Claim Missing Document
Check
Articles

Found 8 Documents
Search

Karakteristik Estuari di Muara Angke pada Musim Timur Radjawane, Ivonne Milichristi; Mughny, Grahadi Pandu; Napitupulu, Gandhi
Jurnal Kelautan Tropis Vol 27, No 1 (2024): JURNAL KELAUTAN TROPIS
Publisher : Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14710/jkt.v27i1.20679

Abstract

Estuaries are important transitional environments between freshwater and marine ecosystems. These areas are often centers of economic activity, environmental sustainability and natural resources. In this context, this study aims to investigate the estuary characteristics of Muara Angke, particularly in terms of changes in water level, salinity, and the influence of river flow in the face of changing tidal conditions. Research on estuary characteristics in one of the Ciliwung River Estuaries was conducted on August 9-10, 2015. The research area is Muara Angke, North Jakarta, DKI Jakarta Province. The measurement point consists of 11 stations starting from point A1 at the mouth of the estuary to point A11 which is the farthest station point from the estuary, with a distance of 200 m between stations. Oceanographic parameter measurements were made at 3 depths (0.2h; 0.6h and 0.8h) with 4 tidal conditions (towards the tide, tide, towards the ebb and ebb). Angke Estuary has a diurnal tidal type with a range of water levels between 0.98 m - 1.41 m and an average discharge of 7.75 m3/s during the measurement time. The results showed that the Angke Estuary has a partially mixed estuary type with salinity values at the surface increasing relatively small to the middle layer and also the bottom layer decreasing relatively small to the middle layer which indicates vertical mixing from the bottom to the surface. In addition, based on the estuary numbers (  = 0.337;  = 0.279;  = 0.593), there is a freshwater flow that is smaller or equal to the tidal influence. Salinity intrusion occurs as far as 2 km when conditions are towards high tide and  high tide. Estuari merupakan lingkungan peralihan yang penting antara ekosistem air tawar dan laut. Daerah ini sering kali menjadi pusat kegiatan ekonomi, keberlanjutan lingkungan, dan sumber daya alam. Dalam konteks ini, penelitian ini bertujuan untuk menginvestigasi karakteristik estuari Muara Angke, khususnya dalam hal perubahan tinggi muka air, salinitas, dan pengaruh aliran sungai dalam menghadapi perubahan kondisi pasang surut. Penelitian mengenai karakteristik estuari di salah satu Muara Sungai Ciliwung telah dilakukan pada tanggal 9-10 Agustus 2015. Daerah penelitian adalah Muara Angke, Jakarta Utara Provinsi DKI Jakarta. Titik pengukuran terdiri dari 11 stasiun mulai dari titik A1 yang berada di mulut muara sampai dengan titik A11 yang merupakan titik stasiun terjauh dari muara, dengan jarak antar stasiunnya adalah 200 m. Pengukuran parameter Oseanografi dilakukan terhadap 3 kedalaman (0,2 ; 0,6  dan 0,8 ) dengan 4 kondisi pasang surut (menuju pasang, pasang, menuju surut dan surut). Muara Angke memiliki tipe pasang surut diurnal dengan kisaran tinggi muka air antara 0,98 m – 1,41 m dan debit rata-rata sebesar 7,75 m3/s selama waktu pengukuran. Hasil penelitian menunjukan bahwa Muara Angke memiliki tipe estuari tercampur sebagian (partially mixed) dengan nilai salinitas di permukaan yang bertambah relatif kecil ke lapisan tengah dan juga lapisan dasar yang berkurang relatif kecil ke lapisan tengah yang menandakan adanya percampuran secara vertikal dari dasar ke permukaan. Selain itu berdasarkan bilangan-bilangan estuari (  = 0,337;  = 0,279;  = 0,593) menunjukan adanya aliran air tawar yang besarnya lebih kecil atau sama dengan pengaruh pasang surutnya. Intrusi salinitas terjadi sejauh 2 km ketika kondisi menuju pasang dan pasang. 
Ketidakseragaman Sebaran Spasial Variabilitas Musiman Eddy di Perairan Barat Laut Indonesia Kartadikaria, Aditya Rakhmat; Napitupulu, Gandhi; Rangga, Kalaka; Radjawane, Ivonne Milichristi; Abdullah, Faizal Ade Rahmahuddin
Jurnal Kelautan Tropis Vol 27, No 1 (2024): JURNAL KELAUTAN TROPIS
Publisher : Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14710/jkt.v27i1.20810

