cover
Contact Name
Ilham
Contact Email
Ilham.fishaholic@gmail.com
Phone
+6221-64700928
Journal Mail Official
jra.puslitbangkan@gmail.com
Editorial Address
Gedung Balibang KP II, Lantai 2 Jl. Pasir Putih II, Ancol Timur, Jakarta Utara 14430
Location
Kab. jembrana,
Bali
INDONESIA
Jurnal Riset Akuakultur
ISSN : 19076754     EISSN : 25026534     DOI : http://doi.org/10.15578/JRA
Core Subject : Agriculture, Social,
Jurnal Riset Akuakultur as source of information in the form of the results of research and scientific review (review) in the field of various aquaculture disciplines include genetics and reproduction, biotechnology, nutrition and feed, fish health and the environment, and land resources in aquaculture
Arjuna Subject : Umum - Umum
Articles 763 Documents
ANALISIS VARIASI GENOTIPE IKAN KELABAU (Osteochilus kelabau) DENGAN METODE MITOKONDRIA-RESTRICTION FRAGMENT LENGTH POLYMORPHISM (RFLP) Mulyasari Mulyasari; Iskandariah Iskandariah; Anang Hari Kristanto; Gleni Hasan Huwoyon
Jurnal Riset Akuakultur Vol 5, No 1 (2010): (April 2010)
Publisher : Pusat Riset Perikanan, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (203.822 KB) | DOI: 10.15578/jra.5.1.2010.43-51

Abstract

Ikan kelabau (Osteochilus kelabau) adalah salah satu jenis ikan ekonomis penting di perairan Kalimantan yang populasinya menurun. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis variasi genotipe ikan kelabau dengan metode DNA mitokondria-Restrictrion Fragment Length Polymorphism (RLFP) sehingga diperoleh informasi tentang status genotipe ikan kelabau sebagai bahan masukan dalam penentuan pengelolaan ikan tersebut. Hasil menunjukkan bahwa ikan kelabau dari empat lokasi di daerah Kalimantan Barat memiliki variasi genotipe yang rendah dengan komposit haplotipe 0-0,189. Tiga komposit haplotipe terdeteksi dengan menggunakan 5 enzim restriksi yaitu Rsa I, Hae III, Taq I, Hin6 I, dan Alu I pada sekuens 16S-rRNA. Perbedaan yang nyata terlihat antara populasi Sintang dengan populasi lainnya. Jarak genetik terdekat adalah antara populasi ikan kelabau dari Pontianak dengan populasi ikan dari Sekadau, sedangkan jarak genotipe terjauh  adalah antara populasi ikan kelabau dari Sintang dengan populasi ikan dari Pontianak dan Sekadau dan ternyata ikan kelabau dari Sintang berbeda spesies dengan yang dari lokasi lainnya
FAKTOR PENGELOLAAN YANG MEMPENGARUHI TINGKAT PRODUKSI RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii DI PERAIRAN PANTAI SELATAN PROVINSI SULAWESI SELATAN Erna Ratnawati; Akhmad Mustafa; Rohama Daud
Jurnal Riset Akuakultur Vol 5, No 3 (2010): (Desember 2010)
Publisher : Pusat Riset Perikanan, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (220.185 KB) | DOI: 10.15578/jra.5.3.2010.491-504

