan hanya penghias suatu aturan.   Diperlukan suatu metode untuk membangunkan Pasal tersebut, yakni dengan pembaharuan terhadap perundang-undangan tindak pidana korupsi, sehingga penerapan hak terdakwa untuk melaksanakan pembuktian atas harta yang dimilikinya dapat terlaksana sebagaimana yang telah diatur oleh undang-undang.  Keyword : Pelaksanaan Pembuktian Terbalik Tidak pernah Dilaksanakan Pada Pada Saat Persidangan
Penyuluhan Hukum Terpadu dalam Rangka Meningkatkan Pengetahuan dan Kesadaran Hukum Masyarakat menuju Desa Sadar Hukum di Desa Bintang Mas, Kec. Rasau Jaya - Kab. Kubu Raya Rizki Amalia Fitriani; Temmy Hastian; Rini Setiawati; Agustinus Astono; Weni Sentia Marsalena
Almufi Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat Vol 2 No 2: Desember (2022)
Publisher : Yayasan Almubarak Fil Ilmi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Pengetahuan dan kesadaran hukum dalam bermasyarakat merupakan salah satu indikator penting untuk menilai bekerjanya hukum di lingkungan. Sehingga hukum tidak hanya bersifat cita- cita semata. Desa Bintang Mas, Kec. Rasau Jaya – Kab. Kubu Raya merupakan salah satu desa yang memiliki akses yang cukup jauh menuju Kota Kabupaten dan dibeberapa titik di desa, masyarakat agak kesulitan mendapat informasi internet karena adanya kendala jaringan yang kurang memadai. Oleh sebab itu, tim penyuluh memilih Desa Bintang Mas untuk memberikan penyuluhan kesadaran hukum berupa kesadaran membayar pajak untuk meningkatkan penerimaan pajak daerah. Di masa mendatang perlu adanya pembentukan kelompok masyarakat sadar hukum yang dapat bersinergi melalui program lanjutan bersama FH UPB dan  Kemenkumham Kanwil Kalimantan Barat serta dinas lain terkait melalui kolaborasi dengan program MBKM KKN – Tematik Desa Sadar Hukum yang menempatkan mahasiswa FH UPB untuk tinggal selama 6 bulan di Desa sebagai fasilitator pembentukan kelompok sadar hukum sehingga terwujud Desa Sadar Hukum.
Persepsi dan opini publik atas tayangan sinetron bernuansa pedofilia di indosiar Henny Damaryanti; Klara Dawi Dawi; Yenny Aman Serah; Siswadi Siswadi; Temmy Hastian
Jurnal Komunikasi Profesional Vol. 6 No. 3 (2022)
Publisher : Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas dr. Soetomo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (229.469 KB)

Abstract

Zahra-related issues have received a lot of attention in early June 2021, with over 20,000 tweets. “Suara Hati Istri: Zahra” as one of Indonesia's leading soap operas that put Zahra as the main character has been criticized for promoting pedophilia. “Suara Hati Istri: Zahra” is also seen as a soap opera that encourages polygamy, pedophilia, and child marriage. Responding to the soap opera “Suara Hati Istri: Zahra” which aired on Indosiar, protests ensued. As a trigger, one of the actors Lea Chiarachel who is still 14 years old can play the third wife in the soap opera. They were punished not only because of their marital status, but also for showing scenes like husband and wife in soap operas. The purpose of this study is to find out how public opinion is on Indosiar pedophile soap operas. This study uses a quantitative approach with content analysis method in viewing tweets with the hashtag # Suarahatiistrizahra. The results of this study indicate that public opinion on the Indosiar pedophile soap opera with the hashtag # Suarahatiistrizahra is dominated by negative message content.
Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Eksploitasi Seksual Komersial di Daerah Perbatasan Kalimantan Barat: Legal Protection Against Child Victims of Commercial Sexual Exploitation In the Border Region of West Kalimantan Yenny Aman Serah; Temmy Hastian; Rini Setiawati; Angelia Pratiwi Mastiurlani Christina Sitorus4; Raymundus Loin
Jurnal Kolaboratif Sains Vol. 6 No. 11: NOVEMBER 2023
Publisher : Universitas Muhammadiyah Palu