Abstract

Sea level anomaly (SLA) data spanning from 1993 – 2022 were used to analyze the characteristic of eddy current in Northwest Indonesian. An improved winding angle method was used and was able to detect 1663 anticyclonic eddies (AEs) and 1748 cyclonic eddies (CEs). The average eddy lifespan is approximately four weeks. The eddy in the West Indonesian Ocean has a radius ranging from 40 – 100 km and a high number of mesoscale eddy (radius more than 100 km) detected in the northern area of West Indonesian Ocean (4° N - 10° N). The eddy kinetic energy (EKE) increased proportionally with their radius, whereas the eddy vorticity decreased proportionally with their increasing radius. The seasonal cycles of eddy circulation in the west Indonesian Ocean were differ for both AEs and CEs, where AEs were dominated during east monsoon season (JJA) and CEs came with longer periods from November to March, yet for both AEs and CEs they have similar radius per month. During weak periods of both eddies, their meridional distributions differ; CEs tend to be formed in relatively lower latitude, while AEs were concentrated in relatively higher latitude. Data anomali permukaan laut/sea level anomaly (SLA) dalam kurun waktu 1993 – 2022 digunakan untuk mempelajari karakteristik sirkulasi arus eddy di perairan barat laut Indonesia. Metode Winding Angles yang telah dimodifikasi mampu mendeteksi 1663 anticyclonic eddies (AE) dan 1748  cyclonic eddies (CE). Rata-rata umur eddy yang terdeteksi adalah sekitar empat minggu. Mayoritas sirkulasi arus eddy memiliki radius 40 – 100 km dan eddy dengan radius berskala meso (lebih dari 100 km) banyak terkonsentrasi di bagian utara (4° N - 10° N) perairan barat laut Indonesia. Nilai energi kinetik eddy (EKE) bertambah sebanding dengan pertambahan radius, sedangkan nilai vortisitas berbanding terbalik dengan radius. Sirkulasi arus eddy di perairan barat laut Indonesia pada musim timur (JJA) didominasi oleh AE , sedangkan CE mendominasi di musim barat (DJF) dengan periode yang lebih panjang dari November hingga Maret, namun dengan rata-rata radius yang sama setiap bulannya. Pada saat periode di mana kejadian eddy minimum, ditemukan perbedaan letak distribusi meridional eddy bervortisitas tinggi yang menunjukkan CE lebih didukung pembentukannya pada lintang yang lebih rendah daripada AE. 
ZOOPLANKTON DISTRIBUTION FROM BACKSCATTER DATA OF ADCP INSTRUMENT IN WEST SUMATRA WATERS Napitupulu, Gandhi; Farihah, Rizqi Ayu; Manik, Henry Munandar; Larasati, Oktavira Dwi Demia; Napitupulu, Moses; Bernawis, Lamona Irmudyawati; Radjawane, Ivonne Milichristi; Kusmanto, Edi
BULLETIN OF THE MARINE GEOLOGY Vol 39, No 2 (2024)
Publisher : Marine Geological Institute of Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32693/bomg.39.2.2024.871

