cover
Contact Name
Ilham
Contact Email
Ilham.fishaholic@gmail.com
Phone
+6221-64700928
Journal Mail Official
jra.puslitbangkan@gmail.com
Editorial Address
Gedung Balibang KP II, Lantai 2 Jl. Pasir Putih II, Ancol Timur, Jakarta Utara 14430
Location
Kab. jembrana,
Bali
INDONESIA
Jurnal Riset Akuakultur
ISSN : 19076754     EISSN : 25026534     DOI : http://doi.org/10.15578/JRA
Core Subject : Agriculture, Social,
Jurnal Riset Akuakultur as source of information in the form of the results of research and scientific review (review) in the field of various aquaculture disciplines include genetics and reproduction, biotechnology, nutrition and feed, fish health and the environment, and land resources in aquaculture
Arjuna Subject : Umum - Umum
Articles 763 Documents
Front Matter & Back Matter suprapti Suprapti
Jurnal Riset Akuakultur Vol 6, No 1 (2011): (April 2011)
Publisher : Pusat Riset Perikanan, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (63.925 KB) | DOI: 10.15578/jra.6.1.2011.1-6

Abstract

PENGARUH APLIKASI SUMBER C- KARBOHIDRAT (TEPUNG TAPIOKA) DAN FERMENTASI PROBIOTIK PADA BUDIDAYA UDANG WINDU, Penaeus monodon POLA INTENSIF DI TAMBAK Gunarto Gunarto; Muliani Muliani; Abdul Mansyur
Jurnal Riset Akuakultur Vol 5, No 3 (2010): (Desember 2010)
Publisher : Pusat Riset Perikanan, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (139.502 KB) | DOI: 10.15578/jra.5.3.2010.393-409

Abstract

Penelitian bertujuan untuk membandingkan pengaruh penambahan sumber C- karbohidrat (tepung tapioka) dan fermentasi probiotik pada budidaya udang windu dengan pola intensif di tambak terutama melihat efeknya terhadap perbaikan kualitas air, pertumbuhan, sintasan, dan produksi udang windu. Enam petak tambak masing-masing ukuran sekitar 4.000 m2, setelah selesai tahap persiapan tambak (pengeringan, pembalikan tanah dasar, pengapuran, pengisian air, dan pemupukan), kemudian tambak ditebari tokolan udang windu PL-25 dengan padat tebar 20 ekor/m2. Tiga perlakuan diuji yaitu A). Penambahan tepung tapioka  ke air tambak dengan dosis 62% dari total pakan yang diberikan per hari dan diberikan dalam selang waktu lima hari sekali selama masa pemeliharaan pada bulan pertama dan kemudian dengan selang waktu tiga hari sekali selama masa pemeliharaan bulan kedua hingga menjelang panen; B). Pemberian fermentasi probiotik ke air tambak sebanyak 5 mg/L/minggu; dan C). Pemberian fermentasi probiotik ke air tambak sebanyak 10 mg/L/minggu. Masing-masing perlakuan dengan dua ulangan. Sampling pertumbuhan, kualitas air, dan bakteri dilakukan setiap dua minggu sekali. Sintasan, produksi, dan nilai konversi pakan dihitung setelah udang dipanen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian tepung tapioka menyebabkan konsentrasi amoniak relatif lebih rendah di perlakuan A daripada di perlakuan B dan C, namun menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (P>0,05) di antara ketiga perlakuan tersebut. Bahan Organik Total (BOT) pada hari ke-112 di perlakuan C paling rendah dan menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05) dengan BOT di perlakuan B dan A. Juga terdapat indikasi adanya peningkatan populasi bakteri heterotrof, bakteri Sulfur Oxidizing Bacteria (SOB) di sedimen tambak, terutama di perlakuan C yang terjadi setelah masuk bulan ke-IV. Konsentrasi oksigen terlarut di perlakuan C relatif lebih tinggi daripada di perlakuan B dan A. Hal tersebut kemungkinan yang menyebabkan pertumbuhan, sintasan, dan produksi udang pada perlakuan C lebih tinggi daripada yang diperoleh pada perlakuan B dan A. Nilai konversi pakan yang terendah juga dijumpai pada perlakuan C, sedangkan yang tertinggi pada perlakuan A. Hasil analisis statistik baik pada pertumbuhan, sintasan, produksi, dan nilai konversi pakan menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (P>0,05) di antara ketiga perlakuan yang diuji.The objective of the research was to compare the effect of addition of carbohydrate source (starch flour) and probiotics fermentation to the water quality and the growth, survival, and production of tiger shrimp in intensive brackishwater pond system. Six pond compartments each sized approximately of 4,000 m2, went through preparation stages (pond drying, ploughing, liming, filling the pond with sea water and fertilyzing). Then the ponds were stocked with tiger shrimp post larvae day 25 at stocking density of 20 ind./m2. Three treatments were tested, A). the addition of starch flour in pond water column at a dosage of 62% of the total given feed per day, and applied every five days during the first month of shrimp culture, and then every three days from the second month to harvest time; B). the addition of probiotic fermentation to the pond water column and was given at 5 mg/L/week; and C). the addition of probiotic fermentation to the pond water column and was given at 10 mg/L/week. Result of the research showed that the addition of starch flour was able to decrease the ammonia concentration in treatment A, but there was no significant difference (P>0.05) with the ammonia concentration compared to the treatment B and C. Total Organic Matter (TOM) at day 112 in treatment C was the lowest and significantly different (P<0.05) with TOM in treatment B and A. There was also an indication of increasing heterothrophic bacterial population and Sulphur Oxidizing Bacterial (SOB) in the sediment pond of treatment C in the fourth month of culture period. Dissolved oxygen in treatment C relatively was higher than those of treatment A and B. These conditions presummably have caused the higher of shrimp growth, survival rate and production in treatment C compared to the treatment A and B. The lowest of feed conversion ratio was also obtained by treatment C and the highest was treatment A. Statistical analysis on shrimp growth, survival, production, and feed convertion ratio were not significantly different (P>0.05) among those treatments.
PENGARUH KEPADATAN Nannochloropsis sp. PADA PEMELIHARAAN LARVA KERAPU BEBEK (Cromileptes altivelis) SECARA TERKONTROL Suko Ismi; Yasmina Nirmala Asih; Bejo Slamet; Ketut Suwirya
Jurnal Riset Akuakultur Vol 7, No 3 (2012): (Desember 2012)
Publisher : Pusat Riset Perikanan, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (167.922 KB) | DOI: 10.15578/jra.7.3.2012.407-419