Abstract

Perairan pantai Kabupaten Jeneponto, Bantaeng, dan Bulukumba merupakan sentra produksi rumput laut Kappaphycus alvarezii di Sulawesi Selatan. Pengelolaan budidaya yang dilakukan oleh pembudidaya di daerah tersebut cukup bervariasi sehingga dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui faktor pengelolaan budidaya yang mempengaruhi produksi rumput laut. Metode survai melalui pengajuan kuesioner kepada 62 responden secara terstruktur. Sebagai peubah tidak bebas dalam penelitian ini adalah produksi rumput laut, sedangkan peubah bebas adalah faktor pengelolaan budidaya. Analisis regresi berganda dengan peubah boneka digunakan untuk memprediksi produksi rumput laut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa produksi rumput laut di perairan selatan Sulawesi Selatan berkisar antara 463-5.000 dengan rata-rata 1.502,3 kg kering/3.000 m2 yang dibudidayakan dengan tali panjang. Faktor pengelolaan budidaya yang mempengaruhi produksi rumput laut adalah jarak antar tali ris, jarak antar rumpun dalam tali ris, hama baronang, penyakit ice-ice, bobot bibit, asal bibit dan sumber cemaran. Untuk meningkatkan produksi rumput laut di perairan selatan Sulawesi Selatan dapat dilakukan melalui peningkatan bobot bibit antara 36,9 sampai 100,0 g/rumpun, menggunakan bibit yang tidak diangkut terlalu lama, tidak menambah jarak antar tali ris sampai melebihi 1,0 m, tidak menambah jarak antar rumpun dalam tali ris yang melebihi 25 cm serta melakukan penanaman berdasar kalender musim tanam untuk mencegah terjadinya serangan hama dan penyakit serta cemaran.Coastal waters of Jeneponto, Bantaeng, and Bulukumba Regencies are the centre of seaweed Kappaphycus alvarezii production in South Sulawesi. Culture management practices applied by farmers in these areas are highly variable. Therefore, this research was conducted to study culture management practices affect the seaweed production in the area. Field survey was conducted by interviewing 62 respondents using questionnaires. The dependent variable in this research was seaweed production, while the independent variables were culture management factors. Multiple regressions with dummy variable were employed to analyze the data to predict seaweed production. The results show that the seaweed productions per one cycle in the south coastal waters of South Sulawesi were ranging from 463 to 5,000 kg dry/3,000 m2. Using long line method, the average yield production was 1,502.3 kg dry/3,000 m2. Culture management practices that affect the seaweed production were distance between ropes, distance between seaweed seeds along the rope, rabbitfish predatory, ice-ice disease, weight of seed, seed origin, and source of pollution. Increasing seaweed production in the south coastal waters of South Sulawesi could be done through increasing weight of seed from 36.9 to 100.0 g/clump, quicker transport of seed, maintaining the distance between the ropes not more than 1.0 m, not increasing the distance between clump along the ropes more than 25 cm along as well as conducting seed planting based on cultivating season to prevent pest diseases and pollution.
BUDIDAYA RUMPUT LAUT Sargassum sp. DENGAN METODE KANTONG PADA BEBERAPA TINGKAT KEDALAMAN DI DUA WILAYAH PERAIRAN BERBEDA Muslimin Muslimin; Wiwin Kusuma Perdana Sari
Jurnal Riset Akuakultur Vol 12, No 3 (2017): (September 2017)
Publisher : Pusat Riset Perikanan, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (586.364 KB) | DOI: 10.15578/jra.12.3.2017.221-230