Abstract

Acoustic Doppler Current Profiler (ADCP) conventionally used to monitor ocean current profiles and potentially detect zooplankton distribution remains largely unexplored. Zooplankton are key consumers in the marine food chain, therefore understanding their distribution is critical. This study aims to map the distribution of zooplankton in West Sumatra waters using ADCP backscatter data. Data analyzed encompass ocean current measurements, backscatter, and conductivity-temperature-depth (CTD) profiles collected from March 1 to 3, 2017. Raw ADCP digital counts were converted into mean volume backscattering strength (MVBS) in dB using sonar equations, proportional to zooplankton biomass. The conversion process involved corrections for sound attenuation due to distance and water absorption, ADCP transducer angle correction, and noise correction. Processing results revealed zooplankton distribution in raw ADCP data ranging from 20 to 160 counts and in MVBS data spanning -140 dB to -40 dB. MVBS values derived from ADCP acoustic signal processing were filtered within the -100 dB to -60 dB range, representing the zooplankton backscatter range. Zooplankton distribution was observed at depths of 0-300 m. Vertical zooplankton distribution was generally high in the 100-200 m layer and decreased at 0-100 m and 200-300 m. This is attributed to the influence of the Equatorial Undercurrent transporting zooplankton biomass from the Indian Ocean to West Sumatra waters at depths of 100-200 m, characterized by high salinity (34.6-35.2 PSU) and cold temperatures (19°-21°C). This study demonstrates the utility of ADCP in observing zooplankton distribution based on their backscatter values and the influence of ocean currents in transporting zooplankton biomass.
VARIABILITY OF SEA SURFACE TEMPERATURE AND SALINITY IN MAKASSAR STRAIT DURING THE LAST GLACIAL MAXIMUM Larasati, Oktavira Dwi Demia; Hendrizan, Marfasran; Rachmayani, Rima; Napitupulu, Gandhi
BULLETIN OF THE MARINE GEOLOGY Vol 39, No 2 (2024)
Publisher : Marine Geological Institute of Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32693/bomg.39.2.2024.882

Abstract

Indonesian Throughflow (ITF), which is part of the global thermohaline circulation, is known to play an important role in the heat exchange between the Pacific and Indian Oceans. The flow of the ITF is highly complex, it depends on temperature and salinity. This study presents a proxy study from 25,000–18,000 years ago from two sites that are connected by the Indonesian Throughflow in the Makassar Strait. Oceanographic characteristics, including Sea Surface Temperature (SST) and Sea Surface Salinity (SSS) were reconstructed and analyzed during the Last Glacial Maximum (LGM) period. A 295 cm marine sediment core coded SO217-18522 (1°24.106'N; 119°04.781'E, water depth 978 m) and SO217-18519 (0°34.329'N; 118°06.859'E, water depth 1658 m) from the SONNE 217 research cruise in 2011 was used as research material. Oxygen isotope  analysis, planktonic foraminiferal Mg/Ca geochemistry, and radiocarbon dating were used in this study. The SST reconstruction shows that the temperature during the LGM reach the minimum during ~20 ka BP and the SST value was significantly lower by ~2–3 °C compared to the Late Holocene value. The SST also shows significant cooler in marine sediment SO2017-8519 located in the southern site compared to the northern site. Salinity reconstructions during the LGM shows that SSS value was 0.82–1.13 psu higher than in the Holocene. The south–north gradients of SST and SSS in the Makassar Strait were larger over the 23.2–24.2 ka BP (SST gradient by 0.5–1 °C and SSS gradien by 1–1.7 psu) compared to the Late Holocene. The increase in SST and SSS gradients during the ~20 ka BP likely indicates a weakened intensity of the surface ITF relative to conditions during the Late Holocene.
Pemodelan Sebaran dan Waktu Tinggal Limbah Panas di Teluk Bontang Suprijo, Totok; Romawan, Francis Seravino; Nur, Ashadi Arifin; Mandang, Idris; Napitupulu, Gandhi
Jurnal Teknik Sipil Vol 31 No 3 (2024): Jurnal Teknik Sipil - Edisi Desember
Publisher : Institut Teknologi Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.5614/jts.2024.31.3.9

