Claim Missing Document
Check
Articles

Found 7 Documents
Search

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PEMANFAATAN GSO PADA ZONA NEGARA KHATULISTIWA Agusyanda, Ilham; Sitorus, Dody Heryanto; Septiani, Salsabilah Salwa; Septaria, Ema; Adepio, M. Ilham
Causa: Jurnal Hukum dan Kewarganegaraan Vol. 11 No. 9 (2025): Causa: Jurnal Hukum dan Kewarganegaraan
Publisher : Cahaya Ilmu Bangsa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.3783/causa.v11i9.12418

Abstract

Pemanfaatan Geostationary Orbit (GSO) sebagai sumber daya alam terbatas telah menjadi isu penting dalam hukum internasional, terutama bagi negara-negara di garis khatulistiwa yang terdampak langsung. Hingga saat ini, belum ada pengaturan yang spesifik mengenai hak dan kewajiban negara dalam pemanfaatan GSO, sehingga menimbulkan potensi kerugian bagi negara-negara tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kewajiban negara dalam pemanfaatan GSO serta mengidentifikasi pemenuhan hak khusus bagi negara-negara khatulistiwa yang terdampak. Dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif, artikel ini mengeksplorasi prinsip-prinsip hukum internasional yang relevan, seperti prinsip kesetaraan, tanggung jawab, dan preventif. Hasil penelitian menunjukkan adanya kekosongan hukum terkait batasan pemanfaatan GSO dan perlunya regulasi khusus untuk melindungi kepentingan negara-negara khatulistiwa. Artikel ini merekomendasikan pembentukan badan internasional yang bertugas mengatur pemanfaatan GSO secara adil serta memberikan perlindungan bagi negara-negara khatulistiwa dari dampak negatif pemanfaatan GSO.
PERLINDUNGAN HUKUM DALAM WISATA RUANG ANGKASA: TANTANGAN DAN PELUANG DI ERA KOMERSIALISASI Pratama, M. Riezky Putra; Haq, Sumayya Nadia; Septaria, Ema; Adepio, M. Ilham
Causa: Jurnal Hukum dan Kewarganegaraan Vol. 11 No. 9 (2025): Causa: Jurnal Hukum dan Kewarganegaraan
Publisher : Cahaya Ilmu Bangsa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.3783/causa.v11i9.12432

Abstract

Perkembangan teknologi antariksa dan meningkatnya minat terhadap wisata ruang angkasa telah memicu pertumbuhan fenomena space tourism sebagai bagian dari komersialisasi ruang angkasa. Aktivitas ini memunculkan tantangan hukum, khususnya terkait perlindungan bagi wisatawan luar angkasa yang belum diakomodasi secara spesifik dalam regulasi internasional yang ada, seperti Outer Space Treaty 1967, Rescue Agreement 1968, Liability Convention 1972, dan Registration Convention 1975. Penelitian ini menggunakan metode hukum normatif dengan pendekatan studi dokumen hukum internasional untuk menganalisis kekosongan norma yang mengatur perlindungan hukum wisatawan luar angkasa. Hasil analisis menunjukkan bahwa walaupun keempat konvensi internasional telah mengatur berbagai aspek eksplorasi ruang angkasa secara umum, tidak satu pun yang secara eksplisit membahas kedudukan dan hak-hak wisatawan luar angkasa. Ketiadaan pengaturan khusus ini menimbulkan ketidakpastian hukum terkait tanggung jawab negara peluncur, standar keselamatan, dan mekanisme kompensasi dalam hal terjadi insiden. Oleh karena itu, diperlukan pembentukan instrumen hukum internasional yang spesifik, penetapan standar keselamatan global, penyusunan mekanisme asuransi, serta penguatan kolaborasi antara negara, organisasi internasional, dan sektor swasta untuk menjamin perlindungan hukum yang komprehensif bagi wisatawan ruang angkasa di era komersialisasi Antariksa.
TANGGUNG JAWAB RUSIA TERHADAP INSIDEN PENEMBAKAN SALAH SASARAN PESAWAT AZERBAIJAN AIRLINES MENURUT KONVENSI CHICAGO 1944 Nabilla. R, Gina Azhara; Seniwati, Pentana; Yanti, Roidah; Septaria, Ema; Adepio, M. Ilham
Causa: Jurnal Hukum dan Kewarganegaraan Vol. 11 No. 10 (2025): Causa: Jurnal Hukum dan Kewarganegaraan
Publisher : Cahaya Ilmu Bangsa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.3783/causa.v11i10.12458