Abstract

Optimalisasi produksi rumput laut memerlukan teknologi budidaya yang tepat. Rumput laut Sargassum sp. mudah mengalami kerontokan talus. Hal inilah yang melatarbelakangi perlunya kajian penerapan metode kantong untuk budidaya rumput laut Sargassum sp. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui respons pertumbuhan rumput laut Sargassum sp. yang dibudidayakan dengan metode kantong pada beberapa tingkat kedalaman. Penelitian dilakukan di dua lokasi berbeda yakni perairan Kabupaten Pohuwato Provinsi Gorontalo dan perairan Kabupaten Bolaang Mongondow Utara Provinsi Sulawesi Utara pada bulan Maret-Mei 2016. Desain penelitian menggunakan RAL faktorial yang terdiri atas faktor wadah kantong (tanpa kantong, wadah kantong dengan ukuran mata jaring 1,5; 0,75; dan 0,25 inci) dan kedalaman (permukaan 0; 50; 100; 150; dan 200 cm) masing-masing diulang lima kali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor wadah kantong dan kedalaman, serta interaksi keduanya berpengaruh terhadap pertumbuhan rumput laut Sargassum sp. pada taraf uji 5% (P<0,05) di kedua lokasi penelitian. Pertumbuhan terbaik diperoleh dari perlakuan K0D0 (tanpa kantong dan di permukaan air) sedangkan pertumbuhan terendah terjadi pada perlakuan K3D4 (kantong meshsize 0,25 inci pada kedalaman 200 cm). Bobot tertinggi di lokasi-I mencapai 235,8 g dan terendah 19,2 g; sedangkan di lokasi-II tertinggi 208,4 g dan terendah 42,2 g. Penggunaan kantong rumput laut kurang efektif dalam memacu pertumbuhan rumput laut Sargassum sp. Pertumbuhan sangat dipengaruhi oleh intensitas cahaya, karenanya budidaya Sargassum sp. perlu memperhatikan faktor kedalaman perairan yang berkorelasi dengan intensitas cahaya matahari.Optimization of seaweed production requires an appropriate cultivation technology. The thallus of Sargassum sp. is easy to break. This was the underlying reason to study the application of bag method in cultivating Sargassum sp. The research aimed to find out the growth response of Sargassum sp. cultivated using bag method at various depth levels. The research was conducted in two different locations, namely Pohuwato Regency Gorontalo and North Bolaang Mongondow Regency North Sulawesi from March to May 2016. The experiment was carried out using the factorial design, consisting of bag factor (without bag; mesh size bag of 1.5; 0.75; and 0.25 inches) and depth factor (surface 0; 50; 100; 150; and 200 cm) with five replications. Results of the research showed that both parameters (bag and the depth factor) and their interaction have affected the growth of Sargassum sp. at 5% confidence level (P<0.05) in both locations. The highest growth response was found in K0D0 treatment (without bag on the water surface) whereas the lowest growth was showed by K3D4 treatment (mesh size bag of 0.25 inches at 200 cm depth). The highest weight at location-I was 235.8 g and the lowest weight was 19.2 g. In location-II, the highest weight was 208.4 g and the lowest was 42.2 g. The use of bags was ineffective in boosting the growth of cultured Sargassum sp. The growth of seaweed is strongly influenced by the intensity of light. Therefore, it is recommended that the cultivation of Sargassum sp. should consider the relationship between the water depth factor and the intensity of sunlight
PENGGUNAAN PENANDA GENETIK TUMBUH CEPAT UNTUK PRODUKSI CALON INDUK KERAPU SUNU, Plectropomus leopardus DALAM PROGRAM SELEKSI Sari Budi Moria Sembiring; Haryanti Haryanti; Ketut Suwirya; Ida Komang Wardana; Tatam Sutarmat; Hirmawan Tirta Yudha
Jurnal Riset Akuakultur Vol 7, No 1 (2012): (April 2012)
Publisher : Pusat Riset Perikanan, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1866.459 KB) | DOI: 10.15578/jra.7.1.2012.1-9

Abstract

Penurunan kualitas benih kerapu seringkali diindikasikan dengan pertumbuhan yang lambat, rentan terhadap infeksi penyakit, dan perubahan lingkungan serta terjadinya abnormalitas. Upaya perbaikan sifat genetik benih kerapu akan memberikan dampak signifikan dalam keberhasilan budidaya. Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh penanda gen tumbuh cepat pada benih/calon induk kerapu sunu sehingga dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas pemuliaan. Untuk mendapatkan penciri gen tumbuh cepat digunakan metode analisis mikrosatelit (SSR/Simple Sequence Repeats) dengan mengaplikasikan enam set primer (forward dan reverse). Calon induk yang digunakan untuk analisis masing-masing berjumlah 4 ekor ukuran kecil dan 10 ekor ukuran besar. Validasi dan akurasi lokus yang dihasilkan dianalisis lebih lanjut dengan sequencing. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa penanda gen tumbuh cepat dapat terlihat dari lokus PL-03 dengan alel/fragmen DNA pada berat molekul 370 bp. Tingkat keakuratan penanda gen tersebut pada kelompok ukuran besar mencapai 80%, sedangkan pada kelompok ukuran kecil hanya 30%. Hal ini juga didukung dengan keakuratan prediksi dari hasil sequencing memberikan nilai kemiripan sebesar 99%. Dengan demikian lokus PL-03 dapat digunakan sebagai penanda gen tumbuh cepat pada ikan kerapu sunu dalam mempercepat seleksi calon induk.
DETERMINASI JENIS KELAMIN PADA IKAN KERAPU SUNU (Plectropomus leopardus) DENGAN UJI SEROLOGI Sari Budi Moria Sembiring; Agus Priyono; Jhon Harianto Hutapea; Tony Setiadharma
Jurnal Riset Akuakultur Vol 8, No 2 (2013): (Agustus 2013)
Publisher : Pusat Riset Perikanan, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (238.095 KB) | DOI: 10.15578/jra.8.2.2013.181-189