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.56338/jks.v6i11.4363

Abstract

Kalimantan Barat memiliki kondisi geografis spesifik yang langsung berbatasan dengan luar negeri (Malaysia Timur) melalui jalur pintu masuk resmi Pos Lintas Batas (PLB) Entikong dan Tebedu dan tidak kurang ada sekitar 50 (lima puluh) jalur setapak (tidak resmi) yang dapat dilalui untuk masuk dan keluar ke dan dari wilayah Malaysia Timur. Letak geografis mendorong semakin meningkatnya berbagai kejahatan lintas batas, diantaranya eksploitasi seksual komersialisasi anak. Keterlibatan jaringan sindikat kriminal internasional melalui Pos Lintas Batas Negara (transnasional) tidak terlepas dari posisi strategis tersebut, dimana arus lalu lintas manusia tidak mengalami kesulitan keluar dan masuk. Hal ini menjadikan lalu lintas perdagangan manusia menjadi lebih mudah dan terjadinya praktek eksploitasi seksual komersial. Penelitian ini akan mengungkap masalah bagaimana fakta ekspolitasi seksual komersialisasi anak tersebut terjadi di wilayah perbatasan dan upaya perlindungan hukumnya. Melalui metode penelitian socio-legal terungkap hasil penelitian bahwa eksploitasi seksual komersial anak terjadi melalui sindikat jaringan internasional dan upaya perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban belum berjalan optimal karena lemahnya koordinasi antar para pihak serta anak sebagai korban belum berperan dalam pengungkapan terjadinya eksploitasi seksual komersial terhadap dirinya
Mewujudkan Keluarga Indonesia Anti Trafficking (KIAT) Melalui Penyuluhan Hukum Bagi Kelompok Kadarkum PKK Desa Yenny Aman Serah; Purwanto Purwanto; Temmy Hastian; Rini Setiawati; Adhytia Nugraha
Sasambo: Jurnal Abdimas (Journal of Community Service) Vol. 7 No. 1 (2025): February
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat (LITPAM)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36312/sasambo.v7i1.2511

Abstract

Program Keluarga Indonesia Anti Trafficking (KIAT) bertujuan meningkatkan literasi hukum dan kesadaran masyarakat dalam mencegah perdagangan manusia (TPPO), khususnya di Kelurahan Benua Mas, Kabupaten Bengkayang. Mitra utama dalam program ini adalah PKK Kelurahan Benua Mas yang memiliki peran strategis dalam pemberdayaan perempuan dan keluarga. Metode utama yang digunakan adalah penyuluhan hukum berbasis komunitas melalui ceramah interaktif, diskusi kelompok, simulasi kasus, serta pemanfaatan media digital seperti video edukasi dan grup WhatsApp. Hasil program menunjukkan peningkatan pemahaman peserta terhadap konsep TPPO, modus operandi pelaku, serta mekanisme perlindungan hukum, dengan peningkatan skor pemahaman hingga 55%. Pembentukan Kelompok Sadar Hukum (Kadarkum) PKK juga menjadi langkah strategis dalam keberlanjutan program. Kesimpulannya, program KIAT efektif dalam meningkatkan kesadaran hukum dan kapasitas komunitas dalam mencegah TPPO. Rekomendasi utama meliputi penguatan literasi digital bagi kader PKK, perluasan cakupan program ke wilayah lain, serta sinergi dengan pemangku kepentingan untuk kebijakan pencegahan TPPO yang lebih sistematis.  An Indonesian Anti-Trafficking Family (KIAT) Through Legal Counseling for the Kadarkum PKK Village Group  The Indonesian Anti-Trafficking Family (KIAT) program aims to enhance legal literacy and public awareness in preventing human trafficking (TPPO), particularly in Benua Mas Village, Bengkayang Regency. The main partner in this program is the Benua Mas PKK, which plays a strategic role in empowering women and families. The primary method used is community-based legal counseling through interactive lectures, group discussions, case simulations, and the use of digital media such as educational videos and WhatsApp groups. The program results show an increase in participants' understanding of TPPO concepts, perpetrators' modus operandi, and legal protection mechanisms, with knowledge scores improving by up to 55%. The formation of the PKK Legal Awareness Group (Kadarkum) is also a strategic step in ensuring the program's sustainability. In conclusion, the KIAT program effectively raises legal awareness and strengthens community capacity to prevent TPPO. Key recommendations include strengthening digital literacy for PKK members, expanding the program to other regions, and fostering synergy with stakeholders for a more systematic anti-trafficking policy.