Abstract

Dunia penerbangan tidak luput dari insiden maupun kecelakaan angkutan udara. Salah satunya adalah insiden penembakan salah sasaran pesawat milik Azerbaijan Airlines yang jatuh di dekat kota Aktau, Kazakhstan, pada Rabu 25 Desember 2024. Korban jiwa mencapai 38 orang dan melukai puluhan orang lainnya. Penulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan mengetahui bentuk perlindungan hukum bagi pesawat komersil dan mengetahui bentuk pertanggungjawaban Rusia atas insiden penembakan salah sasaran pesawat Azerbaijan Airlines menurut Konvensi Chicago 1944. Penulisan ini menggunakan metode yuridis normatif dengan piengumpulan bahan hukum yang dilakukan melalui studi kiepustakaan. Hasilnya diperoleh bahwa penting untuk melindungi pesawat udara komersil yang melintasi wilayah konflik bersenjata guna menghindari penembakan salah sasaran dengan cara seperti memperkuat kerjasama dalam merumuskan dan menerapkan regulasi yang jelas mengenai penggunaan ruang udara dan penetapan Zona Larangan Terbang, adapun dalam Pasal 3 Konvensi Chicago 1944 juga menegaskan bahwa negara wajib menahan diri dari penggunaan senjata terhadap pesawat sipil namun memiliki hak untuk meminta pesawat sipil yang melanggar wilayah udaranya untuk mendarat dengan memperhatikan ketentuan internasional dan mempublikasikan aturan yang berlaku untuk prosedur intersepsi. Kemudian terkait dengan insiden penembakan salah sasaran pesawat Azerbaijan Airlines berdasarkan Annex 13, Rusia bertanggung jawab untuk perlindungan bukti dan barang bukti, pelaporan kepada negara terkait, melakukan investigasi bersama negara asal pesawat itu.
ANALISIS SENGKETA ANTARA SELANDIA BARU DAN KANADA DALAM KERANGKA PERJANJIAN COMPREHENSIVE AND PROGRESSIVE AGREEMENT FOR TRANS-PACIFIC PARTNERSHIP (CPTPP) DAN KONVENSI WINA 1969 Julianda, Adela; Indramsyah, Saroza; Turedo, Jonatan Yogi; Septaria, Ema; Adepio, M. Ilham
Causa: Jurnal Hukum dan Kewarganegaraan Vol. 12 No. 1 (2025): Causa: Jurnal Hukum dan Kewarganegaraan
Publisher : Cahaya Ilmu Bangsa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.3783/causa.v12i1.12623

