Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

Responsible Corporate Officer Doctrineas a New Idea in The National Criminal Code (KUHP) on Criminal Liability in Corporations Ilahi, M. Ridho; Rahma, Meida Adita; Lutfiya Nitha, Fitha Ayun
YUDISIA : Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam Vol 15, No 1 (2024): YUDISIA : Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam
Publisher : Program Studi Hukum Keluarga Islam

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21043/yudisia.v15i1.22306

Abstract

AbstractThe National Criminal Code, which was recently passed, contains several new provisions that have not been regulated in the Criminal Code used to date, while the provisions in question are corporate criminal liability. The focus of this research is criminal liability imposed on management (executive/superior) in a corporation in terms of article 48 letters d and e. In order to analyze the laws and regulations which are used as the main basis of the research, the researcher uses a normative method by using several international and national sources in the form of theories and explanations that are relevant to the article which is the focus of the discussion of this research. Based on this research, it can be understood that one of the concepts of criminal responsibility in the corporate sector regulated in the National Criminal Code is the responsible corporate officer (RCO) doctrine. However, this model of criminal responsibility is not fully adhered to in the National Criminal Code. Even the RCO concept will look vague if you don't review articles 46 and 49 of the National Criminal Code. In addition, criminal liability based on (RCO) needs to consider AD/ART in corporations considering that this type of accountability model is closely related to sectors within corporations.Abstrak          KUHP Nasional yang belum lama ini disahkan memuat beberapa ketentuan baru yang belum diatur pada KUHP yang digunakan sampai saat ini. Adapun ketentuan yang dimaksud adalah pertanggungjawaban pidana korporasi. Adapun fokus pada penelitian ini adalah pertanggungjawaban pidana yang dibebankan pada pengurus (eksekutif/atasan) dalam korporasi yang ditinjau dari pasal 48 huruf d dan e. Guna menganalisis aturan perundang-undangan yang dijadikan landasan utama penelitian, peneliti menggunakan metode normatif dengan menggunakan beberapa sumber baik internasional maupun nasional berupa teori dan penjelasan yang relevan dengan pasal yang menjadi fokus pembahasan penelitian ini. Berdasarkan penelitian ini dapat dipahami  Salah satu konsep pertanggungjawaban pidana dalam sektor korporasi yang diatur pada KUHP Nasional adalah doktrin responsible corporate officer (RCO). Namun model pertanggungjawaban pidana tersebut tidak dianut sepenuhnya pada KUHP Nasional bahkan konsep RCO akan terlihat samar jika tidak meninjau pada pasal 46 dan 49 KUHP Nasional. Selain itu pertanggungjawaban pidana berdasarkan (RCO) perlu mempertimbangkan AD/ART dalam korporasi mengingat model pertanggungjawaban jenis ini erat kaitannya dengan sektoral dalam korporasi. 
Fatwa Institutions in Handling Religious Blasphemy Crimes in Indonesia and Malaysia Ilahi, M. Ridho; Irfan, M. Nurul; Kamarusdiana, Kamarusdiana; Hidayatulloh, Hidayatulloh; Zulfa, Eva Achjani
Al-Ahkam Vol 34, No 1 (2024): April
Publisher : Faculty of Sharia and Law, Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21580/ahkam.2024.34.1.18624

Abstract

The position of fatwa institutions in cases of blasphemy by cult groups is often seen as representing only the majority Muslims and blaming minority Muslims, as in Indonesia, or seen as a tool to suppress anti-government groups, as in Malaysia. This study aims to explain the position of the Indonesian Ulema Council (MUI) and Jawatankuasa Fatwa in handling heresy, including the reasons behind the differences in the positions and roles of the two institutions. Researchers use qualitative methods with a comparative legal approach. This study found that MUI's heretical fatwas had no legal force, the central MUI has the authority to enact heretical fatwas within MUI institutions, but not absolutely to respond to national laws, and not play a role in the criminal justice system. Meanwhile, Jawatankuasa Fatwa Kebangsaan (JFK) has the force of law with certain conditions, however, the federal state Jawatankuasa Fatwa has the authority to determine heretical fatwas to respond and strengthen state regulations (blasphemy laws). This research can be used as a reference for law enforcement in handling blasphemy cases by considering the views of MUI and Jawatankuasa Fatwa, which are regulated adequately by laws and regulations.
OPTIMALISASI IMPLEMENTASI UU TPKS: TANTANGAN DAN SOLUSI DALAM UPAYA PENGHAPUSAN KEKERASAN SEKSUAL DI INDONESIA Nitha, Fitha Ayun Lutvia; Masyhar, Ali; Cholidin, Achmad; Ilahi, M. Ridho; Bahriyah, Amalina Zukhrufatul
Masalah-Masalah Hukum Vol 53, No 1 (2024): MASALAH-MASALAH HUKUM
Publisher : Faculty of Law, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14710/mmh.53.1.2024.90-100

