cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota denpasar,
Bali
INDONESIA
KERTHA WICAKSANA
Published by Universitas Warmadewa
ISSN : -     EISSN : -     DOI : -
Core Subject :
Arjuna Subject : -
Articles 166 Documents
PENYELESAIAN SENGKETA UTANG PIUTANG MELALUI PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG (PKPU) DI PENGADILAN NIAGA (Studi Kasus PKPU PT.Rendamas Realty dan Jane Christina Tjandra, Putusan No.4/Pdt-Sus/PKPU/2017/PN.Niaga Sby) I Made Arjaya; A.A Sagung Laksmi Dewi
KERTHA WICAKSANA Vol. 12 No. 1 (2018)
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Warmadewa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22225/kw.12.1.2018.46-55

Abstract

Abstrak Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui Kewenangan Pengurus/Kuratordan Prosedur Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU)/ Kepailitan PT. Rendamas Realty dan Jane Christina Tjandra di Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Surabaya. Jenis penelitian yang dipergunakan adalah penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan kasus. Hasil yang diperoleh adalah Kewenangan Pengurus dalamPenundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) PT. Rendamas Realty dan Jane Christina Tjandra di Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Surabaya adalah mengumumkan Putusan, menyelenggarakan Rapat-rapat,menerima dan menyiapkan Daftar Tagihan Kreditor,menyiapkan Rencana Perdamaian,menyiapkan Daftar Voting dan membuat Laporan.Prosedur Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang diawali dengan adanya Permohonan yang diajukan oleh Debitor atau oleh Kreditor. Permohonan tersebut harus dikabulkan oleh Pengadilan dengan menerbitkan Putusan yang berisi Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Sementara (PKPUS) paling lama 45 hari dan dapat diperpanjang dengan menerbitkan Putusan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Tetap (PKPUT) paling lama 270 hari. Putusan PKPU harus menunjuk Hakim Pengawas dari hakim pengadilan serta mengangkat 1 (satu) atau lebih Pengurus yang bersama dengan Debitor mengurus harta Debitor. Kata kunci: Kepailitan, Kurator, Debitor, Kreditor Abstract The purpose of the research is to know the authority of administrator and the prosedures of rescheduling debt payment/ bankruptcyPT. Rendamas Realty dan Jane Christina Tjandra at Surabaya Comercial Court. The type of research is normative law research with statute approach and case approach. The result is The Administrator/Receiver have authority to announced court statement, organizing meetings, receive registration, prepare the creditor bill list, preparing settelmen plan, prepare a voting list and make a report. The procedures of rescheduling debt payment begins with an application filed by a debtor or creditor. The application must be granted by the court by issuing a statement for 45 days and can be extended up to 270 days. Keywords: Bankrupcy, Receiver, Debtor, Creditor
Perlindungan Hukum Bagi Pelaku Usaha Taksi Daring dalam Perspektif Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat I Gede Putu Sudiarta; I Nyoman Putu Budiartha; Ni Made Puspasutari Ujianti
KERTHA WICAKSANA Vol. 13 No. 2 (2019)
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Warmadewa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22225/kw.13.2.2019.85-89