Abstract

Pembenihan kerapu bebek (Cromileptes altivelis) sudah berhasil dikembangkan di tingkat petani secara massal, namun terdapat beberapa kendala. Salah satu kendala pada saat pemeliharaan larva adalah seringnya terjadi kematian setelah penambahan plankton Nannochloropsis sp. Kematian tersebut disebabkan pemberian plankton yang tidak tepat baik kualitas maupun kuantitasnya sehingga menyebabkan turunnya kualitas air pada tangki pemeliharaan larva. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penambahan optimal Nannochloropsis sp. sehingga diperoleh jumlah kepadatan Nannochloropsis sp. yang tepat sebagai green water dan persediaan pakan rotifer pada bak pemeliharaan larva. Perlakuan yang dicoba adalah penambahan Nannochloropsis sp. dengan kepadatan yang berbeda yaitu: A. Tanpa Nannochloropsis sp.; B. 100.000 sel/mL; C. 300.000 sel/mL; dan D. 500.000 sel/mL. Hasil yang diperolehpada perlakuan D (penambahan Nannochloropsis sp. 500.000 sel/mL) menghasilkan sintasan 26,8%; lebih tinggi dari perlakuan yang lain, berikut perlakuan C, B, dan A masing-masing 19,5%; 14,2%; dan 3,5% sedangkan panjang total larva umur 45 hari relatif sama antara 2,47-2,53 cm.
PERKEMBANGAN LARVA IKAN RAINBOW KURUMOI (Melanotaenia parva) DARI HASIL PEMIJAHAN Tutik Kadarini; Mochammad Zamroni; Erni Kristina Pambayuningrum
Jurnal Riset Akuakultur Vol 8, No 1 (2013): (April 2013)
Publisher : Pusat Riset Perikanan, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (252.693 KB) | DOI: 10.15578/jra.8.1.2013.77-86