Abstract

Artikel ini membahas Sengketa antara Selandia Baru dan Kanada dalam perjanjian CPTPP terkait pembatasan kuota tarif susu yang menunjukkan konflik antara kepentingan domestik dan kewajiban internasional. Penelitian ini mengidentifikasi prinsip pacta sunt servanda dan kewajiban menjalankan perjanjian dengan itikad baik dalam Konvensi Wina 1969 yang dapat digunakan untuk menilai apakah tindakan Kanada membatasi impor susu dari Selandia Baru melanggar aturan CPTPP dan konsekuensi terhadap ketidakpatuhan negara anggota CPTPP terhadap keputusan penyelesaian sengketa, yang ditinjau dari Konvensi Wina 1969 dan Perjanjian CPTPP. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dengan mengkaji norma hukum perjanjian internasional, khususnya Konvensi Wina 1969 dan Perjanjian CPTPP. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Tindakan diskriminatif Kanada dalam alokasi kuota tarif produk susu melanggar prinsip pacta sunt servanda dan kewajiban pelaksanaan perjanjian dengan itikad baik menurut Konvensi Wina 1969, Pasal 26 Kovensi Wina 1969 yang mengatur kewajiban negara untuk melaksanakan perjanjian internasional dengan itikad baik. Pasal 27 Konvensi Wina 1969 yang menegaskan bahwa hukum domestik tidak dapat dijadikan alasan untuk mengabaikan kewajiban internasional. Konsekuensi ketidakpatuhan putusan CPTPP itu merujuk pada Pasal 28 CPTPP. Tindakan ini bertujuan untuk memulihkan keseimbangan hak dan kewajiban, bukan untuk balas dendam. Pasal 60 Konvensi Wina 1969 memungkinkan penangguhan atau penghentian perjanjian jika terjadi pelanggaran berat, yang juga relevan dalam konteks perjanjian CPTPP.
DUGAAN SPIONASE DAN DAMPAKNYA: ASPEK HUKUM DI BALIK PENUTUPAN KONSULAT CHINA OLEH AMERIKA Sari, Dwi Julica; Sintia, Lili; Simanjuntak, Martinus Alexander; Kurniawan, Ridho; Septaria, Ema; Adepio, M. Ilham
Jurnal Risalah Kenotariatan Vol. 6 No. 1 (2025): Jurnal Risalah Kenotariatan
Publisher : Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29303/risalahkenotariatan.v6i1.316

Abstract

Abstrak Artikel ini membahas penutupan Konsulat Tiongkok di Houston oleh Amerika Serikat pada tahun 2020, yang menimbulkan implikasi hukum dan diplomatik. Penutupan ini dipicu oleh tuduhan spionase dan pelanggaran keamanan, yang mengarah pada keputusan Amerika Serikat untuk mencabut izin operasional konsulat berdasarkan Konvensi Wina 1963 tentang Hubungan Konsuler. Meskipun tindakan tersebut legal, dari perspektif diplomasi, langkah tersebut dinilai kurang menghormati asas courtesy yang penting dalam menjaga stabilitas hubungan bilateral. Artikel ini menyoroti pentingnya komunikasi diplomatik dan negosiasi sebelum mengambil keputusan drastis yang dapat memperburuk ketegangan antar negara. Kata Kunci: Penutupan Konsulat, Konvensi Wina 1963, Asas Courtesy
“Implementasi Prinsip Good Faith dalam Penyelesaian Sengketa Laut Cina Selatan: Telaah Yuridis terhadap Penolakan China atas Putusan Arbitrase Berdasarkan Vienna Convention on the Law of Treaties” Della, Anesva Sari; Latifah, Ratu Dian; Anie, Handra; Septaria, Ema; Adepio, M. Ilham
Jurnal Risalah Kenotariatan Vol. 6 No. 1 (2025): Jurnal Risalah Kenotariatan
Publisher : Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29303/risalahkenotariatan.v6i1.320