Abstract

Abstrak Salah satu hal yang terjadi mengenai timbulnya persaingan tidak sehat, yaitu adanya kedekatan para pelaku usaha dengan orang yang memiliki kekuasaan tinggi yang dapat memberikan kemudahan untuk melakukan sesuatu. Sekelompok pelaku usaha yang melakukan kerjasama dengan pelaku usaha lainnya dapat dikatakan telah melakukan praktek monopoli seperti yang terjadi di bandara dimana taksi daring tidak dapat menjemput maupun mengantar penumpang masuk ke bandara. Dasar hukum dalam perjanjian kerjasama yaitu diatur dalam pasal 1320 KUHperdata, pasal tersebut memberikan siapa saja dapat melakuka perjanjian asalkan tidak melanggar ketentuan pasal tersebut. Dalam usaha taksi daring pasal tersebut bertentangan dengan UU no 5 tahun 1999 tentang Persaingan Usaha Tidak Sehat.Perlindungan hukum preventif terhadap pelaku usaha taksi daring dimana dengan diterbitkannya UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Perlindungan hukum represif bagi pelaku usaha taksi daring yang melakukan tindakan persaingan usaha tidak sehat diberi sanksi administrasi. Abstract One of the things that happens on the incidence of unhealthy business competition,the is the closeness of the business with people who have a higher level of power that can provide convenience to do something. A Group of businesses which cooperation with the business may be said to have been of a monopoly as happened at the airport where a taxi online can’t pick up and take passenger’s into the airport. The legality in the cooperation agreement which is set in article to 1320 KUHperdata, article is giving anyone can make the deal as long as it does not violate the provisions of article. Chasing a taxi online article is contrary to the law number 5 of 1999 on an unhealthy business competition. Protection of the law preventive against businesses for a taxi online in which the issuance of the law no 5 of 1999 on the restriction on the practice of monopolies and an unhealthy business competition. Protection of the repressive for the business for taxi online who commit acts of an unhealthy business competition were given administrative sanctions.
Perjanjian Internasional Dan Dampaknya Bagi Hukum Nasional Danel Aditia Situngkir
KERTHA WICAKSANA Vol. 13 No. 1 (2019)
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Warmadewa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22225/kw.13.1.2019.19-25

Abstract

Permasalahan yang dibahas pada tulisan ini adalah Batasan dan Tahapan Pembuatan Perjanjian Internasional dan dampak Perjanjian Internasional Bagi Hukum Nasional. Penelitian ini didasari atas keinginan untuk memenuhi kebutuhan yang mendorong negara untuk terlibat dalam hubungan internasional, namun belum semua perjanjian international yang ada dapat mengatur hubungan dimaksud. Penelitian ini bersifat yuridis normatif dengan sumber hukum sekunder yang kemudian ditafsirkan. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan studi dokumen. Analisis data tidak dapat dilepaskan dari berbagai penafsiran. Adapun penafsiran yang dipergunakan dalam penulisan ini adalah penafsiran sejarah yaitu dengan menelaah sejarah hukum atau menelaah perjanjian internasional dari segi batasan dan tahapan pembuatan serta dampaknya bagi perkembangan hukum nasional. Dari pembahasan dapat disimpulkan yang dikatakan perjanjian internasional adalah perjanjian yang dibuat oleh subjek hukum internasional, tunduk pada hukum nasional dan melahirkan hak dan kewajiban. Sementara tahapan pembuatan perjanjian internasional adalah adoption of text, authentivication text and concern to be bound. Dampak Pengesahan Perjanjian Internasional terhadap Hukum Nasional harus melihat kedudukan negara dan substansi dari perjanjian internasional. Kekuasaan yudikatif tetap dapat mendasarkan argumentasi hukum kepada perjanjian internasional tanpa negara harus menjadi negara pihak atau menunggu proses legislasi dari perjanjian internasional itu sendiri. Kata kunci: Batasan; Perjanjian Internasional; Tahapan Hukum Nasional The problems discussed in this paper are the Limits and the Stages of Making International Agreements and the Impact of International Agreements for National Law. This research is based on the desire to fulfill the needs that encourage the state to be involved in international relations, but not all existing international agreements can regulate the relationship. this research is normative juridical with secondary legal sources which are then interpreted. The data collection method used in this study is document study. Data analysis cannot be separated from various interpretations. The interpretation used in this writing is historical interpretation, namely by examining the history of law or examining international agreements in terms of limits and stages of manufacture and its impact on the development of national law. national law and give birth to rights and obligations. While the stages of making international agreements are adoption of text, authentication text and concern to be bound. The impact of ratification of the International Agreement on National Law must see the position of the state and the substance of the international agreement. Judicial power can still base legal arguments on international agreements without the state must be a state party or wait for the legislative process of the international agreement itself. Keywords: Limitation; International Agreement; Stages National Law
HAK KEPEMILIKAN ATAS SATUAN RUMAH SUSUN DI ATAS TANAH HAK GUNA BANGUNAN YANG BERDIRI DIATAS TANAH HAK MILIK BERDASARKAN PERJANJIAN SEWA MENYEWA I Wayan Kartika Jaya Utama
KERTHA WICAKSANA Vol. 12 No. 2 (2018)
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Warmadewa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22225/kw.12.2.2018.112-123