Abstract

Dalam rangka mendukung kegiatan budidaya, maka penentuan jenis kelamin ikan menjadi sangat penting dalam program pemijahan khususnya pada jenis ikan yang hermafrodit. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan jenis kelamin ikan kerapu sunu menggunakan uji serologi dalam mendukung manajemen pemijahan dan pengembangan perbenihan ikan kerapu sunu. Penelitian ini dilakukan dengan metode ELISA dan western blot. Kit estradiol-17β dan 11-KT testosterone digunakan dalam metode ELISA, sedangkan antibodi Cyp19a1a (CT), Z-fishTM digunakan dalam metode western blot. Gonad dari induk kerapu sunu yang mati juga dianalisis secara histologis. Sampel darah diambil dari semua ikan (47 ekor) dengan kisaran bobot ikan uji 1,2-3,0 kg. Analisis kandungan testosteron dilakukan untuk semua sampel dan hanya 24 sampel dianalisis estradiol, keduanya dengan metode ELISA. Delapan sampel dianalisis estradiolnya dengan metode western blot. Berdasarkan kadar testosteron dan estradiol-17β dalam darah, menunjukkan sebanyak 12 ekor (37,5%) positif berkelamin jantan dari 32 ekor yang dianalisis, sedangkan berdasarkan kadar estradiol sebanyak tujuh ekor (29,16%) dari 24 ekor yang dianalisis merupakan ikan yang berjenis kelamin betina. Dengan metode western blot, dari delapan sampel yang dianalisis hanya tiga sampel (No Tagging 421048486E; 42135F1A5D; 42102G7A22) yang positif berjenis kelamin betina. Berdasarkan data histologis menunjukkan bahwa ukuran (panjang dan bobot) belum dapat menentukan jenis kelamin dari ikan kerapu sunu secara morfologi. Dari kedua metode yang digunakan untuk determinasi jenis kelamin induk ikan kerapu sunu, metode western blot memberikan hasil yang lebih sensitif dan spesifik daripada metode ELISA.
SUHU OPTIMUM UNTUK LAJU PERTUMBUHAN DAN SINTASAN BENIH LOBSTER AIR TAWAR Cherax quadricarinatus Irin Iriana Kusmini; Wartono Hadie; Elinda P Sianipar
Jurnal Riset Akuakultur Vol 1, No 1 (2006): (April 2006)
Publisher : Pusat Riset Perikanan, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (428.473 KB) | DOI: 10.15578/jra.1.1.2006.67-72

Abstract

Tujuan penelitian untuk mengetahui pengaruh suhu air yang memberikan hasil terbaik bagi laju pertumbuhan dan sintasan benih lobster air tawar, red claw. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) yang terdiri atas empat perlakuan, yaitu pada suhu air 26°C, 28°C, 30°C, dan 32°C; masing-masing perlakuan tiga ulangan. Parameter yang diamati adalah laju pertumbuhan harian dan sintasan benih lobster red claw. Hasil penelitian menunjukkan bahwa laju pertumbuhan harian dan sintasan benih lobster tertinggi terdapat pada suhu 28°C, yaitu sebesar 1,15% dan 85,93%. Laju pertumbuhan harian dan sintasan benih lobster mencapai optimum pada suhu 28°C, yaitu sebesar 1,05% dan 85,93%.The aim this research was to find out the effect of water temperature to the growth and survival rate of red claw crayfish (Cherax quadricarinatus) juvenile. The experiment design used completely randomized design (CRD) with four treatments of water temperature i.e. 26°C, 28°C, 30°C, 32°C and each of the treatments was replicated three times. Parameters observed are daily growth rate and survival rate of red claw crayfish juvenile. The result showed that temperatures were effected to growth rate and survival rate of red claw crayfish juvenile which expressed through quadratic response curve. The highest daily growth rate and survival rate of red claw crayfish fry was found on temperature 28°C C i.e. 1.15% and 85.93%. The optimum growth rate and survival rate was found on temperature 28°C i.e. 1.05% and 85.93%.
PEMETAAN HABITAT DASAR PERAIRAN PANTAI DAN IMPLIKASINYA BAGI PENGEMBANGAN BUDI DAYA RUMPUT LAUT: Studi Kasus di Perairan Mensanak, Kabupaten Lingga, Provinsi Kepulauan Riau I Nyoman Radiarta
Jurnal Riset Akuakultur Vol 2, No 2 (2007): (Agustus 2007)
Publisher : Pusat Riset Perikanan, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (199.471 KB) | DOI: 10.15578/jra.2.2.2007.271-280

