Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search
Journal : Jurnal Harkat : Media Komunikasi Gender

REKONSTRUKSI HUKUM KELUARGA MELALUI PENDIDIKAN PRA-NIKAH: ANALISIS PERBANDINGAN KERANGKA HUKUM INDONESIA DAN MALAYSIA Aripin, Jaenal; Hakim, Maman Rahman; Kamarusdiana, Kamarusdiana; Ilahi, M. Ridho
Jurnal Harkat : Media Komunikasi Gender JURNAL HARKAT : MEDIA KOMUNIKASI GENDER, 21(1), 2025
Publisher : Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA), Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15408/harkat.v21i1.45090

Abstract

Abstract. The regulation of premarital education in Indonesia has not succeeded in reducing the divorce rate in Indonesia. Weak regulations, unclear standardization, and the nature of the program that is recommended and only required in 2024 which tends to be formalistic are the main factors. This study aims to analyze the regulation of pre-marital education and its effect on divorce in Indonesia and Malaysia. The researcher used a qualitative method by reviewing various literatures and data obtained from journal articles, books, and news. The results show the need to reconstruct the law to tighten the provisions, centralize management at the Ministry of Religious Affairs through BP4, and make premarital education a mandatory requirement that is not just a formalistic implementation. Malaysia's experience, which has successfully reduced the divorce rate, can be emulated even though it is still constrained in its implementation, which needs to be addressed by conducting socialization related to the importance of the program, evaluating the duration of the program, and evaluating the resource persons or presenters. Thus, future Indonesian and Malaysian pre-marital education regulations are expected to be able to prepare couples to form a socially, emotionally and spiritually healthy family to prevent long-term social dysfunction, one of which is divorce. Abstrak. Regulasi pendidikan pranikah belum berhasil menekan angka perceraian di Indonesia. Lemahnya regulasi, ketidakjelasan standarisasi, serta program yang bersifat anjuran dan baru diwajibkan pada 2024 yang cenderung formalistik menjadi faktor utama. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan analisis terhadap regulasi mengenai pendidikan pra nikah dan pengaruhnya terhadap perceraian di Indonesia dan Malaysia. Peneliti menggunakan metode kualitatif dengan wawancara dan mengkaji berbagai literatur serta data yang diperoleh dari artikel jurnal, buku, berita, dan data statistik. Hasil penelitian menunjukkan perlunya melakukan rekonstruksi ke tingkat undang-undang guna memperketat ketentuan, memusatkan pengelolaan pada Kementrian Agama Melalui BP4, serta menjadikan pendidikan pranikah sebagai syarat wajib yang tidak hanya sekedar pelaksanaan yang formalistik. Pengalaman Malaysia, yang sukses menekan angka perceraian dapat dicontoh meski masih terkendala dalam implementasinya yang perlu untuk dibenahi dengan melakukan sosialisasi terkait pentingnya program, evaluasi durasi program, serta evaluasi bagi para narasumber atau pemateri. Dengan demikian regulasi pendidikan pra nikah Indonesia dan Malaysia di masa mendatang diharapkan mampu menyiapkan pasangan yang sehat secara sosial, emosional, dan spiritual untuk mencegah disfungsi sosial jangka panjang yang salah satunya adalah perceraian. 
RELASI TOKOH MASYARAKAT DAN LEMBAGA NEGARA DALAM PENCEGAHAN PERKAWINAN USIA DINI PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2019 Kamarusdiana, Kamarusdiana; Rasyid, Harun; Ilahi, M. Ridho; Shomad, Bisri Abd
Jurnal Harkat : Media Komunikasi Gender JURNAL HARKAT : MEDIA KOMUNIKASI GENDER, 20(1), 2024
Publisher : Center for Gender and Child Studies (Pusat Studi Gender dan Anak) LP2M UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15408/harkat.v20i1.41232

Abstract

Abstract. The public's understanding of the legal provisions regarding the minimum marriage age remains varied, with many still holding limited knowledge. Some communities continue to follow norms and traditions that allow marriage at a younger age, leading to conflicts with existing legal frameworks. This study aims to assess the public's knowledge of early marriage age limits and analyze the efforts made by religious and community leaders, along with government institutions, in preventing early marriages in the Thousand Islands. The research utilizes a qualitative method, drawing data from literature reviews and interviews with community figures and local government representatives. The results indicate that religious leaders play a crucial role by providing education through Friday sermons and lectures, while community leaders emphasize the importance of delaying marriage until a more mature age through socialization programs. On the government side, policies are implemented based on Law No. 16 of 2019, which raises the minimum marriage age. The findings underscore the significance of collaboration between community leaders and government institutions in overcoming cultural challenges and promoting legal awareness. The implications of this study suggest that a more integrated approach involving continuous public education and policy enforcement is essential to further reduce early marriage cases. Abstrak. Pemahaman masyarakat terkait ketentuan hukum mengenai usia minimum pernikahan masih bervariasi, dengan banyak yang masih memiliki pengetahuan terbatas. Beberapa komunitas masih mengikuti norma dan tradisi yang memperbolehkan pernikahan di usia yang lebih muda, sehingga menyebabkan konflik dengan kerangka hukum yang berlaku. Penelitian ini bertujuan untuk menilai pengetahuan masyarakat tentang batas usia pernikahan dini dan menganalisis upaya yang dilakukan oleh tokoh agama, tokoh masyarakat, serta lembaga pemerintah dalam mencegah pernikahan dini di Kepulauan Seribu. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan mengumpulkan data dari tinjauan literatur dan wawancara dengan tokoh masyarakat serta perwakilan pemerintah setempat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tokoh agama memainkan peran penting melalui edukasi dalam khutbah Jumat dan ceramah, sementara tokoh masyarakat menekankan pentingnya menunda pernikahan hingga usia yang lebih matang melalui program sosialisasi. Dari sisi pemerintah, kebijakan diterapkan berdasarkan Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 yang menaikkan usia minimum untuk menikah. Temuan ini menekankan pentingnya kolaborasi antara tokoh masyarakat dan lembaga pemerintah dalam mengatasi tantangan budaya dan meningkatkan kesadaran hukum. Implikasi penelitian ini menyarankan pendekatan yang lebih terintegrasi dengan edukasi masyarakat yang berkelanjutan dan penegakan kebijakan yang lebih kuat untuk mengurangi kasus pernikahan dini.