Abstract

Permasalahan utama dalam budidaya ikan rainbow kurumoi (Melanotaenia parva) adalah sintasan larva yang masih rendah. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perkembangan larva ikan rainbow kurumoi. Diharapkan dengan adanya informasi ini maka dapat mendukung keberhasilan pemeliharaan larva. Hewan uji yang digunakan adalah larva ikan rainbow kurumoi berumur 1-21 hari. Wadah yang digunakan adalah akuarium ukuran 50 cm x 50 cm x 40 cm, dengan ketinggian air 15 cm dan diberi aerasi untuk menyuplai oksigen. Larva umur 2 hari diberi pakan infusoria dan zooplankton Rotifera selama 14 hari, selanjutnya larva diberi pakan zooplankton Moina sp. hingga berumur 21 hari. Pengamatan dilakukan di bawah mikroskop setiap hari. Parameter yang diamati adalah panjang total, penyerapan kuning telur, bukaan mulut, dan perkembangan sirip pada larva. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kuning telur larva terserap habis sebesar 93,9% pada jam ke-48 setelah menetas, pada larva umur 21 hari perkembangan siripnya sudah lengkap dengan ukuran panjang total larva adalah 11,93 mm ± 0,49 dan ukuran bukaan mulut 0,411 mm ± 0,012 mm.
PRODUKSI BANDENG (Chanos chanos) MELALUI APLIKASI PUPUK ORGANIK Brata Pantjara; Erfan Andi Hendradjat
Jurnal Riset Akuakultur Vol 6, No 2 (2011): (Agustus 2011)
Publisher : Pusat Riset Perikanan, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (144.657 KB) | DOI: 10.15578/jra.6.2.2011.253-262

Abstract

Bandeng (Chanos chanos) merupakan salah satu komoditas unggulan di sektor perikanan yang berkontribusi dalam memenuhi produksi nasional. Ekspor bandeng ke beberapa negara seperti Uni Eropa dan Amerika Serikat sangat prospektif untuk dikembangkan, namun bandeng asal Indonesia kurang disukai karena terindikasi mengandung zat kimia yang dapat mengganggu kesehatan. Oleh karena itu, dalam beberapa tahun terakhir produk bandeng organik semakin meningkat karena banyaknya minat masyarakat akan produk makanan tersebut. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pupuk organik terhadap produksi bandeng semi intensif. Pupuk organik yang dicoba adalah pupuk organik komersial (A) dan pupuk organik non komersial (B). Pupuk organik non komersial dibuat dengan cara fermentasi dari campuran limbah sayuran, ampas tahu, pupuk kompos, dan dedak. Padat penebaran bandeng pada masing-masing perlakuan adalah 15.000 ekor/ha. Pemberian pakan dilakukan setelah bandeng berumur 2 bulan di tambak dengan dosis pakan 2%-4% dari bobot ikan per hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan bandeng selama enam bulan mencapai bobot dari 1,98 g/ekor menjadi 232,4 g/ekor pada A dan 253 g/ekor pada B. Sintasan bandeng pada perlakuan A dan B, masing-masing mencapai 56,62% dan 60,82%. Produksi bandeng pada perlakuan A dan B, masing-masing mencapai 1.974 dan 2.309 kg/ha
BUDI DAYA UDANG VANAMEI (Litopenaeus vannamei) DI TAMBAK DENGAN PADAT TEBAR BERBEDA MENGGUNAKAN SISTEM PEMUPUKAN SUSULAN Gunarto Gunarto; Abdul Mansyur
Jurnal Riset Akuakultur Vol 2, No 2 (2007): (Agustus 2007)
Publisher : Pusat Riset Perikanan, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (109.561 KB) | DOI: 10.15578/jra.2.2.2007.167-176