Abstract

Penelitian ini di lakukan untuk menganalisa keteraturan hukum di masyarakat, Permasalahan Hak milik dalam Hal memiliki tempat tinggal serta lingkungan hidup yang baik dan sehat, adalah merupakan hak dasar setiap warga negara Indonesia. hakikatnyastrata title terdapat gabungan kepemilikan bersama dan kepemilikan individu. Hal ini tidak dikenal dalam kepemilikan tanah dan rumah pada kawasan horizontal seperti komplek perumahan (real estate) atau pemukiman lainnya baik di perkotaan maupun perkampungan. Penelitian ini menggunakan metode hukum yuridis Normatif untuk melakukan studi pustaka karena ciri khas dan tradisi ilmu hukumPendekatan yang digunakan didalam penelitian hukum adalah pendekatan peraturan perundang-undangan (statue opprach), pendekatan kasus (case opprach) dan pendekatan konseptual (conceptual opprach). Hasil penelitian menunjukan bahwa rumah susun di atas tanah Hak Guna Bangunan yang berdiri diatas tanah Hak Milik sebagai tempat hunian dan jenis pembebanan hak atas satuan rumah susun di atas tanah Hak Guna Bangunan yang berdiri diatas tanah Hak Milik dapat serta memperbaiki akses masyarakat kepada sumber-sumber ekonomi, terutama tanah atas penguasaan pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah dan sumber-sumber pertanahan untuk meminimalisir sengketa Pertanahan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. This research is done to analyze the legal regulation in the community. The issue of property rights in terms of having a good and healthy living place and environment is the basic right of every Indonesian citizen. the essence of the title is that of joint ownership and individual ownership. It is not known in the ownership of land and houses in the horizontal area such as housing complex (real estate) or other settlements in both urban and settlement areas. This research uses Normative juridical legal method to conduct literature study because of the characteristic and traditions of law. The approach used in legal research is the approach of legislation (statue opprach), case approach (case opprach) and conceptual approach (conceptual opprach). The result of the research shows that the flats on the land of Hak Guna Bangunan which stands on the land of Hak Milik as the dwelling place and the type of imposition of the right to the unit of flats on the land of Hak Guna Bangunan which stands on the land of Hak Milik can also improve the public access to the sources economic, especially land over ownership, use and utilization of land and land resources to minimize land disputes to improve people's welfare.
EKSISTENSI DESA PAKRAMAN DALAM PENGELOLAAN KEPARIWISATAAN BUDAYA BALI (Kajian Terhadap Peraturan Daerah Provinsi Bali No 2 Tahun 2012, tentang Kepariwisataan Budaya Bali) A.A Gede Oka Parwata; I Ketut Kasta Arya Wijaya
KERTHA WICAKSANA Vol. 12 No. 1 (2018)
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Warmadewa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22225/kw.12.1.2018.69-75

