Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search

Suitability Isi UU No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syari’ah dengan Ajaran Hukum Islam Indah, Usna Nur; Parapat, Bagus Hamdani; Maulana, Arswendo Tiyo; Batubara, Enika Diana
Jurnal Ilmiah Wahana Pendidikan Vol 9 No 21 (2023): Jurnal Ilmiah Wahana Pendidikan
Publisher : Peneliti.net

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.5281/zenodo.10091088

Abstract

A bank or banking institution is a financial intermediary that is typically established with the authority to accept deposits, lend money, and issue notes known as promissory notes or banknotes. Banks can be divided into two types based on their operational activities: conventional banks and Shariah banks. An Islamic bank is a bank that operates according to Shariah principles. The implementation of Shariah principles is a key differentiator from conventional banks. In essence, Shariah principles refer to Islamic Shariah, which is mainly guided by the Quran and Hadith. The rapid development of Islamic banking promises a favorable outlook. The existence of Islamic banks in Indonesia officially began in 1992 with the enactment of Law No. 7 on Banks, but since the law did not provide a sufficient legal basis for the development of Islamic banks, the government passed a new law specifically regulating Sharia Banking, namely Law No. 21 of 2008.
ELECTORAL INTEGRITY AT STAKE? ISLAMIC LAW AND INDONESIAN LEGISLATION ON VOTE TRADING Harahap, Najwa Khalilah; Marpaung, Arifin; Hafsah, Aulia; Indah, Usna Nur; Nabilah, Siti Luthfiyah
Al-Risalah VOLUME 24 NO 1, MAY (2024)
Publisher : Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24252/al-risalah.vi.48967

Abstract

This study aims to analyse the comparison of buying and selling voting rights in general elections from the perspective of Islamic law and Indonesian national law. The buying and selling of voting rights is an act that involves the exchange of voting rights for a certain reward, which is often considered a form of ethical and legal violation. In the context of Islamic law, this practice is viewed through the principles of sharia that emphasise justice, benefit, and the prohibition against buying and selling that contains elements of usury and gharar. Meanwhile, in the perspective of Indonesian national law, the buying and selling of voting rights is regulated by the law governing general elections, which confirms that the practice is illegal and subject to criminal sanctions. This study uses a qualitative method with a descriptive-analytical approach to outline the views of the two legal systems on the buying and selling of voting rights. The results show that in both Islamic law and Indonesian national law, the buying and selling of voting rights is viewed as illegitimate and violates the principles of justice. This research provides recommendations for increasing public understanding and awareness of the importance of maintaining the integrity of voting rights in general elections as well as stricter law enforcement to prevent the practice of buying and selling voting rights.
PERAN ADVOKAT DALAM MEWUJUDKAN KEADILAN SOSIAL: STUDI KASUS PEMBERIAN BANTUAN HUKUM BAGI MASYARAKAT MISKIN Nakita, Delvi Salwa; Indah, Usna Nur; Pane, Aulia Hafsah; Nasution, Julaika; Parapat, Bagus Hamdani; Lubis, Hilman Fauzi
Causa: Jurnal Hukum dan Kewarganegaraan Vol. 8 No. 6 (2024): Causa: Jurnal Hukum dan Kewarganegaraan
Publisher : Cahaya Ilmu Bangsa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.3783/causa.v8i6.7514

Abstract

Artikel ini membahas peran advokat dalam mewujudkan keadilan sosial melalui pemberian bantuan hukum kepada masyarakat miskin. Keadilan sosial merupakan prinsip dasar yang harus diwujudkan dalam sistem hukum Indonesia, sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi. Advokat, sebagai bagian dari penegak hukum, memiliki tanggung jawab moral dan profesional untuk menjamin akses terhadap keadilan bagi setiap individu, termasuk kelompok rentan yang tidak mampu secara ekonomi. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus untuk menganalisis peran advokat dalam pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma, berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa advokat tidak hanya bertugas memberikan pendampingan hukum di pengadilan, tetapi juga memainkan peran penting dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendidikan hukum dan penyadaran hak asasi. Namun, implementasi bantuan hukum ini masih menghadapi sejumlah hambatan, seperti distribusi advokat yang tidak merata, perilaku curang dari pihak tertentu, dan kesadaran hukum yang rendah di kalangan masyarakat miskin. Oleh karena itu, diperlukan sinergi antara pemerintah, lembaga bantuan hukum, dan masyarakat untuk mengoptimalkan pemberian bantuan hukum. Artikel ini menekankan bahwa advokat memiliki peran strategis dalam menciptakan sistem hukum yang inklusif dan berkeadilan, sehingga mampu mendorong terciptanya keadilan sosial secara menyeluruh.
NAFKAH ISTRI DAN ANAK MENURUT WAHBAH AZ-ZUHAILI DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM Husaini, Fakhri; Indah, Usna Nur; Mawaddah, Nadiyah; Saputra, Risky
Causa: Jurnal Hukum dan Kewarganegaraan Vol. 9 No. 5 (2024): Causa: Jurnal Hukum dan Kewarganegaraan
Publisher : Cahaya Ilmu Bangsa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.3783/causa.v9i5.8453

