Hary Purnamaningsih
Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada. Jl. Fauna No.2, Karangmalang, Depok, Sleman. 55281 Yogyakarta

Published : 37 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 37 Documents
Search

Peran Protozoa pada Pencernaan Ruminansia dan Dampak Terhadap Lingkungan Yanuartono Yanuartono; Alfarisa Nururrozi; Soedarmanto Indarjulianto; Hary Purnamaningsih
TERNAK TROPIKA Journal of Tropical Animal Production Vol 20, No 1 (2019): TERNAK TROPIKA Journal of Tropical Animal Production
Publisher : Jurusan Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21776/ub.jtapro.2019.020.01.3

Abstract

Rumen adalah ekosistem yang sangat kompleks serta mengandung berbagai jenis mikroba. Kinerja ruminansia tergantung pada aktivitas mikroorganisme mereka untuk memanfaatkan asupan pakan. Namun demikian, aktivitas mikroba rumen juga merupakan sumber utama pembentukan gas metan dari bidang pertanian yang mengakibatkan efek rumah kaca. Protozoa rumen dengan penampilan yang cukup mencolok dianggap memiliki peran penting pada ruminansia sebagai hospes. Namun, terlepas dari kenyataan bahwa protozoa dapat menyumbang hingga 50% biomassa di rumen, peran protozoa sebagai salah satu mikroba dalam ekosistem rumen masih belum jelas. Meskipun peran protozoa masih belum jelas, namun protozoa dalam rumen terbukti memiliki hubungan dengan methanogen dan telah terbukti bahwa protozoa secara tidak langsung terlibat dalam produksi gas metan. Methanogen adalah satu-satunya mikroorganisme yang diketahui mampu memproduksi metan. Karena protozoa adalah penghasil hidrogen besar, yang digunakan sebagai substrat oleh simbion metanogennya untuk mengurangi karbon dioksida menjadi metana, dengan demikian dapat diasumsikan bahwa defaunasi mengurangi metanogenesis dengan jalan menurunkan kepadatan methanogen. Tulisan ini  mencoba untuk mengevaluasi informasi terkini tentang peran protozoa di ekosistem mikroba rumen dan dampaknya terhadap lingkungan.
Metode Peningkatan Nilai Nutrisi Jerami Jagung Sebagai Pakan Ternak Ruminansia Yanuartono Yanuartono; Soedarmanto Indarjulianto; Alfarisa Nururrozi; Slamet Raharjo; Hary Purnamaningsih; Nurman Haribowo
TERNAK TROPIKA Journal of Tropical Animal Production Vol 21, No 1 (2020): TERNAK TROPIKA Journal of Tropical Animal Production
Publisher : Jurusan Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21776/ub.jtapro.2020.021.01.3

Abstract

Pakan merupakan  faktor  sangat penting  dalam menunjang keberhasilan usaha peternakan. Ternak ruminansia sangat bergantung pada pakan hijauan. Di sisi lain, ketersediaan pakan hijauan sangat berfluktuasi, melimpah di musim hujan tetapi minim di saat musim kemarau.. Jerami  jagung adalah produk limbah samping pertanian yang berpotensi digunakan sebagai alternatif untuk pakan ternak ruminansia. Menggunakan jerami jagung sebagai pakan ternak untuk hewan ruminansia dapat membantu menyelesaikan masalah kekurangan pakan ternak terutama di musim kemarau. Penggunaan jerami jagung sebagai pakan ternak terbatas karena daya cerna yang rendah. Berbagai metode dapat digunakan untuk mengatasi nilai gizi jerami jagung yang terbatas seperti membuat hay dan silase sehingga kandungan nutrisinya dapat ditingkatkan. Makalah ini bertujuan untuk memberikan ulasan singkat tentang metode untuk meningkatkan nilai gizi jerami jagung sehingga dapat meningkatkan produktivitas ruminansia.
Review: Hidrogen Sianida dan Implikasinya pada Ternak Yanuartono Yanuartono; Soedarmanto Indarjulianto; Alfarisa Nururrozi; Hary Purnamaningsih
Jurnal Ilmu dan Teknologi Peternakan Tropis Vol 6, No 2 (2019): JITRO, Mei
Publisher : Universitas Halu Oleo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (472.088 KB) | DOI: 10.33772/jitro.v6i2.5638