Abstract

Abstract The water mass exchange process between a bay and an open sea can flush effluents or pollutants that enter the bay. This paper describes a two-dimensional numerical modelling study on thermal water dispersion due to hydrodynamic processes in The Bontang Bay and the bay flushing capability. The numerical model used is Delft3D. Model input data was including bathymetry, water elevation, discharge of seawater intake and outfall, wind speed, and temperature of the thermal water effluent discharged into Bontang Bay. The modelling results were verified with observation data. Verification results shows that error of water elevation is 0.07 m, while current speed error is 0.26 m/s. Dispersion modeling results indicate that 40°C thermal water discharged at a rate of 24.6 m³/s into Bontang Bay has increased the water temperature in the bay by 1°C to 2°C. This increase in temperature potentially has a negative impact on aquatic ecosystems. An increase in water temperature of 1°C and 2°C covers areas of 19.32 km² and 7.26 km² in the bay, respectively. The residence time of thermal water in Bontang Bay is 3 days and 12 hours before flushing. Keywords: Thermal dispersion, exchange process, residence time, flushing time
Karakteristik dan Variasi Musiman Eddy di Perairan Pasifik Bagian Barat Laut Akbar, M. Apdillah; Radjawane, Ivonne Milichristi; Nurdjaman, Susanna; Napitupulu, Gandhi; Hatmaja, Rahaden Bagas
Buletin Oseanografi Marina Vol 14, No 1 (2025): Buletin Oseanografi Marina
Publisher : Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14710/buloma.v14i1.62747

Abstract

Samudra Pasifik barat laut merupakan wilayah yang penting secara geografis dan ekologis, Samudra ini dilalui North Equatorial Current (NEC), South Equatorial Current (SEC), dan North Equatorial Counter Current (NECC), pertemuan arus-arus tersebut dapat mengakibatkan terbentuknya eddy. Eddy merupakan pola sirkulasi air berputar yang memainkan peran penting dalam transpor massa, energi, dan nutrien di lautan. Eddy di belahan bumi utara (BBU) yang bergerak berlawanan jarum jam disebut siklonik eddy (CE) dan yang bergerak searah jarum jam disebut antisiklonik eddy (AE). Penelitian ini bertujuan untuk menginvestigasi karakteristik dan variasi musiman eddy di perairan Pasifik barat laut. Data harian anomali muka laut dan kecepatan geostropik dari satelit altimetri selama periode tahun 2003 hingga 2022 dianalisis untuk mengidentifikasi eddy berdasarkan ukuran, masa hidup, dan distribusi spasialnya. Deteksi eddy menggunakan metode hybrid antara SLA kontur tertutup dan parameter Okubo-Weiss. Ditemukan 435 eddy di perairan Pasifik barat laut dengan AE sebanyak 201 dan CE sebanyak 234 dalam kurun waktu 20 tahun. Hasil menunjukkan pola musiman yang jelas dalam distribusi spasial dan kekuatan eddy. Musim timur memiliki aktivitas eddy yang lebih tinggi daripada musim barat, kemungkinan terkait dengan faktor iklim regional seperti perubahan suhu permukaan laut dan pola angin musiman. Penelitian ini memberikan wawasan penting tentang dinamika eddy di Pasifik barat laut dan dapat dikembangkan untuk pengelolaan sumber daya laut dan mitigasi risiko bencana alam di wilayah tersebut.
Variabilitas Bulanan Thermal front di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia 714 (Laut Banda) Lukman, Annisa Aulia; Napitupulu, Gandhi; Tarya, Ayi; Pranowo, Widodo; Hatmaja, Rahaden Bagas; Habibullah, Ahmad Dhuha
JURNAL GEOLOGI KELAUTAN Vol 23, No 1 (2025)
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32693/jgk.23.1.2025.897