Abstract

ABSTRAK Kegiatan pembangunan kepariwisataan dalam kehidupan Negara modern tidak akan dapat berjalan dengan baik tanpa adanya sebuah kebijakan yang baik pula. Kepariwisataan dalam program suatu negara dihandalkan dan diarahkan untuk memberi manfaat bagi kesejahteraan bersama elemen berbangsa. Nilai dasar atas upaya mewujudkan kemakmuran ditetapkan melalui Undang-Undang No.10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan untuk menciptakan iklim yang kondusif dan memberikan kepastian hukum. Dalam penyelenggaraan kepariwisataan utamanya di Bali menjadi penting pada pengembangan pariwisata budaya sebagai penyangga agar terhindar dari komersialisasi dan komodifikasi yang hanya menempatkan Bali sebagai obyek eksploitasi. Desa pakraman berkait dengan kepariwisataan ini memerlukan porsi yang pasti berdasarkan hukum sehingga hak dan kewajiban serta kewenangannya guna mendapat jaminan atas kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan seluruh kompenen terkait dalam pengelolaan kepariwisataan. Jenis penelitian ini adalah yuridis normatif yaitu yang mengkaji semua permasalahan melalui tinjauan hukum, acuannya dilakukan baik secara normatif maupun berdasarkan doktrin ilmu hukum. Pembahasan atas kewenangan desa pakraman tidak bisa lepas dari ketentuan Pasal 18B (2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sebagai pengakuan hak konstitusionalnya. Pengaturan pengelolaan kepariwisataan budaya Bali belum secara implisit mengatur bagaimana hak, kewajiban serta kewenangan yang dimiliki desa pakraman. Sepantasnya dalam Pengelolaan Kepariwisataan budaya memberikan tempat yang rasional kepada desa pakraman sebagai subyek pemilik kebudayaan. Peraturan Daerah Provinsi Bali tentang Kepariwisataan Budaya tidak secara tegas memberikan kedudukan hukum (hak, kewajiban dan wewenang) desa pakraman dalam pengelolaan Kepariwisataan Budaya Bali. Posisi kedudukannya selaku subyek internal, seharusnya diwujudkan dalam bentuk fungsi penguatan, pemberdayaan. Jika dibentuk dalam relasi koordinasi dengan unsur pemerintah daerah pun koordinasi dalam dengan sifat mendukung dan menguatkan kedudukan hukum desa pakraman. Kata Kunci : Kedudukan Hukum, Desa Pakraman, Kepariwisataan Budaya ABSTRACT Tourism development activities in a modern country cannot work well without a good policy. Tourism as one of development programs of a country is a reliable way to bring prosperity to all of the people. The basic value of efforts to achieve prosperity is stated in Act no.10 Year 2009, which is about tourism for creating a conducive environment and to provide legal certainty. Cultural tourism development activities, particularly in Bali, play an important role as a buffer to avoid Bali from being commercialised and commodified, in other words, being an exploited object. The customary village (desa pakraman) must be given a clear portion in the law regarding tourism industry so that its rights, obligations and authorities to give legal certainty, justice and benefits are clear. This is a normative juridical study, which is a study that analyses all problems through legal perspective whose reference is obtained normatively or based on the doctrines in law discipline. Discussing the authority of Desa Pakraman cannot disregard Article 18B (2) Constituion 1945, which is a recognition of the rights of customary village. The regulations about cultural tourism of Bali have not yet implicitly defined the rights, obligations and authorities of desa pakraman. Cultural tourism management should provide desa pakraman with a rational portion as the subject and owner of Bali culture. Bali provincial regulation on cultural tourism does not explicitly give the legal status (rights, obligations and responsibilities) of desa pakraman in the management of Bali cultural tourism. As the internal subject, the legal status of desa pakraman should be manifested in the form of both reinforcement and empowerment functions. If the legal status of desa pakraman is in the form of a coordinative relation local government, such coordination should be supporting and strengthening the legal status of desa pakraman. Keywords: Legal Status, Customary Village (Pakraman), Cultural Tourism
Bantuan Hukum dalam Hubungannya dengan Hak Asasi Manusia (HAM) Putu Sekarwangi Saraswati
KERTHA WICAKSANA Vol. 13 No. 2 (2019)
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Warmadewa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22225/kw.13.2.2019.114-120