Abstract

Budi daya udang putih, Litopenaeus vannamei dengan sistem teknologi intensif sulit dikembangkan oleh masyarakat petani kecil. Hal ini disebabkan oleh kebutuhan biaya produksi yang sangat tinggi. Untuk itu, teknologi budi daya udang pola tradisional dengan sistem pemupukan susulan perlu dikembangkan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui padat tebar yang optimal pada budi daya udang vanamei pola tradisional plus dengan sistem pemupukan susulan. Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan tambak ukuran 500 m2/petak sebanyak 12 petak. Sebelum penebaran dilakukan persiapan tambak meliputi: pemberantasan hama, pengeringan, dan pengapuran. Hewan uji yang digunakan adalah udang vanamei PL 22 dengan padat tebar yang diuji yaitu 1 ekor/m2 (A), 3 ekor/m2 (B), 5 ekor/m2 (C), dan 7 ekor/m2 (D). Masing-masing perlakuan dengan tiga kali ulangan. Dosis pemupukan susulan menggunakan urea dan TSP, sebanyak 750 g urea dan 375 g SP-36/petak, yang diaplikasikan setiap minggu sekali pada bulan pertama pemeliharaan dan setiap dua minggu sekali pada bulan kedua dan ketiga selama pemeliharaan udang dalam tambak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata ukuran udang hingga umur pemeliharaan 76 hari di tambak telah mencapai ukuran konsumsi (rata-rata 20—21g). Sintasan udang paling tinggi diperoleh pada perlakuan A dan menunjukkan berbeda nyata (P<0,05)dengan perlakuan D, namun tidak berbeda nyata dengan perlakuan B dan C. Pertumbuhan udang pada perlakuan A, B, dan D tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0,05), tetapi ketiga-tiganya menunjukkan perbedaan yang nyata dengan perlakuan C (P<0,05). Produksi udang paling tinggi diperoleh pada perlakuan D, dan tidak berbeda nyata (P>0,05) dengan perlakuan B, tetapi berbeda nyata dengan perlakuan C dan A. Pertumbuhan udang di semua perlakuan sangat nyata (P<0,01) dipengaruhi oleh salinitas, nitrat, amoniak, dan BOT serta produksi klekap. Produksi udang sangat nyata (P<0,01) oleh kandungan nitrit, fosfat, nitrat air tambak, dan produksi klekap. Sedangkan sintasan udang vanamei pada semua perlakuan nyata (P<0,05) dipengaruhi oleh konsentrasi amoniak pada perairan tambak.White shrimp, L. vannamei intensive culture system in ponds was considered to be difficult adopted by poor shrimp farmer caused by high cost. Therefore, the traditional (extensive) shrimp culture using continued fertilization technology could be developed. The objectives of the research was to find out the optimum stocking density of white shrimp, L. vannamei, cultured in pond in extensive technology using continued fertilization. Research was conducted by using twelve of 500 m2 ponds in size. Pond preparations were conducted before shrimp stocked, which consisted pest eradication, drying and liming of pond bottom soil. 22 day old of vannamei post larva were stocked in these ponds at different stocking densities, there were 1 piece/m2(A), 3 pieces/m2 (B), 5 pieces/m2 (C), and 7 pieces/m2 (D). Each treatment in triplicates. The continued fertilization i.e. urea and SP-36 were given at 750 g and 375 g/pond compartment respectively and applied weekly during first month of shrimp culture period and beweekly during second and third month of shrimp culture period. The result of the research showed that the marketable shrimp size (20—21 g mean weight) was obtained at 76 days of shrimp cultured in the pond. The highest survival rate was obtained in treatment A, and significantly different (P<0.05) with treatment D, meanwhile there was  not significantly different with treatment B and C. Shrimp growth in treatment A, B, and D were not significantly different (P>0.05), but there were significantly different (P<0.05) with treatment C. The highest shrimp production was obtained in treatment D and there was not significantly different (P>0.05) with treatment B, but both of them were significantly different (P<0.05) with treatment C and A. Shrimp growth in all treatments most significantly (P<0.01) influenced by salinity, nitrate, ammonium, Total Organic Matter (TOM), and klekap production, while nitrite, nitrate, phosphate, and klekap production are also most  dominant factors (P<0.01) influences to the shrimp production in ponds. Ammonium concentration in pond waters was significantly (P<0.05) influences to the shrimp survival rates.
TOLERANSI SALINITAS BENIH PERSILANGAN 3 STRAIN IKAN NILA (Oreochromis niloticus) DENGAN IKAN MUJAIR (O. mossambicus) Gusrina Gusrina; Alimuddin Alimuddin; Komar Sumantadinata; Utut Widyastuti
Jurnal Riset Akuakultur Vol 4, No 3 (2009): (Desember 2009)
Publisher : Pusat Riset Perikanan, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (195.216 KB) | DOI: 10.15578/jra.4.3.2009.333-340