Abstract

ABSTRAK                                                            Sejumlah besar tanaman hijauan banyak mengandung glikosida sianogenik dandapat  dirombak menjadi hidrogen sianida (HCN) yang bersifat toksik. Hidrogen sianida dapat menyebabkan keracunan pada manusia dan hewan.Konsentrasi HCN dalam hijauan dapat diturunkan melalui beberapa metode pengolahan seperti pengupasan, pengeringan, fermentasi, pemotongan dan penyimpanan.Gejala klinis keracunan HCN pada ruminansia dapat berupa peningkatan pulsus, sesak nafas, lemas, tremor, dilatasi pupil, kembung dan dapat menyebabkan kematian. Pengobatan dapat dilakukan dengan pemberian sodium nitrit dan sodium tiosulfat melalui injeksi intravena.Kata Kunci : glikosida sianogenik, keracunan klinis, intravenaABSTRACTA large number of forage contains cyanogenic glycosides which will be degraded into hydrogen cyanide (HCN) which are toxic. Hydrogen cyanide can cause poisoning in both animals and humans. Hydrogen cyanide concentration in the forage can be reduced through several methods of feed processing. The processing includes stripping, drying, fermentation, soaking, chopping, and storing. Clinical symptoms of HCN poisoning in ruminants are increased pulse, difficulty of breathing, weakness, tremors, pupil dilatation, bloating, and can lead to death. Treatments can be performed by administering sodium nitrite and sodium thiosulfate by intravenous injection.Keywords: cyanogenic glycosides, clinical poisoning, intravenous
Review: Dampak Negatif Indospicine dalam Indigofera sp. pada Ternak Yanuartono Yanuartono; Hary Purnamaningsih; Soedarmanto Indarjulianto; Alfarisa Nururrozi; Slamet Raharjo
Jurnal Ilmu dan Teknologi Peternakan Tropis Vol 7, No 2 (2020): JITRO, Mei
Publisher : Universitas Halu Oleo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (420.569 KB) | DOI: 10.33772/jitro.v7i2.8976

Abstract

ABSTRAKPakan merupakan aspek penting dari peternakan dan peningkatan produksi daging dapat dicapai melalui nutrisi dan manajemen yang tepat. Indigofera sp adalah salah satu spesies leguminosa hijauan yang potensial untuk ruminansia dan merupakan sumber penting protein, mineral, vitamin, serat serta memiliki palatabilitas  tinggi. Genus Indigofera terdiri atas sekitar 700 spesies yang berbeda, banyak di antaranya adalah tanaman penting yang secara agronomis digunakan sebagai pakan ternak dan suplemen pakan. Namun, beberapa spesies Indigofera mengandung faktor antinutrisi dikenal sebagai indospicine yang merupakan asam amino nonprotein toksik (2,7- diamino-7-iminoheptanoic acid) dan diketahui bersifat  hepatotoksik pada ruminansia. Ternak yang mengonsumsi Indigofera dilaporkan mengalami efek hepatotoksik dengan adanya lesi pada hati, efek teratogenik dan kematian embrio. Oleh karena itu, indospicine harus dipertimbangkan sebagai kemungkinan penyebab rendahnya penampilan ternak, khususnya penurunan berat badan dan gangguan reproduksi pada ruminansia yang diberi pakan indigofera sp dalam jumlah yang berlebihan. Di Indonesia spesies Indigofera zollingeriana merupakan pilihan paling tepat untuk dibudidayakan dan dikembangkan sebagai pakan ternak rumiansia  karena memiliki kandungan indospicine yang rendah untuk menghilangkan kejadian keracunan indospicine.Kata kunci: faktor antinutrisi, hepatotoksik, indigofera, indospicineABSTRACTThe feed is an important aspect of animal production, an increase in meat production can be achieved through proper nutrition and good management. The Indigofera sp is one of the potential forage legume species which are important sources of protein, minerals, vitamins, fiber, and has high palatability that provide essential nutrients for ruminants. The Indigofera genus contains approximately 700 different species, many of which are agronomically important plants that are used as grazing forages and feed supplements. Some Indigofera species, however, contain antinutritional factors (ANF) known as indospicine, a toxic nonprotein amino acid (2,7- diamino-7-iminoheptanoic acid) and is thought to be hepatotoxic in ruminants. Cattle and sheep consuming Indigofera have been reported to experience both hepatotoxic effects with associated liver lesions, and also teratogenic and embryo-lethal effects. Therefore, indospicine should be considered as a possible cause of animal poor performance, particularly reduced weight gain and reproductive disorders in ruminants that are fed with excessive amounts of indigofera sp. in Indonesia Indigofera zollingeriana species are the most appropriate choice to be cultivated and developed as ruminat livestock feed because they have a low indospicine content to eliminate the incidence of indospicine poisoning.Keywords: antinutritional factor, hepatotoxic,  Indigofera sp, indospicine
STATUS MAKROMINERAL (Ca dAn P) DOMBA YANG TERINFESTASI RINGAN DAN BERAT CACING STRONGIL Hary Purnamaningsih; Irkham Widiyono; Guntari Titik Mulyani
Jurnal Sain Veteriner Vol 25, No 2 (2007): DESEMBER
Publisher : Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada bekerjasama dengan PB PDHI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (4604.934 KB) | DOI: 10.22146/jsv.263