Abstract

Menurut data Komnas Perempuan tahun 2024, kekerasan seksual Indonesia masih tinggi, dengan 25.330 kasus dengan korban perempuan sejumlah 21.952 orang. Padahal pemerintah telah lama terapkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 (UU TPKS) sebagai upaya penghapusan dan pencegahan Crime Against Humanity khususnya eksploitasi seksual perempuan Indonesia. Studi ini bertujuan untuk mengidentifikasi muatan aturannya, menemukan tantangan yang dihadapi, serta memformulasikan langkah pengoptimalan penerapannya. Hasil analisis menunjukkan bahwa sejatinya UU TPKS ini muatannya lengkap, melindungi kita dari segala bentuk kekerasan seksual, seperti pembentukan UPT PPA yang tersebar di 38 provinsi. Tantangan yang teridentifikasi yakni minimnya partisipasi masyarakat dalam upaya pencegahan TPKS karena kentalnya budaya patriarki. Maka langkah pengoptimalan UU TPKS yang disarankan adalah sosialisasi menyeluruh terkait pentingnya kerjasama antara pemerintah dan masyarakat dalam menjalankan program pemberantasan kekerasan seksual.
REKONSTRUKSI HUKUM KELUARGA MELALUI PENDIDIKAN PRA-NIKAH: ANALISIS PERBANDINGAN KERANGKA HUKUM INDONESIA DAN MALAYSIA Aripin, Jaenal; Hakim, Maman Rahman; Kamarusdiana, Kamarusdiana; Ilahi, M. Ridho
Jurnal Harkat : Media Komunikasi Gender JURNAL HARKAT : MEDIA KOMUNIKASI GENDER, 21(1), 2025
Publisher : Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA), Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15408/harkat.v21i1.45090

Abstract

Abstract. The regulation of premarital education in Indonesia has not succeeded in reducing the divorce rate in Indonesia. Weak regulations, unclear standardization, and the nature of the program that is recommended and only required in 2024 which tends to be formalistic are the main factors. This study aims to analyze the regulation of pre-marital education and its effect on divorce in Indonesia and Malaysia. The researcher used a qualitative method by reviewing various literatures and data obtained from journal articles, books, and news. The results show the need to reconstruct the law to tighten the provisions, centralize management at the Ministry of Religious Affairs through BP4, and make premarital education a mandatory requirement that is not just a formalistic implementation. Malaysia's experience, which has successfully reduced the divorce rate, can be emulated even though it is still constrained in its implementation, which needs to be addressed by conducting socialization related to the importance of the program, evaluating the duration of the program, and evaluating the resource persons or presenters. Thus, future Indonesian and Malaysian pre-marital education regulations are expected to be able to prepare couples to form a socially, emotionally and spiritually healthy family to prevent long-term social dysfunction, one of which is divorce. Abstrak. Regulasi pendidikan pranikah belum berhasil menekan angka perceraian di Indonesia. Lemahnya regulasi, ketidakjelasan standarisasi, serta program yang bersifat anjuran dan baru diwajibkan pada 2024 yang cenderung formalistik menjadi faktor utama. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan analisis terhadap regulasi mengenai pendidikan pra nikah dan pengaruhnya terhadap perceraian di Indonesia dan Malaysia. Peneliti menggunakan metode kualitatif dengan wawancara dan mengkaji berbagai literatur serta data yang diperoleh dari artikel jurnal, buku, berita, dan data statistik. Hasil penelitian menunjukkan perlunya melakukan rekonstruksi ke tingkat undang-undang guna memperketat ketentuan, memusatkan pengelolaan pada Kementrian Agama Melalui BP4, serta menjadikan pendidikan pranikah sebagai syarat wajib yang tidak hanya sekedar pelaksanaan yang formalistik. Pengalaman Malaysia, yang sukses menekan angka perceraian dapat dicontoh meski masih terkendala dalam implementasinya yang perlu untuk dibenahi dengan melakukan sosialisasi terkait pentingnya program, evaluasi durasi program, serta evaluasi bagi para narasumber atau pemateri. Dengan demikian regulasi pendidikan pra nikah Indonesia dan Malaysia di masa mendatang diharapkan mampu menyiapkan pasangan yang sehat secara sosial, emosional, dan spiritual untuk mencegah disfungsi sosial jangka panjang yang salah satunya adalah perceraian.