Abstract

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui keberhasilan introduksi gen penyandi hormon pertumbuhan (Growth Hormone, GH) pada embrio ikan lele sehingga dapat memperbaiki kecepatan tumbuhnya. Gen GH dari ikan nila (tiGH) yang dikontrol oleh promoter beta-aktin (mBP) dari ikan medaka dimikroinjeksikan ke dalam blastodisk embrio ikan lele fase satu sel. Konsentrasi konstruksi gen pmBP-tiGH yang ditransfer adalah 50 µg/mL akuabides. Parameter yang diamati meliputi derajat sintasan embrio (DKHe), derajat penetasan (DP) dan persentase individu ikan lele yang membawa pmB-tiGH. DKHe dihitung sebelum telur menetas, sedangkan DP dihitung pada saat semua telur menetas. Identifikasi ikan yang membawa pmB-tiGH ditentukan menggunakan metode PCR dengan primer spesifik untuk gen tiGH. Analisis ekspresi gen menggunakan metode RT- PCR. Hasil penelitian dari 100 embrio yang diinjeksi menunjukkan bahwa nilai DKHe (97%) dan DP  (94%) pada kontrol (tidak dimikroinjeksi) lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan mikroinjeksi (30% untuk DKHe, dan 28% DP). Ikan lele yang membawa pmBP-tiGH adalah 42,86% (12/28). Kesimpulan adalah bahwa tiGH masih diekspresikan pada benih ikan lele.This study was conducted to determine the success of introducing gene encoding growth hormone (GH) in catfish embryos that can improve its growth rate. GH gene of Nile tilapia, driven by medaka bactin promoter was injected to one cell stage of catfish embryos by microinjection method. The DNA solution (pmBP-tiGH) used was 50 µL/ml in SDW (Sterile Distillated Water). The parameters observed were survival rate of embryos (SRe), hatching rate (HR), and the percentage of individual carrying pmBP-tiGH. SRe was calculated before hatching and HR was calculated at the time of all embryos hatched. Transgenic individuals carrying tiGH were identified by PCR (Polymerase Chain Reaction) method with specific primer for tiGH gene. The analysis of gene expression was detected by RT-PCR. The results of the research from 100 catfish embryos showed that control have higher SRe (97%) and HR (94%) than SRe (30%) and HR (28%) of injected fish. The percentage of catfish carrying tiGH gene was 42.86% (12/28). Conclusion: tiGH was expressed in catfish.
BIOREPRODUKSI DAN HUBUNGAN PANJANG-BOBOT TERHADAP FEKUNDITAS PADA IKAN LALAWAK (Barbonymus balleroides) Irin Iriana Kusmini; Fera Permata Putri; Vitas Atmadi Prakoso
Jurnal Riset Akuakultur Vol 11, No 4 (2016): (Desember 2016)
Publisher : Pusat Riset Perikanan, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (304.8 KB) | DOI: 10.15578/jra.11.4.2016.339-345