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk melakukan pemetaan habitat dasar perairan pantai yang selanjutnya digunakan untuk menganalisis kesesuaian lahan bagi budi daya rumput laut dengan sistem tebar dasar. Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas data citra satelit Landsat 7, data lapangan, dan data sekunder lainnya. Sebanyak 90 titik sampling yang tersebar secara acak telah dikumpulkan selama survai lapangan pada bulan Januari 2002. Pemetaan habitat dasar dilakukan dengan menggunakan persamaan Lyzenga. Berdasarkan klasifikasi ekologi, habitat dasar perairan diklasifikasikan menjadi empat kelas sesuai dengan dominasi jenis habitat dan implikasinya bagi pengembangan budi daya rumput laut, yaitu zona pasir, zona substrat, zona seagrass, dan zona karang hidup. Dari total potensial area untuk kegiatan budi daya rumput laut seluas 44 km2, hanya 8 km2 (19%) yang tergolong sangat sesuai.This study was conducted to map coastal sea bed habitat in order to identify suitability area for seaweed culture using bottom culture technique. Used data in this study comprised of satellite remote sensing of Landsat 7 data, field observation data and other secondary data. Total of 90 sampling points were collected during the field observation in January 2002. In order to map sea bed habitat, Lyzenga algorithm was used. Based on ecological classification which was emphasis on dominance of type of each habitat and implication to seaweed culture, this study was able to classified sea bed habitat into four classes such as bare sand zone, substrate zone, seagrass zone, and life coral zone. From the total potential area for seaweed culture about 44 km2, only about 8 km2 (19%) is categorized into very suitable.
APLIKASI BFT-HETEROTROPIK SISTEM DALAM PRODUKSI BENIH IKAN BANDENG (Chanos chanos) Gusti Ngurah Permana; Haryanti Haryanti; Ida Komang Wardana; Ahmad Muzaki
Jurnal Riset Akuakultur Vol 9, No 3 (2014): (Desember 2014)
Publisher : Pusat Riset Perikanan, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (862.237 KB) | DOI: 10.15578/jra.9.3.2014.363-375