Abstract

Penelitian tentang sebaran spasial thermal front di perairan Indonesia pada dasarnya telah banyak dilakukan. Namun, kajian yang secara khusus menganalisis dinamika thermal front akibat arus sejajar pantai, yang memicu fenomena Ekman pumping, dan arus eddy masih terbatas. Arus sejajar pantai dapat memicu Ekman pumping, sedangkan Ekman pumping dan eddy mesoskal dapat menyebabkan naiknya massa air bersuhu rendah dari lapisan bawah ke permukaan laut. Proses ini memicu pembentukan thermal front, yang banyak ditemukan di Laut Banda. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis variabilitas bulanan dinamika thermal front di Laut Banda yang dipengaruhi oleh arus sejajar pantai dan eddy. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Suhu Permukaan Laut (SPL) dari tahun 2006 hingga 2020. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata kejadian thermal front yang terdeteksi adalah sebanyak 1.385 kejadian per bulan berdasarkan jumlah piksel, dan 17 kejadian berdasarkan jumlah poligon. Jumlah maksimum kejadian thermal front terjadi pada bulan Desember (2.416 kejadian), dan jumlah minimum terjadi pada bulan November (883 kejadian). Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa eddy antisiklonik (AE) dan eddy siklonik (CE), terjadi dengan durasi rata-rata 11,419 hari untuk AE dan 11,812 hari untuk CE. Kedua fenomena ini berkaitan dengan penurunan SPL, peningkatan konsentrasi klorofil-a permukaan laut, serta penurunan tinggi muka laut, yang menunjukkan terjadinya 
Variasi Musiman Spasial-Vertikal Suhu dan Salinitas di Teluk Tomini dan Laut Banggai Yuliardi, Amir Yarkhasy; Napitupulu, Gandhi; Prayogo, Luhur Moekti; Rahmalia, Diah Ayu; Sari, Ratna Juita; Nugroho, Agung Tri
Jurnal Kelautan dan Perikanan Indonesia Vol 5, No 2: Agustus (2025)
Publisher : Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24815/jkpi.v5i2.47474

Abstract

Teluk Tomini merupakan salah satu wilayah semi-tertutup di Indonesia yang memiliki karakteristik oseanografi kompleks akibat pengaruh sirkulasi regional dan faktor musiman. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis variasi musiman, spasial, dan vertikal suhu serta salinitas di Teluk Tomini sepanjang tahun 2020 dengan menggunakan data reanalisis oseanografi dari produk Copernicus Marine Environment Monitoring Service (CMEMS) yang memiliki resolusi spasial 0,083 dan 50 lapisan vertikal. Analisis dilakukan terhadap distribusi suhu dan salinitas permukaan, penampang vertikal sepanjang lintang 0 antara 120125BT, serta profil vertikal pada tiga titik pengamatan (121BT, 123BT, dan 125BT). Hasil menunjukkan bahwa suhu permukaan laut (SPL) mencapai nilai maksimum 30C pada musim peralihan I, dan minimum 28C pada musim timur. Distribusi salinitas memperlihatkan gradasi secara zonal, dengan nilai yang lebih tinggi di bagian timur (34,5 PSU) akibat intrusi massa air asin dari Laut Banda dan Laut Maluku. Secara vertikal, terdapat stratifikasi termohalin yang mencolok hingga kedalaman 100 m, dengan kolom air yang lebih homogen di wilayah timur. Arus permukaan memainkan peran penting dalam membentuk distribusi spasial parameter-parameter tersebut. Penelitian ini menegaskan pentingnya pengaruh dinamika musiman dan intrusi regional terhadap struktur termohalin di Teluk Tomini. Temuan ini memberikan dasar penting bagi pemahaman lebih lanjut mengenai proses oseanografi fisis serta implikasinya terhadap ekosistem laut dan perencanaan pengelolaan sumber daya perikanan di wilayah ini.