Abstract

Eksploitasi ikan lalawak (Barbonymus balleroides) yang berlebihan dari alam mengakibatkan langkanya jenis ikan ini di beberapa perairan aslinya. Sebelum ikan ini diperkenalkan sebagai komoditas budidaya, masih diperlukan lebih banyak lagi informasi mengenai aspek bioreproduksi ikan lalawak yang telah dipelihara pada lingkungan budidaya. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mengevaluasi produktivitas ikan lalawak yang dipelihara pada lingkungan budidaya melalui pengamatan bioreproduksi dan hubungan panjang-bobot terhadap fekunditas. Sampel induk ikan lalawak betina yang diambil sebanyak 15 ekor, kemudian dipilih lima ekor induk betina yang telah matang gonad dengan ciri-ciri seluruh badannya terasa kasar apabila diraba, perut membesar ke arah posterior dan terasa lunak, genital mengembang, serta berwarna kemerahan. Data yang dikoleksi berupa panjang total, bobot badan, bobot gonad, fekunditas, diameter telur, dan indeks kematangan gonadnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kisaran fekunditas ikan lalawak adalah 1.920-2.236 butir/g bobot gonad, dan 83-352 butir/g bobot badan induk dengan rata-rata diameter telur 0,87-1,10 mm. IKG berkisar 3,73%-18,36% dari kisaran bobot induk 85,32-264,8 g. Hubungan antara bobot badan dengan bobot gonad ikan lalawak digambarkan dengan persamaan linear y= 5,829ln (x) + 0,691 (r= 0,874); sedangkan hubungan panjang badan terhadap bobot gonad digambarkan dengan persamaan y= 28,52ln (x) - 38,10 (r= 0,7487). Pada ikan lalawak, hubungan bobot badan dengan fekunditas lebih erat dibandingkan dengan hubungan panjang badan terhadap fekunditas. Hasil pengamatan juga menyimpulkan bahwa ikan lalawak tergolong ikan yang memijah secara parsial.Over-exploitation of lalawak (Barbonymus balleroides) from its natural habitat had significant negative impacts on its availability. Before it is introduced as aquaculture commodity, more information about its reproductive biology in aquaculture environment needs to be well observed. The aim of this study was to determine the productivity of lalawak reared in aquaculture environment through observation of bioreproductionand relationship between fecundity and body length-weight of lalawak. Samplewas randomly taken from fifteen individuals female. From those samples, gonads were taken from five mature females for reproduction observation, by which the mature females were selected following specific criteria such as : their body feels rough if touched;enlarged abdomen posteriorly and felt soft; fluffy and reddish genital. Data collection consisted of measurement of the total length, body weight, gonad weight, fecundity, egg diameter and gonadosomatic index (GSI). The results revealed that the fecundity of lalawak ranged from 1,920 to 2,236 eggs/gof gonad weight and 83 to 352 eggs/g of body weight with average diameters of eggs ranged from 0.869 to 1.10 mm. GSI values ranged from 3.73 to 18.36% of 85.32 to 264.8g of body weight. The relationship between body weight and gonad weight of lalawak was described by the linear equation of y= 5,829ln (x) + 0.691 (r= 0.874), while the body length relationship to the gonad weight was described by the equation of y= 28,52ln (x) - 38.10 (r= 0.7487). Fecundity relationship with body weight of lalawak was closer than the length. The observations also concluded that lalawak is classified as partial spawning.
PERFORMA REPRODUKSI UDANG WINDU, Penaeus monodon TRANSGENIK PASCA INSEMINASI BUATAN MENGGUNAKAN SUMBER SPERMATOFOR YANG BERBEDA Samuel Lante; Andi Tenriulo; Andi Parenrengi
Jurnal Riset Akuakultur Vol 13, No 1 (2018): (Maret 2018)
Publisher : Pusat Riset Perikanan, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (478.356 KB) | DOI: 10.15578/jra.13.1.2018.11-20