Abstract

Salah satu kendala utama dalam pembenihan ikan bandeng adalah menurunnya kualitas benih dan ketersediaan rotifer. Teknologi bioflok yang melibatkan bakteri, mikroalga, dan bahan organik dalam air merupakan salah satu alternatif untuk memecahkan masalah tersebut. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi pengaruh Bio-Floc Technology (BFT) pada produksi benih ikan bandeng. Penelitian ini menggunakan bak beton volume 4 m3. Aplikasi bakteri heterotrop sebagai penyusun flok menggunakan tiga variasi perlakuan, yaitu: (A) bioflok + rotifer 100% (100 ind./mL), (B) bioflok dan pengurangan rotifer 25% (75 ind./mL), (C) bioflok dan pengurangan 50% rotifer (50 ind./mL), dan sebagai kontrol (K) adalah tanpa pemberian bioflok atau pemeliharaan larva dengan 100% rotifer (100 ind./mL). Perlakuan tersebut diulang sebanyak tiga kali, data dianalisis menggunakan ANOVA. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa bioflok merupakan kombinasi/campuran dari bakteri, mikroalga, detritus, dan protozoa. Bakteri pembentuk bioflok banyak didominasi oleh Bacillus. Hasil pengamatan terhadap sintasan ikan bandeng menunjukkan bahwa perlakuan bioflok + rotifer 100% memberikan sintasan tertinggi yaitu 26% berbeda nyata (P<0,05), pengurangan rotifer 25% dengan sintasan 25%, sedangkan pada pengurangan 50% feeding rate dengan sintasan20% dan kontrol (tanpa bioflok) 15,03%. Hal yang sama terjadi pada pertumbuhan benih bandeng yang menunjukkan bahwa pembentukan bioflok memberikan pertumbuhan yang lebih baik. Kualitas benih tertinggi yang ditunjukkan dari analisis rasio RNA : DNA diperoleh pada perlakuan bioflok + rotifer 100% (1,33); pengurangan rotifer 25% (1,08); pengurangan rotifer 50% (0,91)% dan nilai yang paling rendah adalah kontrol (0,42). Kualitas air media pemeliharaan relatif stabil terutama pH dan DO, sedangkan amonia antar perlakuan tidak berbeda nyata (P>0,05). Populasi Vibrio dapat ditekan hingga mencapai 102 cfu/mL. Nampaknya, bioflok ini dapat menjadi makanan dengan nutrisi tinggi bagi ikan bandeng.
EVALUASI RINCI KARAKTERISTIK DAN TINGKAT KESESUAIAN LAHAN TAMBAK DI KECAMATAN BALUSU KABUPATEN BARRU PROVINSI SULAWESI SELATAN Tarunamulia Tarunamulia; Akhmad Mustafa
Jurnal Riset Akuakultur Vol 4, No 3 (2009): (Desember 2009)
Publisher : Pusat Riset Perikanan, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (843.659 KB) | DOI: 10.15578/jra.4.3.2009.425-438

Abstract

Upaya peningkatan produksi tambak yang optimal dan berkelanjutan mutlak didukung oleh informasi karakteristik lahan yang rinci dan mudah diinterpretasi oleh berbagai stakeholder. Ketersediaan informasi spasial tambak di berbagai daerah di Indonesia utamanya masih diperuntukkan bagi kebutuhan umum perencanaan tata ruang wilayah pesisir dan pantai tingkat provinsi dan kabupaten. Dengan demikian data tersebut tentunya belum memuat informasi yang berhubungan langsung dengan upaya pengelolaan dan peningkatan produktivitas lahan tambak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik dan menilai tingkat kesesuaian secara rinci lahan tambak pada salah satu kawasan tambak di Kecamatan Balusu Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan melalui analisis spasial. Informasi spasial secara rinci yang meliputi tata letak tambak dan saluran tambak termasuk penggunaan lahan di sekitar tambak diekstrak dari citra satelit resolusi tinggi Quickbird akuisisi tahun 2007. Pengambilan sampel tanah tambak mengikuti metode acak bertingkat (Stratified random sampling) pada wilayah pertambakan. Hasil analisis spasial peubah kimia tanah yang secara rinci dikelompokkan menurut peubah yang mewakili tingkat kemasaman dan kesuburan tanah menunjukkan bahwa hamparan tambak eksisting umumnya memiliki karakteristik tanah yang masam dengan tingkat kesuburan yang rendah. Lebih lanjut diketahui bahwa dari total lahan tambak 548,33 ha yang disurvai; 260,6 ha lahan tersebut berkategori kurang layak; 283,3 ha layak; dan hanya sekitar 4,43 ha yang berkategori sangat layak. Namun demikian 52,47% lahan yang berstatus layak hingga sangat layak tersebut juga masih dapat berubah status menjadi kurang layak dengan adanya batasan aspek hidrologis, utamanya tingkat ketersediaan air yang mengandalkan jaringan saluran tambak.The current national plan to increase shrimp production to the optimum and sustainable level must be supported by adequate and accurate information on detailed spatial characteristics of coastal areas. The spatial characteristics must also be interpretable or readable to most aquaculture stakeholders. However, the existing available spatial information of land-based aquaculture in most of regions in Indonesia is so far only employed for the global spatial planning of coastal areas (provincial and regency level). In fact, the available information does not have enough detail if it is intended for pond management and engineering applications with respects to upgrading pond productivity. The purpose of this study was to understand the detailed soil characteristics and to assess the level of suitability of the existing brackishwater pond areas in Balusu Sub-district Barru Regency, South Sulawesi with the application of spatial analysis. The detailed spatial information comprising pond layout, canal network and adjacent land use/land cover around the pond unit area was extracted from quickbird satellite imagery acquired in 2007. Soil samples were collected following a stratified random sampling method over shrimp farming areas. Output of spatial analysis of chemical soil variables that were divided into variables representing the level of soil acidity and variables indicating soil fertility showed in general that most of the pond units have high level of soil acidity and can be categorized as marginal land  with low level of soil fertility. Furthermore, the analysis showed that from 548.33 ha area of surveyed fish pond areas, 260.6 ha were categorized as less suitable, 283.3 ha were suitable, and only 4.43 ha were in the category of highly suitable. Although there were 52.47% of the total area classified in the category of suitable to highly suitable, the status might switch to less suitable if there is not enough attention paid onto the existing limiting factors such as the less optimal function of the present canal networks as the main source of tide-water supply for all pond units.
INDUKSI HORMONAL MATURASI GONAD IKAN GABUS (Channa striata) Muhammad Hunaina Fariduddin Ath-thar; Rudhy Gustiano; Irin Iriana Kusmini; Vitas Atmadi Prakoso; Fera Permata Putri
Jurnal Riset Akuakultur Vol 12, No 1 (2017): (Maret 2017)
Publisher : Pusat Riset Perikanan, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (321.911 KB) | DOI: 10.15578/jra.12.1.2017.9-20