Abstract

Infestasi parasit gastlointestinal adalah salah satu penyebab defisiensi makromineral. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi status makrominera(Ca dan P ) pada domba yang terinfestasi ringan dan berat oleh cacing strongil. Tiga puluh tujuh (37) ekor domba lokal, jantan, umur +12 bulan di daerah Sleman digunakan dalam penelitian ini. Domba di kelompokkan menjadi kelompok yang terinfestasi ringan( 26 ekor) dan kelompoky ang terinfestasbi erat (10 ekor) cacings hongil. Pengelompokkan domba didasarkan pada pemeriksaan parasitologi terhadap jumlah telur cacing per gram tinja. Setiap domba pada masing-masing kelompok diambil sampel darah sebanyak 5 mL melalui vena jugularis, selanjutnya dipisahkan plasmanya. Pengambilan sampel darah dilakukan sebelum domba digembalakan atau  diberi pakan. Plasma yang diperoleh disimpan pada suhu- 20'C sampai analisis mineral dilakukan. Analisis Ca dalam plasma dilakukan dengan metode o-Kresolpthalein Komplekson yang diuraikan oleh Ray Sarkerd an Chaunan( 1967), dan fosfat anorganik dalam plasma diperiksa dengan menggunakan metodef osfomolibdat( Kraft dan Duer, 1999). Pemeriksaan jumlah telur cacing dilakukan secara mikroskopik dengan menggunakan metode McMaster. Hasil penelitian menunjukkan bahwa(1) 97% domba lokal, jantan, dewasa(± 12 bulan) di daerah Sleman terinfestasi cacing strongil, (2) infestasi ringan (< 1.000 epg) dan infestasi berat (> 1.000 epg) cacing strongil pada domba tampaknya tidak menimbulkan gejala klinis atau gangguan patologis yang dapat mengganggu metabolisme makromineral( Ca dan P), dan (3) stafus domba yang terinfestasi ringan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dengan domba yang terinfestasi berat dan status makrominerapl ada kedua kelompok tersebut masih dalam batas nilai fisiologisnorm(Ca:9,65±0,29 d an 10,60 ±.0,46m g/dl dan (P:6,61r0,25dan6,76±0,38mg/dl). Kata kunci: makromineral, cacings trongil, domba
EFEKTIVITAS IVERMECTIN DAN FIPRONIL DALAM MENGATASI SERANGAN CAPLAK PADA ANJING = THE EFFECTIVENESS OF IVERMECTIN AND F1PRONIL FOR TICK ERADICATION IN DOG Hary Purnamaningsih; Ida Tjahajati
Jurnal Sain Veteriner Vol 20, No 1 (2002): Juli
Publisher : Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada bekerjasama dengan PB PDHI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (3795.156 KB) | DOI: 10.22146/jsv.316

Abstract

Penelitian bertujuan untuk mengetahui efektivitas ivermectin dan fipronil dalam mengatasi serangan caplak pada anjing. Penelitian. menggunalcan 16 ekor anjing dengan !criteria bebas parasit, baik ektoparasit maupun endoparasit. Anjing dibagi secara acak menjadi 4 kelompok, masing-masing 4 ekor. Kelompok I dan 11 dibuat sebagai kelompok infestasi ringan, dan kelompok dan IV sebagai kelompok berat. Kelompok I dan m diberi pengobatan injeksi subkutan ivermectin 1% dengan dosis 400 µg/kg BB. Kelompok II dan IV diberi pengobatan fipronil 3 ml/kg BB dengan cara disemprotkan pada anjing dan diratakan dengan telapak tangan. Pengobatan diulang selang 4 minggu untuk menghindari terjadinya infestasi ulang. Waktu hilangnya caplak terns diikuti, dengan jalan menghitung jumlah caplak dewasa setiap hari sekali, sejak pemberian obat pertama. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) pengobatan denganfipronil lebih efektif dibandingkan dengan ivermectin, untuk infestasi caplak ringan, (2) pengobatartfiprond pada infestasi caplak ringan, akan lebih efektif dengan pemberian dua kali selang 4 minggu.
Kasus Ankilostomiasis Pada Pasten Anjing di Klinik Penyakit Dalam, Rumah Sakit Hewan FKH.UGM Selama Tahun 2005 = Case of Ancylostomiasis in Dog Patiens in Department of Internal Medicine, Animal Hospital, ... Ida Tjahajati; Hary Purnamaningsih; Guntari Titik Mulyani; Yuriadi .
Jurnal Sain Veteriner Vol 24, No 1 (2006): JUNI
Publisher : Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada bekerjasama dengan PB PDHI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2225.469 KB) | DOI: 10.22146/jsv.343