Abstract

Udang windu transgenik merupakan udang hasil rekayasa dengan mengintroduksikan gen antivirus yang diisolasi dari udang windu untuk menghasilkan fenotipe yang lebih baik. Domestikasi udang transgenik telah dilakukan dan berhasil memijah/bertelur, tetapi umumnya telurnya infertil yang disebabkan tidak terjadinya pembuahan di tambak pemeliharaan. Udang betina tidak kawin ditandai tidak membawa spermatofor di telikumnya. Upaya untuk mendapatkan telur fertil udang dengan inseminasi buatan (IB) perlu dilakukan. Tujuan penelitian untuk mengevaluasi performa reproduksi udang betina transgenik dan mutu larva yang dihasilkan pasca IB menggunakan sumber spermatofor yang berbeda. Penelitian ini dirancang dengan tiga perlakuan yaitu: IB menggunakan spermatofor udang windu jantan transgenik (SJT), spermatofor udang windu jantan alam Sulawesi Selatan (SulSel) (SJS) dan spermatofor udang windu jantan alam Aceh (SJA). IB dilakukan pada udang windu betina transgenik setelah dua hari moulting. Hasil penelitian menunjukkan bahwa udang windu betina transgenik pasca IB perlakuan SJT menghasilkan total telur fertil sebanyak 766.949 butir, perlakuan SJS 535.644 butir dan perlakuan SJA 678.016 butir dengan daya tetas telur fertil yaitu: pada SJT, SJS, dan SJA masing-masing adalah 53,5%; 53,7%; dan 55,0%. Uji vitalitas larva dengan perendaman dalam larutan formalin 150-200 mg/L, perendaman air tawar: 5-15 menit, dan pengeringan 3-9 menit menghasilkan sintasan larva udang yang relatif sama pada ketiga perlakuan. Nilai morfologi larva perlakuan SJT, SJA, dan SJS adalah masing-masing 85,0; 84,5; dan 75,0. Dari hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa performa reproduksi udang windu betina transgenik dan mutu larva yang dihasilkan pasca IB tidak dipengaruhi oleh sumber spermatofor induk udang windu jantan Penaeus monodon.Transgenic tiger shrimp, Penaeus monodon has been developed in the last decade to equip shrimp with immunity against viral diseases. However, the effort to produce large quantities of specific pathogen resistance (SPR) tiger shrimp seed is hampered by several constraints in the domestication process. The successfulness of domesticated broodstock in producing larvae is very low due to low fertilization rate. An artificial insemination (AI) offers a solution to increase fertilization rate in crustacean. This study was aimed to evaluate the reproductive performance of female transgenic tiger shrimp broodstock and their larval quality after artificially inseminated with males from different sources. The spermatophores of male from different sources i.e. transgenic male spermatophore (SJT), wild male from South Sulawesi (SJS), and wild male from Aceh (SJA) were collected through electric shock and inseminated to female transgenic broodstock two days after moulting. The results showed that the total numbers of fertile eggs produced from SJT, SJS, and SJA treatment were 766,949 pcs; 535,644 pcs; and 678,016 pcs, respectively and not significantly different (P>0.05). Similar to the number of fertile eggs, the hatching rate of eggs of SJT (53.5%), SJS (53.7%), and SJA (55.0%) also did not indicate any significant differences (P>0.05). On the larval vitality test by soaking the larvae in formalin and freshwater as well as by air exposure at different duration showed no significant difference on the survival rate (P>0.05) as indicated by score value at each treatment of 85.0, 84.5, and 75.0 for SJT, SJS, and SJA, respectively. In conclusion, the reproductive performance of female transgenic tiger shrimp and their larval quality were not affected by the different sources of spermatophores inseminated artificially during the spawning cycle.
ESTIMASI HERITABILITAS DAN RESPONS SELEKSI PERSILANGAN IKAN GURAMI (Osphronemus goramy Lac.) Sularto Sularto; Rita Febrianti; Suharyanto Suharyanto
Jurnal Riset Akuakultur Vol 11, No 1 (2016): (Maret 2016)
Publisher : Pusat Riset Perikanan, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (499.278 KB) | DOI: 10.15578/jra.11.1.2016.23-28

Abstract

Ikan gurami (Osphronemus goramy Lac.) dikenal sebagai ikan yang lambat tumbuh. Perbaikan mutu genetik dapat dilakukan untuk mengatasi kendala tersebut, salah satunya adalah melalui program seleksi. Pembentukan populasi dasar dengan menggabungkan persilangan empat populasi Kalimantan, Jambi, Majalengka (M), dan Tasikmalaya dilakukan untuk meningkatkan keragaman genetik. Tujuan penelitian ini untuk mengestimasi nilai heritabilitas dan respons seleksi karakter pertumbuhan bobot ikan gurami hasil persilangan empat populasi gurami sebagai populasi dasar. Persilangan dilakukan dengan rasio jantan: betina (1:1) dan terbentuk 12 famili. Seleksi dilakukan menggunakan metode seleksi famili berdasarkan karakter bobot. Parameter yang diamati adalah karakter pertumbuhan bobot. Data yang digunakan untuk perhitungan etimasi heritabilitas dan respons seleksi adalah data bobot pada umur 11 bulan. Dari data tersebut digunakan untuk menghitung koefisien keragaman (CV), diferensial seleksi (S), estimasi nilai heritabilitas (h2), estimasi respons seleksi (R), dan standard error (SE). Hasil penelitian menunjukkan bahwa populasi dasar yang terbentuk memiliki nilai estimasi heritabilitas 0,4991 yang termasuk kategori tinggi, diferensial seleksi sebesar 124,22 g; sehingga mendapatkan nilai estimasi respons seleksi sebesar 62 g atau (18,2%).Giant gourami (Osphronemus goramy Lac.) is known as a slow growing fish. Genetic improvement can be done to overcome this obstacle; one way is through the selection program. Formation of base population by combining cross four populations can increase genetic diversity. The crosses four populations were: Kalimantan (Borneo), Jambi, Majalengka, and Tasikmalaya. The purpose of this study was to estimate the heritability and response to selection of characters in length and weights of giant gourami from four crosses population as the base population of synthetic material. Crossings were made with the ratio of male: female (1:1) to form 12 families. Selection was made after 11 months old fish. Selection was done using the family selection method based on the body weight character. Observations were conducted on parameter the body weight (BW). The data was used to calculate the coefficient of variance (CV), the selection differential (S), the estimated heritability (h2), the estimated selection response (R), and standard error (SE). The result showed an estimated heritability value was 0.4991 and categorized as high level, amounting to 124.22 g of selection differential, so the estimated selection response value was 62 g (18.2%).