Abstract

Ikan gabus (Channa striata) merupakan ikan lokal air tawar potensial untuk pengembangan budidaya di Indonesia. Sebagian besar produksi ikan gabus berasal dari tangkapan di alam yang menyebabkan menurunnya populasi ikan gabus. Domestikasi merupakan salah satu solusi dari masalah ini. Dewasa ini, ikan gabus telah dapat dipijahkan baik secara alami maupun buatan. Namun demikian produksi benih yang dihasilkan masih bergantung pada kondisi lingkungan. Tujuan penelitian adalah mendapatkan dosis oodev yang optimal untuk pematangan gonad ikan gabus, pemijahan alami, dan analisis performa pertumbuhan keturunan pertama. Jumlah larva yang dihasilkan dari pemijahan alami ikan gabus pada lingkungan ex situ adalah 1.250-5.000 ekor per induk. Berdasarkan pertambahan diameter dan fase kematangan telur, induksi hormon dengan dosis 1,5 mL/kg menunjukkan hasil terbaik dibandingkan perlakuan lain (perlakuan dosis 0,5 dan 1 mL/kg). Benih ikan gabus hasil pemijahan alami di luar habitat menunjukkan populasi Bogor memberikan performa pertumbuhan mutlak bobot (1,7 ± 0,06 g); laju pertumbuhan spesifik (2,6% ± 0,10%); dan sintasan (86,43% ± 1,32%) lebih baik dibandingkan benih ikan gabus populasi Palembang.Striped snakehead (Channa striata) is a market potential of local fish in Indonesia. Up to now (to date), the majority of production comes from natural catches. This condition, if continues, can lead to the decline in natural stock. Domestication offers a promising solution to help solve this problem. So far, natural spawning for seed production has been done succcesfully. However, continuity of fish supply is still very much dependent on environmental factors. The present study aimed to investigate the optimal hormone dosage for inducing gonad maturation, natural spawning and to analyze growth performance of fry resulted from natural spawning. Striped snakehead broodstock from Palembang and Bogor were induced with three dosages of oodev (consisted of Pregnant Mare’s Serum Gonadotropin and Aromatase Inhibitor) treatment for gonad maturation (0.5 mL/kg; 1 mL/kg and 1.5 mL/kg) with three replications. The reproductive parameters as oocyte diameter and development were measured. Striped snakehead were spawned naturally with male and female ratio of 1:1. Growth performance of seed were analyzed for 40 days of rearing. The result showed that oodev enabled to speed up gonad maturation process. Broodstock induced with 1.5 mL/kg oodev showed the biggest egg diameter and was significantly different from other treatments (P<0.05). Fry count resulted from natural spawning ranged from 1,250 to 5,000/broodstock. The broodstock from Bogor produced higher total weight gain (1.7±0.06 g) and better specific growth rate (2.6%±0.10%) than that of Palembang as well as survival rate (86.43%±1.32%).