Abstract

Ancylostoma caninum rnerupakan cacing tarnbang yang banyak irenyeriuig pada manusia dan hewan kesayangan seperti anjing. Meskipun kasus ankilostomiasis banyak ditemukan namun angka kejadian penyakit ankilostomiasis pada pasien anjing di Klinik Penyakit Dalam RSH FKH-UGM belurn pernah diteliti secara final dan dipublikasikan. Kajian bertujuan untuk mengungkap angka kejadian ankilostomiasis pada pasien anjing yang ada di Klinik Penyakit Dalam RSH selama tahun 2005. Kajian dilakukan dengan metode retrospektif, dengan menggunakan data dari medical record pasien yang ada di Klinik Penyakit Dalam, RSH FKH-UGM selama tahun 2005. Data ankilostomiasis pada anjing didasarkan pada adanya telur cacing Ancylostoma sp pada pemeriksaan tinja. Data yang diperoleh diolah sehingga diperoleh angka juinlah penderita ankilostomiasis per bulan, dan persentase penderita ankilostomiasis dibanding dengan penyakit lainnya tiap bulannya dalam periode sate tahun. Hasi! penelitian menunjukkan bahwa kasus ankilostomiasis pada pasien anjing di Klinik Penyakit Dalarn RSH FKH-UGM selalu ada sepanjang tahun 2005. Dibanding dengan penyakit lainnya kasus ankilostomiasis anjing merupakan penyakit yang paling dominan, dan mencapai puncaknya (23,33%) pada bulan Oktober. Berdasar pada banyaknya kasus di sepanjang tahun dan dominannya penyakit ankilostomiasis pada anjing yang punya risiko untuk menular pada manusia, maka penyuluhan kepada pemilik anjing dan kewaspadaan untuk pencegahan penularan ke manusia sangat penting untuk diupayakan.
Isolasi Dan Identifikasi Staphylococcus aureus Pada Susu Anjing Di Wilayah Yogyakarta Guntari Titik Mulyani; Andriani Dwi Hapsari; Soedarmanto Indarjulianto; Tri Untari; Yanuartono .; Slamet Raharjo; Hary Purnamaningsih
Jurnal Sain Veteriner Vol 26, No 1 (2008): JUNI
Publisher : Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada bekerjasama dengan PB PDHI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22146/jsv.414

Abstract

.
FREKUENSI NAFAS, PULSUS DAN GERAK RUMEN SERTA SUHU TUBUH PADA KAMBING PERANAKAN ETTAWA SELAMA 3 BULAN PERTAMA KEHIDUPAN PASCA LAHIR. Irkham Widiyono; Hastari Wuryastuti; Soedarmanto Indarjulianto; Hary Purnamaningsih
Jurnal Sain Veteriner Vol 21, No 2 (2003): DESEMBER
Publisher : Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada bekerjasama dengan PB PDHI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2331.024 KB) | DOI: 10.22146/jsv.500

Abstract

.
GAMBARAN LEUKOSIT KUCING PENDERITA FELINE PANLEUKOPENIA Hary Purnamaningsih; Soedarmanto Indarjulianto; Yanuartono Yanuartono; Alfarisa Nururrozi; Irkham Widiyono; Rusmi Hayati
Jurnal Sain Veteriner Vol 38, No 2 (2020): Agustus
Publisher : Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada bekerjasama dengan PB PDHI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22146/jsv.50202

Abstract

Salah satu penyakit pada kucing dengan morbiditas dan mortalitas tinggi adalah Feline Panleukopenia (FPL). Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui  gambaran leukosit  kucing penderita Feline Panleukopenia. Penelitian ini menggunakan 27 ekor kucing jantan dan betina berbagai umur yang didiagnosa FPL berdasar Feline Parvo Virus Ag test. Semua kucing diambil darah secara lege artis sebanyak 1 ml, diperiksa jumlah leukositnya, kemudian dianalisis secara diskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa FPL lebih banyak diderita kucing jantan (59,3 % ) dari pada betina (40,7%). Kejadian FPL lebih banyak diderita kucing umur ≤ 6 bulan, yaitu 21 ekor (77,8 %) dibanding umur > 6 bulan, yaitu 6 ekor (22,2 %). Sebanyak 19 ekor (70,4 %) FPL mempunyai jumlah total leukosit < 1.000 sel/mm3, 4 ekor (14,8 %) 1.000 – 2.500 sel/mm3 dan 4 ekor yang lain (14,8 %) > 2.500 sel/mm3. Berdasarkan hasil penelitian ini disimpulkan bahwa sebagian besar penderita Feline Panleukopenia mengalami penurunan leukosit berat dengan prognosis infausta, terutama pada kucing jantan dan umur muda.