Abstract

Dari sekian pelaku kejahatan, banyak diantaranya tidak mengerti dan memahami tentang hukum atau perundang-undangan yang berlaku, terutama dari mereka-meraka yang berasal dari golongan ekonomi bawah. Sehingga mereka lebih banyak tidak mengerti atau mengetahui tentang pemeriksaan, penyidikan, hal-hal yang dituduhkan atau didakwa, proses jalannya persidangan dan sanksi apa yang akan mereka terima akibat melakukan perbuatan yang dilarang oleh hukum atau perundang-undangan yang berlaku. Demikian juga tentang hak-hak apa saja yang mereka peroleh selama penahanan, pemeriksaan atau penyidikan, bagaimana cara memperoleh hak itu, siapa yang akan memberikan hak itu. Bagi mereka dari golongan ekonomi atas atau mereka yang memiliki kedudukan dan pengaruh dalam masyarakat, aparat penegak hukum dalam prakteknya akan memberitahukan tentang hak-hak mereka, terutama terhadap pelayanan atau bantuan hukum, apakah mereka mencari sendiri atau meminta aparat penegak hukum untuk menghubungi salah satu pelayanan atau bantuan hukum tertentu, sebelum pemeriksaan dan penyidikan dimulai. Namun hal ini sangat berbeda dalam kenyataan perlakuan aparat penegak hukum terhadap para pelaku kejahatan dari golongan ekonomi bawah, sering aparat penegak hukum teledor atau alasan lupa atau sengaja tidak memberitahukan akan hak-hak terdakwa dalam proses pemeriksaan dan penyidikan, terutama hak untuk memperoleh/mendapatkan bantuan hukum. Of the many criminals, many of them do not understand and understand the applicable laws or legislation, especially from those from lower economic groups. So that they do not understand or know more about examinations, investigations, matters that are alleged or charged, the process of proceedings and what sanctions they will receive due to acts that are prohibited by law or legislation in force. Likewise about what rights they have obtained during detention, examination or investigation, how to obtain those rights, who will give those rights. For those from the upper economic group or those who have position and influence in the community, law enforcement officials will in practice notify them of their rights, especially regarding legal services or assistance, whether they are seeking it themselves or asking law enforcement officials to contact one of the services or certain legal assistance, before the investigation and investigation begins. However, this is very different in the reality of law enforcement officials' actions against lower-level perpetrators of economic crimes, often careless law enforcers or reasons for forgetting or deliberately not informing the defendant's rights in the investigation and investigation process, especially the right to obtain / get assistance law.
Penerapan Pengawasan Oleh Kejaksanaan Terhadap Putusan Pidana Percobaan Kade Richa Mulyawati; A.A.Sg.Laksmi Dewi; Komang Indra Saputra
KERTHA WICAKSANA Vol. 13 No. 1 (2019)
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Warmadewa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22225/kw.13.1.2019.57-61