Abstract

Nafkah adalah sesuatu yang harus diberikan untuk bertahan hidup. Di dalam rumah tangga pemberian nafkah oleh seorang suami kepada anak dan istrinya sangat penting demi keberlangsungan rumah tangga yang baik. Nafkah hukumnya wajib diberikan suami kepada anak dan istrinya sebagai tanggung jawabnya sebagai kepala rumah tangga. Hal ini juga termaktub pada pada Kompilasi Hukum Islam pada pasal 80 yakni suami adalah pembimbing terhadap istri dan keluarganya. Serta suami juga harus memenuhi kebutuhan anak dan istrinya sesuai dengan penghasilan semampunya berupa nafkah, makanan, pakaian, tempat tinggal, biaya perabotan rumah tangga serta biaya pendidikan anak. Tafsir al-Quran Surah Al-Baqarah ayat 233 memperjelas bahwa setiap ayah wajib memberi nafkah kepada ibu, baik sandang maupun pangan yang diperlukan dalam batas wajar. Ibu adalah wadah bagi anak-anaknya dan ayah adalah wadah bagi mereka, baik ibu maupun anak. Oleh karena itu, ayah mempunyai kewajiban untuk menafkahi, memelihara, dan merawat mereka yang berada di bawah tanggung jawabnya. Dalam kitab karya Syekh Wahbah Az-Zuhaili yang berjudul Fiqhul Islam Wa Adillathu, dijelaskan tentang ketentuan nafkah bagi istri dan anak, diantaranya kewajiban suami untuk mengurus anak dan istri dengan memberi mereka makanan, pakaian, tempat tinggal, perabotan dan, jika perlu, bahkan pembantu pun disediakan, tergantung pada urf daerah tempat tinggal keluarga mereka.
NIKAH MUT’AH MENURUT PANDANGAN AHLI SUNAH WALJAMAAH DAN SYIAH IMAMIYAH: ANALISIS SEBAB IKTILAF DAN QAUL RAJIH Indah, Usna Nur; Husaini, Fakhri; Mawaddah, Nadiyah; Saputra, Risky
Causa: Jurnal Hukum dan Kewarganegaraan Vol. 9 No. 5 (2024): Causa: Jurnal Hukum dan Kewarganegaraan
Publisher : Cahaya Ilmu Bangsa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.3783/causa.v9i5.8454

Abstract

Nikah mut'ah telah menjadi fenomena dan bahan kontroversi di kalangan ulama Ahli Sunah Waljamaah dan Syiah Imamiyah. Kontroversi ini muncul karena nikah mut'ah merupakan nikah perjanjian dengan jangka waktu yang telah ditetapkan. Berdasarkan ketentuan ini, para ahli hukum Islam melarang dan mengharamkan nikah mut'ah. Akan tetapi, Syiah justru memperbolehkan bahkan menganjurkan nikah tersebut. Selain itu, nikah mut'ah memiliki aturan dan syarat yang berbeda dengan nikah daim (permanen). Perbedaan ini menjadi salah satu alasan mengapa penerapan hukum ini menjadi kontroversi. Kontroversi juga terjadi karena adanya perbedaan pemahaman tentang dalil nikah mut'ah antara kalangan Ahli Sunah Waljamaah (Aswaja) dan Syiah Imamiyah. Sebagian besar ulama Aswaja berpendapat bahwa banyak dalil yang menyatakan bahwa nikah mut'ah pernah dibolehkan namun kemudian dihapus dan dilarang keras oleh Rasulullah Saw. Akan tetapi, menurut Syiah Imamiyah, Nabi Saw. tidak pernah melarang untuk melakukan nikah mut'ah, dan larangan ini hanya ada pada masa Umar bin Khattab. Di sinilah nikah mut'ah menjadi kontroversial, dan dalil-dalilnya perlu dikaji secara mendalam dan komprehensif.