Abstract

ABSTRAK Penelitian ini mengkaji implementasi prinsip itikad baik (good faith) dalam penyelesaian sengketa Laut Cina Selatan, dengan fokus pada penolakan China terhadap putusan Mahkamah Arbitrase Internasional tahun 2016. Dalam konteks sengketa yang melibatkan klaim tumpang tindih antara China, Filipina, Vietnam, Malaysia, Brunei, dan Taiwan, penelitian ini menelaah bagaimana dua instrumen hukum internasional utama, yaitu United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982 dan Vienna Convention on the Law of Treaties (VCLT) 1969, dijadikan kerangka untuk menilai validitas dan implikasi putusan arbitrase. UNCLOS mengatur batas wilayah laut melalui penarikan garis dasar dan menetapkan hak-hak negara pesisir, sedangkan VCLT menggarisbawahi prinsip pacta sunt servanda yang mengharuskan negara untuk melaksanakan perjanjian dengan itikad baik.Putusan arbitrase pada 12 Juli 2016 menyatakan bahwa klaim historis China melalui Nine-Dash Line tidak memiliki dasar hukum yang sah menurut UNCLOS. Meskipun putusan tersebut telah dihasilkan melalui mekanisme penyelesaian sengketa internasional yang sah, China secara tegas menolak untuk mengakui putusan tersebut, dengan alasan bahwa mahkamah tidak memiliki yurisdiksi atas sengketa ini. Penolakan tersebut dinilai bertentangan dengan prinsip itikad baik sebagaimana diatur dalam VCLT dan menimbulkan tantangan serius terhadap penegakan hukum internasional. Penelitian ini menggunakan metode normatif dengan pendekatan kualitatif melalui telaah pustaka terhadap doktrin, literatur, dan putusan pengadilan internasional. Hasil analisis menunjukkan bahwa penolakan China tidak hanya melemahkan sistem penyelesaian sengketa internasional, tetapi juga dapat menyebabkan ketidakstabilan regional melalui peningkatan ketegangan geopolitik. Oleh karena itu, penerapan prinsip itikad baik menurut VCLT merupakan landasan penting untuk memelihara kepercayaan dan stabilitas dalam penyelesaian sengketa internasional, sehingga negara-negara harus berkomitmen menghormati putusan yang sudah dihasilkan melalui mekanisme hukum yang telah disepakati bersama. Kata kunci: Sengketa Laut Cina Selatan; perjanjian internasional; Vienna Convention on the Law of Treaties; implementasi; implikasi.
Analisis Konflik Antara Kekebalan Diplomatik dan Tanggung Jawab Hukum pada Kasus Raymond Allen Davis Sabilla, Balqis; Raihan, Saroza Idramsyah; Anie, Handra; Septaria, Ema; Adepio, M. Ilham
Jurnal Risalah Kenotariatan Vol. 6 No. 1 (2025): Jurnal Risalah Kenotariatan
Publisher : Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29303/risalahkenotariatan.v6i1.344

Abstract

Konflik antara kekebalan diplomatik dan tanggung jawab hukum kerap menjadi persoalan pelik dalam hubungan internasional, terutama ketika melibatkan tindakan yang melanggar hukum di negara penerima. Salah satu kasus yang menarik perhatian dunia adalah insiden penembakan di Pakistan pada tahun 2011 yang melibatkan Raymond Allen Davis, seorang kontraktor CIA. Kasus ini menimbulkan polemik karena menyangkut status kekebalan diplomatik Davis dan tanggung jawab hukumnya atas kematian dua warga sipil Pakistan. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan studi kasus, mengkaji konflik hukum antara yurisdiksi nasional dan hukum internasional. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis ambiguitas dalam penentuan status kekebalan diplomatik bagi individu yang bertugas di luar kapasitas diplomatik formal, serta untuk mengkaji ketidakkonsistenan penerapan hukum antara negara pengirim dan penerima. Temuan penelitian menunjukkan bahwa kasus Raymond Allen Davis memperlihatkan adanya ketegangan antara prinsip kekebalan diplomatik dan penegakan hukum nasional, khususnya ketika ada dugaan penyalahgunaan status diplomatik. Ditemukan bahwa tidak semua negara penerima secara otomatis mengakui klaim kekebalan diplomatik, terutama jika muncul kecurigaan terhadap kegiatan yang melampaui fungsi diplomatik resmi. Hasil penelitian juga menekankan pentingnya transparansi dan verifikasi dalam penetapan status diplomatik untuk mencegah konflik hukum antarnegara. Penelitian ini menyimpulkan bahwa perlindungan diplomatik harus seimbang dengan penghormatan terhadap hukum nasional dan prinsip keadilan, terutama dalam kasus yang menyangkut nyawa manusia.