Abstract

Dalam ketentuan KUHP, tampaknya tidak ada peraturan tentang tindakan kriminal yang dapat dikenakan hukuman bersyarat, dalam hal pengawasan dan pelaksanaan keputusan hakim, seperti yang dilakukan oleh pelaksana putusan pengadilan. tidak berfungsi dengan baik seolah-olah pengawasan hanya formalitas saja, masalah dalam tesis ini adalah dasar pertimbangan hakim dalam memberikan hukuman bersyarat dan penerapan hukum hukuman bersyarat dalam hal pengawasan dan implementasi yang dilakukan oleh jaksa, jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah hukum empiris dengan pendekatan yuridis sosiologis. Sumber data yang digunakan adalah sumber data primer dan sumber data sekunder. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi literatur atau studi pustaka. Analisis data yang digunakan adalah analisis kualitatif. Penelitian ini membahas pertimbangan hakim dalam memutuskan persidangan pidana yang dalam memberikan putusannya hakim memiliki pandangan yang berbeda antara hakim satu sama lain mengenai putusan bersyarat atau pidana dan proses yang dilakukan oleh jaksa dalam hal pelaksanaan dan pengawasan terpidana pidana atau kriminal yang bertanggung jawab atas pelaksanaan dan pengawasan yang dilakukan oleh jaksa berdasarkan dasar hukum dari Ordonansi Kondisi Persyaratan Bersyarat. Kata kunci: Hukuman bersyarat; Masa percobaan pidana; Penerapan hukum In the provisions of the Criminal Code, there does not appear to be any regulation regarding any criminal act which can be imposed by a conditional penalty, in the case of the supervision and execution of the judge's decision, as the executor of the court decision does not work properly as if supervision is only a formality alone, the problem in this thesis is the basis of judges' consideration in providing conditional punishment and the application of conditional punishment law in terms of supervision and implementation conducted by the prosecutor, the type of research used in this study is empirical law with sociological juridical approach. Source of data in use is primary data source and secondary data source. Data collection techniques used in the research is literature study or library reseach. Analysis of the data in use is a qualitative analysis. This study discusses the judges' consideration in deciding the criminal trial which in giving its verdict the judge has a different view among judges with each other regarding the conditional or criminal verdict and the process carried out by prosecutor in the case of the implementation and supervision of convicted criminal or criminal in charge of the implementation and supervision conducted by the prosecutor based on the legal basis of the Conditional Conditional Conditions Ordinance. Keywords: Conditional penalty; Criminal probation; Application of law
KEKUATAN HUKUM SERTIPIKAT PENGGANTI KARENA HILANG Ananta Triyatmojo; Endang Sri Kawuryan
KERTHA WICAKSANA Vol. 12 No. 2 (2018)
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Warmadewa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22225/kw.12.2.2018.140-144

Abstract

Pada akhir-akhir ini, untuk bertransaksi atas hak atas tanah yang tanda bukti haknya berupa sertipikat pengganti karena hilang, banyak pihak yang meragukan kekuatan hukum dan kepastian hukum dari serpikat pengganti karena hilang tersebut, maka perlu dilakukian analisis dengan cara diskripsi komparatif, yakni dengan mengetengahkan prosedur penerbitan sertipikat pengganti karena hilang, dengan segala karakteristiknya.Dari hasil analisis dengan metode diskripsi komparatif dari ketentuan-ketentuan perundangan yang terkait nampak bahwa kedudukan hukum serpikat pengganti karena hilang sama halnya sertipikat originer, dan mempunyai kekuatan hukum yang sama pula, serta bagi pihak-pihak yang mengadakan transaksi terhadap hak atas tanah yang tanda bukti haknya berupa sertipikat pengganti karena hilang tidak perlu ragu-ragu, karana ia memperoleh perlindungan hukum baik perdata, pidana maupun tata usaha negara. In recent years, to transact land rights whose proof of rights is in the form of a replacement certificate due to disappearance, there are many who doubt the legal power and legal certainty of the successor's replacement because it is missing, it is necessary to conduct an analysis by means of a comparative description, the procedure of issuance of the replacement certificate because it is lost, with all its characteristics. From the results of the analysis with the comparative description method of the relevant provisions of the law it appears that the status of the substitute law as a lost due to the originer certificate, and has the same legal force, as well as for the parties who entered into the transaction of land rights which the evidence his right in the form of a substitute certificate because of missing need not hesitate, because he obtained legal protection both civil, criminal and state administration.
FORMATION OF CORRUPTION ERADICATION COMISSION I Made Hendra Kusuma
KERTHA WICAKSANA Vol. 12 No. 2 (2018)
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Warmadewa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22225/kw.12.2.2018.80-89