Filter by Year

2006 2025


Filter By Issues
All Issue Vol 20, No 2 (2025): Juni (2025) Vol 20, No 1 (2025): Maret (2025) Vol 19, No 4 (2024): Desember (2024) Vol 19, No 3 (2024): September (2024) Vol 19, No 2 (2024): Juni (2024) Vol 19, No 1 (2024): (Maret 2024) Vol 18, No 4 (2023): (Desember, 2023) Vol 18, No 3 (2023): (September, 2023) Vol 18, No 2 (2023): (Juni, 2023) Vol 18, No 1 (2023): (Maret 2023) Vol 17, No 4 (2022): (Desember 2022) Vol 17, No 3 (2022): (September) 2022 Vol 17, No 2 (2022): (Juni) 2022 Vol 17, No 1 (2022): (Maret, 2022) Vol 16, No 4 (2021): (Desember, 2021) Vol 16, No 3 (2021): (September, 2021) Vol 16, No 2 (2021): (Juni, 2021) Vol 16, No 1 (2021): (Maret, 2021) Vol 15, No 4 (2020): (Desember, 2020) Vol 15, No 3 (2020): (September, 2020) Vol 15, No 2 (2020): (Juni, 2020) Vol 15, No 1 (2020): (Maret, 2020) Vol 14, No 4 (2019): (Desember, 2019) Vol 14, No 3 (2019): (September, 2019) Vol 14, No 2 (2019): (Juni, 2019) Vol 14, No 1 (2019): (Maret, 2019) Vol 13, No 4 (2018): (Desember 2018) Vol 13, No 3 (2018): (September 2018) Vol 13, No 2 (2018): (Juni, 2018) Vol 13, No 1 (2018): (Maret 2018) Vol 12, No 3 (2017): (September 2017) Vol 12, No 4 (2017): (Desember 2017) Vol 12, No 2 (2017): (Juni 2017) Vol 12, No 1 (2017): (Maret 2017) Vol 11, No 3 (2016): (September 2016) Vol 11, No 4 (2016): (Desember 2016) Vol 11, No 2 (2016): (Juni 2016) Vol 11, No 1 (2016): (Maret 2016) Vol 8, No 3 (2013): (Desember 2013) Vol 5, No 3 (2010): (Desember 2010) Vol 5, No 2 (2010): (Agustus 2010) Vol 5, No 1 (2010): (April 2010) Vol 2, No 2 (2007): (Agustus 2007) Vol 2, No 1 (2007): (April 2007) Vol 1, No 1 (2006): (April 2006) Vol 10, No 4 (2015): (Desember 2015) Vol 10, No 3 (2015): (September 2015) Vol 10, No 2 (2015): (Juni 2015) Vol 10, No 1 (2015): (Maret 2015) Vol 9, No 3 (2014): (Desember 2014) Vol 9, No 2 (2014): (Agustus 2014) Vol 9, No 1 (2014): (April 2014) Vol 8, No 2 (2013): (Agustus 2013) Vol 8, No 1 (2013): (April 2013) Vol 7, No 3 (2012): (Desember 2012) Vol 7, No 2 (2012): (Agustus 2012) Vol 7, No 1 (2012): (April 2012) Vol 6, No 3 (2011): (Desember 2011) Vol 6, No 2 (2011): (Agustus 2011) Vol 6, No 1 (2011): (April 2011) Vol 4, No 3 (2009): (Desember 2009) Vol 4, No 2 (2009): (Agustus 2009) Vol 4, No 1 (2009): (April 2009) Vol 3, No 3 (2008): (Desember 2008) Vol 3, No 2 (2008): (Agustus 2008) Vol 3, No 1 (2008): (April 2008) Vol 2, No 3 (2007): (Desember 2007) Vol 1, No 3 (2006): (Desember 2006) Vol 1, No 2 (2006): (Agustus 2006) More Issue