Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

Upaya Pemerintah dalam Penataan Hukum Terhadap Sengketa Kepemilikan Tanah di Indonesia Anggriawan, Rianedo; Wijaya, Augie Pratama; Ahmad, Akiruddin; Warman, Syafil; Batubara, Ismed
Future Academia : The Journal of Multidisciplinary Research on Scientific and Advanced Vol. 2 No. 4 (2024): Future Academia : The Journal of Multidisciplinary Research on Scientific and A
Publisher : Yayasan Sagita Akademia Maju

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.61579/future.v2i4.215

Abstract

Pada dasarnya kepemilikhan suatu hak atas tanah harus benar-bnar dipastikan atas dasarnya baik Alas Hukum, surat kepemilikan, asal usul, dan segala macam administrasi yang legal agar terhindar dari konflik, terutama tanah. Pemerintah telah melakukan berbagai usaha untuk penyelesaian sengketa tanah dengan cepat guna menghindari penumpukan sengketa tanah, yang dapat merugikan masyarakat karena tanah dalam sengketa tidak dapat digunakan. Banyaknya sengketa pertanahan yang terjadi dalam masyarakat, mendapat perhatian serius dari pemerintah, karena dianggap bahwa issue kasus sengketa dan konflik pertanahan merupakan salah satu issue strategis. Kebijakan Pemerintah Dalam Penyelesaian Sengketa Kepemilikan Hak Atas Tanah adalah dengan menetapkan regulasi. Regulasi pertanahan dibuat oleh pemerintah untuk menyelesaikan berbagai masalah pertanahan. beberapa kebijakan dalam penyelesaian sengketa kepemilikan hak atas tanah, di antaranya: Badan Pertanahan Nasional (BPN) sebagai lembaga pemerintah non-departemen yang bertugas melaksanakan tugas pemerintah di bidang pertanahan, termasuk menangani dan menyelesaikan sengketa pertanahan; Pemerintah daerah berwenang menyelesaikan sengketa tanah garapan, tanah ulayat, tanah kosong, dan masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan; Penyelesaian sengketa tanah bisa dilakukan melalui jalur hukum, seperti Pengadilan Tata Usaha, Pengadilan Negeri, dan mediasi BPN; Penyelesaian sengketa tanah juga bisa dilakukan melalui jalur non-litigasi, seperti negosiasi, konsiliasi, arbitrase, dan mediasi.
Pornografi Melalui Internet Dalam Perspektif Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Studi Putusan Pengadilan Negeri Wates Nomor 23/Pid.B/2022/PN.Wat) Anggriawan, Rianedo; Muhlizar, Muhlizar; Nasution, Dian Mandayani Ananda; Sahbudi
Future Academia : The Journal of Multidisciplinary Research on Scientific and Advanced Vol. 3 No. 1 (2025): Future Academia : The Journal of Multidisciplinary Research on Scientific and A
Publisher : Yayasan Sagita Akademia Maju

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.61579/future.v3i1.441

Abstract

Salah satu dampak negatif dari kemajuan teknologi adalah penyebaran informasi bermuatan pornografi yang menjadi perhatian serius dari semua pihak, baik pemerintah, aparat penegak hukum, akademisi, maupun masyarakat pada umumnya. Pornografi merupakan pelanggaran paling banyak terjadi di dunia maya dengan menampilkan foto, cerita, video dan gambar bergerak. Sebagai contoh Kasus yang menjerat seorang youtuber wanita asal sidoarjo yang diputus melakukan tindak pidana pornografi dalam Putusan Pengadilan Negeri Wates Nomor 23/Pid.B/2022/PN.Wat. Pengaturan tentang tindak pidana pornografi dalam ketentuan UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan UU No. 44 Tahun 2008 tentang pornografimemiliki pengaturan hukum yang kompleks di Indonesia, namun untuk cyber pornography belum memiliki peraturan yang komprehensif. Jenis tindak pidana pornografi melalui media elektronik yang diatur dalam Pasal 27 ayat (1) UU ITE merupakan delik formil karena dalam pasal tersebut hanya menguraikan tentang perbuatan yang dilarang seperti setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan melanggar kesusilaan. Sedangkan unsur akibat dari perbuatan yang dilarang tersebut tidak diuraikan dalam pasal tersebut karena akibat dari tindak pidana cyberporn bersifat delik persona artinya akibat yang ditimbulkan tidak bisa diukur secara objektif. Selain itu Pasal 27 ayat (1) UU ITE bertujuan untuk melindungi hak-hak individu atau menyangkut hak privasi seseorang, oleh karena itu pasal tersebut diatur sebagai delik formil bukan delik materil. Sedangkan pelarangan penyebarluasan muatan pornografi, termasuk melalui di internet dalam UU Pornografi diatur dalam Pasal 4 ayat (1). Pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan pidana dalam perkara putusan Nomor: 23/Pid.B/2022/PN.Wat telah memperhatikan fakt-fakta yuridis dan non yuridis. Dalam memilih dakwaan, hakim juga mempertimbangan dakwaan mana yang dianggap paling sesuai yakni dakwaan kesatu yaitu melanggar ketntuan pasal 29 jo Pasal 4 ayat (1) UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi jo Pasal 64 ayat (1) KUHP. Penerapan hukum hakim dalam putusn PN Wates Nomor: 23/Pid.B/2022/PN.Wat adalah telah sesuai dengan ketentun peraturan perundang-undangan.