Filter by Year

2006 2025


Filter By Issues
All Issue Vol 20, No 2 (2025): Juni (2025) Vol 20, No 1 (2025): Maret (2025) Vol 19, No 4 (2024): Desember (2024) Vol 19, No 3 (2024): September (2024) Vol 19, No 2 (2024): Juni (2024) Vol 19, No 1 (2024): (Maret 2024) Vol 18, No 4 (2023): (Desember, 2023) Vol 18, No 3 (2023): (September, 2023) Vol 18, No 2 (2023): (Juni, 2023) Vol 18, No 1 (2023): (Maret 2023) Vol 17, No 4 (2022): (Desember 2022) Vol 17, No 3 (2022): (September) 2022 Vol 17, No 2 (2022): (Juni) 2022 Vol 17, No 1 (2022): (Maret, 2022) Vol 16, No 4 (2021): (Desember, 2021) Vol 16, No 3 (2021): (September, 2021) Vol 16, No 2 (2021): (Juni, 2021) Vol 16, No 1 (2021): (Maret, 2021) Vol 15, No 4 (2020): (Desember, 2020) Vol 15, No 3 (2020): (September, 2020) Vol 15, No 2 (2020): (Juni, 2020) Vol 15, No 1 (2020): (Maret, 2020) Vol 14, No 4 (2019): (Desember, 2019) Vol 14, No 3 (2019): (September, 2019) Vol 14, No 2 (2019): (Juni, 2019) Vol 14, No 1 (2019): (Maret, 2019) Vol 13, No 4 (2018): (Desember 2018) Vol 13, No 3 (2018): (September 2018) Vol 13, No 2 (2018): (Juni, 2018) Vol 13, No 1 (2018): (Maret 2018) Vol 12, No 3 (2017): (September 2017) Vol 12, No 4 (2017): (Desember 2017) Vol 12, No 2 (2017): (Juni 2017) Vol 12, No 1 (2017): (Maret 2017) Vol 11, No 3 (2016): (September 2016) Vol 11, No 4 (2016): (Desember 2016) Vol 11, No 2 (2016): (Juni 2016) Vol 11, No 1 (2016): (Maret 2016) Vol 8, No 3 (2013): (Desember 2013) Vol 5, No 3 (2010): (Desember 2010) Vol 5, No 2 (2010): (Agustus 2010) Vol 5, No 1 (2010): (April 2010) Vol 2, No 2 (2007): (Agustus 2007) Vol 2, No 1 (2007): (April 2007) Vol 1, No 1 (2006): (April 2006) Vol 10, No 4 (2015): (Desember 2015) Vol 10, No 3 (2015): (September 2015) Vol 10, No 2 (2015): (Juni 2015) Vol 10, No 1 (2015): (Maret 2015) Vol 9, No 3 (2014): (Desember 2014) Vol 9, No 2 (2014): (Agustus 2014) Vol 9, No 1 (2014): (April 2014) Vol 8, No 2 (2013): (Agustus 2013) Vol 8, No 1 (2013): (April 2013) Vol 7, No 3 (2012): (Desember 2012) Vol 7, No 2 (2012): (Agustus 2012) Vol 7, No 1 (2012): (April 2012) Vol 6, No 3 (2011): (Desember 2011) Vol 6, No 2 (2011): (Agustus 2011) Vol 6, No 1 (2011): (April 2011) Vol 4, No 3 (2009): (Desember 2009) Vol 4, No 2 (2009): (Agustus 2009) Vol 4, No 1 (2009): (April 2009) Vol 3, No 3 (2008): (Desember 2008) Vol 3, No 2 (2008): (Agustus 2008) Vol 3, No 1 (2008): (April 2008) Vol 2, No 3 (2007): (Desember 2007) Vol 1, No 3 (2006): (Desember 2006) Vol 1, No 2 (2006): (Agustus 2006) More Issue