Abstract

Since the establishment of the Corruption Eradication Commission (KPK) in 2002, corruption eradication agency in Indonesia is authorized to a three sections), namely police agency, prosecutor’s office and KPK. Among the three institutions, the KPK has an extraordinary authority, which is not granted to the police agency or the prosecutor's office by the legislators. The authority includes the authority to take over the investigation of criminal act of corruption being perpetrated by the police officers or the prosecutors. In time police institution or prosecutor's office begins a graft investigation of a criminal act of corruption, it shall be reported to KPK within a period of time no later than 14 working days and shall continuously be coordinated with the KPK. Even if at the same time the police, prosecutors, and KPK are investigating the same corruption, the involvement of the police or the prosecutors must be discontinued immediately. With regard to this fact, this paper reviews descriptively what and how exactly KPK with its extraordinary authority was originally formed. This paper uses secondary data in the form of literature and minutes of the meeting on the establishment of law on KPK in the House of Representatives of the Republic of Indonesia (DPR-RI). The result of the study shows that the establishment of the KPK according to Law No. 30 of 2002 was designed to form an independent and super-agency of corruption eradication, with some authorities previously never granted to the police or the prosecutors, but by not eliminating the authority of the police and prosecutors as a part of corruption eradication institutions that have been already existed. In such a position, KPK functioned as a trigger mechanism holder over the police and prosecutors who are considered do not effectively and efficiently execute the action of eradication on corruption.
KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PERTANGGUNGJAWABAN TINDAK PIDANA KORPORASI DI INDONESIA I Dewa Agung Gede Mahardika Martha; I Dewa Made Suartha
KERTHA WICAKSANA Vol. 12 No. 1 (2018)
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Warmadewa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22225/kw.12.1.2018.1-10

Abstract

ABSTRAK Diterimanya korporasi sebagai subyek tindak pidana, sehingga menimbulkan permasalahan kebijakan hukum pidana dalam pertanggungjawaban tindak pidana korporasi. Dalam penelitian ini terdapat dua permasalahan pokok, yaitu (1) Bagaimanakah kebijakan hukum pidana pada saat ini dalam pertanggungjawaban tindak pidana korporasi? (2) Bagaimanakah kebijakan hukum pidana terhadap pertanggungjawaban tindak pidana korporasi dalam perspektif ius constituendum ? Metode penelitian yang dipergunakan adalah metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan, perbandingan dan analisis konsep hukum. Hasil penelitian adalah : (1) KUHP tidak mengatur korporasi sebagai subyek tindak pidana yang dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana dan beberapa perundang-undangan di luar KUHP telah mengatur korporasi sebagai subyek tindak pidana yang dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana, namun masih bersifat parsial dan tidak konsisten, (2) Rancangan KUHP 2014-2015 telah mengatur secara lengkap dan tegas korporasi sebagai subyek tindak pidana dan dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana dan menerima pertanggungjawaban pidana mutlak serta pertanggungjawaban pidana pengganti, meskipun dengan pengecualian untuk memecahkan persoalan kesulitan dalam membuktikan adanya unsur kesalahan yang dilakukan oleh korporasi. Kata kunci : Kebijakan korporasi, Tindak pidana, dan Pertanggungjawaban. ABSTRACT The acceptance of corporation as the subject of criminal act brings problem to criminal law policy in corporation criminal act responsibility. There are 2 principle problems in this study : (1) How is the current criminal law policy in corporation criminal act responsibility? (2) How is criminal law policy upon the corporation criminal act responsibility in ius constituendum perspective? The research used normative law method with legislation, comparative and law concept analysis approaches. The result of the research : (1) Criminal code has not regulates corporation as the subject of criminal act that is accountable for criminal law, nevertheless it is partial but inconsistent, (2) Criminal Code Bill 1999-2000 has clearly and completely regulated corporation as subject of criminal act and is accountable for criminal law and accept unconditional criminal responsibility as well as substitute criminal responsibility, although with the exception to solve difficult problem in order to prove mistakes made by corporation. Keywords: Policy on corporation, Criminal act, and Responsibility.

Page 5 of 17 | Total Record : 166