Perkembangan pesat teknologi informasi mendorong penggunaan WhatsApp sebagai media utama interaksi akademik di perguruan tinggi. Penelitian ini mengeksplorasi penerapan dan pelanggaran keempat maksim Grice yaitu kuantitas, kualitas, relevansi, dan cara, serta jenis implikatur (generalised dan particularised) dalam komunikasi WhatsApp antara dosen dan mahasiswa di Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Negeri Makassar. Data dikumpulkan selama satu semester Januari s.d. Mei 2025 melalui dokumentasi 120 percakapan grup WhatsApp, wawancara semi-terstruktur dengan tiga dosen dan lima belas mahasiswa, serta observasi partisipatif. Analisis kualitatif mengidentifikasi bahwa 65% pesan berbentuk tanya-jawab dengan respons dosen rata-rata 18 menit, mencerminkan komitmen pragmatik terhadap maksim kuantitas dan relevansi. Pelanggaran maksim kuantitas sering muncul sebagai respons singkat atau salam panjang; pelanggaran kualitas tampak dalam misinformasi temporal; pelanggaran relevansi terdeteksi pada pergeseran topik tiba-tiba; dan pelanggaran cara melibatkan singkatan tidak baku serta inkonsistensi tanda baca. Implikatur generalised muncul dalam salam panjang dan permohonan maaf (negative politeness), sedangkan implikatur particularised tercermin pada ungkapan “astaghfirullah” dan pilihan kata “saja” dalam instruksi dosen. Emoji memperkuat nuansa kesantunan. Namun, interpretasi yang beragam menuntut pedoman penggunaan. Strategi repair communication (self-repair, meta-komunikasi) efektif memulihkan koherensi dialog. Temuan ini menjadi dasar rekomendasi penyusunan pedoman WhatsApp resmi, pelatihan pragmatik, dan pengembangan chatbot umpan balik real-time. Dengan demikian, penelitian menegaskan pentingnya kesadaran pragmatik dan kesantunan digital untuk meningkatkan profesionalisme komunikasi akademik di era hybrid learning.