This study aims to analyze the narrative transformation in the adaptation process of Almira Bastari’s novel Home Sweet Loan into a film directed by Sabrina Rochelle Kalangie. The research focuses on the addition, omission, and varied changes of intrinsic narrative elements, namely plot, character, and setting. A qualitative descriptive method with a comparative approach was used, with data collected through reading the novel, watching the film, analyzing dialogue transcripts, and classifying narrative changes based on Eneste’s theory of adaptation. Data validity was ensured through source triangulation. The findings reveal 38 plot additions, 32 omissions, and 20 varied plot changes; 17 character additions, 17 omissions, and 1 varied change; as well as 13 setting additions, 13 omissions, and 3 varied changes. These findings indicate that the plot underwent the most transformations in the adaptation process, reflecting the necessity to adjust narrative structure to the visual nature and time constraints of the film medium while still preserving the core meaning of the story. ABSTRAKPenelitian ini bertujuan untuk menganalisis transformasi naratif dalam proses ekranisasi novel Home Sweet Loan karya Almira Bastari ke dalam film adaptasinya yang disutradarai oleh Sabrina Rochelle Kalangie. Fokus penelitian diarahkan pada aspek penambahan, pengurangan, dan perubahan bervariasi terhadap unsur intrinsik cerita, yaitu alur, tokoh, dan latar. Metode yang digunakan adalah deskriptif kualitatif dengan pendekatan komparatif, dengan data yang dikumpulkan melalui pembacaan novel, penontonan film, analisis transkrip dialog, dan klasifikasi perubahan naratif berdasarkan teori ekranisasi dari Eneste. Validitas data diperoleh melalui teknik triangulasi sumber. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 38 penambahan alur, 32 pengurangan alur, dan 20 perubahan bervariasi alur; 17 penambahan dan 17 pengurangan tokoh serta 1 perubahan bervariasi tokoh; serta 13 penambahan dan 13 pengurangan latar serta 3 perubahan bervariasi latar. Temuan tersebut menunjukkan bahwa alur merupakan unsur yang paling banyak mengalami transformasi dalam proses ekranisasi. Hal ini mencerminkan kebutuhan penyesuaian struktur cerita terhadap karakteristik media film yang bersifat visual dan memiliki keterbatasan durasi, namun tetap mempertahankan makna utama cerita.